Rumah KitaB Sosialisasikan Perbup Pencegahan Perkawinan Anak di Cianjur

RABU, 13 September 2023, Rumah KitaB kembali mengadakan diskusi buku “Fikih Hak Anak”. Kali ini diskusi diadakan bersama para penghulu dan hakim agama di Kabupaten Cianjur. Dr. Mardi Candra, S.Ag., M.Ag., M.H., Hakim Yustisial Mahkamah Agung RI, Eka Ernawati, S.H. dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan K.H. Jamaluddin Mohammad, Peneliti Senior Rumah KitaB menjadi narasumber dalam diskusi ini.

Direktur Kajian Rumah KitaB Achmat Hilmi, Lc., M.A. mengatakan bahwa buku “Fikih Hak Anak” merupakan salah satu produk pengetahuan Rumah KitaB yang terbit pada tahun akhir tahun 2022, yang sebetulnya merupakan hasil dari seluruh rangkaian kegiatan Rumah KitaB, baik penelitian lapangan, kajian teks, advokasi dan sosialisasi. Buku ini sudah disosialisasikan di beberapa wilayah kerja Rumah KitaB, salah satunya di Cianjur.

“Sejak awal Rumah KitaB memperjuangkan perlindungan anak melalui program pencegahan perkawinan anak. Sebelum revisi undang-undang tahun 2019, Rumah KitaB sudah bekerja di isu ini di Cianjur sejak 2017. Saat itu Cianjur menempati posisi ketiga dalam jumlah perkawinan anak. Dengan kerja keras semua pihak, kini jumlah perkawinan anak di Cianjur menurun drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya, dari yang sebelumnya berjumlah 500 kasus di tahun 2019 kemudian menjadi 177 kasus di tahun 2023,” kata Hilmi menjelaskan latarbelakang diselenggarakannya diskusi.

Menurut Hilmi, Rumah KitaB telah bekerjasama dengan berbagai pihak di Cianjut dalam mendorong lahirnya Perbub Pencegahan Perkawinan Anak dan Perbub Larangan Kawin Kontrak. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan para penghulu dan hakim agama di Kabupaten Cianjur menjadi lebih sensitif dengan isu perkawinan anak.

Informasi ini dikuatkan oleh Kasi Bimas Islam Kementerian Agama Kab. Cianjur. Ia mengatakan bahwa di Kab. Cianjur saat ini terdapat 32 kecamatan, dan di setiap kecamatan ada satu penghulu. Kalau dilihat jumlah penduduknya, jumlah itu sebenarnya kurang, tetapi bisa dibilang cukup untuk memenuhi kebutuhan di masyarakat. Para penghulu punya peran strategis karena langsung berhadapan dengan masyarakat. Makanya koordinasi perlu terus dibangun lintas sektoral, dengan Disdukcapil, PA, dan pihak-pihak lain yang terkait.

“Setiap pernikahan harus tercatat seperti yang tertuang di dalam aturan dan undang. Apalagi KUA sekarang ada aplikasi bernama Simka yang terintegrasi dengan Disdukcapil. Jadi kalau ada data bodong itu akan langsung ditolak. Para penghulu yang hadir di sini terlibat langsung dalam upaya pencegahan perkawinan anak dan stunting secara teknis di lapangan. Mereka berkoordinasi dengan Puskesmas dan yang lainnya,” jelasnya.

Diskusi Bersama Para Penyuluh Agama Kabupaten Cianjur, Rumah KitaB Mendorong Pemenuhan Hak-hak Anak

SELASA, 12 September 2023 Rumah KitaB menyelenggarakan diskusi buku “Fikih Hak Anak: Menimbang Pandangan Al-Qur’an, Hadis dan Konvensi Internasional untuk Perbaikan Hak-hak Anak” bersama para penyuluh agama Kab. Cianjur di Hotel Gino Feruci Cianjur.

Dalam kegiatan ini Rumah KitaB menghadirkan dua narasumber, yaitu Eka Ernawati dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan K.H. Jamaluddin Mohammad yang merupakan salah satu penulis buku.

Kegiatan diawali dengan sambutan Direktur Kajian Rumah KitaB, Achmat Hilmi, Lc., M.A. yang menyampaikan bahwa di antara tujuan terselenggaranya acara ini adalah untuk mendukung implementasi regulasi yang merupakan salah satu capaian program Rumah KitaB pencegahan perkawinan anak di Cianjur. Regulasi yang dimaksud adalah Perbup tentang Pencegahan Perkawinan Anak (No. 10/2020) dan Pencegahan Kawin Kontrak (No. 38/2021).

“Cianjur merupakan salah satu wilayah kerja Rumah KitaB yang paling menarik. Di sini semua pihak terlibat dan memberikan dukungan. Dan berkat itu, kerja Rumah KitaB di sini telah mendorong lahirnya Perbup mengenai pencegahan perkawinan anak dan larangan kawin kontrak. Diskusi buku Fikih Hak Anak ini ditujukan untuk mengawal implementasi kedua regulasi tersebut,” tuturnya.

Kasi Bimas Islam Kantor Kementerian Agama Kab. Cianjur, Drs. H. Asep Khaerul Mu’min, M.Pd. menyampaikan bahwa Kementerian Agama sangat berkepentingan dengan diskusi buku “Fikih Hak Anak“, khususnya untuk menambah pengetahuan dan membuka wawasan para penyuluh agama di Kab. Cianjur. Sebab mereka yang terjun ke masyarakat memberikan informasi, edukasi, advokatif dan konsultasi.

“Sebagaimana diketahui bersama bahwa fungsi para penyuluh ini adalah informatif, edukatif, advokatif, dan konsultatif. Semakin banyak pengetahuan dan informasi yang mereka peroleh, maka semakin baik mereka menjalankan fungsi-fungsi tersebut di masyarakat, terutama dalam rangka mengawal implementasi regulasi tentang larangan kawin kontrak dan pencegahan perkawinan anak,” ungkapnya.

Asep menambahkan bahwa Kementerian Agama Kebupaten Cianjur dengan Rumah KitaB sudah seperti “bestie” atau teman dekat. Kerjasama sudah lama dilakukan di mana Kementerian Agama Cianjur banyak dibantu oleh Rumah KitaB, khususnya dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Rumah KitaB sering melakukan kegiatan di Cianjur, mulai dari pelatihan penguatan kapasitas anak, pengurus PATBM, dan juga diskusi buku-buku yang terbitkan Rumah KitaB.

Peneliti Senior Rumah KitaB, K.H. Jamaluddin Mohammad, menyatakan bahwa buku “Fikih Hak Anak” mencoba mempertemukan antara hukum internasional yang sudah diratifikasi menjadi hukum nasional di Indonesia (UU Perlindungan Anak) dengan norma agama. Norma agama di sini mencakup tiga hal: pertama, fikih yang merupakan kumpulan pendapat ulama (aqwal al-‘ulama). Kedua, al-Qur’an. Ketiga, hadits.

“Selama ini seolah terjadi kontestasi hukum antara hukum negara dan hukum agama. Dua hukum ini seakan saling berebut pengaruh. Nah, buku ini mencoba mempertemukan keduanya untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Karena keduanya tentu saja memiliki keterbatasan, sehingga sangat perlu dipadukan,” jelasnya.

Menurut Jamal, di antara keterbatasan hukum agama, karena norma yang berlaku sesungguhnya dinamis, bahwa yang baik dipraktikkan di masa lampau belum tentu kompatible dengan konteks masa kini. Misalnya, di dalam fikih, wali boleh memaksa anaknya untuk dikawinkan (haqq al-ijbar). Fakta ini memperlihatkan bahwa fikih memposisikan anak sebagai objek tanggungjawab orang. Tidak memposisikan anak sebagai subjek yang punya hak untuk memilih.

“Di dalam al-Qur’an sudah ada nilai-nilai universal perlindungan anak. Misalnya mengenai hak hadhanah (pengasuhan), hak mendapatkan pendidikan yang baik, dan seterusnya. Nilai-nilai ini perlu digali, diambil dan kemudian dijadikan legitimasi teologis bagi perumusan hukum-hukum positif nasional untuk pemenuhan hak-hak anak di masa kini dan mendatang,” jelasnya.

Eka Ernawati, S.H. menyatakan keprihatinnya pada kenyataan masih banyaknya anak yang menjadi korban kekerasan. Berdasarkan data KPPPA 2022, 57,5% korban kasus kekerasan adalah anak. Sebanyak 21, 241 anak di Indonesia menjadi korban kekerasan.

“Berbagai upaya sudah dilakukan, misalnya dengan mengeluarkan undang-undang perlindungan anak. Undang-undang banyak, tetapi tidak serta merta bisa mengurangi kekerasan terhadap anak. Masih banyak yang menjadi korban pemerkosaan, pelecehan, pencabulan, kawin paksa dan kawin anak, bullying, dan seterusnya,” ungkapnya.

Kalau dilihat dari sisi usia, lanjutnya, jumlah paling tinggi anak menjadi korban kekerasan adalah berusia antara 13 – 17 tahun. Usia remaja, usia gemilang, usia di mana mereka masih ingin terus belajar dan berkembang, tetapi mereka mengalami kekerasan, sehingga masa depan mereka terhambat bahkan hancur akibat dampak buruk kekerasan terhadap kesehatan dan mental mereka. Pelakunya yang paling banyak adalah orang-orang terdekat, seperti pacar, teman, saudara, dan bahkan orangtua anak, yang menunjukkan ruang aman bagi anak sekarang ini semakin menyempit.[RG]

Rumah KitaB Menyelenggarakan Diskusi Buku “Fikih Hak Anak” Bersama Tokoh Agama di Kabupaten Cianjur

FAKTA bahwa Bupati Cianjur telah mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) tentang Pencegahan Perkawinan Anak (No. 10/2020) dan Pencegahan Kawin Kontrak (No. 38/2021) tidak lantas bisa menghapuskan praktik perkawinan anak di Kabupaten Cianjur. Masih banyak ditemukan di berbagai tempat di Cianjur praktik tersebut yang mengakibatkan hak-hak anak terampas, terutama hak mendapatkan pendidikan yang baik.

Hal itu terungkap dalam acara diskusi dan bedah buku “Fikih Hak Anak” bersama para tokoh agama di Kabupaten Cianjur, yang diselenggarakan Rumah KitaB di Aula Pondok Pesantren Nurul Hidayah Al-Khodijiyah, Cianjur, pada Kamis, 31 Agustus 2023, pukul 13.00 – 17.00 WIB.

Hadir sebagai narasumber dalam acara ini Ibu Nyai Dra. Maria Ulfah Anshor, M.Si., pengurus Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) dan K.H. Jamaluddin Mohammad, peneliti senior Rumah KitaB. Sejumlah kiyai, ibu nyai, ustadz/ustadzah dari berbagai pondok pesantren di Cianjur, juga beberapa ketua lembaga dan ormas keagamaan, serta beberapa aktivis/pegiat hak-hak perempuan dan anak diundang Rumah KitaB untuk hadir menjadi peserta diskusi.

Dalam sambutannya, Pimpinan Pesantren Nurul Hidayah Al-Khodijiyah, Kabupaten Cianjur K.H. Deni Ramdhani menyampaikan terima kasih kepada Rumah KitaB yang telah menyelenggarakan kegiatan diskusi di pesantrennya.

“Ungkapan terima kasih kami sampaikan kepada Rumah KitaB yang menginisiasi kegiatan diskusi di pesantren ini. Tentu kami sangat mengapresiasi dan menyambut dengan terbuka setiap kegiatan intelektual untuk menambah wawasan dan membuka pikiran terhadap hal-hal baru yang membawa manfaat bagi kemajuan masyarakat,” tuturnya.

Kiyai Deni mengatakan bahwa buku “Fikih Hak Anak” yang diproduksi Rumah KitaB dapat mengilhami lahirnya diskusi-diskusi baru dalam isu anak guna mendorong berbagai pihak terkait untuk terus meningkatkan upaya pemenuhan hak-hak anak.

Direktur Kajian Rumah KitaB Achmat Hilmi dalam sambutannya menyampaikan bahwa buku “Fikih Hak Anak” lahir melalui proses diskusi panjang yang melibatkan sejumlah peneliti. Dan tujuan dari diskusi ini adalah untuk menggali data dan informasi mengenai hak-hak anak dari berbagai sumber, yaitu hukum internasional, fikih, al-Qur’an dan hadits.

“Buku Fikih Hak Anak ini diterbitkan Rumah KitaB pada awal tahun 2022 kemarin dan sudah dibedah, didiskusikan dan disosialisasikan di berbagai perguruan tinggi Islam dan pesantren di Indonesia. Hal ini akan terus kami lakukan dengan melibatkan berbagai pihak dan para stakeholders untuk memastikan terpenuhinya hak-hak anak. Karena anak adalah harapan masa depan Indonesia, bahkan dunia,” jelasnya.

Menurut Hilmi, buku “Fikih Hak Anak” bisa menjadi sumbangan dari Islam Indonesia untuk dunia mengenai kajian hak-hak anak. Karena buku ini, kendati berjudul “fikih”, tidak hanya membahas hak-hak anak berdasarkan teks-teks Islam, tetapi juga teks-teks di luar Islam, utamanya hukum internasional perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.

Jamaluddin Muhammad mengatakan bahwa buku “Fikih Hak Anak” merupakan rangkaian dari buku-buku yang diterbitkan oleh Rumah KitaB. Semangat buku ini, menurutnya, adalah semangat hak anak, bukan semangat keinginan orangtua.

“Misalnya, selama ini dispensasi kawin diajukan oleh orangtua, bukan oleh anak. Jadi orangtua datang ke KUA untuk menikahkan anaknya, tetapi KUA kemudian menolak karena si anak masih di bawah umur. Karena orangtua tetap ingin menikahkan anaknya, KUA merekomendasikannya untuk meminta dispensasi kawin dari PA. Artinya, perkawinan anak kerap terjadi karena keinginan orangtua, bukan keinginan anak, dan anak cenderung tidak kuasa melawan kehendak orangtua,” paparnya.

Jamal menambahkan bahwa buku “Fikih Hak Anak” mengkaji hak-hak anak melalui sumber-sumber sekuler dan sumber-sumber keagamaan. Sumber-sumber ini dibaca dengan menggunakan Maqashid Syariah berdasarkan al-dharuriyyat al-khams (lima hak dasar), yaitu: hifzh al-din (hak kebebasan beragama dan berkeyakinan), hifzh al-‘aql (hak mendapatkan pengajaran dan pendidika yang baik), hifzh al-nafs (hak hidup, hak jaminan kesehatan jiwa-raga), hifzh al-nasl (hak pengasuhan untuk tumbuh-kembang yang baik), dan hifzh al-mal (hak jaminan terpenuhinya kebutuhan).

Sementara itu, Maria Ulfah Anshor dalam paparannya menyampaikan data KPAI 2020 tentang kasus kekerasan yang melibatkan anak dan kekerasan terhadap anak. Data ini menyebut kasus yang paling tinggi adalah anak berhadapan dengan hukum. Misalnya anak menjadi pengedar narkoba, menjadi pencuri/rampok/begal, dan menjadi pelaku kekerasan/pembunuhan.

“Kasus-kasus ini terjadi karena pola pengasuhan yang kurang baik. Pengasuhan adalah tanggungjawab ayah dan ibu. Keduanya, bukan salah satu dari keduanya. Terutama di masa sekarang di mana gadget seolah sudah menjadi kebutuhan wajib, bahkan bagi anak. Anak menjadi kecanduan pornografi, menjadi teroris, menjadi kecanduan narkoba itu melalui gadget. Ketika orangtua bercerai yang menjadi korban tentu adalah anak,” ungkapnya.

Kasus lainnya, menurut Maria, adalah kekerasan berbasis gender di dunia pendidikan, dan yang paling tinggi adalah di perguruan tinggi, kemudian di pesantren, dan kemudian di sekolah berasrama. Dari semua kasus ini yang paling tinggi adalah kekerasan seksual.

“Kasus kekerasan seksual berbasis gender ini adalah salah satu kasus yang sulit dicegah. Di antara hambatannya adalah impunitas pelaku kekerasan, penundaan berlarut proses hukum karena regulasi, dan tidak adanya SOP untuk perlindungan korban kekerasan seksual. Selain itu, korban sering dipersalahkan, tidak diakui kesaksiannya, dan bahkan dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik,” imbuhnya.

Maria melanjutkan bahwa di antara akar masalah terjadinya kekerasan seksual berbasis gender adalah: pertama, faktor budaya patriarkhi; kedua, relasi kuasa yang timpang; ketiga, pemahaman keagamaan di mana teks-teks agama seringkali dipahami; keempat, kebijakan yang bias gender, ditemukan ada sekitar 400-an Perda yang diskriminatif terhadap perempuan, dan; kelima, diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan.[RG]

Islam Menolak Kawin Anak!

KAMIS, 6 Oktober 2022, Rumah KitaB kembali melakukan sosialisasi buku hasil diskusi Bahtsul Masail bertajuk “Bahtsul Masail Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?” di Aula Pondok Pesantren Darussa’adah, Lampung Tengah.

Hadir dalam kesempatan ini Abah K.H. Muhsin Abdillah (Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’dah Kab. Lampung Tengah), K.H. Ishomuddin (Rais Syuriah PBNU 2015 – 2021), Muhammad Ilhamuddin, S.Ag., S.H. (Hakim Pengadilan Agama [PA] Kab. Lampung Tengah), K.H. Jamaluddin Mohammad (Peneliti Senior Rumah KitaB dan Pengasuh Pondok Pesantren Ciwaringin Cirebon), Usth. Dr. Mufliha Wijayati, M.Si. (Ketua PSGA IAIN Metro Lampung), Ust. Muhammad Nasruddin, M.H. (Dosen IAIN Metro Lampung, Peneliti Rumah KitaB), dan K.H. Achmat Hilmi, Lc., M.A. (P.O. Bahtsul Masail Rumah KitaB).

Dalam sambutannya, K.H. Achmat Hilmi, Lc., M.A. menjelaskan latarbelakang lahirnya buku “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?“. Menurutnya, buku ini lahir didorong oleh keprihatinan Rumah KitaB atas fenomena perkawinan anak di Indonesia yang dari waktu ke waktu selalu mengalami peningkatan.

“Kasus pernikahan anak di Indonesia ada di peringkat ketujuh sedunia. Mengalami kenaikan karena pandemi dan perubahan regulasi. Rumah KitaB bersama koalisi organisasi masyarakat sipil berhasil mendorong perubahan usia minimal menikah dari 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki (UU Perkawinan 1974) menjadi 19 tahun untuk keduanya. Kita berangkat dari lapangan dan kemudian mengeceknya dengan teks-teks keagamaan,” ungkapnya.

Abah K.H. Muhsin Abdillah mengucapkan selamat datang kepada para peserta kegiatan ini dan menyambut baik langkah Rumah KitaB yang menginisiasi perhelatan diskusi mengenai isu perempuan dan anak di Pesantren Darussa’adah. “Saya senang menyimak diskusi mengenai tema ini, di mana hak-hak anak kerapkali diabaikan. Semoga Allah membukakan pintu kemudahan sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang maslahah bagi kita dan masyarakat luas,” tuturnya.

Pada sesi diskusi, K.H. Jamaluddin Mohammad, yang hadir sebagai narasumber, menyatakan bahwa buku “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?” merupakan ringkasan dari sejumlah buku hasil diskusi Bahtsul Masail yang diselenggarakan Rumah KitaB sejak awal berdiri.

“Buku ini sebenarnya adalah ringkasan dari beberapa buku yang sudah diterbitkan Rumah KitaB seperti “Fikih Kawin Anak”, yang membahas persoalan kawin anak dengan perspektif fikih, hukum nasional, dan internasional; “Fikih Perwalian”, yang membahas mengenai relasi suami-istri; relasi orang tua-anak; dan “Maqashid al-Islam”, membahas hak-hak asasi manusia dalam perspektif Islam. Kita membutuhkan sesuatu yang praktis sehingga kita meringkas buku-buku tersebut menjadi “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?””

Menurut kiyai yang akrab disapa Gus Jamal ini, hukum pernikahan anak di dalam fikih tidak tunggal. Beberapa ulama seperti Ibnu Syubramah, al-Asham dan Utsman al-Batti mengharamkannya, meski mayoritas membolehkannya asal syarat dan rukunnya terpenuhi. Rumah KitaB melanjutkan perdebatan yang sudah berkembang sejak lama itu dengan perspektif dan pendekatan modern. Rumah KitaB menggunakan metodologi maqashid al-syari’ah li al-nisa’  untuk membaca teks-teks keagamaan. Maqashid al-syari’ah li al-nisa’ adalah sebuah cara baca yang menghubungkan antara teks dan realitas (konteks). Teks adalah sumber hukum. Realitas juga bisa dijadikan sebagai sumber hukum (al-‘adah muhakkamah). Kebenaran dalam teks dan dalam realitas harus didialogkan.

Melanjutkan apa yang disampaikan oleh Gus Jamal, K.H. Ahmad Ishomuddin memaparkan bahwa banyak syarat yang harus dipenuhi wali supaya boleh menikahkan anaknya yang masih kecil, di antaranya dalam perkawinan itu tidak ada bahaya, tidak ada permusuhan antara bapak/kakek dan anak kecil yang akan dinikahkannya dengan permusuhan yang nyata, si anak harus dinikahkan dengan orang yang setara, dan seterusnya.

Melihat banyaknya syarat tersebut, mazhab Syafi’iyah hampir tidak membolehkan praktik perkawinan anak itu. Karena semakin banyak syarat yang harus dipenuhi maka semakin sedikit orang yang bisa memenuhinya.

Kiyai Ishom kemudian menegaskan, “Selain itu, perkawinan anak menimbulkan banyak mudarat. Pertama, terbengkalainya pendidikan anak atau tidak terpenuhinya hak pendidikan anak. Jika itu dibiarkan terus-menerus, masa depan bangsa bisa hancur. Orang yang melakukan kawin anak dan tidak sekolah akan melahirkan generasi yang bodoh juga. Karena itu, negara harus ikut campur, bukan hanya menetapkan batas usia menikah tetapi juga mewajibkan rakyat untuk memenuhi syarat usia nikah. Kedua, terganggunya kesehatan atau tidak terpenuhinya hak-hak kesehatan anak. Organ reproduksinya tidak siap, mengalami kesulitan saat melahirkan, merusak kehidupan masyarakat karena anak kecil tidak mampu hidup secara bertanggungjawab.”

Upaya pemerintah mengeluarkan peraturan khusus tentang pembatasan usia perkawinan menurut Kiyai Ishom adalah langkah yang sangat baik. Dan, sebagaimana ditegaskan di dalam kaidah fikih, ketentuan pemerintah (hakim) mengikat seluruh warga dan menghilangkan perbedaan pendapat di antara mereka, hukm al-hakim ilzamun wa yarfa’u al-khilaf. Dengan adanya peraturan pemerintah ini, seluruh warga tidak diperkenankan menikah kecuali mereka sudah berusia 19 tahun ke atas. Semua pihak harus didorong untuk menerapkan peraturan tersebut.

Muhammad Ilhamuddin menyampaikan kegembiraannya dengan diadakannya diskusi ini. Ia mengakui bahwa selama menjadi hakim di Pengadilan Agama Kab. Lampung Tengah baru kali ini ia diundang menjadi narasumber dalam diskusi mengenai isu yang sangat sensitif seperti perkawinan anak, yang juga dihadiri oleh para kiyai yang sangat dihormatinya di Lampung. Pengadilan Agama mempunyai kepentingan dengan diadakannya acara-acara sepertinya, terutama untuk menyosialisasikan perubahan UU No. 1/1974 dengan UU No. 16/2019 mengenai usia minimal perkawinan dan Perma No. 5/2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

Ilhamuddin mencatat Mahkamah Agung (MA) menerima 13 ribu perkara kawin anak pada 2018; 24 ribu pada 2019; dan 64 ribu pada 2020. Rata-rata usia pernikahan anak di Indonesia adalah 14,5 tahun untuk perempuan dan 16,5 tahun untuk laki-laki. Menurutnya, “Ini disebabkan di antaranya karena Undang-Undang mengatur adanya dispensasi nikah yang memperbolehkan perkawinan anak di bawah usia 19 tahun dengan alasan-alasan yang sangat mendesak dan didukung bukti-bukti dari pihak ketiga seperti KPAI, psikolog, pihak kesehatan, dinas sosial, dan lainnya.”

Oleh sebab itu, Ilhamuddin setuju bila dispensasi nikah dihapuskan saja karena dispensasi nikah itu ibarat keran bagi masyarakat untuk menikahkan anak-anak mereka. Padahal Pengadilan Agama dibuat sejatinya untuk mempersulit persoalan-persoalan yang seharusnya tidak ada seperti kawin anak, perceraian, dan itsbat nikah.

Narasumber lain, Usth. Dr. Mufliha Wijayati, M.Si., membicarakan perkawinan anak dalam konteks Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Menurutnya, salah satu jenis kekerasan yang diatur dalam UU TPKS adalah pemaksaan perkawinan, termasuk kawin anak dan pemaksaan perkawinan korban pemerkosaan. Pemidanaan dalam UU TPKS ini adalah penjara, denda, dan restitusi. Penjara paling sebentar adalah sembilan bulan dan itu menyasar kasus-kasus ringan seperti pelecehan, cat calling, dan lainnya, sementara penjara paling lama adalah 15 tahun. Dendanya adalah antara Rp10 juta hingga Rp1 miliar.

“UU TPKS ini menarik karena memberikan porsi yang besar bagi masyarakat dalam proses pencegahan dan penanganan. Urgensi UU ini adalah; pertama, negara harus hadir dan memberikan perlindungan kepada warganya dari kasus kekerasan seksual. Kedua, UU TPKS menutup kekosongan hukum yang ada. Hukum yang ada belum bisa memberikan perlindungan yang memadai kepada korban dan menghukum yang memadai kepada pelaku,” jelasnya.

Sementara itu, Ust. Muhammad Nasruddin, M.H. menyoal efektivitas UU pembatasan usia minimal perkawinan. Dalam pengamatannya UU yang ada sekarang ini belum efektif mencegah perkawinan anak karena praktik perkawinan anak tetap ada dan malah semakin meningkat. Orangtua punya peran besar terkait banyaknya praktik ini.

“Karena itu, sebagai rekomendasi, pemerintah sangat perlu menggalakkan pelatihan tentang hakim anak karena tidak semua pengadilan agama punya hakim yang bersertifikat pelatihan tersebut; menambah hakim perempuan yang menangani perkara dispensasi kawin karena mayoritas pemohon dispensasi kawin adalah perempuan dan hakim perempuan bisa menggali informasi dengan baik jika pemohonnya adalah juga perempuan; dan menguatkan visi reproduksi dan tanggung jawab soal istri dalam kehamilan anak; mengoptimalkan peran kursus calon pengantin (suscatin) dan bimbingan perkawinan (bimbin); membuat forum khusus untuk mereka yang sudah mendapatkan dispensasi kawin; berkoordinasi dengan petugas kesehatan untuk memberikan pembekalan khusus terkait kesehatan reproduksi kepada calon pengantin yang usianya masih anak-anak; memperketat itsbat nikah agar itu tidak menjadi pintu keluar bagi mereka yang melakukan kawin anak; mengoptimalisasi pranata sosial untuk menjaga norma; melakukan sosialisasi UU No. 16/2019 ke masyarakat terutama sekolah; memberikan pemahaman kepada anak terkait dampak kawin anak dan kawin yang tidak dicatat; memberikan pendidikan seksual yang komprehensif bagi remaja; dan perlu aturan turunan di Bimas dan KUA, dan menyinkronkannya dengan Perma agar tidak saling lempar,” pungkasnya.[]

 

Perempuan dalam Kontestasi Narasi Keagamaan

Oleh NINUK M PAMBUDY

Narasi bersifat konservatif mendominasi media sosial di Indonesia. Peran perempuan paling banyak dibicarakan dan cenderung menyubordinasi.

Pandemi Covid-19 memberi dampak lebih besar terhadap perempuan dibandingkan terhadap laki-laki. Dari sisi ekonomi, lebih banyak perempuan berada di bidang pekerjaan yang langsung terpengaruh pandemi, seperti jasa pariwisata, rumah makan,  serta jasa perdagangan eceran mikro dan kecil.

Keharusan tinggal di rumah bagi semua orang membuat beban perempuan bertambah. Perempuan harus melakukan pekerjaan rumah tangga, mengurus anggota keluarga, sekaligus mengerjakan pekerjaan bernilai ekonomi, seperti menyelesaikan tugas kantor, berdagang, atau kegiatan wirausaha.

 

Laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women) menunjukkan beban ganda perempuan meningkat, begitu pula kekerasan dalam rumah tangga. Laporan Komnas Perempuan dan LBH Apik memperlihatkan kecenderungan yang sama di Indonesia. Pembatasan sosial menyebabkan layanan bagi perempuan korban kekerasan terbatas dan kesulitan mengakses layanan tersebut.

Di tengah tekanan pandemi, media sosial menjadi salah satu sumber informasi utama. Karena itu, penting mengetahui pembicaraan yang beredar di media sosial.

Media sosial yang membicarakan pandangan keagamaan di Indonesia didominasi pandangan bersifat konservatif.

Hasil penelitian Media and Religious Trend, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang dipublikasi bulan lalu memperlihatkan, media sosial yang membicarakan pandangan keagamaan di Indonesia didominasi pandangan bersifat konservatif.

Penelitian tidak mengambil data saat pandemi Covid-19, tetapi mahadata (bigdata) dari tahun 2009-2019. Menurut peneliti utama, Iim Halimatusa’diyah dan Taufik Edy Sutanto, data kuantitatif berasal dari Twitter dan Youtube. Data kualitatif berdasarkan wawancara dengan 13 narasumber. Meski demikian, kecenderungan yang terjadi masih bisa dirasakan hingga tahun 2020.

Perempuan dalam Kontestasi Narasi Keagamaan

Temuan utama penelitian ini adalah percakapan paham keagamaan didominasi tuturan bersifat konservatif. Dengung percakapan konservatisme menguasai perbincangan dengan 67,2 persen, moderat 22,2 persen, liberal 6,1 persen, dan yang Islamis 4,5 persen.

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan paham keagamaan konservatif adalah menolak modernisme, liberalisme, atau progresivitas dalam menjelaskan ajaran agama; mematuhi ajaran atau doktrin dan tatanan sosial seperti pada masa awal turunnya ajaran  tanpa perlu ada konteks dengan masa kini; menolak pendekatan hermenetik modern terhadap kitab suci; menyanggah tradisi lokal; dan menolak ide kesetaraan jender.

Subordinasi

Di dalam narasi konservatif tersebut, yang banyak muncul adalah isu mengenai perempuan, hubungan negara, warga negara dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, serta terkait amalan baik dan buruk.

Dalam isu tematik mengenai perempuan dan jender, paham konservatif digunakan untuk membangun pandangan yang menyubordinasi perempuan, membatasi gerak perempuan pada ranah domestik.

Perempuan buruh  dari berbagai kelompok menggelar aksi memperingati Hari Perempuan Internasional di Taman Aspirasi, seberang Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (8/3/2020). Dalam aksinya mereka menyuarakan sejumlah hal terkait penyetaraan hak perempuan.

Perempuan buruh  dari berbagai kelompok menggelar aksi memperingati Hari Perempuan Internasional di Taman Aspirasi, seberang Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (8/3/2020). Dalam aksinya mereka menyuarakan sejumlah hal terkait penyetaraan hak perempuan.

 

Temuan penelitian UIN Jakarta tersebut sejalan dengan temuan Rumah Kitab, sebuah lembaga kajian. Kajian kualitatif konten bernada keagamaan dengan menggunakan pencarian tanda pagar #perempuanbekerja selama November 2020 menemukan larangan perempuan bekerja di luar rumah. Alasannya, fitrah perempuan adalah berada di rumah. Perempuan dapat bekerja di luar rumah dengan banyak syarat, di antaranya mengatur pakaian dan dandanan.

Direktur Eksekutif Rumah KitaB Lies Marcoes menyebut, tidak satu pun narasi itu menyebutkan dasar hukum agama yang sahih. Percakapan itu seolah-olah melindungi perempuan dengan mengembalikan perempuan ke dalam rumah, tetapi tidak satu pun membahas isu kesehatan reproduksi atau kekerasan yang dialami perempuan di dalam rumah,  dan beban ganda yang semakin berat akibat pandemi Covid-19.

Kontestasi wacana

Apabila mengikuti percakapan di media sosial, termasuk di dalam Whatsapp sebagai media komunikasi digital personal maupun di tingkat komunitas yang sangat populer, tampak kontestasi dalam merebut wacana peran jender dan perempuan.

Perempuan dalam Kontestasi Narasi Keagamaan

Webinar bertema jender, perempuan, dan feminisme diisi wacana yang mendukung kesetaraan dan keadilan jender maupun wacana konservatif dan bahkan bersifat fundamentalis yang menyubordinasi dan mendomestikasi perempuan.

Kontestasi terbuka secara digital ini menarik karena memberi ruang bagi berbagai aspirasi untuk muncul ke permukaan dan bertemu dalam argumentasi yang mewakili pandangan berbagai kelompok di masyarakat. Wacana tandingan juga dapat dimunculkan dan dibicarakan terbuka, memberi masyarakat pilihan pandangan yang paling mewakili kepentingannya.

Hal menarik lain adalah munculnya narasi tandingan dari perempuan sendiri yang menolak pandangan konservatif, terutama domestikasi perempuan. Analisis media maupun penelitian kualitatif lapangan Rumah Kitab akhir tahun lalu hingga pertengahan 2020 menemukan penolakan perempuan terhadap narasi perempuan tidak boleh beraktivitas di luar rumah untuk bekerja atau berkegiatan sosial.

Narasi yang mendomestikasi perempuan mengabaikan fakta perempuan memiliki sumbangan besar pada kelangsungan keluarga melalui peran ekonomi bernilai pasar. Data Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, sebuah organisasi nonpemerintah, jumlah rumah tangga dikepalai perempuan sebesar 14,7-25 persen dari total rumah tangga. Perempuan kepala keluarga adalah pencari nafkah, pengelola rumah tangga, menjaga keberlangsungan kehidupan keluarga, dan pengambil keputusan dalam keluarga. Sementara data Badan Pusat Statistik ada 15,46 persen rumah tangga dikepalai perempuan pada 2019.

Perempuan yang bekerja dan berpenghasilan memiliki kemampuan agensi lebih besar.

Ekonom Amartya Sen di dalam bukunya, Development as Freedom (1999), melihat perempuan yang bekerja dan berpenghasilan memiliki kemampuan agensi lebih besar. Suaranya lebih dihargai di dalam rumah tangga dan komunitasnya karena sumbangan ekonominya. Apabila sesuatu tak diinginkan terjadi di rumah tangga, dia memiliki peluang sintas lebih besar. Bergaul di luar rumah juga meningkatkan kapasitas pengetahuannya yang berguna bagi anggota rumah tangga.

Banyak penelitian Bank Dunia menunjukkan, perempuan yang bekerja dan memiliki penghasilan sendiri menggunakan pendapatannya untuk makanan keluarga dan kesehatan yang lebih baik serta membiayai sekolah anak-anaknya, atau memenuhi kebutuhan anggota keluarga.

Isu perempuan dan jender ke depan masih akan terus menjadi kontestasi karena tubuh perempuan dianggap sebagai simbol penguasaan dan dominasi suatu kelompok dan narasi atas yang lain. Membangun agensi perempuan menjadi penting untuk dapat menjawab pemenuhan kebutuhan strategis dan praktis perempuan.

Sumber: https://bebas.kompas.id/baca/dikbud/2020/12/09/perempuan-dalam-kontestasi-narasi-keagamaan/

P2TP2A Cianjur Minta Orang Tua Cegah Perkawinan Dini

CIANJUR, CAKRAWALA.CO- Maraknya pernikahan dini akhir-akhir ini, membuat Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak  (P2TP2A) Cianjur, Jawa Barat meradang. Bahkan dari tahun ke tahun kasus perkawinan dini terus terjadi. Sehingga P2TP2A Kabupaten Cianjur gencar melakukan sosialisasin terhadap Peraturan Bupati No 10 tahun 2020 tentang pencegahan perkawinan usia anak. Dalam sosialisasi yang melibatkan para orang tua tersebut, P2TP2A bekerjasama dengan Lembaga Rumah Kitab.

Ketua harian P2TP2A Lidya Indayani Umar menjelaskan, pernikahan anak dibawah usia dini (pernikahan dini) ada disetiap desa di Kabupaten Cianjur. Akan tetapi seperti fenomena gunung es, ada yang terlihat dan tidak terlihat.

“Terlihat apabila sudah ada korban perkawinan dini, barulah masyarakat melaporkannya.Tidak semua masyarakat atau keluarganya berani melaporkan. Namun, kami harapkan dengan adanya sosialisasi Perbup ini, harapan kami dapat meminimalisir, bagusnya lagi tidak ada lagi kasus perkawinan dini, orang tua harus bisa mencegahnya,” ungkap Lidya pada cakrawala, jumat (27/11)

Dikatakan lidya, pihaknya ingin masyarakat sadar hukum dan mengerti batas usia pernikahan berdasarkan peraturan baru No 16 Tahun 2019 tentang batas usia menikah bagi laki-laki dan perempuan yaitu berusia 19 tahun sebagai regulasi dari Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Sumber: https://cakrawala.co/p2tp2a-cianjur-minta-orang-tua-cegah-perkawinan-dini/

Pertarungan Agama dan Negara: 100 Tahun Perjuangan Pencegahan Kawin Anak

Bagi Nursyahbani Katjasungkana, pernikahan anak adalah bagian dari sejarah hidup yang memberinya trauma. Ketika pindah dari Madura ke Parelegi, Pasuruan pada tahun 1963, Nursyahbani menemukan banyak kawan baru. Namun, satu persatu kawan bermainnya itu dikawinkan oleh orangtua mereka ketika masih anak-anak. Suami mereka, biasanya 15 tahun lebih tua, dan perkawinan itu terjadi salah satunya karena tradisi dan faktor ekonomi.

“Dia masih kelas 5 SD, dia pernah tidak naik kelas, mungkin usianya waktu itu 14 tahun. Bagi saya itu seperti melihat pohon-pohon atau bunga-bunga yang baru mekar, dipuntes sampai habis, dan itu membuat saya menangis terus-menerus, meskipun saya juga lihat dia didandani, ada pesta besar, motong sapi, begitu ramai,” kata Nursyahbani.

Nursyahbani Katjasungkana. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Nursyahbani Katjasungkana. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

 

Tiga hari setelah pesta itu, sang suami pulang ke desanya. Rupanya, kawan main Nursyahbani yang dikawinkan paksa itu, setiap malam mengikat sekujur tubuhnya dengan kain stagen.

Ketika masih tinggal di Madura, aktivis perempuan juga sering melihat ada pengantin anak yang dikawinkan secara paksa dengan pedagang sapi. Peristiwa-peristiwa itu menjadi trauma bagi Nursyahbani. Apalagi dia melihat sendiri bagaimana perjuangan para korban, seperti melarikan diri ke rumah nenek atau minggat. Anak-anak perempuan itu tetap mengikuti perintah orang tuanya untuk didandani dan dipestakan tetapi kemudian pergi.

“Dari situ saya bertekat menjadi pembela hak perempuan yang mengalami perkawinan anak dan berbagai diskriminasi. Bermula dari sanalah, cita-cita saya untuk menjadi sarjana hukum. Saya masih bertemu dengan teman saya itu, terakhir tahun lalu saya. Dia punya warung kecil, dan sudah menikah empat kali,” papar Nursyahbani yang kini Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia.

Perjuangan Satu Abad

Seperti juga Nursyahbani, kawin anak adalah peristiwa traumatis bagi banyak perempuan Indonesia lainnya, baik yang sekedar melihat atau mengalaminya secara langsung. Isu ini menjadi bagian dari sejarah Indonesia, termasuk bagaimana campur tangan pemerintah kolonial, pemerintah Indonesia dan perjuangan aktivis perempuan untuk menghapusnya.

Rumah Kitab, lembaga studi berbasis pesantren, menghadirkan sebuah laporan sejarah upaya pencegahan anak di Indonesia setidaknya selama 100 tahun terakhir. Infografis sejarah panjang ini, dipaparkan dalam Cakap Kamisan: Maju Mundur Perjuangan Pencegahan Perkawinan Anak, yang digelar Kamis (26/11).

Lies Marcoes dari Rumah Kitab menjelaskan, periodisasi isu kawin anak di Indonesia setidaknya bisa dibagi dalam lima era, yaitu Kolonial, Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.

Infografis 100 tahun perjuangan perkawinan anak kolonial - Orde Lama.

Infografis 100 tahun perjuangan perkawinan anak kolonial – Orde Lama.

“Berangkat dari infografis ini, menggambarkan bahwa tiap zaman pada upaya pencegahan perkawinan anak, itu memiliki konteks sosial politiknya, yang tidak bisa diseret dari satu zaman ke zaman yang lain. Itu yang disebut momentum. Ada momentum yang menentukan kenapa isu itu dan bagaimana isu itu bisa diangkat,” kata Lies Marcoes.

Di era kolonial, kawin anak bukanlah sebuah isu karena dilakukan secara umum. Meskipun tokoh seperti RA Kartini sudah turut membincangkan hal ini. Pemerintah kolonial berperan melalui penghulu, berhadapan dengan tokoh agama. Karena sentimen kepada pegawai kolonial, masyarakat lebih memilih menikah di depan tokoh agama.

Era kemerdekaan dan Orde Lama diwarnai dengan pembangunan birokrasi pasca penjajahan. Tahun 1946 Kementerian Agama mulai berdiri, dengan Direktorat Kepenghuluan di dalamnya yang mengurus pernikahan, perceraian dan rujuk. Aktivis perempuan dalam berbagai organisasi mulai mengagendakan isu ini, yang sebenarnya sudah dimulai sejak era kolonial.

Infografis 100 tahun perjuangan perkawinan anak Orde Baru-Reformasi.

Infografis 100 tahun perjuangan perkawinan anak Orde Baru-Reformasi.

 

Ada perdebatan kuat di era Orde Baru ketika membicarakan usia pernikahan. Kalangan agama yang dimotori NU mengusulkan usia minimal 15 tahun, sedangkan aktivis perempuan yang dimotori oleh anggota DPR, Maria Ulfa, meminta usia 18 tahun. Orde Baru mengambil jalan tengah dengan menetapkan usia minimal 16 tahun dalam UU Perkawinan.

Orde Baru menekan kelompok fundamentalis, sehingga ide-ide terkait perkawinan anak mereka tidak muncul. Barulah di masa reformasi, kelompok ini memanfaatkan kebebasan berpendapat dengan ide-ide yang didasari teks ajaran agama.

“Atas nama demokrasi, di era reformasi fundamentalis bangkit dengan gagasan yang flash back ke belakang, yang menganggap perkawinan anak tidak boleh diatur dengan pandangan modern,” ujar Lies.

Kelompok ini, lanjut Lies, tidak mempermasalahkan perkawinan di bawah umur. Menurut mereka, yang harus menjadi masalah adalah problem perzinaan dan sejenisnya. Karena itulah, isu perkawinan anak kemudan masuk ke ramah akidah, atau sesuatu yang harus, dan tidak lagi masalah fikih yang membebaskan pilihan tergantung argumentasinya. Kelompok ini meyakini, agama tidak membicarakan angka umur dalam soal perkawinan. Lies menegaskan, sejak era reformasi ada kontentasi antara pandangan keagamaan dan hukum positif.

Ryan Febrianto. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Ryan Febrianto. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Kawin Anak di Mata Milenial

Ryan Febrianto, peneliti Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia menilai ada celah dalam perjuangan penghapusan kawin anak di Indonesia. Dalam diskusi ini dia menyatakan, infografis yang disusun Rumah Kitab memperlihatkan bahwa advokasi isu ini, sejak era penjajahan hingga sekarang seolah dimonopoli kelompok sosial tertentu.

Ryan mempertanyakan, apakah ruang yang dibangun sekarang dalam gerakan stop perkawinan anak, adalah ruang inklusif untuk beragam anak dan kaum muda terlibat di dalamnya.

Dalam sebuah artikel berjudul Are Indonesian Girls Okay?, yang diterbitkan Jurnal Studi Pemuda, UGM,Yogyakarta, Ryan memaparkan bagaimana lembaga pembangunan masih memposisikan anak dan kaum muda sebagai individu rentan dan korban.

Perkawinan Anak di Indonesia. (Foto: Courtesy/Armin Hari)

Perkawinan Anak di Indonesia. (Foto: Courtesy/Armin Hari)

“Alhasil berbagai inisiatif pencegahan perkawinan anak, luput mempertimbangkan agensi anak dan kaum muda yang kian berkembang bentuknya dalam memutuskan perkawinan. Cara pandang sempit melihat anak perempuan, luput terhadap peran anak laki-laki dalam isu perkawinan anak,” papar Ryan.

Ryan berharap, gerakan penghapusan kawin anak ke depan akan lebih banyak menyertakan anak muda. Dia meyakini, dalam keberagamannya, generasi muda memiliki kapasitas untuk melakukan perubahan.

Politisi milenial, Gemintang Kejora Mallarangeng mendesak perlunya keterlibatan generasi milenial secara aktif, tidak sekadar jargon. Mereka harus terlibat dalam penyusunan rencana gerakan sehingga kampanye yang dilakukan dapat efektif. Anak muda bisa menjadi bagian dari setiap gerakan organisasi, ikut menyusun strategi gerakan, atau menjadi juru bicara.

Saat ini, kehadiran generasi milenial dalam gerakan semacam ini sangat minim.

Gemintang Kejora Mallarangeng. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Gemintang Kejora Mallarangeng. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

“Karena tidak adanya representasi, bentuk-bentuknya menjadi tidak mengikuti perkembangan zaman. Salah satu yang digeluti anak muda sekarang, yang berbeda dibanding pergerakan zaman dulu adalah penggunaan teknologi, yang pastinya merupakan instrumen yang sangat penting di dalam pergerakan apapun itu, termasuk dalam hal ini, pernikahan anak,” kata Gemintang.

Di sisi lain, Gemintang justru melihat bahwa pola gerakan kelompok pro-pernikahan dini justru banyak mengadopsi gaya milenial, termasuk pemanfaatan platform teknologi yang ada. Kondisi ini menggambarkan kurangnya kehadiran generasi milenial dalam kampanye ini sepenuhnya. Akibatnya, banyak pesan-pesan penghentian perkawinan anak yang justru tidak sampai kepada generasi milenial saat ini. [ns/ab]

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/pertarungan-agama-dan-negara-100-tahun-perjuangan-pencegahan-kawin-anak/5678663.html

Pernikahan Dini di Jateng Meningkat, 8.338 Remaja Lepas Status Lajang

SuaraJawaTengah.id – Pernikahan anak di bawah umur di Provinsi Jawa Tengah (Jateng) masih mengalami peningkatan dalam setahun belakangan ini.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jateng, ada sekitar 1.377 anak laki-laki dan 672 anak perempuan yang melakukan pernikahan pada 2019. Jumlah ini melonjak di tahun 2020, di mana 1.070 anak laki-laki yang melakukan pernikahan dini, sedangkan anak perempuan mencapai 7.268 orang.

Dilansir dari Solopos.com, Kepala DP3A Jateng, Retno Sudewi, mengatakan pernikahan dini atau anak di bawah umur disebabkan berbagai faktor seperti ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan hamil di luar nikah.

Selain itu, lonjakan pernikahan dini itu juga disebabkan adanya perubahan batasan usia menikah yang ditetapkan dalam UU No.16/2019 tentang perubahan atas UU No.1/1974 tentang Perkawinan.

Semula, batasan usia menikah adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Namun, kini batasan usia menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah sama yakni 19 tahun.

“Angka untuk Jateng terdapat 10,2% yang menikah pada usia anak. Ini banyak terjadi di Jepara, Pati, Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga. Angka perkawinan anak termasuk tinggi,” ujar Retno Rabu (18/11/2020).

Retno mengaku berbagai upaya telah dilakukan Pemprov Jateng dalam menekan angka pernikahan dini itu. Meski demikian, ia menilai upaya itu tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat.

“Harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media,” katanya.

Sementara itu, aktivis anti-perkawinan usia anak dari Yayasan Kita Bersama, Lies Marcoes Natsir, menilai Jateng memiliki modal bagus untuk menjadi penggerak pencegahan perkawinan anak.

“Jateng punya modal sosial, politik, ekonomi yang bisa mencegah perkawinan anak. Berdirinya PKK di Indonesia juga diawali dari Jateng. Dari segi keagamaan, Jateng memiliki banyak pesantren. Sedangkan kekuatan ekonomi, Jateng memiliki banyak industri. Ini modal besar sebenarnya,” ujar Lies Marcoes.

Sedangkan Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rahesli Humsona, menilai tingginya angka perkawinan anak di Jateng merupakan pelanggaran hak-hak anak.

Meskipun terdapat budaya masyarakat yang menempatkan kawin usia anak sebagai sebuah keharusan, namun itu harus diubah dengan cara diberi pengertian.

“Perkawinan anak adalah pelanggaran. Hak pendidikan anak menjadi hilang. Anak perempuan yang kawin tidak boleh sekolah. Ini membuat kesempatan berkreativitas juga terhambat. Ini juga memasukkan anak pada lingkaran kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis,” terang Rahesli.

Sumber: https://jateng.suara.com/read/2020/11/20/114036/pernikahan-dini-di-jateng-meningkat-8338-remaja-lepas-status-lajang?page=all

Atasi Kawin Bocah di Jateng, Gebrakan Multisektor Harus Kompak

RATNA (nama samaran), seorang anak usia 14 tahun berasal dari sebuah desa di Kabupaten Rembang, mengaku ketakutan ketika ia dipaksa oleh orangtuanya untuk menikah. Kala itu ia masih duduk di kelas 2 sebuah sekolah setingkat SMP. Orangtua Ratna adalah keluarga miskin. Kondisi ini membuat mereka saat itu langsung menerima saja lamaran dari seorang juragan kapal yang ingin meminang anak gadisnya, dengan tawaran mahar sebesar Rp 150 juta.

Beruntung di Rembang ada Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang sangat peduli terhadap kasus-kasus pernikahan bocah. Menurut Abdul Baastid, salah seorang pendamping Puspaga Kabupaten Rembang, untuk mendapatkan dispensasi pernikahan harus melalui syarat yang cukup banyak.

“Kami juga berusaha mengetahui apakah pernikahan itu karena paksaan ataukah hal-hal tertentu lainnya,” kata Abdul Baastid, saat menjadi pembicara di webinar “Gerakan Bersama Jo Kawin Bocah: Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Jawa Tengah”, Rabu (18/11/2020).

Dalam kegiatan yang digelar kerjasama antara Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Jawa Tengah, Kantor Perwakilan UNICEF Wilayah Jawa, Yayasan Setara,  dan didukung kalangan akademisi itu terungkap fakta, bahwa berdasar data di BPS tahun 2019, sebanyak 10,82 persen dari total anak di Indonesia melakukan kawin pada usia anak. Sementara di Jawa Tengah sendiri angkanya mencapai 10,2 persen dari total anak, juga melakukan kawin usia pada anak.

Pada kasus Ratna, Abdul Baastid menjelaskan, semula kedua orang tua Ratna mengaku, anaknya dan calon suaminya sudah pacaran. Namun saat ditelisik lebih jauh, Ratna ternyata ragu untuk menikah. Ia masih ingin bersekolah.

“Ketika ada kabar mahar Rp 150 juta, saya kemudian menduga ini ada unsur human trafficking. Namun ketika saya bertanya ke Polresta Rembang, unsur human trafficking itu belum bisa dikenakan apabila belum terjadi pembayaran. Nah, jika sudah ada pembayaran berarti kan sudah menikah. Itu sama dengan terlambat. Kami lalu berusaha mencari cara lain menyelamatkan Ratna lebih jauh,” tutur Baastid.

Tim Puspaga Kabupaten Rembang akhirnya menemukan fakta yang kuat, bahwa Ratna benar-benar belum mau menikah. Ia masih ingin melanjutkan sekolah. Dengan alas an tersebut maka rencana pernikahan yang sudah disusun pun akhirnya batal.

”Ratna kemudian melanjutkan sekolahnya. Sekarang ia duduk di kelas 11 di Madrasah Aliyah. Dia tinggal di pesantren. Biaya sekolah dan di pesantren ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten Rembang. Bahkan para donatur pun ada yang sanggup membiayai,” ujar Baastid.

Menurut Child Protection Officer UNICEF Indonesia Derry Ulum, berdasarkan data proyeksi BPS di tahun 2018, sebanyak 30 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia adalah anak-anak atau sekitar 79,55 juta jiwa.

“Dari data laporan BPS juga diketahui, pada tahun 2019, satu dari sembilan anak perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Sementara untuk anak laki-laki, satu dari 100 anak mengaku menikah di bawah usia 18 tahun,” ujar Derry.

Derry juga menceritakan kasus anak bernama Fatma (bukan nama sebenarnya), 16 tahun, dari Bone, Sulawesi Selatan. Fatma dikisahkan Derry, harus menghadapi kenyataan pahit ketika dirinya sesampainya di rumah sepulang sekolah, sudah dinanti oleh calon suami pilihan orang tuanya. Orang tua Fatma hendak menikahkan anak yang masih duduk di bangku kelas 1 SMA itu dengan saudara jauh mereka yang berusia 34 tahun. Fatma jelas menolak, karena ia masih ingin sekolah.

“Kebetulan orang tua Fatma adalah orang berkecukupan. Fatma ke sekolah naik sepeda motor, punya laptop, punya HP.  Namun ia harus berhadapan dengan kebiasaan di daerahnya. Anak gadis sebelum lulus sekolah harus dapat jodoh.  Harus menikah. Itu sudah keputusan keluarga,” kata Derry.

Pengetahuan Fatma yang cukup membuat gadis ini memilik nyali untuk melapor ke kader perlindungan anak di desa. Lalu dengan cara mediasi bersama kepala desa, rencana pernikahan itu pun akhirnya batal. Fatma kini tetap bersekolah, bisa belajar dan bergaul dengan teman-teman sebayanya. Sehingga, pengetahuan remaja tentang kemana melapor dan adanya layanan perlindungan anak sampai di tingkat desa sangatlah penting.

Jika melihat data yang disajikan oleh BPS pada tahun 2019, maka sebanyak 10,82 persen perempuan usia 20-24 tahun di Indonesia menikah di awah usia 18 tahun. Kalau diperkirakan ini sekitar 1,2 juta anak-anak di negeri ini yang mengalami pernikahan di bawah umur.

”Tentunya ini yang tercatat atau terdata. Belum bisa dibayangkan mereka yang menikah siri atau tidak tercatatkan,” ujar Derry.

Sementara Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah Retno Sudewi mengungkapkan, Provinsi Jawa Tengah yang berpenduduk 34,7 juta (BPS tahun 2019), sepertiganya adalah anak-anak. Jumlah usia anak ini menjadi lebih besar ketika UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan. Karena batasan usia nikah bagi laki-laki dan perempuan harus 19 tahun.

”Angkanya untuk Jawa Tengah terdapat 10,2 persen yang menikah pada usia anak. Ini banyak terjadi di Jepara, Pati,  Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga. Penyebanya adalah faktor ekonomi atau kemiskinan, faktor sosial budaya masyarakat, pendidikan, dan hamil di luar nikah. Angka perkawinan anak termasuk tinggi,” kata Retno Sudewi.

Menurut Retno Sudewi, pada tahun 2019 jumlah pernikahan anak  laki-laki 1.377 dan perempuan 672. Setelah terbit undang-undang yang baru, maka hingga September 2020 jumlah anak laki-laki yang menikah ada 1.070 dan perempuan 7.268.Dari hasil penelitian, anak perempuan dari keluarga yang berpenghasilan rendah lebih berpotensi menikah pada usia di bawah 18 tahun daripada keluarga yang berpenghasilan tinggi.

“Karena beberapa faktor tadi pemerintah Jateng, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan gerakan masif agar kawin bocah tercegah. Di sini harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media,” kata Retno.

Sementara itu Ketua Pengadilan Agama (PA) Purworejo, Abdurrahman mengatakan, selama ini asumsi yang berkembang adalah PA adalah instansi penyubur perkawinan anak.

“Terus terang kami juga memiliki problematika. Sebab pintunya lewat Pengadilan Agama. Bahkan ada tulisan tidak perlu dispensasi pernikahan. Kami memiliki problematika sendiri. Kami justru menjaga jangan sampai terjadi pernikahan anak,” kata Abdurrahman.

Abdurrahman melihat perlunya kolaborasi aktif dari seluruh pihak yang memiliki kaitan dengan masalah perkawinan usia anak di Jawa Tengah ini. Ia ingin ada kerjasama intensif untuk bersama-sama menanggulangi masalah ini.”Saya ingin kita semua bergandengan tangan. Bergerak bersama-sama. Karena ini tidak mungkin bisa ditangani satu sektor saja,” ujar Abdurrahman, yang mengaku bersedia dengan tangan terbuka jika diajak bekerjasama menekan angka kawin anak di Jawa Tengah.

Data di PA Purworejo, pada tahun 2017 ada pengajuan dispensasi 96, yang dikabulkan 80. Lalu pada tahun 2018 pengajuan dispansasi 79, dikabulkan 61, tahun 2019 setelah ada UU No 16 Tahun 2919, pengajuan dispensasi mencapai 137. Tahun 2020 hingga Oktober permohonan ada 282 dan dikabulkan 261.

Aktivis anti perkawinan usia anak dari Yayasan Rumah Kita Bersama (Yayasan Rumah KitaB) Lies Marcoes Natsir, tahun ini menurutnya menjadi momen bagus untuk Jawa Tengah untuk pencegahan perkawinan usia anak. Jateng punya modal sosial, politik, ekonomi yang bisa mencegah perwakinan anak. ”Berdirinya PKK di Indonesia juga diawali dari inspirasi Jawa Tengah saat itu. Dari segi keagamaan, Jawa Tengah juga memiliki pesantren dengan jumlah cukup banyak. Sementara untuk kekuatan ekonomi, industri banyaknya di Jawa Tengah. Ini modal besar sebenarnya,” ujar Lies Marcoes Natsir.

Lies menilai ada korelasi antara hilangnya akses masyarakat terhadap lahan (agrarian) dengan jumlah perkawinan usia anak. Perubahan politik ekonomi di pusat berpengaruh pada relasi jender.

”Harus ada lembaga pendidikan tingkat desa setingkat SMA. Harus ada lapangan kerja setelah anak-anak lulus SMA. Itu jalan keluar terbaik untuk mencegah perkawinan usia anak,”jelas Lies Marcoes.

Fenomena tingginya angka perkawinan usia anak di Jateng diakui Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret, Rahesli Humsona, merupakan pelanggaran dari hak-hak anak. Meskipun terdapat budaya masyarakat yang menempatkan kawin usia anak sebagai sebuah keharusan, namun itu harus diubah dengan cara diberi pengertian.

”Perkawinan anak adalah pelanggaran. Hak pendidikan anak menjadi hilang. Anak perempuan yang kawin tidak boleh sekolah. Ini membuat kesempatan berkreativitas juga terhambat. Ini juga memasukkan anak pada lingkaran kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis,” terang Rahesli.

Di saat pandemi seperti saat sekarang, juga dinilai Rahesli turut mempengaruhi anak-anak lebih banyak mengkonsumsi internet dengan alasan belajar daring. Kondisi ini membuat anak-anak menjadi jenuh. Mereka ingin hiburan namun tidak bisa bebas keluar, sehingga konten porno di internet menjadi salah satu pelarian.

Rahesli mengingatkan para orang tua agar lebih sering mengawasi anak-anak saat mengkonsumsi internet, sekalipun saat belajar daring. Orang tua juga harus berani memanggil anak-anak mereka yang telah berpacaran, dan memberi pemahaman tentang pendidikan seksualitas yang benar.

Sumber: https://www.suaramerdeka.com/news/liputan-khusus/247536-atasi-kawin-bocah-di-jateng-dobrakkan-multisektor-harus-kompak

Angka Pernikahan Anak di Jateng Naik Jadi 8.338 Kasus

SEMARANG, KOMPAS.com – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah mencatat adanya peningkatan pernikahan anak di bawah umur. Pada tahun 2019 ada 2.049 pernikahan anak. Adapun hingga September 2020 jumlahnya meningkat sebanyak 8.338 kasus. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah Retno Sudewi mengungkapkan, meningkatnya kasus pernikahan anak ketika UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan disahkan. Sebab, batasan usia menikah bagi laki-laki dan perempuan harus 19 tahun. “Angkanya untuk Jawa Tengah terdapat 10,2 persen yang menikah pada usia anak. Ini banyak terjadi di Jepara, Pati, Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga,” jelasnya dalam diakusi webinar “Gerakan Bersama Jo Kawin Bocah: Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Jawa Tengah”, Rabu (18/11/2020). Baca juga: Cegah Pernikahan Dini di Mataram, Paslon Selly-Manan Akan Buat Balai Mediasi di Kelurahan Menurutnya, tingginya kasus pernikahan anak disebabkan karena faktor ekonomi atau kemiskinan, faktor sosial budaya masyarakat, pendidikan, dan hamil di luar nikah. “Dari hasil penelitian, anak perempuan dari keluarga yang berpenghasilan rendah lebih berpotensi menikah pada usia di bawah 18 tahun daripada keluarga yang berpenghasilan tinggi,” ujarnya. Karena beberapa faktor tadi, kata dia, Pemerintah Provinsi Jateng, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan gerakan masif agar penikahan anak di bawah umur bisa dicegah. “Di sini harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media,” katanya.

Sementara itu, aktivis anti perkawinan usia anak dari Yayasan Rumah Kita Bersama (Yayasan Rumah KitaB) Lies Marcoes Natsir mengatakan, upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur bisa dilakukan dengan berbagai cara. “Jawa Tengah punya modal sosial, politik, ekonomi yang bisa mencegah perwakinan anak. Berdirinya PKK di Indonesia juga diawali dari inspirasi Jawa Tengah saat itu. Dari segi keagamaan, Jawa Tengah juga memiliki pesantren dengan jumlah cukup banyak. Sementara untuk kekuatan ekonomi, industri banyaknya di Jawa Tengah. Ini modal besar sebenarnya,” ujarnya. Lies yang selama belasan tahun melakukan penelitian pernikahan usia anak di Jawa Tengah menilai ada korelasi antara hilangnya akses masyarakat terhadap lahan atau agrarian dengan jumlah perkawinan usia anak. Sehingga, perubahan politik ekonomi di pusat berpengaruh pada relasi gender. Menurutnya, banyak memiliki lembaga riset terbaik di Jateng yang mempunyai akses besar ke pusat. Hal itu bisa menempatkan Jateng menjadi tolok ukur pembangunan pencegahan perkawinan anak. “Harus ada lembaga pendidikan tingkat desa setingkat SMA. Harus ada lapangan kerja setelah anak-anak lulus SMA. Itu jalan keluar terbaik untuk mencegah perkawinan usia anak,” terangnya. Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret, Rahesli Humsona juga menyoroti fenomena tingginya angka pernikahan anak di Jawa Tengah. Menurutnya, pernikahan anak di bawah umur merupakan bentuk pelanggaran dari hak-hak anak, meski terdapat budaya masyarakat yang menempatkan kawin usia anak sebagai sebuah keharusan. “ Pernikahan anak adalah pelanggaran. Hak pendidikan anak menjadi hilang. Anak perempuan yang kawin tidak boleh sekolah. Ini membuat kesempatan berkreativitas juga terhambat. Ini juga memasukkan anak pada lingkaran kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis,” terangnya. Dia berpendapat, kondisi ekonomi masyarakat yang berada di garis kemiskinan, juga menyebabkan kontrol orangtua kepada anak-anak menjadi lebih sedikit. “Orangtua lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di bidang-bidang informal yang penghasilannya sedikit,” katanya. Selain itu, kata dia, penyebab lainnya adalah konsumsi video porno. “Ini akan meningkat pada situasi untuk mempraktikkan. Mereka yang malu akan mengajak pacarnya. Yang tidak punya pacar akan beralih ke prostitusi,” jelasnya. Dia menilai situasi pandemi juga turut mempengaruhi anak-anak lebih banyak mengonsumsi internet dengan alasan belajar daring. “Kondisi ini membuat anak-anak menjadi jenuh. Mereka ingin hiburan namun tidak bisa bebas keluar, sehingga konten porno di internet menjadi salah satu pelarian,” ungkapnya. Maka dari itu, dia mengingatkan para orangtua agar lebih sering mengawasi anak-anak saat mengonsumsi internet, sekalipun saat belajar daring. “Orangtua juga harus berani memanggil anak-anak mereka yang telah berpacaran, dan memberi pemahaman tentang pendidikan seksualitas yang benar,” pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Angka Pernikahan Anak di Jateng Naik Jadi 8.338 Kasus”, Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2020/11/21/17464361/angka-pernikahan-anak-di-jateng-naik-jadi-8338-kasus?page=all.
Penulis : Kontributor Semarang, Riska Farasonalia
Editor : Dony Aprian

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L