Jalan Panjang Perjuangan untuk Perlindungan Perempuan

Oleh: Nurasiah Jamil

 

Setelah Provinsi Aceh, Kabupaten Cianjur merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat yang paling awal mengeluarkan Perda Syariah sebagaimana tertuang dalam Perda No. 03 Tahun 2006 tentang Gerakan Pembangunan Berakhlakul Karimah atau Gerbang Marhamah. 

Di era kemerdekaan, wilayah Cianjur pernah menjadi basis Darul Islam  yang berafiliasi dengan Tentara Islam Indonesia yang dikenal dengan DI/TII. Cianjur memiliki tradisi pesantren yang kuat yang berpusat di pedalaman, salah satunya di Cikundul. Salah seorang tokoh kharismatik dari Cikundul adalah Mama Abdullah bin Nuh, salah seorang pendiri HTI yang dideklarasikan di pesantrennya di Bogor. Cianjur juga menamakan dirinya sebagai Kota Santri. 

Politik identitas Islam yang menguat pascareformasi di berbagai daerah di Indonesia juga sangat kuat dirasakan di Cianjur. Partai-partai sekuler atau Islam memperebutkan suara dari umat Islam yang di belakangnya memiliki agenda penegakan syariat Islam. Di lain pihak kehidupan modern dengan masuknya para turis asing (Arab, Barat) tinggal di perumahan atau hotel-hotel di wilayah Puncak hingga Cianjur membuat warga mengeras dalam kaitannya dengan cara-cara beragama. Menguatlah nilai-nilai konservatif agama. 

Ada kontestasi antar Pemda dengan tokoh masyarakat, para kiai pesantren dalam otoritas terkait pandangan keagamaan dan bagaimana visi-misi pembangunan di Kabupaten Cianjur. Masuknya pengaruh trans-nasional gerakan Islam Salafi dan Wahabi (internasional) turut mewarnai menguatnya politik identitas itu. 

Perkembangan sosial politik keagamaan serupa itu berpengaruh besar kepada rancangan visi misi pembangunan di Kabupaten Cianjur. Muncul kebijakan-kebijakan yang tak berdampak luas kepada kesejahteraan masyarakat tetapi populis dan dianggap sangat penting, seperti kewajiban untuk menjalankan salat berjamaah atau kewajiban mengaji setelah magrib.  Peraturan ini jelas diskriminatif karena warga Cianjur tak hanya beragama Islam. 

Jargon penerapan syariat Islam pada kenyataanya seperti tak terhubung dengan pembangunan manusia di Cianjur. Pada tahun 2020 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Cianjur mencapai 64,62 menempati posisi terendah di Jawa Barat dengan rata-rata IPM 71,30. Angka harapan Sekolah di Jawa Barat mencapai 11,5 tahun, sementara di Kabupaten Cianjur baru mencapai 6,93 tahun. 

Korupsi menjadi persoalan akut. Cianjur menjadi pemberitaan luas ketika kepala daerah tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) KPK saat transaksi proyek pembangunan di halaman masjid setelah salat subuh berjamaah. Wilayah Cianjur yang luas dan menjadi lokasi proyek-proyek perumahan merupakan lahan subur korupsi. Di sisi lain kawasan Puncak-Cipanas menjadi lokasi pariwisata yang menjadi lahan empuk untuk masuknya transaksi terselubung kawin kontrak. 

Atas beberapa temuan fakta data di atas, Rumah KitaB memutuskan mulai mendampingi Cianjur sejak 2018 diawali dengan pintu masuk program pencegahan perkawinan anak. Pemerintah yang saat itu dipegang oleh Plt Bupati dengan seorang Asisten Daerah 1 yang sangat proaktif menjadi kunci awal optimisme adanya daya ungkit yang baik untuk mendukung perubahan di Kabupaten Cianjur. 

Kegiatan yang dilakukan adalah pelatihan kepada tokoh formal, non formal dan tokoh pesantren serta ormas keagamaan. Selain sosialisasi bersama untuk pencegahan perkawinan anak yang telah dilakukan setelah pelatihan, melalui pendampingan ini bersama-sama berhasil mendorong regulasi Peraturan Bupati No 10 Tahun 2020 tentang Pencegahan Perkawinan Anak. 

Kegiatan sosialisasi, pelatihan serta pendampingan terus dilakukan hingga saat ini melalui berbagai program dalam kerangka perlindungan perempuan dan anak di Cianjur. 

 

Dampak Kawin Kontrak

Pada akhir tahun 2019, dalam asesmen Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) untuk program We Lead, salah seorang mitra perempuan di Cianjur, Rina Mardiyah, perwakilan dari Komisi Pemberdayaan Perempuan Remaja dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (PPRK MUI) menyampaikan perihal fakta mengenai dampak kawin kontrak yang dialami perempuan pada tahun 2001 yaitu dinikahi oleh satu orang namun disetubuhi oleh sembilan orang, dan saat ini korban telah meninggal. 

Ia menyebutkan bahwa kasus kawin kontrak di Cianjur sangat menyedihkan. Sejak tahun 2000 ia telah mengupayakan advokasi penyelesaian masalah perkawinan kontrak, namun tidak membuahkan hasil. “Pemerintah tak pernah serius menangani masalah ini,” ungkapnya. 

Atas upaya pendekatan para aktivis dan masyarakat di Cianjur, pada tahun 2021 keresahan perihal kawin kontrak tersebut sampai di telinga bupati yang baru yang sebelumnya merupakan Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Herman Suherman.  

Asisten Daerah (Asda) 1 Asep Suparman mendiskusikan kepada Rumah KitaB bahwa bupati ingin merespons pencegahan kawin kontrak dengan membuat Perbup tersebut dalam target kerja 100 hari bupati. Rumah KitaB dan beserta mitra merespons positif dan mendukung untuk mewujudkan kebijakan tersebut. 

Beragam diskusi dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan kebijakan ini dirasa tepat dalam kerangka perlindungan perempuan di Cianjur. 

Persiapan penyusunan Perbup pencegahan kawin kontrak berlangsung pada 3 Juni 2021 dan dipimpin oleh Asda 1 beserta Kepala Bagian Hukum Pemda. Kami mendengarkan masukan dari pada pihak dan semua sepakat perlunya adanya Perbup Pencegahan Kawin Kontrak. 

Kemudian, draft Perbup disusun oleh sebuah tim penyusun kecil. Pihak Pemda meminta usulan siapa saja yang harus terlibat dalam tim penyusun. Kami mengusulkan bahwa RumahKitaB dan perwakilan mitra terlibat dalam pengecekan dokumen. 

 

Launching Perbup Pencegahan Kawin Kontrak

Pada Jum’at, 18 Juli 2021 adalah hari yang bersejarah itu. Launching Peraturan Bupati (Perbup) Kabupaten Cianjur Nomor 38 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Kawin Kontrak. Kabag Hukum Pemda Cianjur, Muchsin Sidiq Elfatah dalam kata sambutannya memberikan apresiasi kepada seluruh elemen yang telah mendukung proses penyusunan Perbup. 

“Perbup ini merupakan  upaya perlindungan Pemerintah Cianjur terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Cianjur,” ucapnya. 

Testimoni pendamping korban kawin kontrak disampaikan oleh diwakili oleh Ketua PPRK MUI Cianjur, Rina Mardiyah aktivis perempuan Cianjur dan juga mitra Rumah KitaB. 

“Permasalahan kawin kontrak bukanlah hal baru di Cianjur. Sejak tahun 2000 saya bersama bersama aktivis perempuan lainnya sudah melakukan advokasi kawin kontrak. Selang dua puluh satu tahun kemudian, perjuangan advokasi kawin kontrak ini melihat titik terang dengan diterbitkannya Perbup,” ucap Rina Mardiyah penuh haru. 

Ia juga menyampaikan bahwa aktivis perempuan dan atas dukungan Rumah KitaB siap mengawal implementasi Perbup. “Hal lain yang harus menjadi perhatian  adalah perlunya peraturan daerah (Perda) untuk memperkuat Perbup Pencegahan Kawin Kontrak,” lanjutnya. 

Bupati Herman Suherman menyebutkan betapa pentingnya posisi perempuan dalam Islam.  “Perempuan adalah sumber kehidupan. Tanpa perempuan, kehidupan di dunia ini tidak akan bisa berjalan dengan sempurna. Sebab, seluruh kehidupan lahir dari rahim perempuan,” sebutnya dalam kata sambutan. 

Ia menambahkan, bahwa ia bertekad untuk menerbitkan regulasi tentang kawin kontrak sebagai salah satu prioritas kerja di 100 hari pertamanya sebagai bupati.

“Perbup ini bukanlah akhir dari perjuangan dalam pencegahan kawin kontrak. Perbup merupakan babak awal untuk diimplementasikan oleh semua elemen masyarakat,” pungkasnya. 

Perbup menjadi sebuah babak baru. Aturan yang diterbitkan oleh Pemkab  Cianjur ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dalam upaya pencegahan dan pelarangan termasuk sebagai payung hukum untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak. 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengapresiasi penerbitan Perbup ini. Peraturan ini dinilai sebagai salah satu komitmen Pemerintah Kabupaten Cianjur untuk memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak dari kekerasan termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang salah satu modusnya adalah kawin kontrak.

“Banyak perempuan dan anak yang masih menjadi korban modus kawin kontrak. Penguatan regulasi melalui diterbitkannya Perbup Nomor 38 Tahun 2021 bisa menjadi salah satu pilar dalam memastikan upaya penanganan kasus kawin kontrak bisa diminimalisasi khususnya di Kabupaten Cianjur,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati, dalam Webinar Sosialisasi Perbup Nomor 38 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Kawin Kontrak secara hybrid, Senin (23/5).

Sosialisasi Perbup pun terus digenjot. We Lead dan Rumah KitaB menyediakan bahan kampanye serta melakukan serangkaian sosialisasi, di antaranya sosialisasi pencegahan perkawinan anak yang dilakukan di pengajian Muslimat NU Cianjur pada bulan September 2021, dalam kegiatan PPRK MUI dan Baznas Cianjur untuk enam Kecamatan wilayah Cianjur Utara serta dalam pengajian WSII bagi jemaah WSII di Cianjur 2021. 

Empat bulan setelah pengesahan Perbup, Cianjur diguncang oleh berita kematian Sarah (21), perempuan dari Desa Sukamaju, Cianjur yang dianiaya dan disiram air keras oleh suaminya Abdul Latif, seorang warga negara Arab Saudi. Sarah mengalami luka disekujur tubuhnya dan akhirnya meninggal. Sarah dan Abdul Latif menikah siri dengan perjanjian.

Kisah tragis Sarah, yang terjadi pada Sabtu (20/11/2021) tersebut membuka mata bahwa ada situasi tak wajar di Cianjur. Kasus ini yang meresahkan Bupati Cianjur Suherman, hingga saat itu meminta jajarannya bertindak tegas. Kasus Sarah menjadi momen bertambahnya deretan korban kematian dan dampak negatif dari adanya kawin kontrak. Perbup pun menjadi semakin relevan.

 

Lahirnya Perempuan Hebat Cianjur (PHC)

Rumah KitaB dan mitra di Cianjur masuk dalam struktur satgas pencegahan kawin kontrak di bagian bidang pencegahan. Secara kolaborasi dan mandiri, Rumah KitaB dan mitra seperti PPRK MUI, Badan Kerja Sama Wanita Islam (BKSWI), Muslimat NU dan Wanita Syarikat Islam (WSI) melakukan sosialisasi adanya Perbup tersebut. 

Di fase ini PPRK MUI sebagai mitra Rumah KitaB banyak menerima laporan kekerasan seksual, namun tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pendampingan layanan kasus. Lembaga layanan di Cianjur pun sangat jarang dan saat itu sedang berlangsung transisi dari keberadaan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). 

Hingga akhirnya PPRK MUI merekomendasikan lahirnya Perempuan Hebat Cianjur (PHC) pada Januari 2022. PHC terdiri dari perempuan-perempuan muda yang berlatar belakang pendidikan dan pengalaman berbeda namun memiliki keresahan yang sama untuk membantu sesama perempuan dalam upaya penanganan kasus kekerasan, karena mereka sendiri mengalami hal yang sama. 

Anggota PHC berasal dari latar yang beragam. Ada yang berpendidikan SMA hingga sarjana. Ada yang pernah menjadi pekerja migran. Ada yang pernah mengalami kasus kekerasan rumah tangga. Mereka berkumpul dengan nama perempuan hebat bukan karena hebat berprestasi atau jabatan, melainkan hebat karena dengan keterbatasan mereka mau merangkul dan memperjuangkan para perempuan lainnya

Kelahiran PHC tersebut tergolong organik dan merupakan respons dari rasa prihatin atas berbagai bentuk kekerasan yang menimpa perempuan dan anak di wilayah Cianjur, dan belum adanya lembaga layanan—berperspektif dan memiliki keberpihakan perempuan—yang dapat dijangkau dengan mudah oleh masyarakat. Kesadaran akan pentingnya generasi muda terjun langsung di lapangan untuk merespons kasus kawin kontrak, juga menjadi salah satu latar belakang. 

Dukungan dari para pihak, termasuk dukungan secara resmi yang diberikan dalam bentuk surat rekomendasi dari MUI untuk bekerjasama dalam isu-isu sosial kemasyarakatan.  

Merespons banyaknya kasus, PHC melakukan audiensi dengan Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Cianjur untuk memudahkan koordinasi pelaporan kasus yang diterima oleh PHC yang kemudian perlu ditindaklanjuti oleh Kanit PPA. PHC juga melakukan audiensi kepada Bupati Cianjur untuk menyampaikan aspirasi dan permintaan dukungan dalam rangka penanganan kasus yang sedang diselesaikan. 

 

Peningkatan Kapasitas untuk PHC

Pada 8 Maret 2022 bertempat di ruang rapat Bupati kawasan pendopo Bupati Cianjur, dalam rangka International Women’s Days Rumah KitaB dan We Lead menyelenggarakan audiensi kepada Bupati Cianjur. Pertemuan ini bertujuan menyampaikan dan menguatkan komitmen dukungan Rumah KitaB dan We Lead dalam upaya perlindungan anak dan perempuan di Cianjur terutama pasca lahirnya Perbup No 38 Tahun 2021 tentang pencegahan kawin kontrak. 

Sebuah momen penting adalah sebuah workshop Refleksi Mitra We Lead Cianjur yang digelar pada 8 Maret 2022. Beberapa aktivis PHC terlibat di dalamnya. Forum ini membahas perkembangan pendampingan serta melakukan sejumlah refleksi.  

Dari refleksi tersebut, lahirlah kebutuhan untuk adanya peningkatan kapasitas. Untuk itu, Rumah KitaB kemudian menyelenggarakan tiga rangkaian Workshop Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan. Workshop pertama adalah penguatan kapasitas terkait isu gender dan masalah apa yang akan diselesaikan dan menyusun roadmap. 

Pada workshop kedua adalah untuk menguatkan skill konseling dan pendampingan, diselenggarakan pada  1-3 September 2022. Selama dua hari berproses, peserta dibekali dengan materi teknik konseling, strategi rujukan, dan pembuatan dan pencatatan dokumen pengaduan kasus. Ketiga kemampuan ini penting dimiliki oleh orang atau kelompok yang fokus pada penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, seperti PHC ataupun Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD).  

Dalam dua hari pelatihan, peserta juga diajak untuk bermain peran penanganan kasus. Ada tiga tema yang dibawakan oleh peserta, yaitu: perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dan human trafficking. Ketiga kasus ini merupakan adaptasi dari kasus nyata yang  dihadapi oleh masyarakat Cianjur. Fasilitator juga memberikan masukan pada teknik konseling dan penyelesaian kasusnya. 

Sementara pada hari ketiga dalam pelatihan ini dikhususkan untuk penguatan tim dari PHC. Sebagai sebuah organisasi perempuan yang fokus pada penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, seluruh anggota PHC masih  berstatus relawan. Pada sesi ini peserta dipandu oleh Desti Murdijana, Testia Fajar Fitriyanti, dan Nurasiah Jamil. 

Proses pelatihan selama tiga hari ini berjalan dengan baik, baik secara proses maupun dalam materi yang disampaikan. Disepakati pertemuan ketiga workshop akan membahas tentang penguatan kapasitas tentang perspektif agama dalam perlindungan terhadap kekerasan perempuan, hukum (alur pelaporan) dan pentingnya branding PHC. 

Berbagai pelatihan ini membuat kemampuan para anggota PHC semakin menguat. Mereka semakin percaya diri dalam menerima aduan dan melakukan pendampingan.  Sebagai sebuah organisasi perempuan yang fokus pada penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, seluruh anggota PHC masih  berstatus relawan. 

“Dengan adanya pelatihan pendampingan tersebut, kami menjadi bisa lebih profesional dalam penanganan kasus,” tutur salah seorang anggota PHC. Mereka kemudian terus berjejaring dengan lembaga lainnya, salah satunya dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sehingga enam dari sepuluh anggota PHC sudah tersertifikasi sebagai paralegal. 

Sementara itu, di tingkat nasional, sebuah peristiwa penting terjadi. UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS resmi diundangkan pada Senin (9/5/2022) lalu melalui Lembaran Negara Tahun 2022 Nomor 120. Keberadaan UU ini menjadi penguat relevansi perbup pencegahan kawin kontrak karena selama ini belum ada kaitan regulasi di tingkat atas (UU). 

 

Perempuan Membantu Perempuan 

21 November 2022, Cianjur dihantam bencana gempa bumi 5.6 magnitudo yang menimpa 16 kecamatan dan 180 desa. Sebanyak 602 korban jiwa meninggal. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di lima kecamatan yang terdampak paling parah, total pengungsi yang terdata sebanyak 114,683 orang dengan pengungsi perempuan sebanyak 59.902 orang atau sebesar 52,23 persen lebih banyak dari pengungsi laki-laki. 

Sebanyak 23.959 pengungsi adalah kelompok wanita usia subur. Situasi ini dirasa berat oleh siapapun, terutama menjadi beban ganda yang berlipat bagi korban kekerasan yang didampingi oleh PHC. Salah satu situasi yang dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah bertambahnya kekerasan yang diterima oleh suaminya karena ketidakmampuan ekonomi untuk memenuhi keperluan keluarga. Pekerjaan suami hilang, namun kebutuhan harus tetap dipenuhi, hal tersebut menjadikan para perempuan ini berhutang untuk memenuhi kebutuhannya. 

Pada saat respons dan pascagempa tersebut, PHC menjadi salah satu mitra utama United Nations Population Fund (UNFPA) dan Yayasan Pulih sebagai organisasi lokal non pemerintah yang fokus pada perlindungan perempuan dan anak di Cianjur. 

PHC terlibat mulai dari pendataan terpilah pengungsi dan kebutuhan perempuan dan anak serta disabilitas hingga sosialisasi pentingnya mengenali ragam kekerasan berbasis gender dari posko ke posko pengungsian di lima kecamatan terparah akibat gempa. Selain itu secara lembaga atas bantuan dari berbagai pihak ia menyalurkan bantuan kebutuhan langsung seperti pampers, makanan bayi, matras, alat mandi, dan hygine kit yang diperlukan oleh perempuan di pengungsian. 

Sebagai tindak lanjut dari proses bantuan pascabencana tersebut, pada tahun 2023 empat tim PHC dilibatkan secara aktif untuk menjadi fasilitator dalam pemberian cash virtual assistance kepada 36 perempuan korban kekerasan yang telah didampingi PHC. Proses pemberian bantuan dilakukan secara langsung via transfer dan sebagian cash kepada korban dari pemberi dana sebanyak tiga kali dengan nominal Rp.1.000.000,- per termin. Tim pendamping PHC memastikan bantuan tersebut diterima oleh korban dan melakukan pemantauan setelah diberikan bantuan. 

Tim PHC tidak menyangka bahwa pendampingan mereka bisa sampai pada penguatan kebutuhan ekonomi korban. Tidak mudah bagi tim PHC untuk bisa meyakinkan para pihak bahwa korban dampingan PHC berhak mendapatkan bantuan tersebut. Namun atas kerja tim 36 korban tersebut dapat diverifikasi untuk mendapatkan bantuan. 

Semua penerima bantuan mengalami perubahan dan terbantu dengan adanya bantuan tersebut, terutama dalam pemenuhan kebutuhan sandang pangan keluarga korban dan perempuan korban dianggap bisa berdaya dan menghasilkan pendapatan sehingga mengurangi terhadap terjadinya KDRT yang diterima oleh korban. 

Perempuan membantu perempuan, PHC berhasil melakukan hal tersebut beyond dari yang mereka bayangkan sebelumnya.  

Selanjutnya, pada tahun 2023, PHC meluncurkan program Perempuan Berani Bicara dan hotline serta melakukan edukasi publik ke sekolah, remaja dan pengajian-pengajian. Hal tersebut guna mendorong keberanian korban melapor dan mencari pertolongan. PHC hadir di tengah masyarakat yang selama ini menganggap kekerasan adalah urusan privat. PHC mampu memberikan pendampingan dan solusi sesuai yang dibutuhkan oleh masyarakat. 

Sejak Januari 2022 hingga Juni 2023, PHC telah menerima laporan sebanyak 52 kasus. Ragam kasus yang didampingi adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), eksploitasi seksual, TPPO dan jenis kekerasan seksual lainnya. 

Selama perjalanan penanganan kasus, sudah tentu tak mulus-mulus saja. PHC menghadapi banyak tantangan birokrasi, yang menggerakkan mereka untuk melakukan audiensi khusus kepada Bupati Cianjur dan bermitra dengan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dan Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A), Unit PPA Polres Cianjur dan RSUD Cianjur. 

Audiensi dan kemitraan tersebut berupaya mendorong lahirnya sebuah forum perlindungan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Cianjur, guna mempermudah dalam penanganan kasus kekerasan. PHC secara resmi telah melakukan pelaporan kasus yang ditanganinya melalui SIMFONI yang dihimpun oleh UPTD PPA dan DPPKBP3A yang terekam secara nasional melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

Perjuangan untuk mewujudkan perlindungan perempuan di Cianjur memang masih panjang, namun akan terus berproses. Draf peraturan bupati tentang forum perlindungan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak telah rampung. Semoga sesuai harapan atas keterlibatan bermakna masyarakat sipil dalam pengambilan kebijakan terutama dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak akan terwujud.[]

Ikhtiar Mewujudkan Perguruan Tinggi Responsif Gender

Oleh: Nur Hayati Aida

 

Siang di bulan Agustus 2021, sebuah pesan instan masuk ke telepon genggamku yang tergeletak di atas meja. Aku meliriknya sekilas. Nama yang muncul lantas membuatku tergerak untuk membacanya segera. 

Semalem aku sama Mbak Muf ngomongke soal peluang gawe acara yang support penyusunan grand desain PTRG di PTKI. Nemokke pengurus PSGA se-Indonesia. Tapi ijik bingung enake gandeng sopo. Kemenag danane di-refocussing kabeh,“ (Semalam aku dan Mbak Muf bicara terkait peluang membuat acara yang mendukung penyusunan grand desain PTRG di PTKI. Mempertemukan pengurus PSGA se-Indonesia. Tapi masing bingung baiknya berkolaborasi dengan siapa. (Sekarang di lembaga di bawah) Kemenag dananya di-focussing semua),” 

Mbak Muf yang dimaksud adalah Dr. Mufliha Wijayati, M.S.I. yang merupakan ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Metro, Lampung. 

Segera aku membalas, “Yuk, kapan bisa ketemu untuk membahas lebih detail.”

Percakapan itu adalah muasal bagaimana Aliansi PTRG (Perguruan Tinggi Responsif Gender) terbentuk.

Sejak 2019, Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) mendampingi 33 mitra dari tiga komunitas (perguruan tinggi, pesantren, dan NGO). Pendampingan ini sebetulnya masuk dalam skema besar yang disebut dengan Women Voice and Leadership—sebuah konsorsium yang disokong oleh Kedutaan Kanada, dikenal dengan sebutan We Lead.

Melalui program ini, Rumah KitaB ingin melahirkan aktivis muda yang kritis dan berperspektif gender—yang belakangan kian ‘habis’ karena banyak ‘diambil’ oleh pemerintah atau berpindah haluan di sektor ekonomi. 

Pendampingan pada 33 mitra ini didesain sedemikian rupa untuk bisa melahirkan aktivis muda yang kritis dan memiliki perspektif gender, misalnya dengan menyediakan penguatan kapasitas, mulai dari perspektif, penguatan pada isu fundamentalis, serta bagaimana melakukan riset dengan pendekatan feminis. Kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2020.

Dari tiga komunitas yang didampingi oleh Rumah KitaB, kelompok perguruan tinggi menjadi salah satu kelompok yang daya ungkitnya tinggi, sehingga dalam perjalanan pendampingan, kelompok ini mampu melakukan berbagai hal untuk mendorong terwujudnya perguruan tinggi yang responsif gender. 

Pengirim pesan di atas adalah Mas Khasan, begitu aku memanggil Khasan Ubaidillah—Kepala PSGA (Pusat Studi Gender & Anak) UIN Raden Mas Said Surakarta (PSGA UIN Surakarta). PSGA UIN Surakarta adalah satu dari sembilan perguruan tinggi yang menjadi dampingan Rumah KitaB dalam program We Lead.

Sebelum mengirim pesan padaku, Khasan mengatakan telah berdiskusi mengenai desain indikator Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG) dengan Muflihah Wiyati—atau akrab dipanggil Bu Muf—Kepala PSGA IAIN Metro, Lampung—yang juga merupakan dampingan Rumah KitaB dalam program We Lead. 

Dokumen Indikator PTRG pertama kali dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan  Perlindungan Anak (KPPPA) bersama dengan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) dari berbagai perguruan tinggi (Islam) pada tahun 2019 sebagai salah satu upaya menerjemahkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. 

Inpres tersebut menginstruksikan agar pengarusutamaan gender dimasukkan ke dalam seluruh proses pembangunan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari instansi dan lembaga pemerintah, termasuk lembaga pendidikan. Indikator PTRG juga merupakan komitmen pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008 sebagai komitmen kementerian dalam membangun pendidikan yang berlandaskan keseimbangan gender. 

Diskusi bersama Khasan mengenai indikator PTRG pun berlanjut pada obrolan melalui telepon dan pesan singkat. Berselang sekitar satu bulan selepas pesan pertama itu dikirim, Khasan dan Muflihah memilah dan mengorganisir kolega mereka sesama kepala PSGA untuk hadir dan membahas lebih dalam tentang keresahan yang mereka alami. Total ada tujuh kepala PSGA yang diundang—tiga di antaranya sudah menjadi dampingan Rumah KitaB, yaitu: PSGA UIN Surakarta, PSGA IAIN Metro, dan PSGA UIN Semarang. 

Dalam pemilihan tim awal ini, Khasan dan Muflihah mempertimbangkan keterwakilan wilayah Indonesia, misalnya, Jawa Tengah diwakili oleh PSGA UIN Walisongo Semarang, UIN Raden Mas Said Surakarta dan IAIN Pekalongan (sekarang UIN Abdurrahman Wahid), Jawa Timur diwakili oleh IAIN Ponorogo, Kalimantan Timur diwakili oleh PSGA UIN Sultan Aji Muhammad Idris, Lampung diwakili oleh PSGA IAIN Metro, Riau diwakili oleh PSGA UIN Sultan Syarif Kasim. 

Selain pertimbangan wilayah, tim awal ini dipilih karena memiliki kegelisahan yang sama mengenai eksistensi PSGA dan implementasi PTRG di perguruan tinggi masing-masing. 

 

Mendorong PSGA

Berawal dari keresahan tersebut, atas dukungan We Lead, Rumah KitaB mendorong PSGA untuk membahas dan menyusun operasionalisasi indikator PTRG. Selama proses itu, Just Associate (JASS) dan Yayasan Hivos mendampingi Rumah KitaB dalam memfasilitasi jaringan PSGA.

Pertemuan secara daring pertama dilakukan pada tanggal 14 September 2021 difasilitasi oleh Rumah KitaB. Awalnya pertemuan ini hendak membahas PTRG, lantas berkembang menjadi ruang refleksi bagi kepala PSGA tentang eksistensi PSGA di kampus dan kebutuhan untuk implementasi Indikator PTRG di lingkungan kampus masing-masing. 

Ada tiga kesepakatan yang dihasilkan, yaitu: Pertama, menurunkan indikator PTRG  dalam kecil dan rinci agar lebih operasional dan aplikatif bagi perguruan tinggi. Kedua, mendorong agar indikator PTRG memiliki kekuatan hukum yang bisa menjadi daya desak di PTKI. Ketiga, pengakuan terhadap eksistensi PSGA di lingkungan atas.

Pertemuan ini merupakan pijakan utama dalam membentuk Aliansi PTRG, yaitu membangun komitmen bersama untuk merespons persoalan yang dihadapi oleh PSGA dan rencana implementasi PTRG.

Pada November 2021, tujuh kepala PSGA  sepakat untuk membahas satu satu pondasi penting untuk segera digarap oleh PSGA, yaitu perlu adanya operasionalisasi dokumen indikator PTRG—sebuah dokumen yang diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) pada tahun 2019.  

Dokumen indikator PTRG yang dikeluarkan oleh KPPA itu dirasa oleh tujuh PSGA masih sangat teoritis dan belum implementatif. Hal ini lantaran perbedaan infrastruktur dan SDM yang dimiliki oleh masing-masing perguruan tinggi. Perlu satu dokumen yang memberikan penjelasan dan menggambarkan bagaimana indikator PTRG dapat diimplementasikan dengan mempertimbangkan konteks lokal masing-masing perguruan tinggi.  

Operasionalisasi indikator PTRG menjadi relevan bagi perguruan tinggi, karena selama ini upaya yang dilakukan untuk mewujudkan keadilan gender masih bersifat parsial dan reaktif. Misalnya, kebijakan penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual—yang akan menjadi perhatian publik saat ada kasus. 

Dalam penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, Kemenag dan Kemendikbud mengeluarkan kebijakan masing yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi. 

Dua kebijakan ini merupakan langkah positif dari pemerintah dalam memerangi kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Namun, dua kebijakan ini masih bersifat parsial dalam pengarusutamaan gender yang lebih komprehensif.

Sementara indikator PTRG tidak hanya membahas terkait budaya nirkekerasan terhadap perempuan dan laki-laki di lingkungan perguruan tinggi, tetapi juga melihat komponen lain yang lebih besar. Ada sembilan indikator PTRG yang dikeluarkan oleh KPPA yaitu: 1) Adanya Pusat Studi Gender dan Anak atau Pusat Studi Wanita; 2) Memiliki data profil gender perguruan tinggi; 3) Adanya peraturan rektor tentang implementasi pengarusutamaan gender (PUG) di perguruan tinggi; 4) Pendidikan & pengajaran responsif gender; 5) Penelitian responsif gender; 6) Pengabdian masyarakat terintegrasi gender; 7) Tata kelola perguruan tinggi responsif gender; 8) Peran serta sivitas akademika dalam perencanaan sampai dengan evaluasi & tindak lanjut tridarma perguruan tinggi yang responsif gender; 8) Zero tolerance kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki.

Dalam perjalanannya, Aliansi PTRG memadatkan sembilan indikator menjadi empat bagian kunci: Pertama, Kelembagaan yang meliputi: Adanya Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak atau Pusat Studi Wanita; Memiliki data profil gender perguruan tinggi; Adanya peraturan rektor tentang implementasi pengarusutamaan gender (PUG) di perguruan tinggi. Kedua, Tridarma perguruan tinggi yang meliputi: Pendidikan & pengajaran responsif gender dan inklusi sosial; Penelitian responsif gender; Pengabdian masyarakat terintegrasi gender. Ketiga, Tata Kelola & Monitoring/evaluasi yang meliputi penganggaran responsif gender. Keempat, Budaya nirkekerasan terhadap laki-laki dan perempuan.

Dalam sebuah pertemuan daring pada November 2022, tujuh PSGA juga sepakat “menanggung beban” pembiayaan bersama dengan Rumah KitaB selama memproses indikator PTRG. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa proses mengawal dokumen indikator PTRG sampai dapat dinikmati oleh PSGA di seluruh Indonesia membutuhkan napas panjang. Dengan demikian berbagi dukungan dana menjadi sesuatu yang niscaya.

Pada bagian ini, Rumah KitaB mengambil perannya sebagai fasilitator yang memfasilitasi dua ruang: ruang virtual untuk berproses dan berefleksi, dan ruang aman sebagai tempat mengadu dan berefleksi. 

Dalam perjalanannya, tujuh PSGA ini sepakat untuk mengikutsertakan satu PSGA dari perguruan tinggi swasta untuk melihat keragaman karakter PSGA. Sebab, tujuh PSGA yang sudah berada di perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah. Akhirnya, dengan masuknya PSGA UNISNU (Universitas Islam Nahdlatul Ulama) Jepara. Dengan demikian jumlah tim akhirnya menjadi delapan.

Berselang tiga bulan setelah pertemuan kedua, tepatnya pada 21-24 Maret 2022 di Hotel Novotel Lampung, delapan PSGA tersebut berhasil menyelesaikan rumusan  operasional sembilan indikator PTRG. 

Proses penyusunan operasionalisasi indikator PTRG dilakukan dengan bersandar pada pengalaman delapan PSGA atau perguruan tinggi dalam mengimplementasikan bagian-bagian indikator PTRG. Dalam seluruh rangkaian penyusunan, kegiatan dilakukan dengan metode Pendidikan Orang Dewasa (POD) yang sensitif gender atau dikenal dengan metode pendidikan feminist andragogy.  

Setiap indikator dibahas dengan terlebih dahulu mendengarkan pengalaman-pengalaman, baik yang berhasil atau yang kurang efektif dalam implementasi indikator PTRG. Delapan anggota PTRG memiliki kekhasan dan ketajaman masing-masing dalam implementasi indikator PTRG, misalnya UIN Surakarta menjadi salah satu PSGA yang pertama dalam penerapan SK Rektor tentang penanganan kasus kekerasan seksual dan IAIN Metro yang sangat mendalami penganggaran responsif gender. 

Dalam proses yang panjang, kami mendiskusikan dan menyepakati poin-poin esensial dalam setiap elemen indikator PTRG. Berbagai pengalaman divalidasi menjadi pengetahuan universal melalui proses ekstraksi. Kemudian, pengalaman yang telah diabstraksi menjadi pengetahuan baru yang bisa direplikasi dengan penyesuaian kekhasan setiap perguruan tinggi.

 

Lahirnya Aliansi PTRG 

Selama kurang lebih tiga bulan, delapan perguruan tinggi tersebut telah melakukan proses produksi pengetahuan yang berangkat dari pengalaman. Dalam konteks indikator PTRG adalah adanya rumusan operasional indikator PTRG. Harapannya dokumen ini menjadi bahan advokasi kepada para pengambil kebijakan, baik di tingkat kampus atau kementerian. Dengan demikian perguruan tinggi yang responsif gender bisa terwujud. 

Proses ini yang disebut oleh Rumah KitaB sebagai Knowledge to Policy to Practice (K to P to P)—sebuah cara kerja feminis yang bekerja berdasarkan data dengan menggunakan perspektif gender sehingga mendorong lahirnya kebijakan. Namun, kebijakan saja tidaklah cukup, harus ada upaya praktis di dalam masyarakat, dalam hal ini perguruan tinggi. 

Bertempat di Hotel Horison Lampung, delapan PSGA memandang perlu adanya sebuah wadah untuk bergerak bersama dan lahirlah Aliansi PTRG. Aliansi PTRG kemudian melahirkan ruang aman bagi anggotanya untuk mendiskusikan hal-hal sensitif atau krusial. Tidak hanya itu, aliansi juga menjadi ruang berbagi SDM untuk penguatan kapasitas antar perguruan tinggi.

Aliansi juga menjadi arena untuk saling belajar, baik dari pengalaman yang sukses atau yang gagal dilaksanakan. Proses saling belajar ini melahirkan kegiatan atau bahkan kebijakan, misalnya terkait dengan profil gender. Belajar dari PSGA UIN Raden Mas Said, setidaknya dua PSGA lain (UNISNU Jepara dan UIN Riau) mampu menghasilkan profil gendernya sendiri.

Kepala PSGA UIN Abdurrahman Wahid Pekalongan Ningsih Fadhilah, mengaku terkesan dengan forum tersebut. 

“Forum ini adalah ruang ekspresi dan curhat kita tanpa ada judgement. Tidak ada pemateri. Tidak ada anggota. Sehingga kita bisa menumpahkan semua keluh kesah kita masing-masing dan saling menguatkan,” ujarnya, usai acara. 

Sementara itu Irma Yuliani dari PSGA IAIN Ponorogo menyatakan keheranannya lantaran para senior di forum ini sangat menghargai pendapat junior dan tidak ada hirarki keilmuan. 

“Dalam dinamika diskusi kita, tidak pernah ada emosi dan kita selalu bahagia mengemukakan pendapat, baik itu diterima atau dipertimbangkan,” imbuhnya.  

Pada bagian inilah capaian akhir yang ingin didapatkan oleh Rumah KitaB dalam program We Lead. Bagaimana antar perguruan tinggi saling terhubung dan mengambil manfaat untuk mewujudkan keadilan gender di perguruan tinggi.

Aliansi PTRG tidak hanya menjadi wadah untuk mendiskusikan indikator PTRG. Lebih dari itu, Aliansi PTRG menjadi ruang aman bagi anggotanya untuk saling berbagi hal dan secara organik menjadi support system

Ningsih Fadhilah menambahkan bahwa forum di aliansi ini merupakan pengalaman menarik, karena membahas sebuah tema secara detail hingga ke akarnya. 

“Apa yang kita bahas ini mungkin berat diimplementasikan karena banyaknya tantangan yang ada, namun di sini saya mendapatkan support system. Di saat di kampus kami merasa sendiri memperjuangkan PUG. Saya optimis PUG bisa diimplementasikan di kampus kita masing-masing meski jalannya pelan namun langkahnya sistematis,” ujarnya. 

 

Membangun Kekuatan untuk Bergerak

Adanya aliansi PTRG membuat delapan PSGA ini memiliki modal dan keberanian untuk membangun dialog dengan para pihak. 

Pada tanggal 8 Juni 2022 bertempat di Hotel Oria, Jakarta, Aliansi PTRG bertemu dan melakukan koordinasi dengan delapan Wakil Rektor Satu dari perguruan tinggi mereka berasal, Kementerian Agama (Kemenag) yang diwakili oleh Subdirektorat Penelitian & PKM, Deputi Gender Kemen PPA. Pertemuan ini tidak hanya memaparkan bahwa indikator PTRG telah berhasil dibahas, diperkaya, dan disusun ulang,  tetapi untuk menggalang dukungan untuk advokasi lanjutan operasionalisasi.

Tanggal 8 Juni 2022, aliansi juga bertemu dengan Pimpinan Komnas Perempuan. Pascapertemuan tersebut, tiga universitas—UIN Semarang, IAIN Metro, dan UIN Samarinda—mendapatkan kunjungan untuk monitoring implementasi SK Rektor tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual. Komnas Perempuan juga memberikan penguatan kapasitas untuk  anggota ULT (unit layanan terpadu) IAIN Metro. 

Kunjungan monitoring itu merupakan bagian dari program kerja Komnas Perempuan. Pada tahun 2022, Komnas Perempuan memiliki target melakukan visitasi ke PTKI untuk melihat dan memantau implementasi SK Rektor tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual. Saat konsolidasi antara Komnas Perempuan, Rumah KitaB, dan perwakilan aliansi PTRG, Komisioner Komnas Perempuan Prof. Dr. Alimatul Qibtiyah menjelaskan bahwa ada kemungkinan di antara 8 PTKI dari aliansi PTRG akan  didatangi oleh Komnas Perempuan. 

“Saat visitasi bisa dilakukan kegiatan lain yang masih berhubungan dengan SK Rektor tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual, misalnya seperti penguatan kapasitas pengelola ULT atau PSGA,” ujar Alimatul Qibtiyah.

Konsolidasi kepada para pihak terkait merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh Aliansi PTRG untuk mengupayakan indikator PTRG bisa secara sistematis menjadi bagian tak terpisahkan dalam pengelolaan perguruan tinggi. Strategi ini sesuai dengan peta jalan yang telah mereka buat pada Januari 2022 bertempat di Hotel Sunan Solo. Peta jalan pertama itu kemudian disempurnakan lagi pada bulan Februari 2022. 

Pada 13 April 2022 bertempat di Hotel Santika BSD, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama membantu menyosialisasikan operasionalisasi indikator PTRG kepada 58 PSGA di bawah koordinasi Kementerian Agama. 

Kemudian, pada November 2022, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kemenag menyelenggarakan PTRG Award. Sebuah penghargaan yang diberikan kepada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang memiliki komitmen mewujudkan kampusnya sebagai perguruan tinggi responsif gender. Pada perhelatan itu, Diktis mengadopsi dokumen operasionalisasi Indikator PTRG (bagian monitoring & evaluasi) yang telah disusun oleh Aliansi PTRG sebagai instrumen penilaian PTRG Award. 

Ajang PTRG Award diikuti oleh 58 perguruan tinggi dari seluruh Indonesia dengan memperebutkan tujuh kategori. Empat anggota Aliansi PTRG (dari delapan anggota) memenangkan empat kategori (kampus dengan kelembagaan PSGA terbaik [UIN Raden Mas Said Surakarta], kampus dengan pendidikan dan pengajaran responsif gender [IAIN Metro], kampus dengan budaya nirkekerasan dalam pencegahan terbaik [IAIN Ponorogo], dan kampus dengan pengabdian dan advokasi responsif terbaik [UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan). 

Adanya Dokumen Operasionalisasi Indikator PTRG yang direkognisi oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam – Direktorat Jenderal Pendidikan Islam – Kementerian Agama RI (Diktis) dengan diadopsi dalam PTRG Award, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia memiliki standar pelaksanaan perguruan responsif gender. Sebelumnya, gender dianggap sebagai ‘lampiran’ karena bukan instrumen akreditasi. 

Sejak mendapatkan PTRG Award, Irma Yuliani dari IAIN Ponorogo menyebutkan: 

“Kepala Pusat (Kapus) kami sudah tersentuh hatinya untuk menjalankan kerja-kerja hasil PTRG. Pada Februari ini Komnas Perempuan akan datang ke IAIN Ponorogo. Ketika kasus di Ponorogo (ratusan anak hamil di luar nikah) diberitakan secara nasional, Bu Kapus menjadikannya sebagai momen untuk meminta para pejabat kampus menandatangani pakta integritas dan dia juga bercerita tentang kondisi riil di Ponorogo, PSGA, dan PTRG kepada mereka. Para pejabat dengan rela hati menandatanganinya karena mereka juga merasakan keresahan itu,” ujarnya.

Selain itu, Aliansi PTRG juga melakukan sosialisasi Dokumen Operasionalisasi Indikator PTRG kepada PTKIN/PTKIS, khususnya kepada 53 PSGA di bawah Kementerian Agama dalam serial Suluh PTRG. 

Suluh PTRG juga merupakan strategi Aliansi PTRG dalam rangka menyiapkan (prasyarat) pengetahuan dasar bagi PTKIN/PTKIS selagi regulasi implementasi indikator PTRG diadvokasi. Sosialisasi ini menjadi penting karena perguruan tinggi adalah produsen kebijakan dan navigator wacana. Oleh karenanya, pemahaman aktor-aktornya tidak boleh bias gender. Insan akademik yang menduduki posisi sebagai pengambil kebijakan (policy maker) atau influencer harus punya sikap yang jelas, sensitivitas gender, dan memiliki keberpihakan kepada kelompok marjinal dan minoritas.[]

Menyemai Asa di Kaki Rinjani

Oleh: Nur Hayati Aida

 

Nursyida masih ingat betul bagian-bagian yang paling hancur akibat gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada ujung Juli 2018. Gempa yang mengguncang jelang kemarau itu menghancurkan saluran air, rumah-rumah, sekolah, tempat ibadah, dan fasilitas kesehatan. Sebagian Lombok lumpuh. Yang terparah daerah Lombok Timur yang berbatasan dengan Lombok Utara.

Nursyida tinggal di Tanjung, Lombok Utara, saat itu juga merasakan getaran gempa pertama dan setidaknya lima kali gempa susulan. Di wilayah sekitar Nursyida belum terlalu berdampak. Karenanya dia dan Mik Badrul, suaminya, masih bisa memberi bantuan darurat semampunya.

Bersama dengan para anggota Klub Baca Perempuan (KBP), sebuah komunitas para perempuan yang ingin mendampingi proses tumbuh kembang anak-anak mereka dengan bacaan dan pengetahuan, mereka bahu membahu memberikan bantuan darurat. Karena saluran air rusak, KBP pun bolak-balik mengantar suplai air bersih dan bantuan-bantuan lain ke beberapa daerah Lombok Utara dan Sembalun, Lombok Timur.

Bantuan-bantuan ini diperoleh dari berbagai mitra KBP dari dalam dan luar negeri berupa kebutuhan pangan, selimut, dan air bersih. Beberapa hari berselang, tepat tanggal 1 Agustus, tak dinyana gempa dahsyat kembali mengguncang Lombok Utara. Kali ini para anggota KBP menjadi pengungsi, dan meninggalkan rumah-rumah  yang runtuh akibat gempa.

Dalam kesengsaraan, Nursyida dan Mik Badrul melihat sifat dasar kemanusiaan dan kehilangan solidaritasnya karena didera kekhawatiran. Mereka menceritakan hal ini dengan pemakluman penuh. Bagaimana perilaku orang, dalam situasi krisis, bisa berubah jadi serakah. Mereka berdua belajar bahwa hanya dengan rasa kasih sayang, kehidupan dapat berlanjut dan layak diperjuangkan.

Pada akhirnya, waktu juga, yang berkontribusi pada pemulihan warga. Pelan-pelan, warga Lombok Timur dan Lombok Utara, bangkit dan menata hidup dengan puing-puing sisa gempa. Begitupun KBP, kembali membangun ulang perpustakaan sebagai pusat literasi mereka. Aktivitas wisata mulai bergeliat, pasar dan hotel mulai ramai kembali.

Di tengah geliat pelan proses pemulihan kehidupan warga, gelombang Covid-19 menerjang batas-batas negara dan menyebar cepat hingga pelosok negeri, tak terkecuali Lombok Utara. “Setelah pelan-pelan bangkit dari terpaan gempa. Kini masyarakat harus bertahan dari sapuan virus, yang tak hanya menelan korban jiwa, tapi juga mata pencaharian mereka,” tutur Nursyida.

 

Berkebun Lahan Kosong

Kalau gempa menghantam fisik berbagai bangungan di Lombok Utara dan sekitarnya, pandemi Covid-19 menghancurkan mata pencaharian sebagian besar warga Lombok, terutama mereka yang menggantungkan hidup pada industri pariwisata.

Saat itu, banyak rumah tangga yang tak lagi punya penghasilan tetap untuk menghidupi keluarga. Termasuk keluarga-keluarga anggota KBP. Menghadapi persoalan baru ini, Nursyida dan Mik Badrul, memutar otak keras untuk cari jalan keluar. Caranya adalah memanfaatkan lahan-lahan kosong di sekitar sekretariat KBP dan menanaminya dengan sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan pangan para anggotanya.

Inisiatif ini disambut baik dan bekerjasama dengan program We Lead, sebuah konsorsium yang mengupayakan pengembangan kapasitas lembaga yang dipimpin perempuan, melalui inisiatif rapid response Covid-19. Mereka mulai menyemai bibit sayur, cabe, tomat, sawi, terung, di polybag dan tempat pembibitan.

Meski hidup dekat dengan alam, umumnya anggota KBP tak punya kecakapan bercocok tanam. Alhasil, musim tanam pertama jeblok. Berkali-kali pembibitan gagal tumbuh, dan berkali-kali pula mereka mencoba. Masalah lain adalah pengairan yang susah. “Secara otodidak mereka belajar mengelola tanah, tapi tetap saja menemui kendala,” tutur Nursyida.

Akhirnya, Nursyida dan suami meminta bantuan seorang kerabat yang pernah menjadi penyuluh pertanian dan belajar dari dia tentang pengelolaan kebun pangan. Perlahan mereka mampu mengatasi kendala-kendala dalam pengelolaan kebun.

Melihat perkembangan kebun makin membaik, anggota KBP mulai mendiskusikan pengelolaannya bersama Kanca-Kanak Pecinta Baca, satu sayap KBP yang anggotanya anak-anak dan remaja. Mereka membagi kerja dalam piket harian menjaga dan merawat kebun. Tanggungjawabnya, menyiram dan menyiangi lahan. “Aktivitas ini bagi anggota Kanca merupakan kegembiraan karena berbulan-bulan sekolah menerapkan sistem daring,” tutur Nursyida.

Persoalan hama dan pengairan mendapat solusi pada musim kedua. Kebun Pangan mulai kelihatan hasilnya, rimbun sayuran memenuhi lahan, para tetangga sekitar KBP mulai tergerak untuk mengelola tanah kosong mereka.

Satu dua dari mereka datang ke KBP untuk berkonsultasi tentang cara tanam. Soal paling susah adalah tanah di wilayah mereka bercampur pasir dan tak gampang diolah jadi lahan pertanian. Tapi dengan berbagai cara, KBP berhasil menanam sayuran. “Orang jadi tahu ternyata tanah berpasir di wilayah kami bisa ditanami sayur-mayur untuk pangan,” tutur Nursyida.

 

Promosi Sosial Media

Melalui laman sosial media, terutama, Facebook dan Instagram, secara berkala Nursyida mengabarkan perkembangan Kebun Pangan. Ini juga merupakan bentuk kreatif pelaporan publik lalu lintas keuangan mereka. Mitra mereka, sepasang suami istri asal Singapura, Mohamad Tahar Bin Jumaat dan Rosnawati Munir, yang sejak gempa pertama membantu pengadaan air bersih dan melanjutkan dengan program “Jumat Berkah.”

Dia membeli hasil panen Kebun Pangan dan mendonasikan sayur-sayur itu untuk masyarakat Lombok Utara. Menjelang kemarau Juli hingga Desember 2020 hasil panen melimpah. “Sambil mengantar bantuan air ke wilayah kering seperti Kampung Adat Dasan Gelumpang, kami mendistribusikan sayur-sayur itu ke dapur-dapur warga, jadi olahan makanan yang sehat dan murah yang lahir dari alam mereka sendiri,” tutur Nursyida.

Sepetak tanah berpasir warisan orang tua Nursyida itu menumbuhkan asa bagi anak-anak yang bersekolah di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Alam Anak Negeri. Gagasan mendirikan PAUD muncul setelah KBP mendirikan perpustakaan. Sekolah ini dirancang tak hanya, untuk menyiapkan anak-anak menguasai Calistung (baca, tulis, hitung) agar diterima di SD,  namun juga untuk sarana bermain dan berinteraksi anak.

Sekolah yang dikelola KBP ini tak mematok biaya. Orang tua murid yang umumnya adalah pekerja migran, pelayan hotel, dan nelayan membayar semampunya dengan apa saja yang dipunya. Pun kalau tak memiliki apa-apa, anak-anak tetap bisa sekolah. Berkat hasil penjualan tanam musim kedua, 40 anak tersenyum gembira, karena mendapat seragam dan loker baru.

Lokasi Kebun Pangan juga kian tertata. Ia tepat di tengah-tengah lahan kosong. Ia tumbuh menjadi bagian komunitas Klub Baca Perempuan dan Kanca yang menyatu dalam bendera Rumah Indonesia. Di sana pula, Nursyida dan Mik Badrul membangun rumah yang lebih permanen. “Tempat anak-anak remaja belajar, berkreasi, dan bertumbuh. Mereka belajar komputer, fotografi, membaca puisi, menari, atau sekedar tetirah ketika mereka ngambek dari orang tuanya,” tutur Nursyida.

Area KBP berpagar bambu dengan lilitan bunga telang biru yang bermekaran. Pekarangan tampak tenang dan teduh karena rumbai daun oyong dan markisa membentang dari pagar depan sampai atap rumah. Hampir tak ada tempat kosong di halaman dan pekarangan rumah.

Dari arah timur bangunan utama, berdiri bangunan semi terbuka dari bambu yang difungsikan sebagai sekolah PAUD Alam Anak Negeri. Sedangkan di sisi barat, terletak sepetak tanah yang difungsikan sebagai kebun sayur dan pembibitan. Nyaris lahan di KBP dan PAUD penuh dengan sayuran dan pembibitan untuk disebar di musim tanam setelah hujan kembali turun awal November 2021 ini.

 

Menjadi Duta Baca dan Duta Pariwisata

Di saat semua pekerjaan terhenti karena pandemi, alam memberikan pangan yang dibutuhkan. Belajar dari Kebun Pangan yang dikelola selama pandemi, PAUD Alam Anak Negeri mulai memasukkan kurikulum pengelolaan tanah kepada anak didik dan wali muridnya. Setiap anak di PAUD memiliki tanaman yang harus mereka rawat, dan dari sana mereka bisa belajar memelihara tanaman dan memetik hasilnya sendiri.

Di sekolah ini, selain belajar metode montessori, secara langsung mereka belajar keragaman, toleransi, yang mereka terapkan dalam laku. PAUD Alam Anak Negeri dan Kanca, tak hanya berisi satu agama dan suku saja. Mereka membaur, saling belajar, mengasihi dan bekerjasama. Pun, KBP menanam bunga yang bisa dipakai umat Hindu untuk sesajen. Mereka memberikan bunga pada mereka secara gratis. Kini dari tanah sepetak di KBP, tumbuh asa dari anak-anak di kaki Gunung Rinjani.

PAUD Alam Anak Negeri dan Kanca terus menjalankan aktivitas kreatif dan wadah bagi anak dan remaja di sekitarnya. Ketua Kanca periode pertama, Rizka, misalnya, berhasil menjadi duta baca Kabupaten Lombok Utara berkat keaktifannya mengasuh taman baca Sanggaguri di halaman rumahnya. Anggota Kanca lainnya menjadi duta pariwisata Kabupaten Lombok Utara dan ada juga yang menjadi finalis mister tourism Indonesia, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tentu, ini tidak menjadi tolak ukur keberhasilan, namun bisa dibilang Kanca bisa tetap bertahan menjadi wadah dan ruang bagi anggota untuk mengembangkan minat, bakat dan kreativitasnya.

Pada Agustus 2022, Kanca dan KBP serta aktivis muda Lombok Utara menginisiasi pelatihan menulis yang didukung Rumah Kitab. Hal ini mereka ajukan karena melihat banyak potensi yang bisa dilakukan oleh aktivis muda lokal untuk menyuarakan perubahan dan gerakan dari desa. Pelatihan ini dihadiri 30 peserta dan berhasil mendorong Keisha menulis buku anak pertama yang ditulis oleh orang Lombok Utara. Judulnya, Kanca: Cahaya Dari Timur dan telah didiskusikan secara daring maupun luring bersama mitra literasi di Lombok Utara dan NTB.

“Dukungan yang dilakukan Rumah KitaB dan We Lead mungkin tak banyak, tapi KBP dan Kanca mampu mengoptimalkan potensi dirinya,” pungkas Nursyida.[]