Kritik Konstruktif dalam Bedah Buku “Fiqh Al-Usrah: Fikih Keluarga Berbasis Akhlak dan Kesalingan”
Dalam momen yang penuh keilmuan dan refleksi spiritual, Aliansi Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG) menggelar kegiatan Diskusi dan Bedah Buku Fiqh Al-Usrah bersama penulis buku, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, dan menghadirkan Dr. Agus Hermanto, MHI (Dosen UIN Raden Intan Lampung) sebagai pembanding. Acara yang diselenggarakan di UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda ini menjadi ruang dialektika penting tentang bagaimana Islam memandang relasi dalam keluarga dari perspektif fikih yang rahmatan lil ‘alamin.
Dalam paparannya, Dr. Agus Hermanto, MHI menegaskan bahwa buku Fiqh Al-Usrah karya Kyai Faqihuddin adalah angin segar dalam ranah fikih keluarga. Buku ini membumikan ajaran Islam yang menekankan pada akhlakul karimah, rahmah, dan kesalingan antara suami dan istri.
Menurutnya pendekatan qira’ah mubadalah yang diusung Kyai Faqih adalah bentuk ijtihad kontemporer yang sangat relevan dalam menjawab kebutuhan zaman.
“Prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, musyawarah, dan demokrasi dalam keluarga bukanlah utopia dalam Islam. Justru inilah esensi dari hubungan suami-istri yang ingin membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah,” tegas Dr. Agus Hermanto, MHI.
Dr. Agus Hermanto, MHI membuka pemaparannya dengan mengulas makna fikih. Menurutnya, fikih adalah ilmu tentang hukum syara’ yang diambil dari dalil-dalil rinci. Namun demikian, fikih tidak boleh dipahami secara kaku. Ia harus dinamis dan responsif terhadap perubahan sosial, sebagaimana kaidah ushul fikih menyatakan bahwa hukum bisa berubah karena perbedaan waktu, tempat, kondisi, niat, dan adat.
Ia menyitir kaidah klasik, “Al-hukmu yadûru ma‘a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman” hukum ada atau tidak tergantung pada sebab (illat) yang melatarinya. Maka, dalam konteks hukum keluarga, pendekatan yang berfokus pada kemaslahatan dan akhlak sangat penting dikedepankan.
“Tujuan hidup manusia sejatinya adalah memperoleh kebahagiaan, termasuk dalam konteks rumah tangga. Oleh karena itu, perkawinan memiliki visi besar, yakni menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah,” jelas Agus.
Dalam membedah buku tersebut, ia menyampaikan bahwa hukum keluarga dalam Islam setidaknya mencakup empat tahap penting, yaitu: pra-nikah, pernikahan, perceraian, dan waris. Keempat tahap itu menjadi fondasi kuat dalam membangun relasi suami-istri yang sehat dan harmonis.
Namun, ia mengingatkan bahwa ketika hak dan kewajiban tidak berjalan seimbang, ancaman seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian menjadi hal yang nyata.
Dr. Agus Hermanto, MHI juga mengkritisi bahwa dalam keluarga besar, potensi konflik lebih besar karena relasi menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu, ia mengapresiasi pendekatan buku Fiqh Al-Usrah yang menekankan akhlak dan kasih sayang sebagai pondasi utama kehidupan rumah tangga.
Dalam pendekatan psikologi, ia menyoroti perbedaan biologis dan psikososial antara laki-laki dan perempuan. Ia mengutip Surat Ar-Rum ayat 21 yang menyatakan bahwa mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) adalah fondasi relasi pernikahan. Menurutnya, mawaddah bisa dimaknai sebagai hak suami, sementara rahmah sebagai hak istri.
Namun, relasi ini bukan soal dominasi satu pihak atas pihak lainnya. Dalam pandangan Islam, keduanya harus hidup dalam kemitraan dan kesalingan.
“Laki-laki dan perempuan adalah dua kutub yang berbeda, namun mereka akan menyatu jika ada kesalingan. Tanpa itu, rumah tangga hanya akan menjadi tempat persaingan dan bukan persekutuan,” ujar Dr. Agus Hermanto, MHI.
Salah satu bagian menarik dari paparan Dr. Agus Hermanto, MHI adalah kritik dan pembandingan terhadap teori qira’ah mubadalah yang ditawarkan Kyai Faqihuddin. ia tidak menolak teori ini, justru ia menyambut baik pendekatan mubadalah sebagai upaya mengembalikan fikih kepada ruh keadilan dan akhlak.
Namun, sebagai akademisi yang mengembangkan pendekatan sendiri, Dr. Agus Hermanto, MHI memperkenalkan teori Al-Narajil sebagai teori pembanding. Ia mengambil inspirasi dari buah kelapa (narajil), yang memiliki lima lapisan dan enam sumbu. Setiap lapisan mencerminkan struktur pemikiran hukum Islam yang utuh dan berjenjang:
- Lapisan Pertama: Hukum Islam bersifat komprehensif, adil, setara, memudahkan, dan demokratis.
- Lapisan Kedua: Hukum dapat didekati dari berbagai disiplin seperti psikologi, sosiologi, sejarah, antropologi, epistemologi, bahkan medis.
- Lapisan Ketiga: Tujuan hukum adalah kemaslahatan: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
- Lapisan Keempat: Seorang mujtahid harus memiliki metodologi (manhaj) yang kokoh dan tidak bertentangan dengan syariat.
- Lapisan Kelima: Menunjukkan teks dan konteks hukum yang harus dikaji secara proporsional.
Adapun enam sumbu dalam teori ini adalah iman, yang menjadi kekuatan pengikat seluruh lapisan dan menjadi basis ijtihad sejati.
Dr. Agus Hermanto, MHI menyoroti perkembangan konsep gender dalam wacana global. Ia menyatakan bahwa gender sebagai peran sosial sering kali terdistorsi oleh aliran-aliran seperti feminis liberal, radikal, marxis, maupun sosiologis, yang kadang membawa agenda ideologis tertentu.
Dalam konteks ini, ia memuji pendekatan qira’ah mubadalah karena berhasil mengembalikan diskursus gender kepada prinsip keadilan dan kesalingan yang sejalan dengan maqashid syariah.
“Gender tidak dimaksudkan untuk pertarungan superioritas. Yang dituju adalah kesetaraan, saling menghargai dan saling mencintai dalam posisi setara, bukan berhadap-hadapan, tapi berjalan seiring,” terangnya.
Dr. Agus Hermanto, MHI menutup presentasinya dengan refleksi tajam, bahwa hukum Islam, sejatinya, bukanlah instrumen kuasa, melainkan jalan menuju kebaikan hidup. Fikih bukan hanya tentang hukum halal-haram, wajib-sunnah, tapi juga soal membentuk pribadi dan masyarakat yang beradab, adil, dan penuh kasih sayang.
Dengan pendekatan baru seperti qira’ah mubadalah dan teori Al-Narajil, umat Islam diharapkan tidak lagi terjebak pada teks yang kaku, tapi mampu menggali nilai-nilai luhur Islam yang menghidupkan semangat persamaan, keadilan, dan cinta dalam kehidupan berkeluarga.
Kritik dan kontribusi Dr. Agus Hermanto, MHI menjadi pelengkap sempurna dalam diskusi buku Fiqh Al-Usrah. Ia tidak hanya mengapresiasi, tetapi juga memperkaya wacana dengan tawaran metodologis yang segar dan kontekstual.
Acara ini menjadi pengingat bahwa fikih, jika terus digali dengan pendekatan ilmu dan akhlak, akan senantiasa relevan menjawab tantangan zaman. Terlebih dalam konteks keluarga, di mana cinta dan tanggung jawab harus berjalan bersama, dan keadilan harus berakar pada kasih sayang.
“Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam, termasuk dalam ranah rumah tangga. Sudah saatnya fikih tidak hanya bicara tentang kewajiban istri atau hak suami, tapi tentang kesalingan dan cinta sebagai inti dari ajaran agama,” pungkasnya. (Rita Zaharah)
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini