Kamis, 12 September 2019
Pukul: 13.00 – 16.00
Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat
DALAM rangka Book Road Show 2019, Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) menyelenggarakan diskusi dan bedah buku “Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak”, di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Kamis, 12 September 2019. Sambutan disampaikan oleh Dr. Zaky Mubarak, M.Si., Direktur Pasca Sarjana Institute Agama Islam Cipasung, dan Lies-Marcoes-Natsir, MA., Direktur Eksekutif Rumah KitaB. Acara ini dihadiri 149 peserta yang terdiri dari para dosen, guru, dan santri Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.
Pemantik diskusi disampaikan oleh Dra. Hj. N. Ida Nurhalida, M.Pd. (PP Cipasung) yang berbicara banyak tentang pengalaman Pondok Pesantren Cipasung dalam mempraktikkan keadilan gender. Selanjutnya para peserta bersama para narasumber, yaitu Prof. Dr. Amina Wadud (USA), Jamaluddin Mohammad (Tim Penulis Rumah KitaB), dan Ulil Abshar Abdalla, MA. (PBNU), mendiskusikan beragam upaya pembacaan ulang yang melahirkan tafsir hubungan relasi gender yang lebih setara dan adil sebagai produk pemikiran yang secara sosial mempunyai pengaruh sangat luas di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim.
Acara ini dimulai dengan pembacaan QS. al-Isra`: 13 yang menyatakan bahwa setiap manusia tanpa membeda-bedakan jenis kelaminnya telah ditetapkan amal perbuatannya dan pada hari Kiamat kelak akan dibukakan kepadanya sebuah kitab yang berisi catatan seluruh amal perbuatannya semasa di dunia.
Pengalaman Pondok Pesantren Cipasung
Disampaikan oleh Dra. Hj. N. Ida Nurhalida, M.Pd., bahwa sejak awal berdirinya Pondok Pesantren Cipasung, KH. Muhammad Ruhiyat, yang merupakan kakek Ibu Nyai Ida—sapaan akrab Dra. Hj. N. Ida Nurhalida, M.Pd.—dan pendiri Pondok Pesantren Cipasung, sudah menerapkan apa yang disebutnya sebagai keadilan gender.
Berdasarkan ceritanya, saat memimpin dan mengasuh pesantren ini, yaitu pada tahun 1931, KH. Muhammad Ruhiyat, dalam mengajar, selain dibantu oleh putranya yaitu KH. Muhammad Ilyas Ruhiyat, juga dibantu oleh seorang ajengan perempuan yaitu Ibu Hj. Suwa. KH. Muhammad Ruhiyat tidak pernah beranggapan bahwa perempuan tidak mempunyai keahlian apa-apa sehingga tidak bisa memberikan manfaat bagi pesantren. Ibu Hj. Suwa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengajar kitab “al-Jawhar al-Maknûn”, “Alfîyyah”, dan kitab-kitab lainnya kepada santri laki-laki dan perempuan. Ini menunjukkan bahwa KH. Muhammad Ruhiyat sesungguhnya merupakan sosok yang sangat adil gender.
Menurut Ibu Nyai Ida, diskusi dan bedah buku “Fikih Perwalian” bukanlah kegiatan pertama terkait pembacaan ulang terhadap fikih mengenai perempuan. Jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 1994, di Pondok Pesantren Cipasung sudah ada kegiatan sejenis yang dimulai dengan program Fiqh al-Nisa` P3M bersama Kiyai Masdar F. Mas’udi dan kawan-kawannya. Program ini bahkan mendapat dukungan penuh dari ayahnya, KH. Muhammad Ilyas Ruhiyat. Saat itulah untuk pertama kalinya Ibu Nyai Ida mengenai istilah “gender”.
Setelah mengenal dan memahami istilah “gender”, Ibu Nyai Ida kemudian berkesimpulan bahwa kesetaraan sejatinya merupakan nilai luhur yang kehadirannya tak bisa dibantah di dalam keseharian Pondok Pesantren Cipasung. Ayahnya sendiri, KH. Muhammad Ilyas Ruhiyat, sangat menghargai istri dan anak-anaknya. Laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan yang sama tanpa pembedaan dan tanpa pengekangan. Setiap orang diberi kebebasan untuk menekuni bidangnya masing-masing, dan bahkan diberi kebebasan untuk memilih jodohnya tanpa ada paksaan.
Meskipun ibunya hanyalah tamatan SD, tetapi ayahnya selalu mengajaknya bermusyawarah dalam masalah apapun. Di balik kesuksesan ayahnya yang merupakan Rais ‘Amm PBNU, ada ibunya yang sederhana yang selalu memberikan masukan dan mendukung setiap langkahnya.
Dalam perkembangannya, di Pondok Pesantren Cipasung, perempuan tidak hanya diberi kesempatan untuk mengajar atau menjadi guru ngaji, tetapi juga diberi amanah untuk memimpin lembaga-lembaga pendidikan formal. Sebut saja, misalnya, Kepala MI, MTs, MAN, SMA, dan bahkan Ketua STIE di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, semuanya adalah perempuan. Dan berdasarkan pengamatan, para perempuan yang memimpin lembaga-lembaga pendidikan formal itu dinilai cukup berhasil.
Mengenai perkawinan anak, Ibu Nyai Ida bercerita bahwa salah seorang bibinya dinikahkan di usia 9 tahun. Setelah dinikahkan ia tidak langsung boleh hidup dalam satu rumah bersama suaminya. Ia baru boleh berkumpul dengan suaminya setelah berusia 15 tahun. Ia mempunyai banyak anak, dan semuanya menjadi orang sukses.
Dalam kehidupan sehari-hari, kenang Ibu Nyai Ida, bibinya tampak baik-baik saja. Tetapi begitu diajak mengobrol dari hati ke hati, ternyata cukup banyak masalah yang dialaminya. Ia sangat sedih karena tidak bisa bersekolah lagi. Kesempatannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi hilang begitu saja saat ia diketahui telah menikah. Kepada anak-anaknya ia mewasiatkan untuk tidak menikah kecuali setelah lulus kuliah.
Ibu Nyai Ida mendengar banyak cerita dari beberapa saudaranya yang menikah di usia anak. Mereka bilang, “Kalau nikah anak sebaiknya jangan.” Mereka bahkan terlibat dalam kampanye pencegahan perkawinan anak di lingkungan pesantren. Sebab di pesantren biasanya ada seorang santriwati yang dibawa pulang oleh orangtuanya untuk dinikahkan. Tidak jarang pihak pesantren harus bernegosiasi dengan orangtua supaya anaknya diberikan kesempatan untuk lulus dari pendidikan di pesantren, dan ketika usianya sudah cukup dewasa baru boleh dinikahkan.
Bagi Ibu Nyai Ida, perkawinan anak adalah masalah darurat yang dalam penanganannya perlu melibatkan banyak pihak, termasuk pihak-pihak di dunia pendidikan pesantren. Memang tidak ada ajaran agama yang secara tegas melarang perkawinan anak. Para ulama pun masih berbeda pendapat mengenainya. Sebagian menganggap perkawinan anak itu sah, dan sebagian lainnya menganggapnya tidak sah. Meskipun mungkin dianggap sah, tetapi perkawinan anak bukanlah sesuatu yang baik karena berdasarkan pengalaman lebih banyak mengandung mafsadat daripada maslahat.
Dalam membaca teks, menurut Ibu Nyai Ida, sangat penting untuk melihat latarbelakangnya: kenapa teks itu muncul, kapan, dan dalam konteks apa? Inilah yang disebut dengan kontekstualisasi yang senantiasa menuntut penyeimbangan antara teks dan konteks supaya misi Islam sebagai rahmatan li al-‘âlamin, rahmat bagi laki-laki dan perempuan, itu tetap bisa dijalankan.
Untuk lebih menunjukkan kepedulian terhadap perempuan, di Pondok Pesantren Cipasung telah dibentuk WCC (Women Crisis Center) atau PUSPITA (Pusat Perlindungan Wanita) yang merupakan bagian dari Puan Amal Hayati. Banyak kasus yang telah ditangani oleh PUSPITA. Di antaranya adalah kasus seorang anak perempuan yang berkali-kali diperkosa oleh ayah kandungnya. Diceritakan oleh Ibu Nyai Ida, setiap kali si ayah hendak melakukan perbuatan jahatnya itu, dengan sengaja ia mengungsikan istrinya keluar, sedangkan si anak tidak boleh ikut. Ini dilakukannya berkali-kali tanpa perlawanan dari si anak, sampai akhirnya kejahatannya itu terbongkar dan kemudian dilaporkan ke PUSPITA. Si ayah itu pun ditangkap dan dipenjara. Sementara si anak didampingi oleh PUSPITA dan diikutsertakan dalam kursus rias, dan akhirnya ia diambil menantu oleh guru riasnya. Sekarang ia hidup bahagia bersama suaminya.
Dalam pandangan Ibu Nyai Ida apa yang dilakukan oleh PUSPITA itu adalah upaya untuk melindungi nyawa dan martabat manusia dan merupakan bagian dari keberagamaan. “Di manapun kita berada, di sanalah kita harus menjalankan keberagamaan kita. Ketika kita berada di sekolah atau di kampus, di sanalah kita menjalankan keberagamaan kita, bukan hanya lewat shalat atau puasa,” tuturnya.
Antara Teks dan Konteks
Pengalaman yang disampaikan oleh Ibu Nyai Ida adalah pengalaman yang sangat luar biasa. Tidak berangkat dari teori, tetapi dari realitas sosial yang menunjukkan bahwa perempuan mempunyai apa yang dalam istilah ilmu-ilmu sosial itu disebut sebagai agency atau ahlîyyah, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu atau mengubah sesuatu di dalam masyarakat, dan itu dibuktikan dengan sangat baik oleh pengalaman Ibu Nyai Ida sendiri melalui institusi di Pondok Pesantren Cipasung. Pengalaman seperti ini tersebar luas di masyarakat, bahwa perempuan mempunyai kapasitas dan agency yang dalam beberapa hal melebihi agency laki-laki.
Diakui atau tidak, pandangan yang menguasai kita saat ini adalah pandangan yang dibangun oleh laki-laki. Di dalam sejarah penafsiran al-Qur`an, misalnya, pemain utamanya sebagian besar adalah laki-laki. Jarang sekali ditemukan penulis tafsir dari kalangan perempuan. Di Indonesia, atau bahkan di dunia, semua penulis tafsir al-Qur`an adalah laki-laki.
Karenanya, seperti disampaikan oleh Ulil Abshar Abdalla, MA., pandangan tentang peran perempuan di dalam masyarakat itu kadang-kadang tidak balance. Tafsir terhadap teks-teks al-Qur`an dan hadits yang terkait dengan perempuan, yang dibangun dan ditulis oleh para laki-laki, belum mencerminkan pengalaman perempuan. Akibatnya terjadi gap antara teks dan realitas. Di satu sisi kenyataannya perempuan semakin banyak berkiprah di masyarakat, di sisi lain tafsir al-Qur`an dan hadits—yang kebanyakan ditulis oleh para laki-laki—masih memandang rendah peran-peran perempuan.
Gap tersebut, menurut Ulil Abshar Abdalla, sudah terjadi sejak lama, dan belakangan mulai dipertanyakan oleh para intelektual muslim, termasuk para intelektual muslim Indonesia. Dalam perkembangan saat ini, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, Indonesia sudah melakukan tindakan-tindakan yang besar menyangkut pemberian peran yang semakin besar kepada perempuan. Terkadang tindakan-tindakan tersebut dilakukan tanpa terlebih dulu meminta persetujuan dari para ulama. Kalau para ulama dimintai persetujuan, mungkin tidak semuanya akan sepakat. Contoh, sekarang ini bagian dari gerakan dunia adalah memberikan kepada perempuan representasi yang cukup di dalam peran-peran sosial. Misalnya, di dalam undang-undang politik kepartaian dicantumkan bahwa semua partai politik diwajibkan untuk mengalokasikan 30% dari caleg mereka adalah perempuan.
Selain itu, di dalam struktur keorganisasian partai-partai politik juga diharuskan memberikan alokasi yang cukup kepada perempuan. Ketika terjadi pembahasan undang-undang politik di parlemen mengenai representasi 30% caleg perempuan, tidak ada yang mempermasalahkannya. Tidak pernah terjadi suatu keributan di Indonesia berdasarkan alasan keagamaan yang mempersoalkan peran perempuan yang semakin besar di dalam partai politik. Padahal sebetulnya kalau melihat pengalaman di negera-negara lain, yang juga berpenduduk mayoritas muslim, masalah ini terus menjadi perdebatan.
Di negeri-negeri Arab Teluk seperti Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emerat Arab, dan seterusnya, bahkan kedudukan perempuan sebagai anggota parlemen pun masih dipersoalkan: apakah perempuan boleh menjadi anggota parlemen? Apakah perempuan mempunyai ahlîyyah atau agency untuk menjadi anggota parlemen?
Tetapi di Indonesia, masalah-masalah semacam itu tidak pernah dipersoalkan. Padahal konstruksi tafsirnya hingga saat ini masih tradisional yang memandang perempuan sebagai makhluk yang seharusnya selalu ada di dalam rumah, bukan di luar rumah. Hal ini sangat kontras dengan realitas di masyarakat yang memperlihatkan banyak sekali perempuan yang aktif di dalam partai politik, menjadi anggota parlemen, dan menjadi pejabat negara.
Dikatakan oleh Ulil Abshar Abdalla, pada tahun 1950-an seorang sarjana Amerika Serikat bernama Daniel S. Lev melakukan penelitian mengenai lembaga-lembaga peradilan di berbagai wilayah di Indonesia. Di dalam penelitiannya ia menjumpai seorang perempuan yang menjadi hakim agama. Tentu saja hal ini sangat mengagetkannya, sebab bagaimana mungkin di negeri seperti Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim memberikan ruang kepada perempuan untuk menjadi seorang hakim, sesuatu yang nyaris tak bisa dibayangkan terjadi di negeri-negeri muslim yang lain.
Di dalam al-Qur`an terdapat sebuah ayat yang menyatakan “Al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ`,” [QS. al-Nisa`: 34]. Menurut Ulil Abshar Abdalla, tafsir para ulama terhadap ayat ini cenderung seragam, yaitu bahwa kepemimpinan atau leadership itu ada di tangan laki-laki, sementara perempuan hanya dianggap sebagai makmum. Fakhruddin al-Razi, misalnya, di dalam kitab “Mafâtîh al-Ghayb” (tafsir besar Sunni terakhir, abad ke-13 M) mengatakan bahwa “al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ`” maknanya adalah “laki-laki itu diberikan hak untuk menjadi seorang pemimpin yang menguasai perempuan”.
Kalau dilihat, seluruh konsep mengenai wilâyah dan qiwâmah basisnya adalah “al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ`” (laki-laki pemimpin bagi perempuan). Tetapi di dalam praktik sehari-hari banyak sekali dijumpai pengalaman “al-nisâ` qawwâmâtun ‘alâ al-rijâl” (perempuan pemimpin bagi laki-laki). Contohnya adalah Ibu Nyai Ida yang kini menjabat sebagai Kepala MAN II Cipasung. Dengan kedudukannya itu ia membawahi banyak sekali laki-laki.
Apakah kedudukan Ibu Nyai Ida sebagai Kepala MAN itu bertentangan dengan al-Qur`an? Jadi, sekarang ini kita berhadapan dengan suatu keadaan di mana terjadi gap antara “al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ`” sebagai teks dan “al-nisâ` qawwâmâtun ‘alâ al-rijâl” sebagai konteks atau sebagai kenyataan sosial. Dengan demikian maka tantangan para sarjana muslim ke depan adalah membangun konstruksi fikih yang dialogis antara teks (al-Qur`an dan hadits) dengan konteks (realitas sosial).
Pentingnya Pendidikan untuk Kesetaraan
Ibu Nyai Ida menyampaikan bahwa ketika memberikan ceramah di majelis-majelis taklim dan pengajian-pengajian selalu menyisipkan materi tentang pentingnya pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. “Di majelis-majelis taklim kita ceritakan bahwa kalau ingin mempunyai keturunan yang baik, maka ibunya harus pintar. Kalau punya anak, baik laki-laki dan perempuan, keduanya harus diberi kesempatan yang sama untuk belajar dan memperoleh pendidikan,” katanya.
Pentingnya pendidikan bagi laki-laki dan perempuan juga disampaikan oleh Prof. Dr. Amina Wadud. Dengan mengutip salah satu hadits Rasulullah Saw. yang menyatakan, “Mencari ilmu itu wajib baik bagi muslim laki-laki maupun muslim perempuan,” ia mengatakan bahwa sejarah Islam selama 1441 tahun telah menunjukkan pentingnya pendidikan, sebab ayat pertama yang turun kepada Rasulullah Saw. adalah “Iqra`” (Bacalah!) yang menekankan pentingnya membaca. Adanya perintah untuk membaca sebagaimana ayat yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. tersebut telah menambah pengetahuan umat Muslim pada masa itu.
Menurut Prof. Dr. Amina Wadud, umat Muslim mencapai masa keemasannya persis ketika bangsa Eropa sedang berada dalam masa kegelapannya. Tetapi mereka gagal mempertahankannya karena mereka tidak bisa menjaga semangat pentingnya pendidikan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Sangat penting untuk dicatat, bahwa kata “tarbiyah” (pendidikan) yang berasal dari akar kata “rabbâ” (mendidik, mengasuh) di dalam bahasa Arab tidak semata-mata terkait dengan kuantitas angka, tetapi terkait dengan pengasuhan untuk meningkat kualitas kehidupan dan pertumbuhan anak-anak laki-laki dan perempuan.
Kualitas pertumbuhan dan perkembangan harus terus ditingkatkan melalui pendidikan sehingga memungkinkan setiap orang mempunyai peluang untuk menjadi hamba yang baik bagi Allah. Dalam pandangan Prof. Amina Wadud, ketika Allah menyebutkan bahwa Dia akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi, itu menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki tanggungjawab untuk memberikan yang terbaik yang bisa dilakukan guna meningkatkan kualitas kehidupan manusia di muka bumi.
“Sesungguhnya sejarah masa depan belum ditulis,” kata Prof. Amina Wadud. Karenanya setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kesempatan yang sama untuk merumuskan langkah-langkah besar demi terwujudnya masa depan yang lebih baik.
Tawaran Metodologis dari Buku “Fikih Perwalian”
Menurut Ulil Abshar Abdalla, buku “Fikih Perwalian” sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk menjembatani gap antara teks dan konteks dengan cara mengajukan suatu tafsir berbasis maqâshid al-Islâm atau maqâshid al-syarî’ah dan kemaslahatan. Salah satu tema yang menjadi pembahasan di dalam buku ini adalah soal perkawinan anak. Di dalam fikih dikenal suatu konsep tentang wali mujbir, yaitu wali yang punya hak memaksa anaknya untuk menikah. Sebetulnya konsep ini masih menjadi perdebatan antarmazhab; ada mazhab yang membolehkan wali memaksa anak perempuannya untuk menikah, ada yang tidak membolehkan, dan seterusnya.
Selama ini pemahaman populer tentang wali mujbir di masyarakat adalah bahwa seorang wali atau orangtua berhak memaksakan otoritasnya kepada anak perempuannya untuk menikah. Ini terjadi pada kasus perkawinan anak di berbagai daerah di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Rumah KitaB menemukan fakta bahwa Indonesia termasuk negeri dengan presentasi praktik perkawinan anak yang cukup besar.
Di antara faktor kenapa orangtua menikahkan anaknya di usia yang masih sangat belia adalah faktor ekonomi, kehamilan di luar nikah, faktor adat atau pandangan sosial bahwa jika seorang anak perempuan sudah sampai pada usia tertentu tetapi belum menikah maka akan menimbulkan rasa malu yang luar biasa sehingga orangtua berhak memaksa anaknya untuk menikah meskipun kadang-kadang dengan pasangan yang mungkin tidak disukai oleh anaknya, dan seterusnya. Konsep wali mujbir ini kemudian dipakai—atau disalahpakai—oleh para orangtua untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka dengan tanpa izin mereka.
Selain soal wali mujbir yang menggambarkan hubungan antara orangtua dan anak dalam kerangka konsep wilâyah (perwalian), buku “Fikih Perwalian” juga membahas tentang relasi antara suami dan istri dalam kerangka konsep qiwâmah (kepemimpinan). Disampaikan oleh Jamaluddin Mohammad, analisis gender sangat diperlukan dalam melihat konsep wilâyah dan qiwâmah. Karena selama ini konsep wilâyah dan qiwâmah sudah menjadi sebuah institusi sosial yang mapan, dipraktikkan sejak 1300 tahun yang lalu, dan menjadi sistem nilai yang diakui dan dianut oleh umat Muslim. Sehingga upaya pembaharuan apapun pasti dicurigai untuk mengubah nash atau teks yang sudah establish dan sudah mapan. Sesuatu yang sudah mapan yang diklaim tidak bisa diganggu gugat, itu coba ditafsir ulang.
Dengan analisis gender sebagai kacamata kritis akan ditemukan bahwa konsep wilâyah dan qiwâmah itu mengandung asimetrisme atau ketidaksetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan secara umum. Analisis gender ini kemudian diperkuat dengan pendekatan maqâshid al-Islâm atau maqâshid al-syarî’ah (hifzh al-dîn, hifzh al-‘aql, hifzh al-nafs, hifzh al-nasl, dan hifzh al-mâl) dalam kerangka trianggulasi yaitu: teks, konteks, dan maqâshid al-Islâm. Di sini teks dan konteks didorong untuk sampai pada cita-cita besar Islam yaitu maqâshid al-Islâm.
Di dalam buku “Fikih Perwalian” disebutkan sejumlah upaya dari para pemikir dan praktisi untuk menunjukkan bahwa upaya pembacaan ulang terhadap konsep wilâyah dan qiwâmah bukan merupakan sesuatu yang baru di dalam studi Islam. Sejumlah nama tokoh yang bisa disebutkan di antaranya adalah Prof. Dr. Teungku H. Mohammad Hasbi Ash-Shiddiqiy, Prof. Dr. Mr. Hazairin Harahap, S.H., Dr. (HC). KH. Sahal Mahfudz, dan Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. Ada juga para ulama Timur Tengah seperti Rifa’at Rafi’ al-Thahthawi, Thahir al-Haddad, Muhammad Abduh, dan Qasim Amin. Mereka adalah para pemikir dan praktisi yang berusaha mengkontekskan perubahan sosial dengan teks agar teks tetap relevan dalam mengatasi asismetrisme hubungan gender di dalam keluarga.
Pemikiran mereka sangat luar biasa. Sebut misalnya Thahir al-Haddad, pemikir dari Tunisia, yang pada masanya sudah menawarkan bahwa pencatatan nikah itu menjadi bagian dari sahnya rukun pernikahan. Surat nikah menjadi rukun dalam pernikahan. Selain itu juga soal talak, menurutnya talak itu adalah hak laki-laki dan perempuan. Jadi, yang bisa mentalak bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan, dan itu hanya bisa dilakukan melalui pengadilan. Sekedar mengucapkan “thalaqtuki tsalâtsan” (aku talak kamu tiga kali) tidak bisa langsung terjadi talak. Kalau di dalam kitab fikih klasik memang seperti itu, dan itulah yang coba diubah oleh para ulama.[Roland]