Benarkah Manusia Makhluk Terbaik?

Sering kali kita merasa sebagai makhluk yang terbaik. Kemudian perasaan itu kita kukuhkan dengan ayat Tuhan. Tentu ayat Al-Qur’an itu mutlak kebenarannya, namun tidak demikian pemahaman. Pemahaman kita tentang suatu ayat perlu terus kita pikirkan dan renungkan. Benarkah demikian?

Mendaku sebagai makhluk yang terbaik mungkin tidak begitu buruk, jika hanya berhenti di situ. Namun, ketika hal itu menjadikan manusia bertingkah angkuh dan merasa berhak melakukan apa pun, tentu itu hal yang berbeda. Keangkuhan itu hanya milik Tuhan, tidak dengan selain-Nya. Allah Swt. telah berfirman dalam sebuah hadis qudsi:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ وَهَارُونُ بْنُ إِسْحَقَ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ الْمُحَارِبِيُّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا أَلْقَيْتُهُ فِي النَّارِ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa’id dan Harun bin Ishaq keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abdurrahman Al Muharibi dari ‘Atha bin As Saib dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah ‘azza wajalla berfirman: ‘Kesombongan adalah pakaian-Ku, sedangkan kebesaran adalah selendang-Ku, maka siapa saja yang mencabut salah satu dari dua hal, itu maka ia akan Aku lemparkan ke neraka.”

Lantas bagaimana pemahaman dari QS. At-Tin (95): 4? Dalam tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan terlebih dahulu tentang peranan Allah SWT dalam penciptaan manusia. Allah merupakan sebaik-baik Pencipta, Ahsanul Khaliqin. Kemudian dalam menjelaskan frasa ahsan taqwim, Quraish menjelaskan sebagai bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang menyebabkan manusia dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Dari sini penulis merenungkan kembali makna ayat ini.

Allah sebagai Ahsanul Khaliqin tentu saja menghasilkan ciptaan-ciptaan yang sempurna. Sempurna sesuai peranannya masing-masing. Begitu pun manusia, manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya dalam kapasitas manusia, guna menjalankan peranannya di buminya Allah. Sebagai Abdullah dan Khalifatullah.

Ayat ini tidak sedang membicarakan bahwasanya manusia adalah makhluk terbaik. Makhluk terbaik yang dapat merendahkan dan memperlakukan makhluk lainnya sesuka hatinya. Namun ayat ini sedang berpesan bahwasanya manusia diciptakan sebaik mungkin sebagai manusia. Dibekali dengan potensi-potensi diri yang dapat menuntunnya untuk menjadi hamba Allah, mengenali dan beribadah hanya kepada-Nya. Juga sebagai khalifatullah, co-worker Allah sehingga harus mempelajari sifat-sifat dan kebijaksanaan Allah untuk berlaku di bumi Allah. Jika manusia bertindak sesuka hatinya tentu itu bukan ciri co-worker.

Allah sebagai Ahsanul Khaliqin tidak sedang mengajarkan keangkuhan pada manusia dalam ayat ini. Dalam QS. At-Tin (95): 4, dapat dipahami bahwasanya manusia dibekali kapasitas sehingga memungkinkan untuk dapat menjalankan amanah yang diberikan padanya. Tentu tidak mudah berperan menjadi abdullah sekaligus khalifatullah.  Terkadang manusia terjebak dalam dimensi kehambaannya sehingga lupa peran-peran ke-khalifahan.

Begitu pula sebaliknya, terkadang manusia terlena dan keasyikan dalam perannya sebagai khalifah, sehingga lupa bahwa dia juga seorang hamba. Frasa ahsan taqwim ini ingin menegaskan bahwa potensi untuk mengemban amanah keduanya itu telah diberikan Allah. Sehingga untuk selanjutnya manusia dapat mengoptimalkan potensi-potensi yang telah diberikan atau membiarkannya begitu saja.

Allah sebagai Ahsanul Khaliqin tentu saja menciptakan alam raya, tumbuh-tumbuhan, beragam hewan dan makhluk-makhluk lainnya dengan sebaik-baiknya juga. Tidak ada yang diciptakan dengan sia-sia. Tuhan tidak sedang melempar dadu atau bermain-main saja. Namun seluruh ciptaan menunjukkan Kebesaran dan Kemahakuasaan Allah. Seluruhnya diciptakan dengan sempurna dengan beragam bentuk dan fungsinya. Karena Penciptanya adalah Yang Maha Sempurna.

Bacalah QS. Al-Mulk (67): 3-4, QS. Ad-Dukhan (44): 39, QS. Al-Anbiya’ (21): 16, QS. Yunus (10): 5, QS. Al-An’am (6): 73, QS. Ali ‘Imran (3): 191, QS. Al-Baqarah (2): 164, dan masih banyak ayat-ayat lain yang menggambarkan ke-Agungan Allah dalam menciptakan alam raya dan seluruh isinya.

Refleksi akhir penulis dalam artikel pendek ini yaitu jangan sampai rasa kemuliaan dan keutamaan yang ada pada diri menyebabkan kita melanggar aturan atau perintah Tuhan. Tidakkah kita ingat pada kisah setan yang merasa lebih baik dari manusia lalu melanggar perintah Tuhan. Ketidaktaatan pada Tuhan itulah yang kemudian menyebabkannya menanggung murka Allah.

Jangan sampai manusia mewarisi kesombongan itu sehingga kita tidak lagi memperhatikan perintah-perintah-Nya. Menjadi manusia angkuh yang merasa berhak mengeksploitasi alam sepuas-puasnya. Membabat hutan seluas-luasnya tanpa memperhatikan nilai-nilai kehidupan di dalamnya. Ada jutaan makhluk Tuhan yang lain yang tidak kita perhatikan. Padahal Tuhan menyeru kita untuk menjadi khalifah di bumi-Nya. Bukan untuk mencari kuasa juga bukan untuk menumpuk harta.

Respons Al-Qur’an Ketika Sahabat Nabi Menebang Pohon Kurma

Dalam salah satu riwayat sirah nabawiyah, saat kaum muslimin sedang mengupayakan pemblokiran terhadap benteng dari kaum Yahudi Bani Nadlir, seorang sahabat Nabi menebang dua pohon kurma. Ketika itu, orang-orang Yahudi berkata:

“Hai, Nabi Muhammad! Engkau katanya datang untuk melakukan perbaikan? Engkau katanya datang untuk memelihara lingkungan? Mengapa engkau menebang pohon-pohon kurma itu?”

Saat kejadian tersebut, sebetulnya sahabat menebang dua pohon kurma bukan atas perintah Nabi. Melainkan inisiatif sahabat sendiri yang ingin mendapatkan tempat yang lebih lapang untuk mempermudah jalan pasukan menuju lokasi. Pada sisi yang lain, terdapat penjelasan yaitu untuk menjengkelkan orang Yahudi sehingga mereka yang selalu memelihara hartanya, takut ditebang, sehingga mereka segera menyerah dan melakukan perundingan.

Menanggapi pertanyaan seorang Yahudi tersebut, turunlah ayat dari QS. Al-Hasyr ayat 5 berikut, “Apa yang kamu tebang di antara pohon kurma (milik Yahudi Bani Nadir) atau yang kamu biarkan berdiri di atas pokoknya, (itu terjadi) dengan izin Allah dan (juga) karena Dia hendak menghinakan orang-orang fasik”.

Dalam tafsir ayat tersebut, Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa tidak boleh ada perusakan lingkungan walaupun dalam keadaan perang, kecuali yang telah diizinkan oleh Allah. Beliau menambahkan bahwa yang diizinkan antara lain untuk menyukseskan, tetapi dalam saat yang sama bertujuan untuk menjaga lingkungan. Dalam kata lain, yang diizinkan adalah untuk tujuan perang yang murni, tetapi tanpa mengorbankan dengan luas lingkungan yang ada di sekitar.

Apa yang dijelaskan oleh Prof. Quraish Shihab sebetulnya adalah penolakan terhadap upaya untuk membumihanguskan sebuah daerah. Kalau pun ada perusakan (misalnya penebangan pohon) itu pun dalam bentuk-bentuk yang terbatas dengan seizin Allah dan harus mengutamakan nilai kemaslahatan yang lebih besar.

Perusakan Lingkungan dengan Kesengajaan

Saya yakin, kita pernah melihat atau mendengar kabar bagaimana pihak-pihak tertentu melakukan penebangan pohon di hutan. Alasannya banyak, bisa jadi untuk penambangan, pembukaan lahan pertanian, dan masih banyak yang lainnya. Namun, pembukaan hutan sering kali dibabat habis tak bersisa. Di sisi lain, minim sekali upaya penanaman kembali sebagai kompensasi penggundulan hutan.

Bahkan, yang lebih miris ialah ketika pemerintah yang menurunkan kebijakan untuk penggundulan hutan tanpa menimbang kemaslahatan yang lebih besar. Beberapa waktu yang lalu, kita bisa mendengar Menteri Kehutanan yang berbicara mengenai penebangan 20 juta hektar hutan untuk kepentingan energi. Hal itu tentu mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat. Masih banyak cara yang lain yang dapat diterapkan tanpa perlu menghabisi hutan.

Terlebih lagi, total 20 juta hektar hutan yang rencananya akan ditebang hampir seluas pulau Jawa. Mari kita bayangkan, berapa banyak masyarakat adat, hewan, dan tanaman yang akan kehilangan tempat tinggalnya? Apalagi, dampak krisis iklim semakin menjadi. Upaya penggundulan hutan tanpa memikirkan kemaslahatan lingkungan dan kehidupan manusia, hewan, serta tumbuhan adalah hal yang haram untuk dilakukan.

Al-Hasyr ayat 5 telah menyampaikan, bahwa perusakan hanya boleh dilakukan atas seizin Allah. Dalam praktiknya pun, tidak boleh ada yang membumihanguskan sebuah daerah (termasuk hutan). Mereka yang berani dalam kegiatan penggundulan hutan, patut dipertanyakan keimanannya terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an? Terlebih lagi pemimpin-pemimpin muslim yang sebelum menjabat disumpah melalui Al-Qur’an, bagaimana bisa membuat kebijakan yang justru menentang Al-Qur’an?

Sudah cukup seharusnya bagi kita yang telah merasakan dampak dan bencana alam atas perbuatan kaum kita sendiri. Banjir, longsor, kemiskinan, penyakit menular yang mematikan, kehilangan tempat tinggal, hingga kelangkaan pangan harusnya sudah menjadi alarm untuk berefleksi. Sejauh mana kita telah menyayangi lingkungan?

Maka, sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga negara untuk menolak kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada nilai-nilai ekologis dan lingkungan. Sering kali, kebijakan-kebijakan yang dibuat hanyalah menguntungkan pihak-pihak tertentu, sedangkan masyarakat lebih banyak tidak dipedulikan. Oleh karenanya, kekuatan suara kita dalam melawan kebijakan yang tidak ramah lingkungan dapat menjadi senjata untuk menggagalkan ancaman bencana yang lebih besar.

Sesungguhnya, Allah mencintai kebaikan dan membenci kerusakan. Jangan sampai kita malah menjadi hamba yang melakukan apa yang Allah benci. QS. Al-Hasyr ayat 5 selalu mengingatkan kita bahwa perusakan lingkungan yang dilakukan secara sengaja adalah bentuk menentang perintah Allah. Wallahu a’lam bisshawab.

Pemahaman Teologi Versus Bencana Ekologi

Beberapa pekan ini, cuaca ekstrem melanda berbagai daerah di Indonesia. Menyebabkan bencana demi bencana datang tak pernah berhenti. Memang negara ini menjadi salah satu wilayah yang rawan bencana. Karenanya pepatah “Sedia payung sebelum hujan” itu menjadi pelajaran berharga. Sebelum hujan, persiapkan semuanya.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi geografis yang rawan tidak membuat bangsa ini belajar dengan benar. Dari tahun ke tahun: banjir, tanah longsor, kebakaran, adalah di antara tamu yang tak diundang. Selalu datang menyisakan korban.

Lebih ironi, ketika pola pikir menghadapi persoalan tersebut masih terkungkung dengan dogma teologis. Misalnya pengalaman cuitan di X yang dibagikan oleh Kalis Mardiasih di instagramnya, 8 Maret 2025. Dalam tangkapan layar, seorang warga net menuturkan, “Banyak yang cerita kalau mereka nabung bertahun-tahun untuk mobil, motor, dll. Tapi dalam semalam langsung rusak begitu saja, berasa ditampar dan diingetin kalau dunia bener-bener cuma titipan”.

Curhat-an merespons banjir di Bekasi itu lantas dibalas oleh Kalis dengan penegasan:

“Penguasa se-nggak kapabel apapun juga melanggar hukum yang dampaknya semerusak apapun akan selalu tidak diminta being accountable karena mayoritas WNI selalu punya cara untuk merasa berdosa sendiri dan mengambil hikmah sendiri”.

Diskusi singkat di media sosial itu (selengkapnya klik di sini) memberikan makna mendalam yang akan dibahas dalam tulisan ini. Mengapa seseorang bisa dengan mudah menerima bencana ekologi dengan kadar teologi? Bagaimana pemahaman teologi yang tepat untuk mengatasi bencana ekologi?

Sisi Kelam Jabariyah

Mustafa Akyol dalam buku “Reopening Muslim Minds” memberikan ulasan menarik seputar fenomena keberagamaan hari ini. Menurutnya, pemahaman Asy’ariyah yang dianut oleh mayoritas umat Islam membawa kemunduran. Salah satunya dengan akidah jabariyah. Keyakinan ini mempunyai anggapan bahwa segala perbuatan manusia itu sudah ditetapkan kadar atau takdirnya oleh Tuhan. Manusia ibarat wayang digerakkan oleh sang dalang. Sehingga manusia hanya bisa menerima apa pun yang terjadi di dunia.

Pemahaman itu bertolak belakang dengan paham qadariyah yang meyakini manusia mempunyai kehendak bebas untuk memilih dan berbuat. Tanpa kebebasan itu, manusia tak dapat dihukum di akhirat kelak. Hanya mereka yang melakukan sesuatu atas kesadarannya yang dapat dinilai perbuatannya. Paham ini kemudian bersanding dengan Mu’tazilah yang pernah berkuasa pada era Abbasiyah.

Berbeda dengan Mu’tazilah, Asy’ariyah hadir sebagai konter narasi. Memang awalnya mencoba memoderasi kedua paham yang berseberangan. Tetapi dalam perkembangannya, paham jabariyah lebih kuat bersanding dengan Asy’ariyah. Konsep teologis ala jabariyah mempunyai catatan pelik. Sebab tak jarang menjadi alat legitimasi politik. Pemimpin dapat membius rakyatnya dengan mengatakan bahwa setiap kebijakan politik yang berujung bencana adalah takdir Tuhan.

Alih-alih mengkritisi apa yang keliru dari kebijakan yang dipilih, sehingga membuat banjir makin besar. Bahwa setiap pilihan langkah kehidupan akan berdampak pada hasil di masa depan. Apalagi langkah strategis yang dipilih oleh pemerintah. Membabat hutan seraya menggantinya dengan pemukiman atau tempat hiburan jelas akan berpengaruh pada ekosistem lingkungan. Karenanya pemahaman nrimo, tidaklah tepat untuk membangun budaya pemerintah yang lebih baik.

Apalagi Tuhan telah menegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Rum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Ayat ini jelas mengatakan bahwa kerusakan dan bencana itu terjadi karena ulah manusia. Tujuannya agar manusia kembali pada jalan yang benar.

Sederhananya, kalau alam dirusak lantas menyebabkan bencana, maka jalan yang benar adalah dengan memperbaiki yang rusak dan menyatukan yang terserak. Bukan malah menerima kenyataan tanpa ada upaya perbaikan.

Teologi Pembebasan

Dengan memahami keterkaitan wacana teologi dengan ekologi, diperlukan penyegaran pemahaman keagamaan. Salah satunya dengan membawa spirit teologi pada semangat pembebasan. Teologi pembebasan memang bukan hal baru. Banyak tokoh yang sudah menyuarakannya, misalnya Asghar Ali Engineer dalam konteks masyarakat India.

Ada juga feminis Amina Wadud dengan gebrakannya membebaskan ajaran Islam dari budaya patriarki. Pandangan tersebut berfokus pada pembelaan terhadap kelompok marginal. Semuanya manusia. Tentu tetap perlu perlu didukung. Sembari memperluas cakupan pembebasan dengan melibatkan semesta kehidupan. Alam dan hewan juga perlu diperhatikan keberlangsungan hayatnya.

Sebab hal ini juga menjadi lingkaran ‘setan’ yang saling berkaitan. Alam yang dirusak, mendatangkan bencana, kelompok yang pertama kali terdampak adalah mereka yang rentan. Perempuan, anak, dan difabel berlapis struktur sosial yang miskin nan papa. Masalahnya memang kompleks, tetapi itu bisa dimulai dari memahami dan mengamalkan keberagamaan yang tepat.

Orang yang beragama seharusnya memberikan rasa aman bagi saudaranya, demikian kata Nabi. Bagaimana keamanan itu akan datang ketika banyak orang harus was-was kehilangan harta benda tatkala hujan melanda. Bukankah hujan itu rahmat Tuhan? Mengapa menjadi malapetaka? Karena manusia yang serakah.

Memang di satu sisi, pemahaman agama yang mengajak orang menerima takdir membantu manusia bisa pulih lebih cepat dari keterpurukan emosional. Jika tidak, maka bisa saja orang menjadi stres berat karena kehilangan harta yang sudah mati-matian dikumpul. Sayangnya, pemahaman tersebut tidak dapat membantu untuk melihat apalagi menjawab krisis iklim yang sudah terpampang nyata. Bahkan justru membuat pengambil kebijakan duduk manis dengan gelimang harta.

Keimanan Menolak Kezaliman

Menuntut keadilan adalah bagian dari menghidupkan keimanan. Dalam Al-Quran, lawan iman bukan hanya kafir, tetapi juga zalim. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Surat Al-An’am ayat 82: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat petunjuk”.

Kezaliman dalam ayat tersebut memang dipahami sebagai dosa syirik, menyekutukan Tuhan. Bukankah mengejar harta sebanyak-banyaknya hingga merusak alam demi kepentingan kelompoknya juga kesombongan nyata, bagian dari menyekutukan juga? Mengecam dan mencegah kezaliman justru adalah bukti keimanan. Sebaliknya, diamnya orang benar melihat kerusakan bisa menjadi alasan musibah lebih besar datang. Ketika bencana tiba, yang terdampak tidak hanya yang merusak. Semua orang, termasuk yang diam pun akan kena malangnya.

Sebagaimana kata Rumi, “Keadilan adalah menghukum para penindas yang telah membakar hati orang tua maupun anak muda dengan kezalimannya”.

Mari menumbuhkan keimanan yang dekat pada keadilan dan pemulihan, bukan yang melanggengkan kezaliman dan penindasan. Wallahu a’lam.

Tidak Perlu ke Barat: Pelestarian Lingkungan Berbasis Sumber Tradisional Islam

“Lingkungan” seringkali dianggap sebagai konsep Barat yang muncul sebagai respons terhadap krisis lingkungan global. Namun, dunia Islam tradisional memiliki prinsip-prinsip yang mendalam mengenai pelestarian alam yang tertanam dalam ajaran agama Islam. Prinsip-prinsip ini tercermin dalam panduan sehari-hari umat Islam tradisional yang tidak hanya terbatas pada teks-teks agama tetapi juga pada praktik-praktik nyata di masyarakat.

Al-Qur’an menyebutkan fenomena alam sebagai tanda-tanda Tuhan. Alam semesta merupakan cerminan kebesaran-Nya, dan manusia diajak untuk merenungkannya. Dari lebih dari 6.200 ayat dalam Al-Qur’an, sekitar 750 ayat mendorong umat Islam untuk merenungkan alam, sementara hanya 250 ayat bersifat legislatif. Ini menunjukkan pentingnya hubungan manusia dengan alam dalam perspektif Islam.

Literatur hadits dan sirah juga kaya akan episode yang menunjukkan kasih sayang Nabi Muhammad terhadap makhluk non-manusia. Contohnya adalah larangan eksploitasi berlebihan terhadap hewan, kepedulian terhadap kesejahteraan hewan kurban, dan larangan membuang-buang air.

Ajaran Islam juga mengandung konsep-konsep metafisika dan kosmologi yang memiliki relevansi lingkungan. Doktrin manusia sebagai khalifah di bumi menunjukkan tanggung jawab manusia untuk menjaga alam. Dalam tradisi sufi, konsep al-insan al-kamil (manusia sempurna) menegaskan bahwa kehadiran manusia yang sempurna melindungi alam.

Menurut Munjed M. Murad, ajaran sufi dari Jalaluddin Rumi mengajarkan bahwa seluruh kosmos penuh cinta dan berdoa, bahkan kosmos itu sendiri bersifat teofanik (peristiwa penampakan sosok ilahi kepada manusia). Puisi-puisi Rumi dan Sa’di juga menggambarkan pentingnya alam dalam kehidupan spiritual umat Islam, menumbuhkan kekaguman dan keheranan terhadap ciptaan Tuhan.

Dalam syariat Islam, alam memiliki hak-hak (ḥuqūq) yang harus dipenuhi oleh manusia. Terdapat berbagai instrumen hukum Islam yang dapat digunakan untuk pelestarian alam, di antaranya:

  1. Sistem hima yang melindungi situs-situs alam dengan mempertimbangkan kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Dalam Islam, konsep hima merujuk pada aturan-aturan yang mengatur penggunaan dan pelestarian sumber daya alam serta menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan demikian, istilah hima bisa saja berarti taman nasional, hutan lindung, cagar alam, dan lainnya.
  2. Sistem harim yang merupakan wilayah yang dilindungi untuk konservasi sumber daya air. Kawasan ini dapat dimiliki atau dicadangkan oleh individu atau kelompok dalam area yang mereka kuasai. Secara istilah, harim mengacu pada lahan yang dilarang untuk dimanfaatkan kecuali dengan alasan tertentu. Biasanya, harim terbentuk bersamaan dengan keberadaan ladang atau persawahan, dan ukurannya umumnya tidak terlalu luas. Contoh-contoh harim meliputi sungai, mata air, sumur, ngarai, dan sebagainya.
  3. Konsep ihyaal-mawat yang mengelola lahan terlantar menjadi produktif. Secara literal, ihya’ al-mawat berarti “menghidupkan yang mati.” Sebagai istilah, ini merujuk pada upaya untuk mengelola, mengoperasikan, dan memberdayakan lahan produktif yang masih layak digunakan tetapi terbengkalai. Dengan metode ini, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi manusia, satwa, dan lingkungan.
  4. Konsep wakaf juga telah digunakan untuk melindungi alam secara abadi. Wakaf adalah tindakan amal sukarela di mana seseorang menyerahkan aset atau hartanya dengan tujuan menjadikannya berkah. Wakaf biasanya diberikan untuk tujuan mulia yang spesifik, seperti pembangunan masjid, madrasah, atau infrastruktur keagamaan lainnya. Namun, wakaf juga dapat berupa investasi berkelanjutan seperti penyediaan panel surya untuk sekolah, pembangunan sumur dan distribusi air dengan tenaga surya, penanaman sayuran di taman sekitar masjid, atau usaha-usaha pelestarian alam lainnya. Bentuk ini juga sering dikenal sebagai wakaf hijau (green waqf).

Ali Ahmad dalam Environmentalism in the Muslim World memberikan contoh nyata penerapan hukum Islam dalam pelestarian lingkungan di Pulau Misali, Tanzania. Akibat penangkapan ikan yang berlebihan, nelayan lokal menggunakan metode destruktif seperti senjata dan dinamit. Meskipun pemerintah melarangnya, praktik ini hanya dihentikan setelah dikeluarkannya fatwa yang mengharamkan tindakan tersebut. Salah satu nelayan berkata, “Mudah untuk mengabaikan pemerintah, tetapi tidak ada yang dapat melanggar hukum Tuhan”. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen hukum agama dapat lebih efektif dalam menjaga lingkungan dibandingkan dengan hukum sekuler.

Menurut Seyyed Hossein Nasr, kehidupan tradisional di dunia Islam sering kali lebih berkelanjutan dibandingkan dengan masyarakat modern yang dipengaruhi oleh Barat. Ini bukan hasil dari kecocokan dengan wahyu suci, tetapi karena pandangan dunia teosentris yang menghormati kosmos sebagai sesuatu yang sakral. Sebaliknya, pandangan sekuler Barat yang muncul dari Era Pencerahan telah memisahkan manusia dari alam, menyebabkan revolusi industri dan eksploitasi alam yang terus berlangsung.

Kehidupan tradisional di dunia Islam—serta peradaban tradisional lainnya seperti Cina dan India—tidak melanggar ketahanan lingkungan global. Ini menunjukkan bahwa ajaran dan praktik Islam tradisional memiliki kemampuan untuk menjaga hubungan harmonis antara kehidupan manusia dengan alam.

Ilusi Kemaslahatan dalam Bisnis Tambang

Keputusan dua organisasi masyarakat berbasis agama, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (MU), untuk menerima izin pengelolaan tambang dari pemerintah menarik perhatian masyarakat. Dua ormas yang terkenal memiliki banyak perbedaan itu akhirnya satu suara: mereka sama-sama terlibat dalam aktivitas bisnis tambang. Wajah kedua ormas yang selama ini dikenal dengan perannya di masyarakat dalam berbagai bidang pun seketika berubah.

Nahdlatul Ulama sebagai ormas pertama yang menerima tawaran tersebut dikritik habis-habisan mengenai kapasitas dan kapabilitas organisasi dalam bisnis tambang. Reaksi masyarakat semakin membuncah ketika Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, terang-terangan mengungkapkan alasan penerimaan izin tambang untuk kebutuhan pendanaan program dan infrastruktur NU.

Selang dua bulan setelah NU menerima izin pengelolaan tambang, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan Islam yang sama besarnya pun menyusul. Harapan masyarakat yang sudah terlanjur percaya bahwa Muhammadiyah tidak akan terlibat dalam bisnis yang memiliki rekam jejak buruk bagi kondisi lingkungan dan sosial itu pun pupus. Respon masyarakat terhadap organisasi masyarakat berbasis agama pun berubah, seolah tak ada lagi harapan.

Citra Ormas Agama: Tidak Responsif terhadap Masalah yang Mendesak

Selama ini, ormas agama di Indonesia memiliki arti tersendiri karena perannya dalam kehidupan masyarakat. Jika dilihat dari sejarahnya, kedekatan kedua ormas dengan masyarakat sejalan dengan kontribusi mereka terhadap sejarah politik di Indonesia. Baik NU maupun Muhammadiyah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan serta perjalanan menjaga stabilitas politik berbasis demokrasi di Indonesia. Hingga akhirnya, kedua organisasi tersebut fokus terhadap perannya dalam menjaga demokrasi dan menyebarkan nilai-nilai Islam yang moderat serta toleran kepada masyarakat.

Namun, lambat laun, seiring dengan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi oleh masyarakat, citra ormas tak lagi begitu dekat di masyarakat. Dilansir dari riset Hamzah Fansuri melalui The Conversation, terlalu fokusnya kedua ormas tersebut pada isu politik menyebabkan popularitasnya menurun di masyarakat, terutama di kalangan masyarakat perkotaan. Masyarakat menganggap bahwa keberadaan ormas agama tidak mampu merespons permasalahan sehari-hari yang dihadapi, termasuk salah satunya masalah lingkungan. Sehingga, pengaruh kedua ormas ini pun tidak dirasakan dan mengalami penurunan.

Kedua ormas yang jumlah pengikutnya mencapai ratusan juta itu juga dikenal dekat dengan lingkaran elite politik. Menurut artikel peneliti Greg Fealy, NU memiliki citra yang dekat dengan politik kekuasaan pemerintah. Bahkan, menurut peneliti asal Australia tersebut, hubungan pemerintah dengan NU adalah bentuk jebakan politik. Pemerintah pun memberikan banyak keuntungan yang malah dinikmati oleh NU. Sedangkan Muhammadiyah tidak nampak menonjol, bahkan seolah-olah bersikap oposisi, namun tidak banyak menyampaikan kritik terhadap pemerintah.

Masyarakat pun pada akhirnya tidak menemukan ruang untuk permasalahan yang sedang dihadapi, yang berkaitan dengan masalah sehari-hari yang kian lama kian kompleks sebab dan dampaknya. Masalah lingkungan merupakan satu dari masalah sehari-hari yang harus dihadapi oleh masyarakat di tengah banyaknya kerusakan alam dan ancaman krisis iklim.

Bisakah Ormas Membawa Kemaslahatan dalam Bisnis Tambang?

Dalam rilis pers pernyataan Muhammadiyah yang siap mengelola tambang melalui unggahan Instagramnya, Muhammadiyah menyatakan bahwa pertimbangan menerima izin pengelolaan tambang dalam poin pertama adalah sebagai bentuk pemanfaatan kekayaan alam untuk kemaslahatan dan kesejahteraan hidup material dan spiritual.

Pengelolaan tambang, dalam hal ini tambang batu bara, memang bermanfaat untuk kebutuhan energi serta kondisi ekonomi. Di sisi lain, rentetan masalah yang berdampak jangka panjang tidak sepadan dengan manfaat yang dihasilkan. Apalagi, ketergantungan terhadap batu bara semakin mengakar dan berdampak buruk bagi berbagai bidang. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), watak industri tambang yang destruktif justru akan menimbulkan banyak permasalahan baik dari segi lingkungan, hukum, sosial, maupun ekonomi.

Walaupun ada kepercayaan bahwa industri tambang bisa “bersih” dan “berkelanjutan”, kepercayaan itu masih berada pada tahap kemungkinan. Dilansir dari laman National Geographic, masih banyak teknologi baru yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk diterapkan pada skala komersial yang lebih besar. Belum lagi dari segi kebijakan undang-undang dan faktor lain yang tidak sejalan dengan dampak buruk yang dirasakan umat manusia.

Batu bara merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (non-renewable resource). Dalam prosesnya, siklus pengelolaan tidak dapat berkelanjutan karena ketika habis maka akan mencari area baru, yang mana membutuhkan banyak ruang sehingga banyak lahan hidup masyarakat hingga hutan pun ditebang.

Dari segi dampak buruk terhadap lingkungan, bisnis tambang batu bara konvensional masuk sebagai aktivitas manusia yang paling merusak dunia. Peningkatan emisi karbon yang menyebabkan suhu bumi meningkat, banjir dan tanah longsor akibat deforestasi, pencemaran air dan udara, serta kehilangan lahan bagi ragam hayati dan hewani adalah rentetan masalah lingkungan yang menyengsarakan.

Selain itu, bisnis tambang yang hingga kini masih berjalan masif juga bertolak belakang dengan komitmen Indonesia dan berbagai negara di dunia dalam menurunkan emisi karbon. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang berkomitmen menurunkan emisi untuk memperlambat laju suhu agar tidak naik lebih dari 1,5 derajat dalam Perjanjian Paris 2016. Bahkan, Indonesia dalam berbagai konferensi, salah satunya dalam Conference of Parties 26 tahun 2021, menyatakan target nol emisi karbon (Net Zero Emission) pada tahun 2060.

Menurut NRDC, salah satu upaya untuk mengurangi dampak buruk lingkungan yang dirasakan adalah dengan mengembangkan sumber energi terbarukan dalam skala yang lebih besar. Sumber energi terbarukan (renewable energy) merupakan sumber energi yang tersedia oleh alam dan dapat dimanfaatkan secara terus-menerus. Pertanyaannya adalah, jika memang ingin berkontribusi untuk kemaslahatan, mengapa tidak terjun saja dalam bisnis atau program yang berkaitan dengan energi terbarukan?

Padahal, Muhammadiyah memiliki program 1000 Cahaya untuk memilih sumber energi bersih untuk bidang usahanya seperti sekolah, kampus, masjid, hingga badan amal. Pun juga NU yang memiliki program Pesantren Hijau yang mendorong pesantren-pesantren untuk melek teknologi dan pemasangan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Bukankah ini upaya yang bertolak belakang dengan nilai-nilai agama untuk menjaga alam dan tidak berbuat kerusakan?

Dengan ini, melihat watak bisnis pertambangan, dampak, serta kontradiksi atas komitmen pemerintah dan berbagai negara di dunia yang berupaya mengurangi gas emisi karbon, keberadaan ormas agama dalam pusaran bisnis tambang justru akan menghilangkan sisi kebermanfaatan nilai (maslahah) dalam perannya di bidang agama. Selama ini, kemaslahatan hanya berfokus pada manfaat dan nilai. Padahal, menurut Al-Khawarizmi, maslahah tidak hanya berkaitan dengan manfaat, tetapi juga upaya memelihara prinsip-prinsip hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang dapat merugikan manusia.