Refleksi Kegiatan Public Discussion on Regional Head Election 2024 and Launching of Book Women’s Political Leadership Jurisprudence (FKPP)

Pada hari Jumat, 13 September 2024, kampus STAI Duta Bangsa Bekasi menjadi tuan rumah acara Public Discussion on Regional Head Election 2024 and Launching of Book Women’s Political Leadership Jurisprudence (FKPP). Acara ini bertujuan menggali peran perempuan dalam politik serta memperkenalkan buku Fiqih Kepemimpinan Politik Perempuan. Peserta yang hadir meliputi mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum yang memiliki ketertarikan pada isu kepemimpinan politik perempuan.

Sambutan dan Pidato Kunci

Dalam sambutannya, Ibu Marisa, perwakilan Pemerintah Daerah Kota Bekasi, menekankan pentingnya mendorong generasi muda, terutama perempuan, untuk terlibat aktif dalam politik. Ia mengingatkan bahwa sejarah Islam mencatat kontribusi perempuan dalam berbagai sektor, seperti Khadijah dan Aisyah yang memiliki peran signifikan dalam kemajuan umat. Pesan Ibu Marisa jelas: perempuan harus lebih berani dan aktif dalam proses politik serta kepemimpinan. Semangat ini diharapkan memotivasi perempuan di Bekasi dan seluruh Indonesia untuk mengambil peran penting dalam berbagai bidang, termasuk politik.

Peluncuran Buku Fiqih Kepemimpinan Politik Perempuan

Ibu Erni Agustini, Direktur Program Rumah KitaB, membuka sesi peluncuran buku. Ia menjelaskan bahwa buku ini memberikan panduan teologis mendalam dan menjadi referensi penting untuk memahami peran politik perempuan dari perspektif Islam. Buku ini tidak hanya menyoroti sejarah peran perempuan dalam politik, tetapi juga menyediakan dasar-dasar teologis untuk mendukung keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan politik.

Paparan Isi Buku oleh Achmat Hilmi

Achmat Hilmi, perwakilan penulis buku, memaparkan isi buku Fiqih Kepemimpinan Politik Perempuan. Ia menjelaskan bahwa buku ini mencatat dukungan Islam terhadap kepemimpinan politik perempuan dengan mengacu pada berbagai aspek sejarah. Salah satu tokoh yang dibahas adalah Khadijah binti Khuwailid, seorang pengusaha sukses di tengah masyarakat patriarkal yang mematahkan batasan peran domestik perempuan pada masanya. Keberhasilan Khadijah dalam bisnis merupakan bentuk perlawanan terhadap norma patriarki, menunjukkan bahwa perempuan mampu memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan publik.

Buku ini juga mengeksplorasi sejarah dinasti politik seperti Umayyah, Abbasiyah, Ayubiyyah, dan Turki Usmani, serta kontribusi perempuan dalam politik di Asia Tenggara dan Indonesia. Hilmi menegaskan bahwa buku ini memberikan wawasan tentang bagaimana perempuan mempengaruhi jalannya sejarah politik, lengkap dengan dalil-dalil keagamaan yang mendukung kepemimpinan perempuan.

Sesi Diskusi dan Tanya Jawab

Diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Octavia. Vidya, Ketua Bawaslu Kota Bekasi, menjelaskan bahwa keterwakilan perempuan di Bawaslu Kota Bekasi cukup baik, dengan dua perempuan dari lima anggota. Namun, di Jawa Barat yang terdiri dari 27 kabupaten/kota, hanya 20 perempuan yang menjadi penyelenggara di Bawaslu, dan hanya tiga yang menjabat sebagai ketua. Vidya mengingatkan bahwa UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberikan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu, tetapi peluang ini belum dimanfaatkan sepenuhnya.

Relevansi Buku dengan Pilkada 2024

Diskusi ini relevan dengan Pilkada di Bekasi karena membahas bagaimana perempuan dapat mengambil peran strategis dalam pengambilan keputusan. Buku Fiqih Kepemimpinan Politik Perempuan membahas prinsip-prinsip yang mendasari partisipasi perempuan dalam politik, dan acara ini memberikan ruang diskusi yang lebih luas terkait peluang dan hak perempuan dalam politik.

Penutup

Acara ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang peran perempuan dalam politik dan menginspirasi mereka untuk berkontribusi lebih banyak dalam bidang tersebut. Peluncuran buku ini juga menjadi sumber referensi penting bagi kajian lebih lanjut mengenai kepemimpinan politik perempuan dari sudut pandang Islam. Dengan demikian, acara ini tidak hanya menjadi momen refleksi dan pembelajaran, tetapi juga dorongan bagi perempuan untuk lebih aktif dan terlibat dalam proses politik demi kemajuan bangsa dan umat.

Diskusi Publik tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) 2024 dan Launching Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan

Jawa Barat – Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) mengadakan diskusi publik tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) sekaligus meluncurkan buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan di STAI Duta Bangsa, Desa Kali Baru, Kota Bekasi, pada Jumat, 13 September 2024.

Rumah Kita Bersama, yang lebih dikenal sebagai Rumah KitaB, merupakan lembaga yang berkantor di Perumahan Kintamani Village, Jalan SMP 211, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta. Rumah KitaB bergerak dalam isu-isu perempuan dan kelompok marjinal. Lembaga ini menjadi tempat perlindungan bagi kaum termarjinalkan sekaligus laboratorium riset literatur tentang problematika perempuan, anak, lingkungan, dan kelompok marjinal.

Lembaga ini mengadakan diskusi publik dengan berkolaborasi bersama Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bekasi, dengan STAI Duta Bangsa sebagai tuan rumah. Diskusi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana memanfaatkan hak pilih dengan bijak serta menyoroti pentingnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan publik. Pada acara ini, turut diluncurkan buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan.

Kegiatan ini diadakan sebagai upaya untuk menegaskan pentingnya peran perempuan dalam kontestasi politik, yang disampaikan oleh perwakilan Pemerintah Kota Bekasi, Ibu Marisa. Dalam sambutannya, beliau mengapresiasi terselenggaranya acara ini.

“Acara ini sangat penting dalam memberikan pemahaman kepada mahasiswa dan masyarakat umum. Dalam sejarah Indonesia, bahkan sejak zaman Nabi, sudah ada perempuan yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kemajuan bangsa,” ujar Ibu Marisa.

Beliau juga menekankan bahwa kesuksesan laki-laki sering kali tidak lepas dari peran perempuan, begitu pula sebaliknya. Kerjasama antara keduanya harus terus diperkuat, terutama dalam upaya memajukan bangsa.

Perwakilan penulis buku, Achmat Hilmi, Lc., M.A., menjelaskan bahwa peran kepemimpinan perempuan dalam sejarah Islam sudah dimulai sejak era Nabi, dengan tokoh-tokoh seperti Sayyidah Khadijah, Sayyidah Aisyah, dan para sahabiyah. Kepemimpinan perempuan ini terus berkembang hingga era Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Ayyubiyah, Mughal, Safawi, dan Turki Utsmani, dan menyebar ke berbagai penjuru Asia Tenggara serta Indonesia. Buku ini bertujuan untuk meluruskan sejarah yang sering kali disalahartikan serta mengaitkannya dengan relevansi gerakan perempuan dalam Islam dan Indonesia.

Ketua Bawaslu Kota Bekasi, Vidya, menambahkan bahwa terdapat beberapa unsur penting dalam kepemimpinan politik perempuan. Pertama, regulasi. Kedua, partisipasi perempuan. Ketiga, pendidikan politik dan pelatihan bagi perempuan. Keempat, perempuan yang terlibat dalam politik praktis harus memiliki kemampuan untuk menyuarakan keadilan bagi masyarakat. Kelima, kerjasama antar-pemangku kepentingan (stakeholder).

Vidya juga mengingatkan bahwa dalam regulasi, partisipasi perempuan dalam legislatif dan birokrasi diatur dalam UU No. 17 Tahun 2017, yang menetapkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Namun, ia mempertanyakan apakah regulasi tersebut sudah dijalankan dengan baik dan benar-benar berpihak pada keterwakilan perempuan. Hal ini penting agar perempuan dapat memperoleh hak-haknya baik di birokrasi maupun legislatif.

Ia juga menyoroti keterwakilan perempuan di Bawaslu, yang masih sangat terbatas. Di satu kabupaten atau kota di Jawa Barat, hanya ada 3 sampai 5 perempuan yang bergabung, dan hanya 3 perempuan yang menjabat sebagai Ketua Bawaslu di seluruh Jawa Barat.

“Di satu kabupaten atau kota, hanya ada 3 sampai 5 perempuan yang bergabung di Bawaslu, dan hanya 3 perempuan yang menjadi Ketua Bawaslu di Jawa Barat,” lanjutnya.

Di era yang semakin dinamis ini, kepemimpinan politik perempuan bukan hanya aspirasi, melainkan kebutuhan mendesak. Kehadiran perempuan dalam pengambilan kebijakan, dengan perspektif khas mereka, dapat menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan adil. Ini juga dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik yang lebih berpihak pada perempuan.

Keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dalam politik mencerminkan kemajuan masyarakat yang berkeadilan gender. Ketika perempuan duduk di meja pengambilan keputusan publik, suara-suara yang terpinggirkan akan lebih terangkat, dan solusi yang lebih komprehensif serta responsif dapat ditemukan. Namun, perjalanan menuju kepemimpinan politik perempuan masih penuh tantangan. Meski perkembangan signifikan telah dicapai, perempuan masih menghadapi hambatan struktural, stereotip, dan kekerasan berbasis gender.

Kepemimpinan politik perempuan bukan sekadar memenuhi kuota atau menciptakan simbolisme. Ini adalah tantangan untuk membangun bangsa yang lebih adil. Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan yang baru diluncurkan adalah salah satu alternatif untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepemimpinan politik perempuan saat ini.

Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas

Rumah KitaB diwakili Achmat Hilmi memenuhi undangan Rumah Alifa, dalam kegiatan “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas” pada hari Minggu, 4 Februari 2024, berlokasi di Pondok Pesantren Al-Istiqamah Bandung.

Rumah Alifa merupakan organisasi yang secara khusus memiliki perhatian khusus terhadap kelompok berkebutuhan khusus di wilayah Bandung Jawa Barat. Organisasi ini dipimpin oleh Ustadzah Hj. Emma Siti Maryamah Imron, salah seorang ulama perempuan muda yang punya perhatian mendalam pada kelompok berkebutuhan khusus di wilayah Bandung. Saat ini Rumah Alifa telah mengelola keanggotaan lebih dari 200 orang, terdiri dari kelompok berkebutuhan khusus dan para pendampingnya.

Kegiatan ini mendiskusikan problem dan tantangan bagi kelompok berkebutuhan khusus dan para pendampingnya dalam berhadapan dengan praktik hukum (ritual keagamaan) di masyarakat yang belum berpihak pada kelompok berkebutuhan khusus.

Kegiatan ini merupakan salah satu upaya bersama Rumah Alifa dan Rumah KitaB dalam penguatan kelompok berkebutuhan khusus, termasuk bagi para pendamping, di mana keduanya dituntut beradaptasi dengan ritual dan praktik keagamaan yang belum berpihak pada kelompok berkebutuhan khusus. Problem utamanya, karena pembelajaran fikih masih berorientasi pada rumus hukum normalitas, meskipun dalam fikih klasik sebetulnya juga memiliki kekhasan tersendiri terkait fikih disabilitas, tetapi masih belum menempatkan mereka sebagai subjek hukum, hanya sebatas objek hukum yang perlu dibantu.

Kegiatan ini melibatkan 60 persen dari jumlah anggota aktif Rumah Alifa yang saat ini telah mencapai 200 anggota, mereka berdomisili di Kecamatan Pacet Bandung. Mereka yang hadir terdiri dari para pendamping dan pihak yang berkebutuhan khusus rata-rata berusia antara 2 – 10 tahun. Para peserta Rumah Alifa lainnya tidak hadir karena keterbatasan aksesibilitas mereka, mengingat sebagian mereka mengalami lumpuh otak sebagian, stroke ringan hingga stroke berat.

Kegiatan tersebut dimulai pukul 08.30 WIB, dan berakhir pukul 11.15 WIB. Para peserta sangat antusias menghadiri kegiatan tersebut. Penerimaan peserta terhadap kehadiran Rumah KitaB sangat positif. Kegiatan tersebut sangat berpihak pada kelompok berkebutuhan khusus. Selama ini fikih (hukum Islam) secara praktis di masyarakat masih belum berpihak pada kelompok berkebutuhan khusus.[]

Sangat Penting Bagi Remaja Mengenal dan Memahami Tubuhnya

DISKUSI mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas sebenarnya tidak asing bagi dunia pesantren. Kitab-kitab fikih yang dikaji dan diajarkan kepada para santri, yang sebagian besar isinya membahas tentang thaharah (bersuci), munakahat (pernikahan), dan muamalah (interaksi sosial), menunjukkan perhatian besar Islam terhadap dua isu tersebut.

Hal itu disampaikan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Al-Masthuriyah, Sukabumi, K.H. Unsul Fuad, dalam sambutannya pada acara “Pelatihan Kecakapan Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas bagi Remaja Muslim“, di Gedung Perpustakaan Pondok Pesantren Al-Masthuriyah, Sukabumi, Kamis, 14 Desember 2023.

Acara yang terselenggara atas kerjasama Yayasan Rumah Kita Bersama Indonesia (Rumah KitaB) dan Yayasan Pondok Pesantren Al-Masthuriyah ini berlangsung selama 3 hari, 14 – 16 Desember. Hadir dalam acara ini para peserta yang terdiri dari sejumlah santri beberapa pondok pesantren di Sukabumi.

“Isu kesehatan reproduksi, dan juga seksualitas, bukan merupakan hal asing di pesantren. Kitab-kitab fikih yang kami pelajari di pesantren sudah membahas banyak soal itu. Meskipun tidak didiskusikan secara bebas karena masyarakat masih mengganggapnya tabu, malu, dan hanya merupakan konsumsi orang-orang dewasa di ruang-ruang privat. Padahal itu sangat baik diketahui untuk kesehatan fisik dan mental remaja dalam memasuki masa-masa pubertas,” jelas Kiai Unsul.

K.H. Achmat Hilmi, Lc., M.A., Direktur Kajian Rumah KitaB, menyampaikan pentingnya penguatan kapasitas kaum remaja terkait pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksualitas. Menurutnya, masa pubertas adalah masa peralihan dari anak-anak ke remaja. Orang yang sedang berada dalam masa pubertas akan mengalami perubahan fisik seperti menstruasi, mimpi basah, bau badan, pinggul membesar, tumbuh jakun, dan lainnya; dan nonfisik seperti tertarik dengan lawan jenis, suasana hati gampang berubah, dan lain sebagainya. Informasi yang benar terkait semua ini sangat penting diketahui dan dipahami oleh para remaja.

“Ketika seseorang mengalami masa pubertas, organ reproduksinya mulai berfungsi. Ketika teman-teman remaja melakukan hal-hal yang bersifat seksual, itu akan menimbulkan risiko. Berhubungan seksual, meski hanya sekali, tetap berpotensi untuk hamil. Remaja melakukan hubungan seksual karena ia ingin mencoba hal baru setelah menonton video porno. Dalam Islam orang boleh berhubungan seksual ketika mereka sudah melakukan pernikahan yang sah secara agama dan negara,” jelas Hilmi.

Hilmi melanjutkan, memahami tubuh sama pentingnya dengan belajar fikih. Dengan memahami tubuh remaja bisa mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan terhadap tubuhnya. Tuhan menciptakan manusia sebagai khalifah. Bagaimana bisa menjadi khalifah kalau manusia tidak bertanggungjawab pada tubuhnya sendiri? Mengenal, memahami, merawat dan menjaga tubuh agar tetap sehat adalah misi kekhalifahan.

“Remaja punya hak dasar sebagai remaja, di antaranya hak informasi tentang akses kesehatan yang layak dan benar. Kesehatan reproduksi dan seksualitas dibahas di dalam fikih. Tubuh kita berkaitan dengan ibadah. Teman-teman remaja yang memahami kesehatan reproduksi dan seksualitas akan punya bekal untuk menjalani hidup dan mencegah terjadinya kekerasan seksual baik terhadap dirinya, teman-temannya atau di lingkungan teman-temannya,” kata Hilmi.

Selama tiga hari para peserta diajak untuk belajar dan memahami seksualitas dan hak-hak mereka terkait kesehatan reproduksi. Seksualitas dan reproduksi bukan hanya soal hubungan badan, tetapi tentang bagaimana manusia mengenal dan memandang tubuhnya, serta bagaimana masyarakat, agama dan negara memandang tubuhnya.[]

Dialog Publik Mengawal Agenda Politik Perempuan dalam Pemilu 2024

CIANJUR, 12 Desember 2023, Rumah KitaB, Perempuan Hebat Cianjur (PHC) dan We Lead menyelenggarakan dialog publik bertajuk “Mengawal Agenda Politik Perempuan dalam Pemilu 2024“.

Dialog ini dihadiri oleh sekitar 50 orang peserta dari berbagai elemen masyarakat, seperti ormas keagamaan, organisasi perempuan, wartawan, dan perwakilan perguruan tinggi.

Dialog publik ini membahas 7 agenda politik perempuan yang menjadi fokus di Cianjur, seperti perlindungan perempuan dan anak, penyediaan layanan dasar yang mudah dijangkau, infrastruktur yang ramah dan aman bagi perempuan, hak pekerja yang layak, keadilan ekonomi, partisipasi berpolitik, dan perlindungan pembela HAM.

Hadir sebagai pananggap dalam acara ini adalah Zulfa Indrawati, S.H., M.H (Calon Legislatif dari Demokrat), Olvida H. Simanjuntak, S. Sos. (Calon Legislatif dari PPP), Muhammad Zulfahmi, S.H. (Calon Legislatif dari Golkar).

Sebagai pembuka dialog, Desti Murdijana (We Lead) menyampaikan bahwa politik dalam kacamata gerakan perempuan tidak semata-mata politik praktis, tetapi bisa juga dengan menyuarakan kepentingan perempuan, misalnya dalam pemenuhan hak-hak dasar. Sebab, selama ini suara perempuan seringkali tidak didengarkan, sehingga perspektifnya tidak dijadikan salah satu dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan krusial.

Senada dengan itu, para narasumber yang juga merupakan bakal calon legislatif DPRD Kab. Cianjur mengatakan bahwa isu perempuan tidak boleh dianggap sebelah mata. Sebagaimana disampaikan oleh Olvida bahwa perempuan adalah sumber kehidupan manusia. Pun, dua narasumber lainnya berseapakat dengan itu.

Sesi dialog berjalan dengan hangat karena terjadi interaksi yang dinamis antara penanggap dan audiens. Banyak aspirasi, saran, dan juga data pembuka mata yang disampaikan oleh para audiens atas isu-isu yang sedang dibahas, seperti masih banyaknya kasus kekerasan seksual kepada perempuan, meski sudah ada regulasi. Tetapi implementasinya masih kurang tersosialisasikan. Hal lain yang diungkapkan oleh salah satu peserta adalah, pendidikan dasar (kritis) yang bisa diakses oleh perempuan. Meski sudah ada inisiatif untuk membuat sekolah perempuan, namun dengan sumber daya yang terbatas, perlu dukungan dari pemerintah untuk bisa berkelanjutan.[NA]

Pelatihan Kecakapan Hak Reproduksi dan Seksualitas bagi Remaja Muslim

JUM’AT – Minggu, 1 – 3 Desember 2023, untuk kesekian kalinya Rumah KitaB menyelenggarakan pelatihan kecakapan hak reproduksi dan seksualitas bagi remaja muslim. Kali ini diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Istiqomah, Pacet, Bandung. Puluhan santri/santriwati dari sejumlah pesantren di Kabupaten Bandung hadir sebagai peserta dalam kegiatan yang berlangsung selama tiga (3) ini.

K.H. Ahmad Fauzi Imron, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Istiqomah, menyambut baik kegiatan pelatihan yang diinisiasi oleh Rumah KitaB untuk diadakan di pesantren asuhannya. Ia mengatakan bahwa isu kesehatan reproduksi dan seksualitas sebenarnya sangat akrab dengan dunia pesantren. Melalui pengajian kitab-kitab fikih, para santri/santriwati sudah diajarkan dan diberikan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas.

“Secara prinsip para santri/santriwati sudah diajarkan mengenai dasar-dasar kesehatan reproduksi dan seksualitas. Hampir seluruh bab di dalam fikih punya kaitan erat dengan organ-organ reproduksi dan seksualitas. Dalam bab thaharah, ibadah, dan muamalah misalnya, jelas memperlihatkan perhatian fikih (Islam) mengenai masalah ini,” ungkapnya.

Kiyai Fauzi mengapresiasi Rumah KitaB yang menyasar anak-anak remaja Muslim sebagai audience pelatihan, terutama anak-anak remaja di pesantren. Menurutnya, melalui pelatihan ini, dasar-dasar pengetahuan yang sudah dipelajari para santri/santriwati dapat dikembangkan dan perdalam sehingga itu bisa menjadi bekal bagi mereka untuk memasuki dunia pernikahan bila sudah tiba waktunya nanti.

“Harapan saya pelatihan ini dapat membuka dan menambah wawasan para santri/santriwati. Mereka sudah memasuki usia remaja dan tidak lama lagi akan memasuki usia muda. Di masa muda, di saat mereka sudah tidak lagi dianggap sebagai anak, apalagi jika mereka sudah berusia 19 tahun sesuai Undang-Undang berlaku, banyak hal yang mungkin mereka alami, selain mungkin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, bisa jadi mereka akan akan langsung menikah. Bekal pengetahuan dari pelatihan ini akan sangat berarti bagi mereka dalam memasuki pernikahan,” tuturnya.

Roland Gunawan, Staf Kajian Rumah KitaB, dalam sambutannya menekankan pentingnya pelatihan ini bagi remaja Muslim. Ia menegaskan bahwa pengetahuan adalah hak seluruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan, di manapun dan kapanpun. Dalam masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas, kaum remaja adalah kelompok yang paling memerlukan pengetahuan ini.

“Para remaja adalah kelompok dengan kejiwaan yang masih labil dan sangat besar rasa ingin tahunya. Kalau rasa ‘ingin tahu’ ini tidak diarahkan kepada hal-hal yang positif, itu bisa berbahaya. Pengetahuan mengenai hak-hak reproduksi dan seksualitas sangat penting bagi para remaja agar mereka mengenal tubuh mereka serta bagaimana seharusnya mereka memperlakukan, menjaga, dan melindungi tubuh mereka,” kata Roland menjelaskan.

Roland mengutip sebuah ucapan kuno yang mengatakan “barangsiapa yang mengenal dirinya niscaya ia dapat mengenal Tuhannya”, bahwa dengan mengenal tubuh dan mengetahui hak-haknya secara baik, maka remaja akan tahu bagaimana merawat, menjaga, melindungi dan memperlakukan tubuhnya sehingga tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang menyimpang. Dan dengan demikian, remaja akan semakin dekat dengan Tuhannya.

“Dalam pelatihan ini para peserta diberikan dua buku materi: pertama, buku ‘Ada Apa dengan Tubuhku?’; kedua, buku ‘Modul Kecakapan Hak Reproduksi dan Seksualitas bagi Remaja Muslim‘. Buku pertama berisi tentang pubertas, perbedaan dan pembedaan antara laki-laki dan perempuan, mitos dan fakta seputar tubuh laki-laki dan perempuan, hak-hak anak, relasi sosial, dan cara berkomunikasi remaja di masyarakat. Sedangkan buku kedua berisi tentang cara dan media yang bisa digunakan dalam proses belajar selama masa pelatihan,” paparnya.[RG]

Rumah KitaB Selenggarakan Pelatihan Kecakapan Hak Reproduksi dan Seksualitas bagi Remaja Muslim

UMUMNYA di pesantren pembicaraan mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah hal yang tabu. Seksualitas, secara khusus, lebih banyak dikaitkan dengan moralitas sehingga tidak bisa serta-merta kapanpun dan di manapun bisa dibicarakan dan didiskusikan di kalangan santri di ruang publik.

Rumah KitaB menyelenggarakan kegiatan “Pelatihan Kecakapan Hak Reproduksi dan Seksualitas bagi Remaja Muslim” di Pondok Pesantren Khas Kempek, Cirebon, pada Selasa – Kamis, 21 – 23 November 2022. Hadir dalam acara ini puluhan santri dari sejumlah pondok pesantren di Kabupaten Cirebon.

Ibu Nyai Hj. Tho’atillah Ja’far, Pengasuh Pondok Pesantren Khas Kempek, dalam sambutannya menyampaikan kegiatan pelatihan ini sangat penting bagi remaja Muslim terkhusus kaum santri untuk membuka dan menambah wawasan mereka mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas.

“Di dalam kitab-kitab yang dipelajari di pesantren terdapat apa yang disebut sebagai maqashid syariah atau tujuan-tujuan syariat yang mencakup lima hak dasar (aldharuriyyat al-khams): hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al‘aql (menjaga akal), hifzh al-nafs (menjaga jiwa), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), dan hifzh al-mal (menjaga harta). Nah, kegiatan pelatihan ini sangat terkait erat dengan dua hak dasar di atas, yaitu hifzh al-nafs dan hifzh alnasl,” tuturnya.

Menurut Nyai Tho’ah, hifzh al-nafs berhubungan erat dengan kesehatan fisik manusia, termasuk kesehatan reproduksi perempuan dan laki-laki. Demikian juga, hifzh al-nasl sangat erat kaitannya dengan seksualitas. Artinya, Islam sebenarnya sangat menganjurkan umat Muslim untuk sejak dini mempelajari, memahami dan mengembangkan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas.

Direktur Kajian Rumah KitaB, K.H. Achmat Hilmi, Lc., M.A., mengatakan bahwa selama masa pelatihan ini para santri/santriwati akan diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas berdasarkan temuan-temuan Rumah KitaB dalam penelitian lapangan dan kajian literatur klasik Islam.

“Pengetahuan tentang prinsip-prinsip keagamaan terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas sebenarnya sangat melimpah ruah di dalam khazanah klasik Islam. Hanya pengetahuan ini tidak dibuka ke ruang publik. Karena alasan moralitas pengetahuan ini cenderung hanya diajarkan di ruang-ruang privat, atau mungkin juga di ruang-ruang publik tetapi dengan reduksi yang luar biasa,” ujarnya.

Achmat Hilmi melanjutkan, bahwa prinsip-prinsip tersebut sangat penting untuk diketahui dan pahami oleh setiap remaja Muslim. Dengan memahami ini maka para remaja akan lebih mengenal tubuh dan jiwa mereka sendiri sehingga terhindar dari perilaku-perilaku yang menyimpang dan melanggar moralitas. Lebih dari itu, dapat melunturkan ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan serta menciptakan kesetaraan antara keduanya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Program Rumah KitaB, Nur Hayati Aida, mengajukan pertanyaan penting, apakah Islam menganggap penting kesehatan reproduksi dan seksualitas? Menurutnya, kalau merujuk khazanah klasik, terutama kitab-kitab fikih, kesehatan reproduksi dan seksualitas menjadi bahasan yang dipertimbangkan.

“Di dalam kitab-kitab fikih, pembahasan mengenai kesehatan reproduksi, misalnya baligh (pubertas), haid, mimpi basah, perkawinan, hamil, menyusui banyak dibahas dalam bab-bab thaharah, ubudiyyah dan mu’malah, jauh sebelum bab jinayah. Meskipun, pembahasan kesehatan reproduksinya masih dalam kerangka fikih, dan belum memasukkan pandangan seksualitas dan gender. Namun ini menunjukkan bahwa Islam memandang penting isu kesehatan reproduksi,” jelasnya.[RG]

Rumah KitaB Adakan Penguatan Kapasitas PATBM di Jakarta Utara

RUMAH KITAB telah rampung melaksanakan kegiatan Penguatan Kapasitas Calon/Pengurus PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) di Kota Adm. Jakarta Utara, pada hari Selasa, Rabu, dan Kamis, bertepatan dengan 24, 25, dan 26 Oktober 2023. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Hotel Ibis Styles Sunter, lokasinya di tengah-tengah/sentral di Jakarta Utara, di mana peserta memiliki kesempatan yang sama menuju lokasi kegiatan.

Kegiatan tersebut turut dihadiri secara tatap muka oleh Ir. Yosi Diana Tresna, M.P.M, dari Kementerian PPN/ BAPPENAS RI, dan Drs. H. Noer Subchan, M.Si. Kepala Suku Dinas PPAPP Kota Adm. Jakarta Utara. Begitu juga Rohika Kurniadi Sari, S.H., M.Si. dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA RI) turut hadir secara virtual zoom. Ketiga memberikan sambutan menjelaskan pentingnya pelatihan PATBM, untuk menguatkan implementasi perlindungan anak berbasis masyarakat. Hilmi dalam sambutannya mewakili Rumah KitaB juga telah mengkonfirmasi pentingnya kegiatan tersebut mengingat angka absolut dari perkawinan anak di Jakarta masih tinggi yaitu 9.131 kasus dan sebagian besarnya didominasi perkawinan siri, meskipun secara persentase mengalami penurunan, namun angka absolut tersebut mengkonfirmasi betapa perkawinan anak masih menjadi masalah serius di Ibukota, bahkan angka absolutnya lebih tinggi dibanding Provinsi Kalimantan Selatan yang menempati urutan keempat nasional kasus perkawinan anaknya.

Peserta sebanyak 26 orang, enam laki-laki dan sisanya perempuan, mereka terdiri dari para pengurus dan calon pengurus PATBM. Pengurus PATBM khususnya yang memerlukan perhatian pendampingan lebih lanjut, dan calon pengurus bagi kelurahan di Jakarta Utara yang belum memiliki kepengurusan PATBM. Para peserta berasal dari 6 perwakilan Kecamatan di Jakarta Utara, yaitu Kecamatan Cilincing, Kecamatan Koja, Kecamatan Kelapa Gading, Kecamatan Pademangan, Kecamatan Penjaringan, dan Kecamatan Tanjung Priok.

Beberapa peserta yang berasal dari Kelurahan yang telah memiliki PATBM yang hadir dalam kegiatan tersebut yaitu Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Semper Barat, Kelurahan Rawa Badak Utara, Rawa Badak Selatan, Kelurahan Penjaringan, Kelurahan Sunter Jaya, Kelurahan Sungai Bambu, Kelurahan Tugu Utara, dan Kelurahan Kebon Bawang. Beberapa Kelurahan yang belum memiliki PATBM yang diundang yaitu, Kelurahan Koja, Kelurahan Kebon Bawang, Kelurahan Tanjung Priok, Kelurahan Marunda, Kelurahan Kamal Muara, dan Kelurahan Kapuk Muara.

Fasilitator yang terlibat berasal dari Fasilitator Daerah yang dikelola oleh Unit PPPA DKI Jakarta yaitu Fajar Pratama, dan Tim Rumah KitaB di antaranya, Achmat Hilmi, Nurkhayati Aida, dan Sityi. Tim Rumah KitaB memfasilitasi sebagian besar sesi terkait pencegahan perkawinan anak, analisis gender, dan diskusi pencegahan dan penanganan kasus perkawinan anak. Fasilitator Daerah secara khusus mengelola sesi ke-PATBM-an. Fasilitator Rumah KItaB mendorong peserta lebih aktif dalam pencegahan kawin anak dan pendampingan bagaimana pentingnya membangun relasi baik dengan kelurahan setempat dan lintas komunitas yang ada dalam perlindungan anak, serta diskusi pendalaman terkait bagaimana PATBM mampu mengedukasi masyarakat ketika ada kasus guna menghindari perundungan yang menambah beban korban perkawinan anak. Sementara Fasda lebih hanya mendorong PATBM sebagai aktivis pelapor bila ada kasus perkawinan anak.

Beberapa kasus yang muncul dalam diskusi ketiga sesi pertama, di antaranya KDRT, penelantaran anak, kekerasan fisik dan non fisik, kekerasan seksual, hingga perkawinan anak. Setiap kasus tersebut diidentifikasi di setiap level usia mulai dari usia balita hingga 18 tahun. Ketiga sesi awal ini sangat penting dalam menghadirkan penguatan kapasitas di level menengah (lanjutan), yaitu diskusi berbasis pengalaman di lapangan di mana semua peserta terlibat dalam diskusi, sehingga di pelatihan kali ini ada sesi khusus di hari ketiga terkait “Analisis Kasus dan Strategi Pendampingan Korban yang berhadapan dengan hukum atau berhadapan dengan kultur masyarakat dan resiliensi berupa pemberdayaan”. Kondisi ini yang membedakan pendampingan Rumah KitaB di Cianjur dan Banjarmasin, di mana di kedua pelatihan di dua wilayah tidak ada sesi tersebut. Namun harap dimaklumi, program berdaya di Jakarta Utara sudah masuk ke fase ketiga, sehingga model pendampingannya juga berbeda, di mana setiap orang telah memiliki kemampuan dasar aktivis perlindungan anak.

Beberapa praktik baik dari pengalaman penguatan kapasitas PATBM di Jakarta Utara; pertama, peserta jauh lebih aktif dibanding penguatan kapasitas PATBM di Banjarmasin, dan Cianjur, sehingga perjalanan setiap sesi cenderung lebih memakan waktu, mengingat keaktifan peserta melakukan sharing (tukar pengalaman) dalam berhadap-hadapan dengan kasus. Semangat sharing itu terjadi di antaranya karena kemungkinan terjadinya dialog di dalam masyarakat pasti mungkin terjadi, masyarakat tidak lagi pasif dalam berinteraksi dengan kasus, bagaimana melaporkannya, dan bagaimana melakukan pencegahan yang basisnya adalah kultural, termasuk mengkoordinir bantuan kepada korban. Kedua, alokasi waktu pelaksanaan lebih memilih prioritas, mengingat waktunya terbatas tetapi minat peserta yang tinggi untuk melakukan pendalaman di setiap sesi. Ketiga, pembelajaran terkait analisis gender belum mendalam, mengingat waktu, yang sangat terbatas.[AH]

Sosialisasi Buku “Fikih Hak Anak”

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan, Ciwaringin, Cirebon

 

Bersama para penghulu dan penyuluh agama di Cianjur, Rumah KitaB mensosialisasikan buku Fikih Hak Anak. Buku ini mencoba memahami Hak Anak melalui pendekatan tiga sumber norma hukum, yaitu hukum internasional dan nasional sebagaimana tercermin dalam konvensi hak anak/UU Perlindungan Anak dan pendekatan agama melalui sumbernya langsung,  yakni al-Qur`an dan hadits. Juga diskursus hukum Islam (fiqh).

Ketiga sumber norma hukum itu mencoba dikolaborasikan guna mengatasi kemacetan epistemologis dalam memahami hak anak. Karena dalam realitasnya kerapkali terjadi kontestasi hukum di masyarakat. Untuk menggambarkan bagaimana kontestasi hukum itu betul-betul sering terjadi di masyarakat adalah fenomena “kawin kiyai” (perkawinan yang tidak dicatat negara), sebagai pintu masuk ketika perkawinan resmi (legal) terhambat oleh UU, semisal perkawinan di bawah umur, poligami atau kawin sirri.

Fenomen inilah yang banyak dijumpai para penghulu dan penyuluh agama di lapangan. Selama ini seolah-olah agama memberi legitimasi terhadap praktik-praktik pelanggaran hukum di masyarakat. Jika tak segera dicarikan titik temu maka kontestasi hukum itu akan terus terjadi dan berpotensi terus menurunkan wibawa dan marwah negara di mata rakyatnya. Di sinilah salah satu arti penting kehadiran buku ini.

Dalam memahami hak anak, titik pijak buku ini berangkat dari kebutuhan dan kepentingan anak sebagai subjek dan pemilik hak. Kepentingan anak tidak boleh dikorbankan oleh kehendak orangtua, sebagaimana banyak terjadi pada kasus perkawinan anak. Anak menjadi korban keinginan dan kemauan orangtua. Pada anak yang dikawinkan karena hamil tidak diinginkan atau karena pacaran, misalnya,  seringkali terjadi untuk menutupi aib keluarga dibanding keinginan dan kepentingan anak itu sendiri. Akibatnya, pasca perkawinan rawan terjadi perceraian karena secara mental maupun sosial anak belum mampu memikul beban dan tanggungjawab dalam berkeluarga. 

Untuk merumuskan hak-hak anak dalam Islam, buku ini menggunakan pendekatan maqashid syariah, mubadalah dan keadilan hakiki. Dalam kaca mata maqashid syariah, hak anak di lihat berdasarkan lima prinsip dasar (al-dharûrîyyat al-khams), yaitu hak hidup, tumbuh dan berkembang (hifzh al-nafs), hak berpikir/berpendidikan (hifzh al-‘aql), hak ekonomi (hifzh al-mâl), hak keluarga/berketurunan (hifzh al-nasl) dan hak beragama (hifzh al-dîn). Pendekatan maqashid syariah, mubadalah dan keadilan hakiki digunakan untuk memastikan kepentingan terbaik anak, non-diskriminasi, dan partisipasi anak. Anak harus diperlakuakan sebagai manusia utuh, bukan hak dan milik orangtua. Di sinilah terkadang terjadi tolak tarik antara kepentingan anak (hak anak) di satu sisi dan tanggung jawab orang tua di sisi yang lain.

Karena itu, semangat utama buku ini adalah bagaimana menghadirkan diskursus hak anak melalui pelbagai macam sumber yang ada tanpa membanding-bandingkan apalagi mempertentangkan antara satu dan lainnya. Karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, maka penting juga memasukkan pengalaman, pemikiran dan pandangan umat Muslim terhadap hak-hak anak. Inilah salah satu sumbangan penting buku ini. Buku ini mencoba menggali dari pelbagai sumber norma baik norma global (konvensi hak anak), nasional (UU Perl;indungan anak), maupun lokal (pengalaman umat muslim).[]

 

 

 

Rumah KitaB Sosialisasikan Perbup Pencegahan Perkawinan Anak di Cianjur

RABU, 13 September 2023, Rumah KitaB kembali mengadakan diskusi buku “Fikih Hak Anak”. Kali ini diskusi diadakan bersama para penghulu dan hakim agama di Kabupaten Cianjur. Dr. Mardi Candra, S.Ag., M.Ag., M.H., Hakim Yustisial Mahkamah Agung RI, Eka Ernawati, S.H. dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan K.H. Jamaluddin Mohammad, Peneliti Senior Rumah KitaB menjadi narasumber dalam diskusi ini.

Direktur Kajian Rumah KitaB Achmat Hilmi, Lc., M.A. mengatakan bahwa buku “Fikih Hak Anak” merupakan salah satu produk pengetahuan Rumah KitaB yang terbit pada tahun akhir tahun 2022, yang sebetulnya merupakan hasil dari seluruh rangkaian kegiatan Rumah KitaB, baik penelitian lapangan, kajian teks, advokasi dan sosialisasi. Buku ini sudah disosialisasikan di beberapa wilayah kerja Rumah KitaB, salah satunya di Cianjur.

“Sejak awal Rumah KitaB memperjuangkan perlindungan anak melalui program pencegahan perkawinan anak. Sebelum revisi undang-undang tahun 2019, Rumah KitaB sudah bekerja di isu ini di Cianjur sejak 2017. Saat itu Cianjur menempati posisi ketiga dalam jumlah perkawinan anak. Dengan kerja keras semua pihak, kini jumlah perkawinan anak di Cianjur menurun drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya, dari yang sebelumnya berjumlah 500 kasus di tahun 2019 kemudian menjadi 177 kasus di tahun 2023,” kata Hilmi menjelaskan latarbelakang diselenggarakannya diskusi.

Menurut Hilmi, Rumah KitaB telah bekerjasama dengan berbagai pihak di Cianjut dalam mendorong lahirnya Perbub Pencegahan Perkawinan Anak dan Perbub Larangan Kawin Kontrak. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan para penghulu dan hakim agama di Kabupaten Cianjur menjadi lebih sensitif dengan isu perkawinan anak.

Informasi ini dikuatkan oleh Kasi Bimas Islam Kementerian Agama Kab. Cianjur. Ia mengatakan bahwa di Kab. Cianjur saat ini terdapat 32 kecamatan, dan di setiap kecamatan ada satu penghulu. Kalau dilihat jumlah penduduknya, jumlah itu sebenarnya kurang, tetapi bisa dibilang cukup untuk memenuhi kebutuhan di masyarakat. Para penghulu punya peran strategis karena langsung berhadapan dengan masyarakat. Makanya koordinasi perlu terus dibangun lintas sektoral, dengan Disdukcapil, PA, dan pihak-pihak lain yang terkait.

“Setiap pernikahan harus tercatat seperti yang tertuang di dalam aturan dan undang. Apalagi KUA sekarang ada aplikasi bernama Simka yang terintegrasi dengan Disdukcapil. Jadi kalau ada data bodong itu akan langsung ditolak. Para penghulu yang hadir di sini terlibat langsung dalam upaya pencegahan perkawinan anak dan stunting secara teknis di lapangan. Mereka berkoordinasi dengan Puskesmas dan yang lainnya,” jelasnya.