Berisi Konten Buku

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan


Untuk menyambut Tahun Politik, Rumah KitaB kembali meluncurkan sebuah buku “Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan”. Buku setebal 340 halaman ini ditulis oleh peneliti-peneliti Rumah KitaB, yaitu Achmat Hilmi, Roland Gunawan, Nur Hayati Aida, serta Jamaluddin Mohammad.

Pada tanggal 13 Oktober 2024, buku yang dieditori Usman Hamid dan Ken Michi tersebut pertama kali didiskusikan bersama mahasiswa-mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Al-Biruni, Cirebon, dengan menghadirkan perwakilan penulis, Ketua JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) Fathan Mubarak, dan anggota Bawaslu Kabupaten Cirebon Amir Fawaz. Acara berlangsung meriah dan dihadiri oleh 85 mahasiswa/mahasiswi.

Saat flyer acara ini dibagikan di media sosial, seorang aktivis perempuan memprotes dan memberikan komentar: mengapa pembicaranya laki-laki semua? Bukankah tema yang diangkat berkaitan dengan Fikih Politik Perempuan? Bagaimana mungkin diskusi tentang perempuan tanpa melibatkan perempuan? Menjawab pertanyaan ini penting, sama pentingnya dengan menjawab pertanyaan mengapa harus ada afirmasi 30% perempuan dalam politik.

Yang tak dimiliki laki-laki ketika berbicara tentang perempuan adalah pengalamannya. Secara biologis, perempuan berbeda dengan laki-laki. Karena itu, tubuh perempuan mengalami pengalaman biologis seperti menstruasi, mengandung, melahirkan, nifas, dan menyusui. Pengalaman-pengalaman ini tidak bisa diwakili laki-laki.

Di samping itu, dalam kehidupan sosialnya, perempuan kerap kali mengalami ketidakadilan hanya karena berjenis kelamin perempuan, seperti stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. Ketidakadilan berbasis gender ini adalah pengalaman sosial perempuan dan hanya perempuan yang mengalaminya.

Dua pengalaman perempuan inilah, pengalaman biologis dan pengalaman sosial, yang merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan perspektif dalam melihat dan membaca ketidakadilan gender dalam kehidupan sosial maupun politik. Itulah mengapa partisipasi politik perempuan perlu diafirmasi.

Dalam konteks Cirebon, kehadiran buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan ini merupakan gagasan baru yang menarik untuk didiskusikan di masyarakat pesantren di Kabupaten Cirebon, khususnya terkait hak politik dan hak kepemimpinan politik perempuan dalam perspektif agama. Selama ini pembicaraan keadilan gender telah menjadi wacana yang diterima masyarakat pesantren, namun dalam konteks politik, ini merupakan wacana baru. Dunia politik di Cirebon masih didominasi wajah maskulinitas yang sangat kuat. Silih bergantinya pemimpin politik jarang diiringi pembicaraan terkait hak-hak pemilih perempuan.

Buku ini berupaya mengurai problem keagamaan yang biasanya menjadi tembok besar bagi partisipasi perempuan dalam kepemimpinan politik, dan membantu masyarakat pemilih perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya yang tersandera oleh budaya patriarki yang berkawin dengan pandangan agama.

Dalam kehidupan politik yang patriarkis, nasib dan peran perempuan termarginalkan. Karena itulah politik afirmasi diperlukan untuk menjaring sebanyak-banyaknya partisipasi politik perempuan sekaligus diharapkan dapat mewarnai dunia dan kebijakan politik. Inilah salah satu pesan yang ingin disampaikan buku ini. Buku ini memberikan dasar dan legitimasi historis maupun teologis keterlibatan politik perempuan.

Perempuan dan Politik: Narasi Sejarah, Fikih, dan Lanskap Politik Umat

Perempuan dalam Politik

Perempuan dan politik seakan tak pernah habis diperbincangkan. Setiap perhelatan politik, termasuk Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) kali ini, perempuan terus menjadi topik pembicaraan, bahkan hingga menjadi variabel penentu kemenangan. Pemilihan Gubernur Surabaya, misalnya, diikuti oleh tiga perempuan. Menariknya, narasi Islam turut berkelindan dalam pembahasan ini.

Di tengah gegap gempita kampanye, kita masih menjumpai “serangan” terhadap calon-calon perempuan, mulai dari dalil agama hingga tudingan inkompetensi dalam memimpin daerah. Di sisi lain, sebagian calon perempuan melawan dengan menggunakan otoritas agama guna mengubah persepsi negatif atas kepemimpinan perempuan yang terlanjur terbangun dan bertahan hingga hari ini.

Padahal, di tengah kemajuan teknologi internet, kepemimpinan perempuan semakin luas diperbincangkan, dari siniar di YouTube hingga unggahan di Instagram. Buku-buku pun turut membahasnya. Oleh sebab itu, sebenarnya kita tidak lagi perlu mempermasalahkan isu ini.

Literasi Terkait Perempuan dan Politik

Baru-baru ini, Rumah KitaB (Yayasan Rumah Kita Bersama) menerbitkan buku berjudul Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan. Literasi terkait perempuan dan politik pun turut bertambah. Data-data sejarah yang disuguhkan dalam buku ini tidak sekadar asumsi atau tafsiran belaka. Keterlibatan perempuan dalam berbagai fase sejarah umat Islam dihadirkan dengan jelas.

Buku ini ditulis oleh Jamaluddin Mohammad, Roland Gunawan, Achmat Hilmi, dan Nur Hayati Aida. Mereka menyajikan kajian mendalam terkait perempuan dan politik yang diulas dari sisi sejarah, hukum Islam, dan persoalan sosial yang terkait. Yuk, kita ulas sekilas buku ini.

Sejarah Perempuan dalam Islam

Secara isi, buku ini terasa padat, namun ditulis dengan bahasa yang renyah sehingga pembaca tidak akan merasa bosan. Buku ini menghadirkan banyak kisah yang terjadi sepanjang sejarah umat Islam, khususnya terkait perempuan, ruang publik, dan politik. Menariknya, kita akan menemukan banyak fakta sejarah yang selama ini mungkin jarang kita temui.

Kehadiran perempuan di ruang publik secara aktif telah dijumpai dalam beragam peran. Mungkin selama ini kita hanya mengenal nama-nama perempuan agung seperti Khadijah al-Kubra dan Fathimah binti Nabi yang aktif dalam banyak urusan umat Islam. Namun, buku ini juga memperkenalkan kita pada nama-nama perempuan muslim lainnya, seperti Al-Syifa’ binti Abdillah al-Qurasyiyah, Fathimah binti Ali bin Abdullah ibn Abbas, dan Ummu Ja’far ibn Yahya al-Barmaki, yang memiliki peran besar dalam sejarah Islam.

Buku setebal lebih dari 140 halaman ini mengulas perempuan dari sisi normativitas hingga sosio-politik di sepanjang sejarah umat Islam. Ulasan fikih yang sering kali njelimet dan kompleks terkait perempuan, ditulis dalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami.

Analisis Gender dan Fikih

Ulasan fikih dalam buku ini mengingatkan saya pada buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih. Dalam buku tersebut, Fakih mengusulkan tiga agenda strategis dalam penafsiran agama yang perlu ditinjau dan dikaji ulang, yaitu subordinasi perempuan, persoalan waris dan saksi perempuan, serta hak produksi dan reproduksi perempuan.

Fakih mengusulkan penggunaan analisis gender dalam melihat produk hukum Islam yang kurang ramah terhadap perempuan. Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan ini mengangkat tema yang mirip, membahas dinamika sosial yang terjadi dalam umat Islam, terutama di Indonesia. Mohammad dan timnya mengulas dengan sangat elok tentang perkembangan gerakan perempuan, khususnya di Indonesia.

Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia

Sejarah gerakan perempuan di Indonesia telah mengakar lama, dengan cita-cita partisipasi dan representasi perempuan dalam politik Indonesia yang terus berkembang hingga hari ini. Sejarah pengetahuan umat Islam juga terjalin erat dengan perkembangan feminisme di Indonesia.

Islam dan feminisme berkembang bersama dalam menghadapi persoalan perempuan yang semakin kompleks. Buku ini mengulas bagaimana feminisme muslim mencoba menjadikan agama tidak hanya sebagai sumber nilai dan norma, tetapi juga sebagai alat transformasi sosial. Di titik ini, semangat yang telah dibangun oleh Fakih berkelindan dengan isi buku ini.

Kompleksitas Keterwakilan Perempuan di Politik

Pada bagian akhir buku ini, kita dihadapkan pada kompleksitas kehadiran dan keterwakilan perempuan di ranah politik, yang masih problematik dan penuh tantangan. Politisi kita masih belum memiliki komitmen yang kuat dalam memperjuangkan posisi perempuan di ruang-ruang politik. Perlindungan hak-hak perempuan pun masih sangat lemah, bahkan bisa dikatakan rentan.

Banyak regulasi dan produk hukum yang melindungi perempuan masih sulit dilahirkan oleh pemangku kebijakan. Kalaupun ada, penerapannya seringkali problematik. Perempuan semakin sulit mendapatkan hak dan perlindungan yang seharusnya mereka terima.

Perempuan Sebagai Individu dan Bagian dari Sosial

Bagian paling menarik dari buku ini, menurut saya, adalah ulasan mengenai perempuan yang mengalami penindasan dari dua sisi sekaligus, yakni sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Perempuan diulas sebagai tubuh individual dan tubuh politik. Problematika representasi perempuan di ruang publik selalu terkait dengan dua aspek ini.

Sejarah, hukum Islam, dinamika sosial, dan politik terus membatasi perempuan, baik sebagai individu maupun secara sosial. Perempuan terus didefinisikan oleh pihak luar, baik tubuh individual maupun tubuh politiknya. Oleh karena itu, buku ini bisa dikatakan progresif dalam menggambarkan posisi dan representasi perempuan di ruang publik, menggunakan legitimasi fakta sejarah, ulasan hukum yang berpihak, hingga perlawanan atas dinamika sosial yang timpang dan menindas.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin. 

Mendobrak Patriarki: Perspektif Fikih tentang Kepemimpinan Perempuan di Ranah Politik

  • Judul Buku: Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan: Sejarah, Hukum, dan Tantangan Masa Depan Partisipasi
  • Penulis: Tim Kajian Rumah KitaB (Jamaluddin Mohammad, Roland Gunawan, Achmat Hilmi, dan Nur Hayati Aida)
  • Penerbit: Yayasan Rumah Kita Bersama Indonesia
  • Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Februari 2024
  • Jumlah Halaman: 140 + xxix
  • ISBN: 978-602-17557-8-5

Isu Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

Apa yang terbayang di benak kebanyakan umat Muslim saat mendengar kalimat “perempuan menjadi pemimpin”? Sampai hari ini, meski telah banyak contoh perempuan memimpin dengan sangat baik, persoalan boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin masih sering menjadi isu kontroversial. Dalam pandangan masyarakat patriarki, perempuan sering dianggap lebih tepat sebagai pengikut atau makmum, sementara laki-laki diposisikan sebagai imam atau pemimpin.

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan Sebagai Jawaban atas Perdebatan

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan hadir sebagai jawaban atas banyak perdebatan mengenai peran perempuan dalam politik. Tim Kajian Rumah KitaB mencoba menyajikan eksplorasi komprehensif mengenai perjalanan panjang perempuan dalam ranah politik, baik dari sudut pandang Islam maupun sejarahnya.

Selain mengajak pembaca tenggelam dalam sejarah politik Islam dan peran perempuan di dalamnya, buku ini juga membahas tantangan kontemporer, khususnya di Indonesia, terkait keterwakilan perempuan dalam politik modern.

Pembagian Bab dalam Buku

Buku ini dibagi menjadi empat bab utama, yang masing-masing membahas aspek sejarah, teologi, hingga politik kontemporer. Buku ini dapat menjadi sumber penting untuk memahami bagaimana fikih memandang kepemimpinan perempuan, serta bagaimana perspektif mengenai kepemimpinan perempuan berubah seiring berjalannya waktu.

Bab 1: Sejarah Kepemimpinan Politik dalam Islam

Pada bab pertama, Tim Kajian Rumah KitaB mengajak pembaca untuk meninjau ulang sejarah kepemimpinan politik dalam Islam. Bab ini dimulai dengan mengulas masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Abbasiyah, hingga Kerajaan Bhopal, sebuah wilayah kecil di anak benua India.

Meskipun kerap terabaikan dalam catatan sejarah populer, buku ini berhasil membuka wawasan baru tentang bagaimana perempuan memiliki peran signifikan dalam sejarah politik Islam.

Bab 2: Fikih dan Kepemimpinan Perempuan

Bab kedua membahas secara mendalam konsep kepemimpinan perempuan dalam ruang keagamaan. Perempuan sering kali dianggap sebagai makmum, sementara laki-laki diposisikan sebagai imam. Konsep ini telah berlaku selama berabad-abad dan dianggap sakral, karena diyakini bersumber dari ajaran agama. Sebagai contoh, ayat yang mengandung makna qawwam serta hadis yang menyebutkan bahwa kepemimpinan akan hancur jika dipegang oleh perempuan dalam konteks Kerajaan Kisra.

Bab kedua ini juga menyajikan berbagai pandangan ulama mengenai peran perempuan di ruang publik, khususnya di ranah politik. Salah satu poin penting dalam bab ini adalah perlunya pembaruan pandangan dalam hukum fikih kontemporer terkait kepemimpinan perempuan. Pembaruan ini memerlukan integrasi antara dalil sejarah, dalil naqli (Al-Qur’an dan hadis), dalil aqli (rasional), serta dalil waqi’iy (realitas), yang dapat difasilitasi oleh maqashid syariah lin nisa. Tujuannya agar produk pemikiran yang dihasilkan relevan dengan kebutuhan zaman, tanpa merevisi hukum klasik yang bertentangan dengan realitas kontemporer.

Bab 3: Keterwakilan Perempuan dalam Politik Indonesia

Setelah membahas konsep kepemimpinan dalam ruang keagamaan, bab ketiga membahas keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia. Bab ini mengulas sejarah gerakan politik perempuan di Indonesia, mulai dari perjuangan melawan ketertinggalan pendidikan, penghapusan poligami, kawin paksa, hingga perjuangan untuk mencapai keterwakilan perempuan sebesar 30% di lembaga-lembaga pemerintah.

Organisasi-organisasi perempuan mulai bermunculan membawa agenda emansipasi, di antaranya pembebasan nasional, kesetaraan, hingga perbaikan nasib perempuan melalui pendidikan. Organisasi seperti Putri Mardika, yang berdiri pada tahun 1921 sebagai bagian dari gerakan Budi Utomo, adalah salah satu contohnya. Organisasi lain seperti Jong Java, Aisyiyah, dan Jong Islamieten Bond juga ikut berperan. Pada era 90-an, gerakan feminisme Muslim diperkenalkan oleh tokoh seperti Afsaneh Najmabadi dan Ziba Mir-Hosseini.

Bab ini juga membahas partisipasi dan representasi perempuan dalam politik Indonesia, termasuk regulasi afirmatif. Salah satu penekanan dalam bab ini adalah pentingnya menciptakan atmosfer politik yang memberikan perlindungan bagi perempuan. KPU, Bawaslu, partai politik, pemerintah, DKPP, Komnas Perempuan, dan masyarakat sipil memiliki peran masing-masing. KPU, misalnya, perlu meningkatkan pendidikan politik bagi pemilih dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya kepemimpinan perempuan, sehingga Pemilu 2024 dapat menghasilkan keterwakilan perempuan yang lebih baik.

Bab 4: Tantangan Keterwakilan Perempuan di Politik Indonesia

Bab keempat membahas tantangan yang dihadapi perempuan dalam partisipasi politik di Indonesia. Meskipun kuota 30% telah diterapkan selama lebih dari 20 tahun, target ini belum pernah terpenuhi. Keterwakilan perempuan di parlemen perlu mencapai angka “critical mass,” yaitu 30-40%, agar dapat meloloskan kebijakan dan membawa perubahan positif.

Meskipun ada peningkatan keterwakilan dalam legislatif dan jabatan politik, perempuan masih menghadapi tantangan besar. Ruang publik sebagai arena politik masih kerap bersikap sinis terhadap perempuan. Perempuan yang terjun ke dunia politik, baik sebagai legislator, eksekutif, maupun aktivis, sering kali dihadapkan pada tantangan berat, terutama terkait identitas gender mereka yang terus dipertanyakan.

Hal-hal pribadi seperti status perkawinan, agama, dan penampilan sering kali mendapatkan lebih banyak perhatian daripada gagasan atau pekerjaan yang telah mereka lakukan. Tantangan lain muncul dari budaya yang kerap kali berkelindan dengan tafsir agama. Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, tafsir agama masih memengaruhi pandangan mengenai perempuan sebagai pemimpin. Salah satu hadis yang sering dikutip berbicara mengenai larangan menyerahkan urusan kepada perempuan, dengan konteks yang merujuk pada Ratu Kisra yang memimpin pada usia muda. Bab ini juga menawarkan strategi untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam politik.

Kekuatan dan Kekurangan Buku

Secara keseluruhan, buku ini berhasil menyatukan kajian sejarah, hukum, dan politik dalam satu narasi yang utuh. Salah satu kekuatan utamanya adalah penyajian fakta-fakta sejarah yang jarang diungkap, seperti peran besar perempuan dalam pemerintahan pada masa Islam klasik.

Meski demikian, ada beberapa bagian dalam buku ini yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Salah satu bagian yang kurang tepat adalah narasi pada halaman xiii, yang menyebutkan bahwa salah satu hambatan besar bagi perempuan dalam politik adalah suasana pemilu yang sering diwarnai kekerasan. Paragraf ini seolah menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lebih emosional dan sensitif dibandingkan laki-laki, yang justru bisa melemahkan argumen keseluruhan buku dalam memperkuat posisi perempuan sebagai pemimpin yang tangguh.

Selain itu, ada pengulangan mengenai tokoh Ummu Salamah pada halaman 70 yang seharusnya disajikan lebih koheren jika merujuk pada tokoh yang sama.

Terlepas dari beberapa kekurangan tersebut, buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa pun yang tertarik dengan isu-isu agama, politik, maupun gender. Buku ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana perempuan telah, sedang, dan akan terus berperan dalam dunia politik, baik dalam konteks dunia Islam maupun politik Indonesia modern.

Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren

Judul : Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren

Penulis : Tim Penulis Rumah KitaB (Mukti Ali, Roland Gunawan,

Lanny Octavia, Achmat Hilmi, Ibi Syatibi, Jamaluddin Mohammad)

Penerbit : Rumah KitaB

ISBN : 978-602-1201-06-0

Tebal : xviii + 290 halaman

Ukuran : 18 x 23,5 cm

Cetakan : II, September 2017

Buku ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap berbagai macam patologi sosial dan degradasi moral yang terjadi pada bangsa pada akhir-akhir ini. Dengan cara mempertahankan berbagai bentuk praktik terbaik (best practices), pendidikan karakter berbasis nilai dan tradisi pesantren, buku ini merupakan sumbangan nyata untuk menyelamatkan kehidupan sosial-keagamaan di negeri ini.

Tentu saja, pesantren di Indonesia telah melalui perjalanan sejarah yang panjang. Lembaga ini sudah mapan dan memiliki daya tahan yang tak pernah lekang oleh zaman, serta sangat responsif terhadap konteks sosial dan realitas yang terus mengalami perubahan. Hal ini dibuktikan dengan pengaruh para tokoh pesantren yang amat luas, dan kontribusi nyata para santri yang mengabdi kepada bangsa dan negara di berbagai bidang.

Penulis buku ini memaparkan tokoh-tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Wahid Hasyim, KH. Maimoen Zubair, KH. Abdul Ghofar Rozin, KH. Abdul Rachman, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Imam Zarkasyi, KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), KH. Hasyim Muzadi, dan lain-lain. Mereka adalah tokoh-tokoh yang tidak hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga terlibat aktif dalam perubahan sosial dan mendukung kebudayaan Indonesia, mereka berperan secara langsung dan strategis mewujudkan peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Buku ini menyadarkan para pembaca, bahwa di dalam pendidikan pesantren terkandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Dan menjadi model untuk menjaga bangsa ini. Pendidikan pesantren ini harus diselaraskan dengan tantangan di era global. Ini adalah sebuah referensi praktis yang penting bagi para guru, ustadz, pendidik, orang tua, dan mahasiswa pendidikan yang ingin belajar lebih mendalam tentang pendidikan karakter.

Buku ini memberikan gambaran rinci tentang nilai-nilai luhur yang diajarkan, dipraktikkan dan ditumbuhkan dalam kehidupan para santri di pesantren. Tradisi ini sangat berperan dalam membentuk karakter bangsa, dan multi-peran santri. Kehadiran buku ini menjadi solusi untuk mengatasi problem pendidikan karakter.

Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA (Ketua Umum PBNU) dan Pimpinan Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Ciganjur-Jakarta

Saya berharap, tradisi pesantren akan menjadi hidup bersama pesantren. Ia memiliki sejumlah nilai kemanusiaan universal yang menjadi dasar kehidupan bangsa. Maka, pesantren memiliki peran untuk menjadi sumber inspirasi bangsa hingga dapat menjadi referensi penting bagi kaum intelektual dan seluruh masyarakat dalam menjaga nilai-nilai bangsa Indonesia.

KH. Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid, Arjawinangun-Cirebon

Berbeda dengan sekolah yang fokus pada keilmuan, pendidikan pesantren merupakan pendidikan kehidupan yang terintegrasi dalam tata nilai kehidupan. Oleh karena itu, pesantren sangat dengan tata nilai. Buku ini perlu dikaji, agar kita dapat mengambil hikmahnya.

KH. Hasyim Muzadi, Pimpinan Pesantren Al-Hikam, Malang dan Depok, Sekjen ICIS (International Conference of Islamic Scholars)

Buku ini dapat memperlihatkan kelebihan pendidikan karakter bangsa. Tradisi pesantren memberikan referensi dalam hal keunggulan karakter yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi berakhlak mulia. Keunggulan tradisi pesantren sangat luar biasa dalam melestarikan nilai-nilai moral, spiritualitas, nasionalisme, kemandirian, dan toleransi. Dengan membaca buku ini, kita akan mengetahui pendidikan karakter yang terbaik di tanah air. Saya sangat senang dan merekomendasikan buku ini untuk menjadi bagian dari koleksi buku Anda.

Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd, Tokoh Pendidikan Indonesia

Mendampingi Anak Didik Belajar dengan Gembira & Berakhlakul Karimah Aktif

 

Buku ini merupakan panduan pendidikan karakter yang dirancang khusus untuk guru PAUD, RA, dan TK. Dengan tujuan memberikan wawasan yang komprehensif, buku ini menggabungkan pendekatan pembelajaran yang gembira serta penguatan nilai-nilai akhlakul karimah yang aktif. Disusun oleh tim penulis yang terdiri dari ahli dan praktisi pendidikan, buku ini diharapkan dapat menjadi referensi penting bagi tenaga pendidik dalam menciptakan suasana belajar yang positif dan bermakna.

Tim Penyusun Buku:

  • Koordinator/Penanggung Jawab: Lies Mustafsirah Marcoes MA
  • Penyusun:Fadilla Dwianti Putri S. Hum, Regha Rugayah M. Pd, Dra Nunung Sulastri
  • Kontributor Penulisan Tematik:
    • Nurhayati Aida: Cinta dan Kasih Sayang
    • Fadila D. Putri: Kemandirian
    • Faurul Fitri: Tanggung Jawab
    • Nunung Sulastri: Kepedulian
    • Achmat Hilmi: Kesabaran
    • Jamaluddin Muhammad: Cinta Tanah Air
    • Nurasiah Jamil: Cinta Kebersihan dan Kerapihan
    • Fayyaz Mumtaz: Toleransi

Editor:

  • Lies Mustafsirah Marcoes MA
  • Faurul Fitri S. Si

Ilustrator:

  • Laras Zita T.

Buku ini tidak hanya memberikan materi-materi pelajaran, namun juga mengintegrasikan aktivitas yang menyenangkan sehingga mampu mendorong minat anak didik untuk belajar dengan cara yang menyenangkan dan positif. Dengan desain dan ilustrasi yang menarik, buku ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi para pendidik untuk terus mengembangkan metode pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan sesuai dengan perkembangan usia dini.

 

Download buku di sini:

Download Buku Mendampingi Anak Didik Belajar dengan Gembira & Berakhlakul Karimah Aktif

Ada Apa dengan Tubuhku? Perihal Tubuh dan Hal-Hal yang Harus Diketahui pada Masa Remaja

Judul

Ada Apa dengan Tubuhku? Perihal Tubuh dan Hal-Hal yang Harus Diketahui pada Masa Remaja

Penyusun

Nur Hayati Aida

Editor

Editor Utama: Tim RumahKitaB

Penata aksara: Indra Bayu

Penyelia aksara: Lizn Kagura

Kontributor
Abqari, Nurasiah Jamil, Achmat Hilmi, Jamaluddin Mohammad, Sityi M Qoriah

Penerbit
Yayasan Rumah Kita Bersama

Tahun
2023

 

 

Buku kecil ini adalah semacam “sahabat” bagi kamu yang sedang mengalami masa-masa peralihan dari anak-anak ke remaja. Masa kamu mengalami banyak perubahan, baik pada fisik dan emosimu—yang terbang naik dan turun begitu cepatnya.

Karena semacam sahabat, buku ini disusun dengan bahasa yang sederhana dan tidak menggurui. Kami berharap, buku ini dapat menemani hari-hari yang penuh dengan rasa ingin tahu dan mencoba hal-hal baru.[]

 

Modul Kecakapan Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas bagi Remaja Muslim

Judul

Modul Kecakapan Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas bagi Remaja Muslim

Penyusun

Sityi MQ & Nur Hayati Aida

Editor

Editor Utama: Tim RumahKitaB

Penyelaras aksara: Lian Kagura

Penata aksara: Blue Sky Universe Studio

Penerbit
Yayasan Rumah Kita Bersama

Tahun
2023

 

 

Modul ini merupakan panduan bagi fasilitator/pemandu remaja yang akan menyampaikan materi terkait hak kesehatan reproduksi dan seksualitas. Modul ini berisi sebelas sesi—yang dilengkapi dengan bahan bacaan dan lampiran yang akan membantu dalam pelaksanaan pelatihan—dan satu panduan penggunaan modul.

Secara teknis, modul ini dapat digunakan oleh lembaga, organisasi, maupun individu, yang mempunyai inisiatif atau tanggungjawab untuk meningkatkan kapasitas dan memberdayakan kelompok anak di komunitasnya masing-masing.[]

_________________

 

Download buku di sini:

https://drive.google.com/file/d/1PKtYN1ihPgYl7s317WnNUMcBq2pL506c/view?usp=sharing

Maqashid Syariah Lin Nisa

BUKU “Maqashid Syariah Lin Nisa; Metode Pembacaan Teks Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Perempuan dan Kelompok Rentan” ini merupakan salah satu produk pengetahuan Rumah KitaB hasil diskusi rutin yang kemudian disusun menjadi buku.

Melalui pelaksanaan diskusi rutin, Rumah KitaB berupaya mendekonstruksikan pandangan-pandangan keagamaan dengan mendialogkan teks dan realitas, terutama untuk isu keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini perlu terus dilakukan tidak hanya untuk memperlihatkan kesinambungan tradisi masa lalu dengan pengetahuan masa kini, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa perubahan cara pandangan terhadap hukum Islam ke arah yang lebih adil adalah mungkin dan perlu, bahkan bisa melalui kekayaan tradisi itu sendiri.[]

___________________________

 

Kerja-kerja Rumah KitaB, yang tidak hanya berwacana tetapi aktif melakukan advokasi di tengah-tengah masyarakat, perlu mendapatkan apresiasi. Di saat banyak lembaga hanya bisa berwacana, Rumah KitaB menghadirkan buku Maqashid Syariah Lin Nisa sebagai bekal perjuangan untuk melawan ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami perempuan dan kelompok-kelompok rentan.

K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus)
Pimpinan Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang

 

Perempuan adalah manusia yang paling dekat dengan agama. Majlis-majlis ta’lim bertebaran di mana-mana, dan pesertanya adalah ibu-ibu. Tetapi yang paling tidak respek terhadap perempuan adalah agama. Banyak sekali teks agama yang diskriminatif dan tidak berpihak kepada perempuan. Karena itu, diperlukan cara baca baru terhadap teks-teks agama untuk mengubah realitas ketidakadilan yang menimpa perempuan. Buku Maqashid Syariah Lin Nisa yang ditulis oleh para peneliti Rumah KitaB ini sangat bagus, membuka kembali ruang-ruang yang selama ini jarang dibicarakan.

Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A.
Rektor Universitas PTIQ Jakarta dan Imam Besar Masjid Istiqlal

 

Saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Rumah KitaB atas terbitnya buku Maqashid Syariah Lin Nisa. Buku ini sangat bagus, metodologi yang dibangun sangat kokoh. Saya merasa sangat excited bahwa buku ini lahir dari Indonesia. Muhammad Abduh pergi ke Paris untuk mendapatkan inspirasi guna melanjutkan pembaharuan di Mesir. Dan saya pergi ke Indonesia untuk mendapatkan inspirasi guna melanjutkan pembaharuan di Norwegia.

Dr. Lena Larsen
Director, The Oslo Coalition of Freedom of Religion or Belief, Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo

 

Di antara kelebihan buku Maqashid Syariah Lin Nisa ini adalah, pertama, tidak hanya biacara mengenai tahlîl al-nashsh (analisis teks), tetapi juga tahlîl al-wâqi’ (analisis realitas) yang bisa mendorong untuk membaca ulang teks-teks agama yang mungkin tidak sesuai dengan maqashid syariah. Kedua, buku ini cukup berhasil menumbangkan pandangan bahwa agama tidak ramah terhadap perempuan.

Usman Hamid, M. Phil.
Executive Director of Amnesty International Indonesia and Executive Board of Transparency International Indonesia

 

Konstruksi fikih lama memang banyak memarjinalkan perempuan. Kita memerlukan kontruksi baru fikih yang berpihak kepada nilai-nilai kemanusiaan bi shifah ‘âmmah (secara umum) dan kepada perempuan bi shifah khâshshah (secara khusus). Buku Maqashid Syariah Lin Nisa ini saya kira memiliki signifikasi ke sana, sebagai salah satu upaya perubahan cara pandang keagamaan di masyarakat.

Prof. Dr. K.H. Abdul Mustaqim, S.Ag., M.Ag.
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Jarang sekali para peneliti dan akademisi laki-laki yang mempunyai perhatian terhadap isu-isu perempuan, apalagi sampai memikirkan untuk merumuskan metodologi guna membaca dan menyelesaikan masalah-masalah perempuan. Para peneliti Rumah KitaB saya kira perlu diapresiasi karena selalu istiqamah melakukan kajian-kajian keadilan gender dengan melahirkan buku yang sangat bagus, Maqashid Syariah Lin Nisa.

Umdah El-Baroroh, M.Ag.
Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Pati

_________________________________________

 

MAQASHID SYARIAH LIN NISA
[Metode Pembacaan Teks Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Perempuan dan Kelompok Rentan]

Karya: Tim Kajian Rumah KitaB
Copyright@ 2023, Tim Kajian Rumah KitaB
(Achmad Hilmi, Jamaluddin Mohammad, dan Roland Gunawan)

Editor: Nurhady Sirimorok
Proofreader: Nur Hayati Aida dan Nurasiah Jamil
Kata Pengantar: Usman Hamid, M.Phil.
Prolog: Prof. Dr. K.H. Abdul Mustaqim, M.Ag.
Epilog: Umdah El-Baroroh
Layout: Tim Media Rumah KitaB
Cetakan I: Juli 2023
Ukuran: A5
Jumlah Halaman: 220

Harga: Rp. 75.000,-
Cara Memperoleh Terbitan: Kontak +62 856 9532 3908

Diterbitkan pertama kali oleh:
YAYASAN RUMAH KITA BERSAMA INDONESIA
Kintamani Village C2, Srengseng Sawah, Jagakarsa,
Jakarta Selatan, 12640

Telp.: (+62-21) 7803440
Email: of******@ru********.com
Website: www.rumahkitab.com

___________________________

Fikih Hak Anak

Secara normatif, setiap keluarga di dunia telah terikat dan karenanya mesti mengakui hak-hak anak sebagai nilai-nilai universal yang secara juridis legal formal ditetapkan pada tahun 1989 ketika Konvensi Hak-hak Anak (Convention On The Rights of The Child) diadopsi sebagai kesepakatan dunia dengan beberapa negara yang melakukan pengecualian. Secara umum warga dunia berkomitmen untuk mewujudkan tujuan-tujuan sebagaimana diatur di dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia untuk Anak pada tahun 1990. Sebagai bentuk kesepakatan, setiap negara mengembangkan aturan atau Undang-Undang.

Indonesia lebih dahulu memasukkannya ke dalam konstitusi negara yaitu UUD 45 Pasal 20, Pasal 28B, Pasal 286. Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Perlindungan Peradilan Pidana Anak, dan UU No. 35 Tahun 2014 (perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Besarnya upaya untuk memberi jaminan perlindungan kepada anak melalui jaminan hukum merupakan bukti bahwa anak adalah bagian dari masyarakat yang sangat rentan mengalami pelanggaran haknya. Tahun 2010, UNICEF menyatakan bahwa anak telah menjadi suluh dalam perang di lebih dari 30 konflik bersenjata di Afrika sejak tahun 1970 akibat beragam penyimpangan penggunaan senjata (seperti bom dan ranjau yang menargetkan individu serta operasi mobilisasi anak). Tahun 2003, selama lebih dari 15 tahun sebelumnya sebanyak dua juta anak di dunia tewas dalam konflik bersenjata dan sekitar enam juta anak lainnya terkena ledakan bom. Sebagian dari mereka menderita kerusakan tubuh secara permanen, dan puluhan juta anak lainnya menderita gangguan psikologis dan trauma cukup parah.

Dalam setiap konflik, anak menjadi pihak yang paling beresiko. Namun resiko pada anak perempuan akan lebih berat. Dengan menggunakan analisis gender kita dapat melihat bahwa dalam situasi aman pun anak perempuan mengalami resiko berkali lipat dari anak laki-laki karena faktor gendernya. Mereka menjadi sasaran kekerasan seksual, perdagangan manusia, dilacurkan, mengalami kerja berlipat ganda, dan paling cepat tersingkir dari dunia pendidikan dengan alasan-alasan yang didasarkan pada rendahnya penghargaan kepada anak perempuan.

Dalam keadaan damai pun, hak-hak anak sangat rentan dilanggar termasuk hak hidup, hak untuk berada di dalam keluarga dan masyarakat, hak atas kesehatan, hak kembang-tumbuh, hak pengasuhan dan perlindungan dan hak pendidikan. Berdirinya UNICEF tahun 1946 sebagai lembaga perlindungan anak di tingkat PBB menunjukkan banyak hal terkait anak. Selain itu, dampak kolonialisme telah memunculkan problem bagi anak-anak laki-laki dan perempuan di dunia berkembang. Mayoritas mereka berada di wilayah yang semula menjadi kekuasaan kesultanan Islam.

Islam adalah agama yang menjadi sumber kebudayaan dan peradaban dunia yang memberi perhatian kepada isu anak. Islam tak hanya mengutamakan aspek ibadah tetapi juga muamalah (isu-isu sosial ekonomi) dan al-ahwâl al-syakhshîyyah (isu-isu keluarga). Secara umum, aturan yang dibangun dalam Islam bertujuan untuk memberi perlindungan dan kemaslahatan bagi anak. Namun dalam struktur sosial yang ada kedudukan anak di dalam keluarga dan masyarakat berpotensi memunculkan relasi yang timpang, seperti dalam relasi antara orang dewasa dengan anak-anak; suami dengan istri; orangtua dengan anak, dan anak dalam kelompok mayoritas dengan minoritas.

Sebagai sebuah sistem nilai sekaligus praksis yang mengatur hubungan-hubungan sosial, Islam telah menawarkan aturan-aturan terkait anak, baik aturan yang bersifat normatif/nilai-nilai maupun yang bersifat praksis/terapan. Namun cakupan dan jangkauan penerapannya hanya mencakup relasi-relasi yang masih berada dalam lingkup privat, personal dan terbatas, perlindungan yang ditawarkan Islam terutama yang bersifat terapan dianggap tidak dapat mencakup kebutuhan riil anak-anak.

Hal tersebut terjadi karena ajaran yang mengatur tentang tata hubungan bagi anak pada umumnya lahir dalam satu tatanan masyarakat patriarki (berpusat kepada keluarga yaitu ayah atau laki-laki lain dari garis ayah). Kekuatan keluarga juga masih bertumpu pada sistem kekerabatan atau klan, karena negara bangsa belum lahir. Sementara bangunan hubungan umat dan kekuasaan tak lagi menjadi model di dunia setelah terbentuknya negara bangsa. Apalagi kemudian Islam masuk ke dalam era kolonialisme dan berlanjut ke pembentukan sistem negara bangsa (republik) yang modern di mana keluarga hanya menjadi bagian kecil saja dalam pengaturan keluarga dan untuk pemenuhan hak-hak anak.

Akibat kolonialisme dan konflik-konflik internal, serta berakhirnya masa kejayaan Islam yang ditandai dengan matinya pengembangan pengetahuan di internal dunia Islam, umat Muslim mengalami kemacetan paradigmatik dalam mengembangkan hak-hak anak yang berakar dari tradisi pemikiran Islam. Dalam perkembangannya, paradigma untuk pemenuhan hak-hak anak mengalami polarisasi antara hukum Internasional yang mengabaikan pengalaman umat Muslim. Umat Muslim juga terus berkutat dengan aturan-aturan fikih yang telah mengatur secara rinci tata cara mengurus anak dalam keluarga, namun enggan memperhatikan perkembangan Internasional yang telah melahirkan konvensi-konvensi tentang anak.

Buku Fikih Hak Anak merupakan ikhtiar untuk mengatasi kemacetan paradigmatik dalam upaya bersama yaitu menawarkan perlindungan anak dengan menyerap pengalaman umat Muslim. Cara yang dilakukan adalah melakukan dialog reflektif atas tiga domain besar sumber hukum yang berkembang di dunia: hukum Internasional konvensi hak anak, hukum Islam (fikih), dan yang menjadi sumber hukumnya itu sendiri yaitu al-Qur’an dan hadits.

Buku ini terbagi ke dalam dua pembahasan. Pertama, mengurai norma-norma hukum dan pandangan agama yang telah tersedia dalam khazanah pemikiran dan karya para pendahulu yang mencurahkan perhatiannya kepada isu anak. Kedua, mencakup tawaran dekonstruksi pembahasan isu anak yang berupaya mempertemukan dua norma, sekaligus dua karakter, yaitu norma regulasi (hukum positif) dan norma agama.

Pada pembahasan bagian pertama, dihadirkan beberapa persoalan; problem cara pandang norma-norma agama yang berorientasi kepada pendekatan legalistik (fikih) sebagai prasyarat pemenuhan hak anak. Pendekatan legalistik berkonsekuensi mengabaikan kepentingan anak yang dilakukan oleh orang dewasa. Problem lain pendekatan legalistik adalah adanya anggapan bahwa pemenuhan hak anak hanya bertumpu pada tanggungjawab individu (dalam tataran keluarga) tanpa menuntut negara, lembaga non-negara, korporasi, perusahaan-perusahaan, lembaga dan organisasi, masyarakat secara umum, termasuk badan-badan dunia terutama kerjasama antar negara-negara Islam.

Sementara pada bagian kedua menguraikan konstruksi buku. Buku ini menggambarkan refleksi yang memperlihatkan perlunya kolaborasi antar norma (norma agama dan aturan hukum positif). Kolaborasi antar norma diharapkan tidak menutup peluang melainkan saling membuka diri dan memperkuat antar norma dengan tujuan utamanya yaitu perlindungan anak. Dalam upaya kolaborasi, kedudukan UU seolah-olah lebih rendah dari norma agama. Hal ini dapat dimaklumi karena buku ini berangkat dari khazanah pemikiran umat Muslim.

Hal yang terpenting adalah, UU harus berkolaborasi dengan konvensi Internasional, atau dengan hukum adat dan hukum fikih sepanjang hasilnya untuk kebutuhan terbaik anak. Begitu juga dengan hukum Islam, sebagai norma ia tidak boleh merasa paling benar, sehingga mengabaikan pengalaman sumber hukum lain. Norma-norma yang diatur dalam Islam harus terbuka kepada berbagai buah peradaban dunia, aturan, hukum, dan konvensi yang telah mengupayakan perlindungan bagi anak.

Dalam konteks Indonesia, regulasi yang tersedia sudah cukup jelas berkehendak untuk memberikan pemenuhan dan perlindungan hak anak. Namun harus memastikan UU terkait anak yang sudah ada, apakah sudah benar-benar memberikan perlindungan kepada anak. Karenanya harus ada uji materi terkait konten dan teks dari UU yang sudah ada. Studi Rumah KitaB dalam soal batas kedewasaan misalnya menunjukkan antara satu UU dengan UU yang lain masih berbeda-beda; dalam UU Pemilu batas kedewasaan adalah 17 tahun, tetapi untuk menikah harus 19 tahun, dan untuk UU trafficking ditetapkan 20 tahun.

Buku Fikih Hak Anak menegaskan bahwa hukum Islam harus hadir untuk menguatkan kultur dan norma agar anak-anak memperoleh hak dan perlindungan. Pembahasan hukum Islam terkait hak-hak anak belum sepenuhnya ditujukan untuk merespons kebutuhan anak, tetapi lebih merespons kondisi orang dewasa. Kondisi orang dewasa dibahas secara detail dengan asumsi sebagai prasyarat yang harus dimiliki oleh orangtua agar mampu memenuhi kewajibannya sebagai pihak yang dapat melindungi anak.

Buku ini juga hendak menawarkan kerangka maqâshid al-syarî’ah untuk mencari dan menemukan aturan yang sudah ada seperti di UU dan peraturan lainnya yang memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Selain itu, maqâshid al-syarî’ah sebagai sebuah kerangka untuk memastikan anak menjadi subjek dan terpenuhi haknya. Buku ini juga mengusulkan agar dilakukan sejumlah kajian dan riset untuk tema-tema berikut:

Pertama, riset terkait situasi buruk anak di dalam atau di luar keluarga, di wilayah privat atau publik. Dalam hukum-hukum fikih terlihat jejaknya, yaitu bagaimana mengatasi  masalah yang masih betumpu kepada penyediaan santunan anak yatim-piatu. Riset serupa diperlukan untuk mengenali karakteristik anak yatim piatu yang tak hanya berwujud yatim piatu karena tidak lagi memiliki ayah dan ibu, tetapi yatim piatu secara sosial di mana ayah dan ibu dihilangkan keberadaannya akibat sistem eksploitasi ekonomi yang menghisap kaum miskin, seperti migrasi, sistem pengelolaan sumber ekonomi yang eksploitatif, sistem putting out di industri perkotaan atau karena mobilisasi orangtua yang memaksa mereka meninggalkan anak-anak di kampung.

Kedua, kajian tentang keragaman anak. Anak dilihat sebagai sebagai subyek yang tidak tunggal, baik dari sisi suku, ras, agama, gender, keadaan fisik, latar belakang geografi yang membedakan akses, partisipasi, penerimaan manfaat dan kontrol mereka atas sumber daya yang tersedia berupa sumber daya alam, ekonomi, politik, dan waktu.

Ketiga, riset tentang kekerasan kepada anak dalam bentuk-bentuk yang harus didalami secara mendasar (kekerasan tersamar), seperti pemaksaan perkawinan dengan menyalahgunakan aturan fikih seperti kawin mut’ah, kawin sirri dan sejenisnya. Riset ini juga harus dilakukan dengan menyadari perkembangan dan penyimpangan sosial media. Pada masa sekarang, muncul balita yang menjadi korban penggunaan gadget, sehingga mengalami gangguan bicara, gangguan fokus, autis yang muncul di masa pengasuhan bukan bawaan, atau anak yang semakian tempramental dan cenderung menjadi pelaku kekerasan.

Keempat, riset untuk isu gender di mana anak perempuan mengalami penyingkiran dari lembaga pendidikan, tempat kerja, ruang publik, dan mengalami beban kerja yang berlipat ganda.

Kelima, riset kekerasan kepada anak dalam situasi konflik fisik, psikis, sosial ekonomi.

Keenam, riset terkait menguatnya konservatisme agama yang menyebabkan anak menjadi korban pendekatan keagamaan tekstualis yang melahirkan praktik kawin anak, sunat perempuan, kawin paksa, dan pola asuh yang hegemonik dan doktriner pada anak, sehingga menjauhkan mereka dari dunia permainan untuk tumbuh kembangnya yang relevan.

Kajian-kajian di atas harus hadir dalam referensi umat Muslim ketika bicara tentang hak-hak anak. Sebagaimana dalam kajian gender, sangat penting untuk membangun paradigma baru dalam metode pembacaan teks, antara lain maqâshid al-syarî’ah yang digunakan untuk melihat hak-hak anak. Hal lain yang dapat dilakukan adalah meletakkan secara setara sumber-sumber hukum yang ada baik dari konvensi, hukum fikih maupun tafsir al-Qur’an dan hadits. Hal lainnya yang perlu dilakukan adalah mendialektikkan sumber hukum yang ada dengan cara membaca solusi ke depan dan membaca tantangan yang lebih nyata berbasis riset.[]

Modul 2 Anak Indonesia Berdaya: Pelopor dan Pelapor (Peningkatan Kapasitas Anak dan Kaum Muda Bersama PATBM) Untuk Pencegahan Perkawinan Anak

Judul

Modul 1: Berdaya Melindungi Anak Indonesia (Peningkatan Kapasitas Bersama Pengurus PATBM) untuk Pencegahan Perkawinan Anak

Penyusun

Owena Ardra & Tia Fitriyanti

Editor

Editor Utama: Fadilla D. Putri

Asisten Editor: Dwinda Nur Oceani

Penerbit
Yayasan Rumah Kita Bersama

Tahun
2022

Unduh disini