Mengatasi Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan di Indonesia dalam keadaan darurat kekerasan. Dalam lima tahun terakhir, kasus kekerasan seksual, kekerasan verbal, penganiayaan, pelecehan seksual, dan kekerasan yang berujung pada kematian terjadi di lembaga pendidikan di berbagai daerah di Indonesia. Belum lagi kasus yang terjadi di kendaraan umum seperti Busway, kereta api, bis, dan berbagai tempat umum lainnya. Kasus terakhir terjadi di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Data survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 77% responden dari kalangan dosen mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Sementara 60% dari angka tersebut tidak melaporkan tindakan kekerasan seksual. Peristiwa kekerasan seksual ini melibatkan pelaku dari kalangan mahasiswa, mahasiswi, dosen, tenaga kependidikan, pimpinan dosen, dan lainnya, dan dapat terjadi dalam proses belajar-mengajar, pengabdian masyarakat, bimbingan, kuliah kerja nyata, dan magang (Kompas.id, 15 Maret 2023).
Pada tahun ini saja, kekerasan seksual terjadi di beberapa lembaga pendidikan, antara lain di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta yang dilakukan oleh wakil dekan (Solopos, Juli 2024), Universitas Pancasila Jakarta (Kompas.id, 25 Februari 2024), dan di Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo. Dua kasus dari bawah terduga dilakukan oleh rektor kampus masing-masing. Di tempat lain seperti di SMAN 3 Mandau dilakukan oleh seorang guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (04/06/2024). Di Lampung, dilakukan oleh seorang guru ngaji terhadap santriwatinya (Kompas.id, 25 Mei 2024). Di Surabaya, pencabulan dilakukan oleh seorang guru ngaji terhadap santriwatinya (04/01/2024). Dan masih banyak lagi kasus yang juga terjadi di kalangan pondok pesantren.
Perlu diingat bahwa persentase angka 78% kasus kekerasan seksual terjadi di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama. Pelakunya terdiri dari 55% guru/tenaga pendidik dan 22% kepala sekolah/pimpinan pondok pesantren (Kementerian Agama RI, 11 April 2023). Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada Mei 2022-Desember 2023 mencapai 4.179 kasus. Laporan yang paling banyak diterima adalah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), diikuti oleh pelecehan seksual dan pemerkosaan. Kasus KSBE yang diterima Komnas Perempuan mencapai 2.776 kasus, sementara ada 623 kasus pelecehan seksual dan sisanya adalah kasus pemerkosaan.
Darurat Kekerasan
Banyaknya kasus kekerasan seksual dan kekerasan yang berujung kematian seorang siswa/santri tidak dapat dilepaskan dari lemahnya sistem pengawasan terhadap pesantren dan lembaga pendidikan. Akibatnya, kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lembaga pendidikan berpotensi terus terjadi di masa yang akan datang. Untuk itu, Kementerian Agama (Kemenag) dan otoritas terkait dituntut segera mungkin melakukan perbaikan tata kelola lembaga pendidikan.
Hari ini, Kemenag baru menyiapkan langkah-langkah untuk mengantisipasi terjadinya kembali kasus serupa. Di antaranya, langkah pertama yang akan dilakukan adalah melakukan investigasi. Kedua, Kemenag akan menjalin kerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), aparat kepolisian, dan pihak terkait lainnya. Ketiga, Kemenag akan memperbaiki prosedur pemberian izin operasional lembaga pendidikan agama dan keagamaan.
Tidak Sekadar Teknis
Dalam kaitan ini, kita tidak boleh keliru mempersiapkan solusi atas keberadaan lingkungan lembaga pendidikan agama. Sebagai ruang belajar anak didik, keberadaan lembaga pendidikan harus nyaman, aman, dan kondusif agar berbagai kegiatan proses pembelajaran dan interaksi sosial berjalan secara sinergis dan produktif.
Solusi terbaik dalam penanganan kekerasan seksual tidak sekadar memikirkan hal-hal yang bersifat teknis. Untuk mengatasi dan mengantisipasi terjadinya kekerasan di lembaga pendidikan, dibutuhkan audit solusi secara fundamental. Kita perlu mengevaluasi perilaku, persepsi, kebijakan, dan juga kurikulum dalam memperlakukan fungsi pendidikan.
Selama ini, kita seringkali menganggap bahwa kurikulum dan aspek lain di dalam lembaga pendidikan tidak penting. Akibatnya, kita menghilangkan fungsi “belajar kesalingan,” persepsi, dan perlakuan kepada santri/mahasiswa sebagai objek pasif, serta hanya memperdulikan sikap mekanis-teknis. Maka tak heran, lembaga pendidikan sering kehilangan fungsinya sebagai sistem interaksi sosial yang hidup di tengah masyarakat, tidak bisa memberikan sumbangsih riil kepada masyarakat, dan seringkali mengejar peringkat dan slogan ambisius yang tidak perlu.
Anehnya, perilaku tersebut masih terus berlangsung. Lembaga-lembaga pendidikan ini berlomba-lomba mengejar peringkat internasional agar terindeks unggul dan menjadi lembaga pendidikan yang seolah-olah sudah berada di puncak world-class university. Mereka tiap hari mengampanyekan slogan-slogan fantastis meskipun misterius. Padahal, sumber daya manusia (SDM), infrastruktur lembaga, dan bahkan kelas belajar saja mereka tidak memilikinya. Jangan tanya soal atmosfer keilmuan.
Enam Aspek Penting
Untuk mengubah lembaga pendidikan menjadi lebih ramah dan nyaman sebagai tempat belajar, baik bagi santri/mahasiswa maupun masyarakat sebagai penopang kegiatan sosial yang lebih berkualitas, setidaknya ada beberapa aspek yang perlu kita pikirkan.
Pertama, transparansi oleh lembaga pendidikan. Dalam banyak kasus, kampus dan pesantren seringkali menutupi kasus yang terjadi. Akibatnya, banyak kasus tidak bisa diungkap dan dicarikan solusinya, sehingga mengental menjadi sikap kewajaran. Kekerasan seksual tidak boleh ditutup-tutupi; harus dibuka secara transparan dan terang benderang. Sekali lagi, penanganan kasus yang tidak transparan seringkali terjadi di kampus/pesantren demi hanya menjaga nama baik kampus/pesantren. Padahal, nama baik akan terjaga manakala kasus tersebut diselesaikan secara tuntas, bukan malah ditutup-tutupi.
Kedua, membuat desain kebijakan dan kurikulum yang tepat (fleksibel/tidak kaku), teknik dan penyajian materi yang sesuai zaman (efektif/humanis), model penilaian yang tepat dan terukur, serta didukung dengan fasilitas yang memadai. Dengan demikian, lembaga pendidikan tidak hanya dapat meningkatkan hasil belajar anak didik, tetapi juga dapat menjawab tantangan zaman dan menyantunkan praktik gaya hidup anak didik.
Rancangan kebijakan dan kurikulum harus menawarkan topik tentang bagaimana cara membangun karakter yang moderat, pengenalan kebangsaan, berlaku adil kepada sesama, menciptakan budaya kreatif, inovatif, mandiri, membangun persaudaraan umat, melestarikan kebudayaan Nusantara, dan bersikap santun kepada semua orang. Kurikulum seperti ini tidak hanya menyajikan produk ilmu atau ajaran keagamaan semata, tetapi juga mendorong bagaimana ilmu dan ajaran keagamaan itu diproduksikan menjadi karakter bangsa.
Ketiga, mengintegrasikan keilmuan interdisipliner seperti ilmu agama, teknologi, sastra, dan sains. Seorang anak sangat perlu pengenalan ilmu agama, teknologi, sastra, dan sains agar dapat belajar agama dengan benar dan tidak menjadi radikal-ekstrem. Begitu juga dengan materi umum, harus didekati dengan pendekatan agama supaya tidak sekuler.
Implementasi dari model interdisipliner ini membuat peserta didik dapat berkarakter baik, moderat, menjadi generasi hebat, bermartabat, dan berkualitas. Model ini juga menunjukkan bahwa tidak ada dikotomi dalam pembelajaran lembaga pendidikan seperti di kampus, pesantren, dan madrasah.
Keempat, menciptakan budaya mutu lembaga pendidikan yang tertib, disiplin, dan baik sebagai norma dan dogma utama dalam pembelajaran. Untuk menciptakan budaya ini, wajib kiranya berangkat dari dan menanamkan budaya jujur (شِدْقُ), budaya saling percaya (أَمَانَة), budaya komunikasi (تَبْلِيغ), dan budaya kecerdasan (فَطَانَة). Paling tidak, poros lembaga pendidikan kita bisa menjadikan anak didik mengetahui jati dirinya sebagai manusia, yang merdeka dan memerdekakan, tidak korupsi dan manipulatif, serta memanusiakan manusia.
Kelima, menginternalisasikan nilai moderasi dalam pendidikan. Kita tahu, lembaga pendidikan memiliki fungsi sebagai pintu masuk penyebaran ideologi tertentu sekaligus merupakan pintu keluar untuk mencari solusi hidup. Supaya lembaga pendidikan berjalan dalam praktik moderat, kita perlu mentransformasikan nilai moderasi mulai dari kurikulum, program ekstra-intra, literatur, dan bagaimana anak didik dilibatkan dalam arena ini untuk menghasilkan tujuan hidup-maksud (مَقَاصِد الشَّارِعَة) yang lebih maslahah bagi semua.
Keenam, memberikan ruang kepada SDM profesional yang berintegritas. SDM berkualitas tidak cukup hanya pintar. Banyak orang pintar, tetapi seringkali suka menipu dan korupsi. Oleh sebab itu, kita memerlukan SDM (guru-guru, dosen, tenaga kependidikan) yang berintegritas, terampil-moderat, dan memiliki pemahaman keilmuan-keagamaan yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Melalui SDM profesional berintegritas, kita bisa melihat signifikansinya, masa depan, lapangan kerja, potensi, serta tantangan dunianya di masa depan.
Pengaman Sosial
Menjadi ironis jika lembaga pendidikan tidak menjadikan murid/siswa peka terhadap masalah pribadi, lingkungan, keagamaan, membangun pikiran, imajinasi, dan akal budi mereka, atau tidak menjadikan mereka lebih sejahtera secara keilmuan dan kehidupan. Apalagi jika ditambah dengan persoalan kekerasan. Bila demikian terus terjadi, sungguh kita wajib mengakui bahwa pendidikan selama ini tidaklah mencerdaskan dalam arti yang sesungguhnya. Karena itu pula, pendidikan jangan sampai memutilasi keharmonisan sosial yang berpuncak pada matinya rasa kemanusiaan.
Tawaran enam aspek penting di atas menuntut kita untuk memastikan bahwa lembaga pendidikan harus steril dari kekerasan dan tetap menjadi sumber kekuatan manusia yang tertinggi hari ini. Utamanya, lembaga pendidikan juga harus mendukung terwujudnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan fungsi yang nyata.
Lembaga pendidikan harus melintas batas antara tantangan, agensi, prospek, dan potensi manusia Indonesia. Pendidikan harus menjadi pengaman sosial dari semburan kekerasan seksual, fanatisme politik dan agama, serta menjadi pusaka sebagai penerang masa depan manusia, negara, dan bangsa yang bermartabat, adil, dan memanusiakan manusia.