Secara normatif, setiap keluarga di dunia telah terikat dan karenanya mesti mengakui hak-hak anak sebagai nilai-nilai universal yang secara juridis legal formal ditetapkan pada tahun 1989 ketika Konvensi Hak-hak Anak (Convention On The Rights of The Child) diadopsi sebagai kesepakatan dunia dengan beberapa negara yang melakukan pengecualian. Secara umum warga dunia berkomitmen untuk mewujudkan tujuan-tujuan sebagaimana diatur di dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia untuk Anak pada tahun 1990. Sebagai bentuk kesepakatan, setiap negara mengembangkan aturan atau Undang-Undang.
Indonesia lebih dahulu memasukkannya ke dalam konstitusi negara yaitu UUD 45 Pasal 20, Pasal 28B, Pasal 286. Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Perlindungan Peradilan Pidana Anak, dan UU No. 35 Tahun 2014 (perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Besarnya upaya untuk memberi jaminan perlindungan kepada anak melalui jaminan hukum merupakan bukti bahwa anak adalah bagian dari masyarakat yang sangat rentan mengalami pelanggaran haknya. Tahun 2010, UNICEF menyatakan bahwa anak telah menjadi suluh dalam perang di lebih dari 30 konflik bersenjata di Afrika sejak tahun 1970 akibat beragam penyimpangan penggunaan senjata (seperti bom dan ranjau yang menargetkan individu serta operasi mobilisasi anak). Tahun 2003, selama lebih dari 15 tahun sebelumnya sebanyak dua juta anak di dunia tewas dalam konflik bersenjata dan sekitar enam juta anak lainnya terkena ledakan bom. Sebagian dari mereka menderita kerusakan tubuh secara permanen, dan puluhan juta anak lainnya menderita gangguan psikologis dan trauma cukup parah.
Dalam setiap konflik, anak menjadi pihak yang paling beresiko. Namun resiko pada anak perempuan akan lebih berat. Dengan menggunakan analisis gender kita dapat melihat bahwa dalam situasi aman pun anak perempuan mengalami resiko berkali lipat dari anak laki-laki karena faktor gendernya. Mereka menjadi sasaran kekerasan seksual, perdagangan manusia, dilacurkan, mengalami kerja berlipat ganda, dan paling cepat tersingkir dari dunia pendidikan dengan alasan-alasan yang didasarkan pada rendahnya penghargaan kepada anak perempuan.
Dalam keadaan damai pun, hak-hak anak sangat rentan dilanggar termasuk hak hidup, hak untuk berada di dalam keluarga dan masyarakat, hak atas kesehatan, hak kembang-tumbuh, hak pengasuhan dan perlindungan dan hak pendidikan. Berdirinya UNICEF tahun 1946 sebagai lembaga perlindungan anak di tingkat PBB menunjukkan banyak hal terkait anak. Selain itu, dampak kolonialisme telah memunculkan problem bagi anak-anak laki-laki dan perempuan di dunia berkembang. Mayoritas mereka berada di wilayah yang semula menjadi kekuasaan kesultanan Islam.
Islam adalah agama yang menjadi sumber kebudayaan dan peradaban dunia yang memberi perhatian kepada isu anak. Islam tak hanya mengutamakan aspek ibadah tetapi juga muamalah (isu-isu sosial ekonomi) dan al-ahwâl al-syakhshîyyah (isu-isu keluarga). Secara umum, aturan yang dibangun dalam Islam bertujuan untuk memberi perlindungan dan kemaslahatan bagi anak. Namun dalam struktur sosial yang ada kedudukan anak di dalam keluarga dan masyarakat berpotensi memunculkan relasi yang timpang, seperti dalam relasi antara orang dewasa dengan anak-anak; suami dengan istri; orangtua dengan anak, dan anak dalam kelompok mayoritas dengan minoritas.
Sebagai sebuah sistem nilai sekaligus praksis yang mengatur hubungan-hubungan sosial, Islam telah menawarkan aturan-aturan terkait anak, baik aturan yang bersifat normatif/nilai-nilai maupun yang bersifat praksis/terapan. Namun cakupan dan jangkauan penerapannya hanya mencakup relasi-relasi yang masih berada dalam lingkup privat, personal dan terbatas, perlindungan yang ditawarkan Islam terutama yang bersifat terapan dianggap tidak dapat mencakup kebutuhan riil anak-anak.
Hal tersebut terjadi karena ajaran yang mengatur tentang tata hubungan bagi anak pada umumnya lahir dalam satu tatanan masyarakat patriarki (berpusat kepada keluarga yaitu ayah atau laki-laki lain dari garis ayah). Kekuatan keluarga juga masih bertumpu pada sistem kekerabatan atau klan, karena negara bangsa belum lahir. Sementara bangunan hubungan umat dan kekuasaan tak lagi menjadi model di dunia setelah terbentuknya negara bangsa. Apalagi kemudian Islam masuk ke dalam era kolonialisme dan berlanjut ke pembentukan sistem negara bangsa (republik) yang modern di mana keluarga hanya menjadi bagian kecil saja dalam pengaturan keluarga dan untuk pemenuhan hak-hak anak.
Akibat kolonialisme dan konflik-konflik internal, serta berakhirnya masa kejayaan Islam yang ditandai dengan matinya pengembangan pengetahuan di internal dunia Islam, umat Muslim mengalami kemacetan paradigmatik dalam mengembangkan hak-hak anak yang berakar dari tradisi pemikiran Islam. Dalam perkembangannya, paradigma untuk pemenuhan hak-hak anak mengalami polarisasi antara hukum Internasional yang mengabaikan pengalaman umat Muslim. Umat Muslim juga terus berkutat dengan aturan-aturan fikih yang telah mengatur secara rinci tata cara mengurus anak dalam keluarga, namun enggan memperhatikan perkembangan Internasional yang telah melahirkan konvensi-konvensi tentang anak.
Buku Fikih Hak Anak merupakan ikhtiar untuk mengatasi kemacetan paradigmatik dalam upaya bersama yaitu menawarkan perlindungan anak dengan menyerap pengalaman umat Muslim. Cara yang dilakukan adalah melakukan dialog reflektif atas tiga domain besar sumber hukum yang berkembang di dunia: hukum Internasional konvensi hak anak, hukum Islam (fikih), dan yang menjadi sumber hukumnya itu sendiri yaitu al-Qur’an dan hadits.
Buku ini terbagi ke dalam dua pembahasan. Pertama, mengurai norma-norma hukum dan pandangan agama yang telah tersedia dalam khazanah pemikiran dan karya para pendahulu yang mencurahkan perhatiannya kepada isu anak. Kedua, mencakup tawaran dekonstruksi pembahasan isu anak yang berupaya mempertemukan dua norma, sekaligus dua karakter, yaitu norma regulasi (hukum positif) dan norma agama.
Pada pembahasan bagian pertama, dihadirkan beberapa persoalan; problem cara pandang norma-norma agama yang berorientasi kepada pendekatan legalistik (fikih) sebagai prasyarat pemenuhan hak anak. Pendekatan legalistik berkonsekuensi mengabaikan kepentingan anak yang dilakukan oleh orang dewasa. Problem lain pendekatan legalistik adalah adanya anggapan bahwa pemenuhan hak anak hanya bertumpu pada tanggungjawab individu (dalam tataran keluarga) tanpa menuntut negara, lembaga non-negara, korporasi, perusahaan-perusahaan, lembaga dan organisasi, masyarakat secara umum, termasuk badan-badan dunia terutama kerjasama antar negara-negara Islam.
Sementara pada bagian kedua menguraikan konstruksi buku. Buku ini menggambarkan refleksi yang memperlihatkan perlunya kolaborasi antar norma (norma agama dan aturan hukum positif). Kolaborasi antar norma diharapkan tidak menutup peluang melainkan saling membuka diri dan memperkuat antar norma dengan tujuan utamanya yaitu perlindungan anak. Dalam upaya kolaborasi, kedudukan UU seolah-olah lebih rendah dari norma agama. Hal ini dapat dimaklumi karena buku ini berangkat dari khazanah pemikiran umat Muslim.
Hal yang terpenting adalah, UU harus berkolaborasi dengan konvensi Internasional, atau dengan hukum adat dan hukum fikih sepanjang hasilnya untuk kebutuhan terbaik anak. Begitu juga dengan hukum Islam, sebagai norma ia tidak boleh merasa paling benar, sehingga mengabaikan pengalaman sumber hukum lain. Norma-norma yang diatur dalam Islam harus terbuka kepada berbagai buah peradaban dunia, aturan, hukum, dan konvensi yang telah mengupayakan perlindungan bagi anak.
Dalam konteks Indonesia, regulasi yang tersedia sudah cukup jelas berkehendak untuk memberikan pemenuhan dan perlindungan hak anak. Namun harus memastikan UU terkait anak yang sudah ada, apakah sudah benar-benar memberikan perlindungan kepada anak. Karenanya harus ada uji materi terkait konten dan teks dari UU yang sudah ada. Studi Rumah KitaB dalam soal batas kedewasaan misalnya menunjukkan antara satu UU dengan UU yang lain masih berbeda-beda; dalam UU Pemilu batas kedewasaan adalah 17 tahun, tetapi untuk menikah harus 19 tahun, dan untuk UU trafficking ditetapkan 20 tahun.
Buku Fikih Hak Anak menegaskan bahwa hukum Islam harus hadir untuk menguatkan kultur dan norma agar anak-anak memperoleh hak dan perlindungan. Pembahasan hukum Islam terkait hak-hak anak belum sepenuhnya ditujukan untuk merespons kebutuhan anak, tetapi lebih merespons kondisi orang dewasa. Kondisi orang dewasa dibahas secara detail dengan asumsi sebagai prasyarat yang harus dimiliki oleh orangtua agar mampu memenuhi kewajibannya sebagai pihak yang dapat melindungi anak.
Buku ini juga hendak menawarkan kerangka maqâshid al-syarî’ah untuk mencari dan menemukan aturan yang sudah ada seperti di UU dan peraturan lainnya yang memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Selain itu, maqâshid al-syarî’ah sebagai sebuah kerangka untuk memastikan anak menjadi subjek dan terpenuhi haknya. Buku ini juga mengusulkan agar dilakukan sejumlah kajian dan riset untuk tema-tema berikut:
Pertama, riset terkait situasi buruk anak di dalam atau di luar keluarga, di wilayah privat atau publik. Dalam hukum-hukum fikih terlihat jejaknya, yaitu bagaimana mengatasi masalah yang masih betumpu kepada penyediaan santunan anak yatim-piatu. Riset serupa diperlukan untuk mengenali karakteristik anak yatim piatu yang tak hanya berwujud yatim piatu karena tidak lagi memiliki ayah dan ibu, tetapi yatim piatu secara sosial di mana ayah dan ibu dihilangkan keberadaannya akibat sistem eksploitasi ekonomi yang menghisap kaum miskin, seperti migrasi, sistem pengelolaan sumber ekonomi yang eksploitatif, sistem putting out di industri perkotaan atau karena mobilisasi orangtua yang memaksa mereka meninggalkan anak-anak di kampung.
Kedua, kajian tentang keragaman anak. Anak dilihat sebagai sebagai subyek yang tidak tunggal, baik dari sisi suku, ras, agama, gender, keadaan fisik, latar belakang geografi yang membedakan akses, partisipasi, penerimaan manfaat dan kontrol mereka atas sumber daya yang tersedia berupa sumber daya alam, ekonomi, politik, dan waktu.
Ketiga, riset tentang kekerasan kepada anak dalam bentuk-bentuk yang harus didalami secara mendasar (kekerasan tersamar), seperti pemaksaan perkawinan dengan menyalahgunakan aturan fikih seperti kawin mut’ah, kawin sirri dan sejenisnya. Riset ini juga harus dilakukan dengan menyadari perkembangan dan penyimpangan sosial media. Pada masa sekarang, muncul balita yang menjadi korban penggunaan gadget, sehingga mengalami gangguan bicara, gangguan fokus, autis yang muncul di masa pengasuhan bukan bawaan, atau anak yang semakian tempramental dan cenderung menjadi pelaku kekerasan.
Keempat, riset untuk isu gender di mana anak perempuan mengalami penyingkiran dari lembaga pendidikan, tempat kerja, ruang publik, dan mengalami beban kerja yang berlipat ganda.
Kelima, riset kekerasan kepada anak dalam situasi konflik fisik, psikis, sosial ekonomi.
Keenam, riset terkait menguatnya konservatisme agama yang menyebabkan anak menjadi korban pendekatan keagamaan tekstualis yang melahirkan praktik kawin anak, sunat perempuan, kawin paksa, dan pola asuh yang hegemonik dan doktriner pada anak, sehingga menjauhkan mereka dari dunia permainan untuk tumbuh kembangnya yang relevan.
Kajian-kajian di atas harus hadir dalam referensi umat Muslim ketika bicara tentang hak-hak anak. Sebagaimana dalam kajian gender, sangat penting untuk membangun paradigma baru dalam metode pembacaan teks, antara lain maqâshid al-syarî’ah yang digunakan untuk melihat hak-hak anak. Hal lain yang dapat dilakukan adalah meletakkan secara setara sumber-sumber hukum yang ada baik dari konvensi, hukum fikih maupun tafsir al-Qur’an dan hadits. Hal lainnya yang perlu dilakukan adalah mendialektikkan sumber hukum yang ada dengan cara membaca solusi ke depan dan membaca tantangan yang lebih nyata berbasis riset.[]