Cerita Kehamilan Kedua di Masa Corona

Oleh Nurasiah jamil

Saat saya menulis ini, saya alhamdulilah sudah sehat sekitar 4-5 bulan yang lalu dari corona. Namun, hati saya tidak sedang sehat karena kita ketahui bahwa corona semakin naik terus dan variannya makin ganas. Melalui tulisan ini ingin menceritakan perjuangan kehamilan kedua saya dan kedua teman lainnya yang terkena covid – 19 yang sampai hari ini masih berjuang.

Latar belakang pekerjaan

Saya yang bekerja di NGO yang memiliki kebijakan sangat berpihak kepada perempuan sudah menerapkan work from home sejak pemerintah menyampaikan larangan Maret 2019 lalu. Namun sesekali ada kegiatan pendampingan ke lapangan itupun jarang. Dengan berbekal naik motor dan cuaca yang cukup extrem hujan dan panas bersama balita saya dan saya yang hamil saya sering melakukan perjalanan untuk pendampingan di wilayah Cianjur. Selain belum memiliki kendaraan beroda empat, saya merasa lebih aman dan nyaman menggunakan motor ketimbang kendaraan umum karena hanya bertemu suami siaga dan anak.

Sahabat saya yang pertama, namanya Rina. Ia bekerja sebagai tenaga kesehatan disebuah pusat kesehatan masyarakat di wilayah Jakarta. Tentu dia tidak ada WFH, justru ia dan temannya menjadi orang di garda terdepan disaat pandemi ini. Suaminya pun bekerja WFO diwilayah Jakarta. Ibunya positif covid dan sahabat saya dinyatakan tertuar tak lama selepas menengok ibunya.

Sahabat saya yang kedua, namanya Indri. Ia bekerja di Dinas Kesehatan di wilayah Bogor. Sesekali WFH dan WFO, suaminya tenaga kesehatan di wilayah Bogor juga. Mertuanya meninggal dan positif covid, sahabat saya dinyatakan positif setelah beberapa hari mertuanya meninggal.

Inilah ragam pekerjaan saya bersama dua sahabat saya.

Perjalanan terpapar Covid

Saya adalah orang yang pertama terkena covid-19, pada akhir bulan Februari 2021 ketika usia kehamilan saya sekitar dua bulan menuju tiga bulan. Saya tidak tahu darimana virus itu saya dapatkan, namun yang pasti saya kehujanan dan mungkin imun saya drop sehingga virus dengan mudah masuk kedalam tubuh saya.  Saya tidak enak badan semasa training hari kedua dilaksanakan, hingga akhirnya tiga hari berikutnya saya baru dilakukan tes usap dan saya sudah hilang penciuman. Saya dan anak saya positif, sedangkan suami alhamdulilah tidak terkena.

Lain lagi dengan sahabat saya Rina, ia melakukan test usap rutin karena kebutuhan untuk cek di pusat layanan kesehatan masyarakat, namun kecolongan ketika menengok ibunya dan ternyata positif hingga akhirnya dia tertular. Anak dan suaminya aman tidak terkena virus corona. Ia terkena virus sekitar bulan Maret 2021 pada saat kehamilan 3 bulan.

Kami berdua terkena virus corona dengan varian yang sebelum varian delta menyebar luas, tidak ada pengecekan spesifik virus varian yang mana, namun saat itu bukan varian delta.

Sahabat saya yang kedua, ia terpapar virus corona tak lama setelah ayah mertuanya meninggal, ia terkena virus corona bersama suaminya, namun alhamdulilah anak pertamanya negatif. Ia terkena virus corona ketika varian delta sudah menyebar dan saat itu usia kehamilan 7-8 bulan pada bulan Juli 2021.

Diantara kami bertiga, tidak ada yang tahu persis perjalanan virusnya didapat darimana, tapi kami sudah mendapatkannya.

Perjuangan saat terkena corona

Saya saat itu sedang tugas kerja di Cianjur, sehingga saya mencari pertolongan dengan melapor ke satgas covid Kabupaten yang dihubungkan ke satgas covid Desa. Sebagaimana diketahui bahwa orang tua saya merupakan orang cianjur dan saya secara KTP masih warga Cianjur. Gejala yang saya alami adalah batuk, demam, flu, sakit tulang dan anosmia (hilang penciuman dan pengecapan). Saya langsung disarankan isolasi mandiri ke pusat isolasi pemda, sehubungan kondisi saya yang hamil muda sehingga memerlukan pemantauan tenaga kesehatan. Tanpa basa-basi saya langsung menerima tawaran tersebut demi keselematan Jiwa dan raga. Selama isolasi 8 hari gejala yang sejak awal hadir itu tetap ada, namun karena kehamilan saya, saya tidak mengonsumsi obat-obatan selain vitamin.

Sebelumnya anak saya diikutkan isoman, namun karena saya tidak bisa istirahat akhirnya diputuskan dikirim kerumah orang tua untuk diasuh bersama papanya. Terpisah jauh dari keluarga selama 14 hari sangat merasa kesepian, suami saya hampir tiap hari menengok namun kami hanya bisa saling sapa dan ngobrol lewat jendela dari lantai dua. Namun alhamdulilah masih bisa bertemu secara fisik.

Sahabat saya Rini, ia harus dirawat di Rumah Sakit saat ia diketahui terkena corona, karena ada gangguan pembekuan darah dan setiap hari sampai 10 hari isolasi di RS ia harus disuntik obat agar tidak terjadi pembekuan darah tersebut dan tentu obat tambahan lain yang harus ia habiskan agar cepat pulih. Sesekali saya WAan dengannya untuk menanyakan kabar, sesekali pula kami telponan untuk sekedar bercerita langsung. Tentu keadaan dia tak bisa ditengok sama sekali karena berada di RS. Suaminya pun hanya sesekali dan jika urgent saja datang. Karena pemantauan yang ketat.

Perjuangan saya dan Rini sangat berbeda, namun alhamdulilah kami bisa peluk secara virtual karena kami dinyatakan kembali sehat.

Namun, tidak mudah bagi sahabat kedua kami, Indri. Ia saturasinya rendah dalam keadaan hamil besar, yang membuat ia harus memutuskan melahirkan anaknya dengan sectio cesaria agar anaknya bisa tertolong. Ia terpaksa harus masuk ruang intensive care unit karena kondisinya semakin lemah. Alhamdulilah anak yang lahir selamat namun kondsi Indri terus menurun kesadarannya hingga ia di intubasi. Segala upaya dilakukan oleh keluarga mulai dari donor plasma konvalesen dan juga pemberian obat gammarras yang digunakan untuk meningkatkan imun dalam tubuh, salah satunya yang dipakai dalam terapi penyembuhan covid-19.

Pada saat saya menulis cerita ini, hari ketiga setelah donor dan penyuntikan obat, dan saya bersama teman lain terus melakukan pemantauan, per hari ini alhamdulilah alat ventilator sudah dicoba dilepas meski masih di ICU. Mohon doa dari pembaca untuk kesembuhan sahabat saya.

Kehamilan saat pandemiTidak mudah bagi kami bertiga dan sebagian besar perempuan diluar sana menjalani kehamilan dimasa pandemi ini, karena dengan kondisi hamil ini mempengaruhi imunitas lebih rendah sehingga lebih mudah terpapar penyakit terutama corona. Menurut berita melalui media CNN Indonesia disampaikan oleh Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) mencatat sebanyak 536 ibu hamil dinyatakan positif Covid-19 selama setahun terakhir. Dari jumlah tersebut, tiga persen di antaranya dinyatakan meninggal dunia dan 4.5 persen masuk ICU. Persentase tersebut diperkuat oleh studi lainnya yang menggambarkan bahwa seseorang yang sedang hamil memiliki risiko lebih besar dan berat ketika terkena covid.

Meski gejala awal yang terjadi relatif sama, namun dari pengalaman kami bertiga efek covid-19 ini berbeda kepada setiap orang. Melalui tulisan ini ingin mengajak semua orang untuk tetap menerapkan protokol kesehatan agar terhindar dari virus corona ini dan meminta doa dari pembaca untuk kelancaran persalinan saya dan sahabat serta seluruh perempuan yang sedang hamil di masa pandemi dan juga untuk kesembuhan sahabat saya yang saat ini masih di ICU semoga Allah angkat penyakitnya dan diberikan umur yang panjang untuk menjaga anaknya yang telah dilahirkan.

Menyoal Stigma Negatif Perempuan yang Alami Keguguran

Oleh Fadilla Dwianti Putri

Beberapa waktu yang lalu, dunia maya dihebohkan oleh berita pernikahan selebriti, Aurel dan Atta. Tidak lama berselang, mereka mengumumkan berita kehamilan, yang kemudian diikuti oleh berita keguguran yang dialami Aurel. Bagaimana pun saya tidak pernah mengikuti keduanya di media sosial maupun menonton video-videonya di Youtube, berita itu mampir juga ke timeline saya. Sebenarnya, saya tidak pernah peduli pada kehidupan mereka. Namun mendengar berita Aurel keguguran, mau tidak mau saya merasakan simpati juga, terlebih bagaimana pengalaman reproduksinya “dieksploitasi” untuk mendulang views, likes, followers, dan engagement. Saya merasa semakin relate karena saya mengalami hal yang sama dengan Aurel hampir tiga bulan yang lalu.

Hingga saat artikel ini ditulis, rasa sakit atas kehilangan seorang anak yang tidak pernah bisa saya temui terus menghantui. Dan saya sangat bersyukur dapat melalui hari-hari yang berat dengan damai, dan didukung oleh orang-orang terdekat. Saya membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang perempuan yang harus menjalani sakitnya kontraksi dan pendarahan, sementara berita-berita di luar sana menyorotinya? Ketika harus menghadapi komentar-komentar pedas orang lain yang menghakimi atas “kegagalannya” dalam menjaga kehamilan? Dan, mau sampai kapan tubuh perempuan terus dieksploitasi dan dijadikan semata-mata mesin reproduksi?

Dari pengalaman ini, saya menjadi belajar bahwa keguguran adalah proses berduka yang panjang. Sama seperti duka-duka lainnya—kehilangan anggota keluarga, teman, dan kerabat—duka yang dialami seorang perempuan ketika keguguran adalah valid. Tidak ada perbedaan antara seorang ibu yang kehilangan anaknya di usia kandungan 2 bulan atau 9 bulan, di usia kandungan 6 minggu atau 40 minggu. Rasa duka itu sama, dan setiap perempuan yang mengalami keguguran berhak diberikan waktu untuk memproses duka itu. Dan tidak ada waktu baku dalam memprosesnya—mungkin satu bulan, tiga bulan, satu tahun, bahkan seumur hidup. Dan sangatlah tidak bijak jika pengalaman reproduksi itu kemudian diekspos dan menjadi bahan konsumsi publik dengan asumsi-asumsi yang (sebagian besar) tidak benar.

Saya teringat kuliah-kuliah yang diberikah oleh Nyai Dr. Nur Rofiah (Dosen Pascasarjana di PTIQ) tentang keadilan gender dalam Islam. Kita harus meletakkan pengalaman biologis perempuan sebagai peristiwa yang berbeda dengan pengalaman laki-laki. Pengalaman biologis laki-laki berlangsung singkat dan menyenangkan. Sementara pengalaman biologis perempuan ada yang harian (haid), bulanan (hamil), hingga tahunan (menyusui), dan tidak semuanya menyenangkan, bahkan menyakitkan hingga bertaruh nyawa.

Dalam al-Qur’an surat Lukman ayat 14 disebutkan: “Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun…” Kehamilan sendiri adalah pengalaman yang berat, dan ketika mengalami keguguran, peristiwa itu tidak hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga psikologis.

Saya masih ingat pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika saya mengalami keguguran waktu itu: “Kecapekan ya?”, “Habis jatuh ya?”, dan sebagainya, yang seolah-olah menghakimi perempuan yang tidak bisa menjaga dirinya ketika hamil. Salah seorang sepupu saya kehilangan anaknya di usia kandungan 6 bulan dan komentar yang ia dapatkan, bahkan dari keluarganya sendiri, adalah, “Masih suka kerja sampai malam, sih.”

Padahal, jika kita melihat angka statistik, 10-15% kehamilan berakhir dengan keguguran atau stillbirth (anak lahir dalam keadaan meninggal)[1], sebagian besar terjadi pada trimester pertama. Dan ini tidak selalu terkait dengan faktor ibu. Banyak faktor yang memengaruhinya, seperti faktor genetik, lingkungan, infeksi, dan sebagainya—yang kesemuanya di luar kontrol sang ibu. Dan jika memang benar ini terjadi karena sang ibu mengalami kelelahan, bukankah pertanyaan yang diajukan semestinya sebaliknya? Apakah suaminya selalu hadir? Apakah mereka sigap mengambil alih tugas-tugas yang semula dilakukan istrinya? Dan jika ia terlalu capek bekerja, apakah tempatnya bekerja mengakomodasi kebutuhannya sebagai perempuan hamil? Ataukah jangan-jangan perempuan dibiarkan menanggung beban reproduksi sekaligus beban produksinya tanpa support system?

Selain peristiwa reproduksi yang penting, keguguran juga merupakan sebuah peristiwa kedukaan bagi setiap orang tua, terutama perempuan. Sudah saatnya stigma-stigma negatif mulai ditinggalkan, dimulai dengan memahami bahwa pengalaman biologis perempuan tidak mudah dan tidak bisa disamakan dengan standar yang ditetapkan untuk laki-laki. [FP]

[1] https://www.who.int/news-room/spotlight/why-we-need-to-talk-about-losing-a-baby

Catatan Perjalanan dan Ingatan untuk #merawattoleransi

Oleh Dwinda Nur Oceani

Membuka kembali catatan perjalanan dan pengalaman pada tahun 2017 lalu. Pulau Lembata, Kabupaten kecil di timur Indonesia, yang belum dijejaki banyak langkah. Saya mendapatkan penugasan untuk membuat profil beberapa perempuan muda di sana, salah satunya adalah Fita. Seorang perempuan muda berdaya dari dataran tinggi di Lembata, yaitu di desa Balurebong.  Saat itu ia berumur 23 tahun dan baru saja menyelesaikan strata 1 pendidikan Matematika di universitas swasta di Yogyakarta. Dari pusat kota Lewoleba ke desa Balurebong kurang lebih menempuh tiga jam perjalanan dengan medan yang berbatu dan berkelok. Desa tersebut berada di dataran tinggi sehingga jalurnya pun terjal dan hanya cukup untuk satu mobil. Dengan jarak kurang lebih 41 kilometer sebenarnya jika dengan jalur yang normal dapat ditempuh dengan waktu 1,5 jam saja.

Saya lanjutkan ya, setiba di desa ketika siang menjelang sore hari, Fita dan Mama (Ibu dari Fita) menyambut saya dengan begitu hangat. “sa panggil kamu Ina saja. Ina sudah makan kah?” ujar Mama (Ina adalah panggilan untuk anak perempuan) itu merupakan kata-kata pertama yang disampaikan Mama ke saya. Jadi, di desa Balurebong 100% penduduknya beragama Katolik. Ketika datang ke sana saya satu-satunya seorang muslim dan berjilbab pulak. Sehingga jelas “terlihat” berbeda, ya minoritas.

Untuk membangun kedekatan dengan Fita dan mempertimbangkan medan perjalanan yang tidak memungkinkan untuk pulang pergi, saya memutuskan untuk menginap satu malam. Kebetulan di desa tersebut belum ada aliran listrik dan saluran air yang mengalir di tiap-tiap rumah. Maka untuk mendapatkan air, warga desa harus turun bukit terlebih dahulu. Turun menuju sumber air dengan ember kosong dan pulang dengan menjunjung ember berisi air melalui  jalur yang menanjak. Hal tersebut pun banyak dibebankan kepada perempuan dari anak sampai dewasa. Sore hari para mama, anak-anak muda perempuan dan laki-laki namun terhitung sedikit untuk laki-laki, mereka hilir mudik mengambil air. Saya mengikuti trayek mereka naik dan turun, sekali jalan saja kurang lebih memakan waktu 20 menit.

Matahari pun mulai terbenam, berarti sudah memasuki waktu salat magrib. Saya pun juga sudah kembali ke rumah Fita setelah ikut mengambil air, lalu berkeliling desa untuk berjumpa kepala desa dan berteguran dengan warga di desa tersebut. “Ina salat magrib kah? Mandi sudah.” Teriak mama dari dapur, saya menyautinya dari dalam kamar “iya Mama.” Lalu Mama dengan suara yang tidak begitu keras memanggil adik Fita “tolong masak air biar hangat untuk ko pu kakak mandi dan wudu, sudah mau magrib.” Saya tersentak sejenak mendengarnya, mama yang mengingatkan saya untuk salat. Namun saya ada rasa tidak enak dan berat, sebab saya tahu bagaimana mereka berjuang untuk mendapatkan air. Setelah air masak, saya dipanggil untuk mandi, Fita pun bergegas ke kamar mandi membawakan pelita. Ketika malam hari, lampu yang menyala hanya di ruang tamu, dengan lampu tenaga surya. saya pun memilih untuk tidak mandi, hanya mengelap sebagian badan dan mengambil air wudu. Kenapa air dimasak terlebih dahulu? Karena ketika memasuki malam hari desa tersebut sangat dingin, tetapi ketika siang hari panasnya luar biasa.

Malam itu, tepat tiga bulan kepergian Bapak dari Fita yang meninggal karena sakit. Setiap malam pukul tujuh mama, Fita, dan kedua adiknya beribadah dan berdoa untuk Bapak. Mama pun mengajak saya untuk mendoakan bapak, kami duduk bersama di ruang tamu. Sebelum mulai, mama menyampaikan kepada saya jika berkenan untuk berdoa dengan cara yang saya yakini. Fita dan adik perempuannya memimpin doa di malam itu, rasanya tenang, sunyinya malam di desa Balurebong hanya terdengar suara jangkrik dan serangga lain yang saling bersautan diisi dengan suara doa dari Fita dan adik perempuannya yang membacakan beberapa penggal ayat dari Alkitab. Kami pun mengakhiri malam dengan makan malam dan berbagi cerita, menjelang pukul sembilan semua sudah bergegas untuk tidur.