Insiden Armina dan Strategi Penyelenggaraan Haji Pemerintah Indonesia

Oleh: Nur Hayati Aida, Peneliti di Rumah KitaB dan Anggota Aliansi PTRG

 

“Puluhan tahun menunggu untuk beribadah haji, tetapi pas pelaksanaan tidak diberi fasilitas yang memadai.”

 

Begitu banyak komentar yang bertebaran di media sosial tentang haji. Insiden Musdalifah adalah puncaknya. Setidaknya 10 jam jemaah haji Indonesia tertahan di Musdalifah saat hendak ke Mina karena antrean panjang kendaraan yang menyebabkan macet. Cuaca ekstrem dan rasa lelah membuat sebagian jamaah jatuh sakit, tak sedikit yang harus dibawa ke rumah sakit.

Meski ibadah haji dilaksanakan setiap tahun, tetapi di tiap tahunnya pula ada berbagai masukan dan kritik bagi penyelenggaranya, baik dari Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Arab Saudi. Sebab, pelaksanaan haji tidaklah sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Sepengetahuan saya, tak ada agama, kecuali Islam, yang bisa mempertemukan umatnya pada satu tempat di waktu yang sama, atau seperti event-event tahunan yang pesertanya mencapai jutaan orang. Oleh karenanya, penyelenggaraan ibadah haji membutuhkan SDM dan sistem yang profesional, tanpa itu mustahil rasanya bisa mengelola satu juta delapan ratus orang (970.000 laki-laki dan 875.000 perempuan), mulai dari transportasi, akomodasi, konsumsi, kesehatan, dan media informasi. Terlebih, 221.000 jemaah, usianya 50 tahun ke atas. Usia yang tak lagi muda, sehingga membutuhkan penanganan khusus.

 

Terobosan Kementerian Agama RI

Mengantisipasi hal itu, Kementerian Agama RI membuat satu terobosan pada musim haji kali ini. Pertama, layanan haji yang ramah terhadap jemaah lanjut usia (lansia) dan resiko tinggi (resti). Strategi ini ditempuh karena jemaah haji asal Indonesia rata-rata adalah lansia yang tak jarang juga resti. Dalam strategi ini, Kementerian Agama RI menerjunkan 4.200 petugas haji pada tahun ini yang terbagi dalam bagian pelayanan transportasi, pelayanan akomodasi, pelayanan konsumsi, pelayanan ibadah, pelayanan sistem komunikasi informasi, pelayanan kesehatan untuk tiap-tiap kloter. Jumlah petugas haji ini naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya 1.901.

Petugas haji inilah yang menjadi “tongkat” bagi para jemaah haji, terutama yang lansia dan risti, dalam keseharian menjalani ibadah selama di tanah suci. Mulai dari memastikan akomodasi selama di Makkah dan Madinah, serta selama puncak ibadah haji di Arafah, Musdalifah, dan Mina; transisi dari satu kegiatan ibadah ke kegiatan lainnya—petugas-petugas haji juga di tempatkan di lokasi-lokasi strategis untuk mengantisipasi jemaah yang tersesat; memantau kesehatan jemaah hingga perawatan jemaah yang sakit dengan melakukan kunjungan secara teratur ke maktab-maktab.

Strategi ini bukanlah omong kosong belaka, beberapa orang yang saya kenal dengan baik menjadi petugas haji tahun ini. Meski tidak setiap saat, mereka meng-update perkembangan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu peristiwa ke peristiwa lain terkait dengan pelaksanaan ibadah haji di tanah suci. Sungguh, pekerjaan itu tidak mudah karena harus bertemu dengan berbagai macam karakter. Taruhlah pengumuman ke Masjidil Haram akan dilaksanakan pukul sekian dengan menggunakan bus, tetapi karena tidak sabar, ada saja jemaah yang berjalan kaki ke Masjidil Haram. Akhirnya, tak sedikit kelelahan atau kesasar. Dan, cerita semacam ini banyak ragamnya.

Kedua, perempuan terlibat penuh dalam penyelenggaraan haji ini, baik sebagai Tim Amirul Hajj atau sebagai petugas haji. Langkah ini ditempuh karena dari 221.000 jemaah haji Indonesia 55,1%  adalah perempuan, sisanya 44,9% laki-laki. Dengan jumlah lebih dari 55% jemaah perempuan, strategi melibatkan lebih banyak perempuan dalam pelaksanaan haji tahun ini adalah jitu. Dalam beberapa kasus, jemaah perempuan lebih nyaman dilayani oleh petugas haji perempuan ketimbang petugas laki-laki, terutama jika berkenaan dengan hal-hal yang lebih privat. Dengan kepekaan dan sensitivitasnya, perempuan dapat lebih mudah beradaptasi dan membantu jemaah perempuan dalam menjalankan aktivitasnya.

Dalam sejarah Indonesia, baru kali ini kita melihat perempuan masuk dalam Tim Amirul Hajj. Catatan sejarah ini membantah semua prasangka bahwa perempuan tak memiliki kompetensi yang layak dalam penyelenggaraan haji.

 

Insiden Armina

Insiden Armina tidak boleh dibiarkan begitu saja. Rentetan insiden itu adalah antrian panjang di Musdalifah, tenda yang melebihi kapasitas dan makanan yang tak terdistribusi dengan baik, hingga jauhnya akses toilet dari tenda. Insiden ini harus diselesaikan dan ditindaklanjuti karena secara profesional Indonesia telah menyelesaikan kewajibannya kepada Pemerintah Arab Saudi, sehingga wajib bagi Indonesia untuk menuntut pelayanan yang layak. Di antara strategi yang bisa ditempuh adalah negosiasi bilateral yang menjelaskan kepentingan dan konsen Pemerintah Indonesia terhadap jemaahnya yang umumnya lansia. Jika ini bisa terkomunikasikan dengan baik, maka bisa menjadi pembelajaran di pelaksanaan haji tahun depan.

Di luar semua itu, apresiasi yang tinggi kepada semua petugas haji yang telah bekerja dengan hati untuk melayani jemaah.[]

 

Bunuh Diri Absurd

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

SERANGAN Bom bunuh diri kembali mengguncang Indonesia, kali ini di Bandung. Pelakunya diduga berasal dari jaringan Jamaah Anshorud Daulah (JAD). Sebagai kelompok teroris, mereka memiliki “ideologi kematian” sebagai dasar bagi pikiran dan tindakan mereka. Bom bunuh diri adalah salah satunya. Melalui kaca mata Albert Camus, filsuf eksistensialis Aljazair, tulisan ini mencoba melihat bom bunuh diri sebagai “pilihan” yang dilakukan kelompok terorisme-radikalisme.

Alangkah absurdnya. Kematian “dipilih” sebagai jalan untuk perjuangan. Padahal tujuan perjuangan itu merebut kehidupan. Banyak teori sosial psikologis lahir dari pemikiran soal kematian yang direnggut untuk sebuah tujuan atau akibat sebuah situasi. Teori sosial paling klasik, dari aliran struktural fungsional Emile Durheim, menjelaskan tentang alienasi manusia atau keterasingan. Ia meyakini pada dasarnya manusia itu berkelompok dan bunuh diri hanya dilakukan oleh mereka yang tercerai dari kelompoknya. Fenomena ini menunjuk pada perantau yang tercerabut dari desa dan tak mampu berjejaring dalam budaya baru di tempatnya yang baru, seperti di kota-kota besar. Teori ini terus berkembang utamanya mengamati soal ragam model keterasingannya yang tak hanya menyoal keterasingan fisik emosional tetapi juga ideologi, agama dan hal-hal yang lebih batiniah. Namun inti entrinya tetap sama, bunuh diri sebagai tindakan akibat situasi jiwa yang teralienasi, terasing dan tak punya tujuan hidup.

Namun dalam tradisi lain, bunuh diri secara kultural diterima bahkan dipuji. Misalnya hara-kiri bom bunuh diri yang dilakukan balatentara Dai Nipon pada perang Dunia ke II. Dalam tradisi samurai Jepang bunuh diri atau sapuku yang dijalankan dalam bentuk ritual suci itu diterima sebagai pilihan jalan menuju kematian sempurna yang mereka nilai tinggi yaitu mempersembahkan nyawa secara sadar sebagai bentuk kesetiaan, tanggungjawab dan kehormatan.

Dalam Islam, secara normatif sebenarnya tindakan bunuh diri dilarang, diharamkan dan dianggap dosa besar. Dalam tradisi pemikiran kalam, bunuh diri dianggap sebagai bentuk penentangan paling radikal kepada takdir yang digariskan Allah Swt. Dan karenanya bunuh diri bukan hanya dianggap sikap pengecut, tetapi juga menentang Tuhan. Sebagai konsekuensinya, secara radikal pelaku bunuh diri juga tidak mendapatkan hak untuk diurusi sebagai mayat seorang Muslim. Padahal dalam hukum Islam memandikan, mengafani dan menguburkan seorang Muslim yang mati menjadi kewajiban secara kifayah bagi orang hidup. Namun kewajiban itu gugur ketika kematiannya direnggut sendiri oleh yang bersangkutan dalam bentuk bunuh diri.

Pertanyaannya, mengapa ajaran yang begitu keras menolak laku bunuh diri dengan hukuman sosial yang juga begitu keras bisa bertransformasi menjadi sesuatu yang “dirindukan” dalam kelompok Islam radikal. Dari mana datangnya gagasan yang memuliakan tindakan bunuh diri serupa dengan hara-kiri dalam tradisi budaya Jepang? Sejumlah kajian tentang prilaku bunuh diri dalam kelompok jihadis biasanya menunjuk pada adanya konsep tentang “pengantin surga”. Laki-laki yang melakukan bunuh diri sebagai perjuangan politik ideologi agama diyakini akan mendapatkan surga dan di sana akan ditemani oleh 70 atau 72 bidadari.

Jika itu pendorongnya, yaitu cita-cita untuk mendapatkan kebahagiaan abadi di akhirat, cukup masuk akal jika pelakunya adalah anak muda, miskin dan kurang gaul.

Tetapi kita masih bertanya-tanya, kira-kira pikiran apa yang mengeram dalam benak para pelaku bom bunuh diri, apakah mengakhir kidup itu didasarkan pada alasan serupa dengan pelaku bunuh diri dengan cara lainnya seperti gantung diri atau minum racu atau menabrakan diri ke kereta dengan penyebab karena krisi sosial kejiwaan sebagaimana diteorikan Durheim? Tapi apakah pada pelaku bunuh diri demi “perjuangan” juga didasarkan anggapan yang sama, bahwa hidup yang dijalani tak bermakna dan karenanya tak apa diakhiri?

Lantas hidup ini layak atau tidak untuk dijalani? Apakah hidup ini bermakna? Jika hidup ini tidak bisa memberikan makna apa-apa, pantaskah mengakhirinya dengan melakukan bunuh diri? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menghasilkan sebuah keputusan: apakah kita harus mengakhiri atau menjalani hidup meskipun irasional? Menjelaskan makna hidup di tengah ketidakjelasan hidup, kata Albert Camus, sama sulitnya dengan mencarikan bukti bahwa hidup ini bermakna.

Penyebab Bunuh Diri
Tindakan bunuh diri, menurut Camus, berawal dari keheningan hati seperti juga awalnya sebuah karya besar. Ada keterkaitan antara pikiran individual dan bunuh diri. Seorang anak SD tiba-tiba memutuskan untuk gantung diri setelah ia tidak lagi mampu membayar biaya SPP. Ketidakmampuan dia dan keluarganya untuk membayar biaya sekolah menjadikan beban hidupnya bertambah. Ia mulai digerogoti oleh perasaannya. Pada titik ini, tidak ada peranan masyarakat, ulatnya terdapat dalam hati manusia sendiri.

Orang yang melakukan bunuh diri sama halnya dengan membuat pengakuan bahwa ia telah terkalahkan oleh kehidupan atau ia tidak mengerti kehidupan. Menurutnya, membunuh diri semata-mata mengakui bahwa “hidup sudah tidak layak dijalani”.

Memang, hidup ini tidak mudah. Banyak orang menuntut kejelasan dari hidup yang dihadapi. Ia terus di desak oleh tindakan-tindakan yang diwajibkan oleh eksistensi berdasarkan berbagai alasan. Sedangkan mati secara sukarela mengandaikan bahwa si pelaku mengakui bahwa hidup yang dijalaninya tidak memiliki arti sama sekali.

Wajar jika perasaan-perasaan itu muncul pada manusia. Manusia banyak memendam hasrat kejelasan dari dunia ini. Sayangnya, dunia tidak sesederhana yang dibayangkan akal. Walau bagaimanapun, menurut Camus, sebuah dunia yang dapat diterangkan dengan berbagai alasan adalah dunia yang sudah dikenal. Manusia banyak menuntut kejelasan dari dunia, sedangkan dunia sendiri tidak bisa memberikan kejelasan sama sekali.

Menurut Camus, perceraian antara manusia dan hidupnya, antara sang aktor dan pentasnya, itulah perasaan absurditas yang sesungguhnya. Dalam hal ini, bunuh diri merupakan jalan keluar dari yang absurd. Kepercayaan pada absurditas kehidupan inilah yang menjadi dasar prilakunya.

Jadi, adakah hubungan penolakan terhadap hidup dan tindakan menolak hidup? Apakah absurditas kehidupan menuntut seseorang untuk melakukan bunuh diri? Sehingga jika pertanyaan ini kita kerucutkan pada persoalan bom bunuh diri, apakah yang dilakukan para teroris disebabkan karena adanya penolakan mereka terhadap makna hidup?

Tidak semua orang yang menjalani hidup mengerti akan makna hidup. Terkadang, mereka berpaling dari kematian dengan membuat sebuah ‘harapan’. Mereka berharap pada ‘kehidupan lain’ yang harus diperjuangkan. Jadi, mereka menjalani kehidupan bukan untuk kehidupan itu sendiri, melainkan demi sebuah gagasan besar yang melebihi hidup, yang memuliakannya, memberinya suatu makna dan sekaligus mengkhianatinya. Dalam hal ini, seperti yang dikatakan Camus, pilihan hidup hanyalah sekedar ‘pelipur lara’.

Lantas, apakah bom bunuh diri yang dilakukan para teroris merupakan bentuk penolakan terhadap makna hidup? Mungkin, para teroris berpikir bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya, karena ada kehidupan lain yang lebih baik dan lebih menjanjikan. Panggilan ‘jihad’ adalah sebagai dasar prilakunya. Mereka hendak membangun kehidupan lewat kehidupan yang lain.

Langkah absurd yang dilakukan pelaku bom bunuh diri terletak pada cara-cara yang dilakukan: mereka ingin membangun kehidupan dengan cara merusak kehidupan. Sejatinya, mereka memandang bahwa kehidupan ini sudah tidak sesuai dengan harapan mereka, sehingga mereka harus berpaling dan memilih kematian. Mereka tidak tahan dengan ketidakjelasan dunia ini. Mereka berkeyakinan bahwa dunia saat ini diatur oleh hukum-hukum “setan” dan tidak sesuai dengan “citra Tuhan” (syariat Islam). Karena itu, salah satu caranya adalah menegasikan hidup ini dengan bom bunuh diri.

Bunuh Diri Bukan Solusi
Tindakan menolak ataupun menerima hidup bertolak dari pandangan bahwa hidup ini absurd. Absurditas muncul dari kontradiksi antara harapan dan kenyataan, kerinduan akan kesatuan, dan perceraian antara satu kenyataan dengan kenyataan tertentu.

Dalam menghadapi absurditas hidup, manusia hanya dihadapkan pada dua pilihan: pasrah dengan memilih bunuh diri atau membiarkan diri untuk tetap hidup dan menghimpun segala kekuatannya untuk memancarkan suatu tatanan dan moral.

Dari kedua pilihan itu, Camus tidak memilih yang pertama. Bunuh diri bukan sebuah solusi, kata Camus. Camus mengatakan, “Adalah kehormatan bagi manusia, dan semestinya juga menjadi kebahagiaan baginya, bahwa ia menerima dengan besar hati hasrat yang ditanam dalam dirinya untuk memperoleh kejelasan ditengah ketidakrasionalan yang begitu banyak.”

Dengan demikian, kita harus melakukan pemberontakan terhadap absurditas dengan cara memberikan perhatian dan mengarahkan kesadaran kepadanya, membuat sesuatu yang tadinya tidak bermakna menjadi bermakna. Kuncinya, maknailah terus hidup ini agar kehidupan kita terasa bermakna.

Jadi, bunuh diri bukanlah sebuah keputusan tepat. Apapun alasannya, mengharapkan kehidupan dengan cara memusuhinya adalah sesuatu yang absurd alias tidak masuk akal. Sehingga apa yang dilakukan para pelaku bom bunuh diri dengan alasan panggilan agama (jihad) jelas bertentangan dengan ajaran, tujuan dan nilai-nilai agama itu sendiri. Sebab, agama apapun pasti memberikan apresiasi dan dukungan terhadap kehidupan. Agama yang memusuhi kehidupan adalah musuh kehidupan itu sendiri. Wallahu ‘alam bi al-shawab

Hambatan dan Tantangan Perempuan di Dunia Kerja

KAMIS, 28 Juli 2022, Rumah KitaB melaksanakan kegiatan “Diskusi Multi Aktor Jakarta dalam Penerimaan Perempuan Bekerja” di Mercure Hotel Sabang Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai tokoh dari empat kluster yaitu kluster pemerintah, organisasi keagamaan, media, dan dunia usaha.

Kluster pemerintah dihadiri oleh Dinas PPAPP DKi Jakarta, UPT P2TP2A DKI Jakarta, Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta, dan Dinas Sosial. Kluster media dihadiri oleh TVMU, TVNU, NU Online, dan Islami.Co. Kluster usaha dihadiri oleh PT. Nusa Kirana, D’Pasha Ida Residence, Sahla Syar’i dan Khazanah Syar’i. Kluster organisasi keagamaan dihadiri oleh PWNU DKI Jakarta, PW Muhammadiyah DKI Jakarta, PW Fatayat DKI Jakarta, dan PW Aisyiyah DKI Jakarta.

Kegiatan ini memetakan beberapa hambatan yang dialami perempuan bekerja, di antaranya cara pandang sosial dan pandangan orang terhadap agama yang menghambat perempuan bekerja, misalnya konsep “izin suami” masih menjadi alasan bagi banyak laki-laki menolak perempuan bekerja, bahkan memaksanya kembali ke rumah dengan alasan suami tidak mengizinkan istri bekerja. Realitas ini bertolak belakang dengan visi luhur agama yang berbasis kemaslahatan manusia secara adil bahwa laki-laki dan perempuan punya hak yang sama yang melekat pada diri masing-masing untuk bekerja.

Makron Sanjaya Direktur Utama TVMU, berbagi pengalaman terkait hambatan perempuan bekerja. Lemahnya dukungan infrastruktur di beberapa kantor media yang masih belum responsif gender ia sebut sebagai salah satu hambatan bagi perempuan bekerja, misalnya tidak ada ruang laktasi karena membutuhkan dana tambahan penyewaan space ruang kerja yang tidak sedikit sehingga beberapa manajemen perusahaan media belum mampu menyediakannya. Selain itu, menurutnya, stigma laki-laki yang memandang rendah perempuan pekerja membuat sejumlah perusahaan media mengubah kebijakannya, misalnya kebijakan mengirim tim media yang hanya terdiri dari perempuan saja tanpa menyertakan laki-laki.

Wulan dari P2TP2A DKI Jakarta menyampaikan bahwa hambatan-hambatan perempuan bekerja belum bisa dilihat dan belum bisa diidentifikasi oleh beberapa pihak dalam kacamata gender, sehingga program pencegahan kekerasan berbasis gender di ruang kerja masih terjadi dan lebih dari seribu kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Jakarta.

Sementara itu, menurut Jacob Wilbert, Dinas PPAPP DKI Jakarta sebetulnya telah merumuskan beberapa program perlindungan perempuan termasuk dalam dunia kerja, yaitu sosialisasi bekerja sebagai hak perempuan, sama halnya seperti laki-laki yang punya hak asasi untuk bekerja dan memperoleh hak berpartisipasi dalam dunia ekonomi, dunia usaha/bisnis, dan lainnya.

Wulan dan Jacob sepakat bahwa problem utama yang menjadi penghambat perempuan bekerja adalah tafsir orang terhadap agama yang bertentangan dengan visi kemaslahatan agama itu sendiri. Misalnya konsep “ridha suami” dan “izin suami”.

Stigma masyarakat terkait konsep “ridha suami” dan “izin suami” yang membatasi perempuan dalam dunia kerja masih menjadi budaya, bahkan beberapa peserta dari tokoh agama, tokoh pemerintahan yang hadir, perempuan dan laki-laki masih setuju dengan kedua narasi penghambat perempuan bekerja tersebut.

Menurut Wulan, dukungan dari pandangan keagamaan inklusif yang mendukung hak perempuan bekerja sangat penting dan harus disosialisasikan kepada masyarakat dan tokoh agama, juga para stakeholders di satuan-satuan kerja pemerintah provinsi DKI Jakarta, sehingga pandangan keagamaan harus sejalan dengan kemaslahatan manusia yang menjadi inti dari ajaran agama.

Naufal dari Islami.Co menambahkan dukungan dari media berupa narasi-narasi berita yang mendukung perempuan bekerja harus banyak digiatkan, karena selama ini dunia media kekurasangan literasi terkait narasi hak perempuan bekerja.

Rozali dari TVNU sudah menyediakan channel-channel yang mendukung sosialisasi hak-hak perempuan termasuk hak perempuan bekerja, perlunya mengkolaborasikan kerja-kerja seperti ini dengan Rumah KitaB dan berbagai lembaga lainnya, sehingga narasi hak perempuan bekerja dapat diviralkan.

Nafilah mewakili Dirut PT. Nusa Kirana lebih menekankan lagi hak perempuan untuk bekerja sebagaimana laki-laki memiliki hak untuk bekerja, sehingga berbagai lembaga perlu melakukan kolaborasi dalam mensosialisasikannya di masyarakat secara luas.

Beberapa pembelajaran yang dapat diambil dari kegiatan ini, di antaranya, narasi stigma sosial dan pandangan keagamaan dalam arti bukan agamanya tetapi pandangan orang terhadap agama seperti narasi “izin suami” dan “ridha suami”, tidak saja menjadi problem masyarakat tetapi juga menjadi problem di kalangan tokoh pemerintah provinsi Jakarta dan tokoh agama, sehingga perjuangan Dinas PPAPP Provinsi Jakarta masih meniti jalan berat dalam menghapuskan kekerasan terhadap perempuan di ruang-ruang kerja yang dilandasi pandangan keagamaan dan diskriminasi gender.

Pada akhirnya program-program Dinas PPAPP Provinsi DKI Jakarta belum banyak didukung oleh beberapa satuan kerja di luar struktur organisasi Dinas PPAPP di level Kota dan Kabupaten di Provinsi Jakarta, misalnya di level Suku Dinas Pendidikan dan Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi sebagai regulator dan pengawas bagi dunia industri dalam perlindungnnya terhadap para pekerja perempuan.

Hingga saat ini ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan bekerja masih ditangani oleh UPT P2TP2A DKI Jakarta sebuah satuan teknis penanganan korban kekerasan di bawah Dinas PPAPP Provinsi DKI Jakarta.

Karena itu, menurut Jacob, Dinas PPAPP Provinsi DKI Jakarta terus menerus melakukan sosialisasi di berbagai instansi pemerintah provinsi DKI Jakarta terkait bahaya kekerasan berbasis gender yang menimpa banyak perempuan pekerja di Jakarta. Tetapi memang kerja-kerja sosialisasi tersebut harus dilakukan secara kolaboratif bersama organisasi-organisasi lainnya.

Pelajaran lainnya, yaitu sosialisasi buku “Fikih Perempuan Bekerja” harus lebih sering dilakukan kepada para tokoh agama dengan menggunakan jargon-jargon keagamaan inklusif seperti al-musawah wa al-‘adâlah (kesetaraan dan keadilan) berbasis maqâshid al-syarî’ah li al-nisâ` sebuah narasi hak asasi dalam bahasa agama yang ramah perempuan bekerja.

Sosialisasi keagamaan inklusif ramah perempuan dengan menggunakan maqâshid al-syarî’ah li al-nisâ` terhadap para tokoh agama pernah dilakukan di wilayah dampingan Rumah KitaB di Kalibaru di Jakarta Utara dalam program Berdaya I dan Berdaya II sejak tahun 2017 hingga 2021. Upaya tersebut cukup efektif membantu para tokoh agama dalam membaca ulang narasi keagamaan yang lebih ramah perempuan. Upaya yang sama harusnya dapat dilakukan di kota-kota lain di wilayah Provinsi DKI Jakarta.[AH]

rumah kitab

Merebut Tafsir: Puasa dan Kejujuran

SEORANG teman memasang status di FB-nya agar dalam menjalankan ibadah kita tidak riya (pamer). Peringatan itu sangat masuk akal. Sebab, seikhlas apapun, orang bisa menjalankan ibadah apapun dengan tujuan yang tak sejujurnya untuk ibadah; bisa untuk pamer, memberi kesan sebagai orang yang shaleh/shalehah, untuk beriklan, untuk kepentingan politik tipis-tipis, misalnya agar calon mertua terkesan, sampai untuk kepentingan politik “tebal-tebal” agar dipilih. Seluruh rangkaian ibadah yang masuk dalam rukun Islam sangat berpotensi untuk menjadi ibadah yang riya alias pamer. Bahkan untuk ibadah yang berbiaya mahal seperti Ibadah Haji, orang bisa terperangkap riya.

Tentu, ibadah apapun, dalam agama apapun menuntut kejujuran dari yang menjalankannya. Jujur artinya hanya orang itu sendirilah yang tahu apa dan mengapa menjalankan ibadah itu. Dalam Islam segala sesuatu tergantung niat. Ibadah yang bersifat ritus/ritual memang tak sulit untuk terjerembab ke dalam ibadah yang tak sejujurnya untuk ibadah. Utamanya karena dalam sejumlah ritual ibadah ada aspek “tontonan” ketika seseorang menjalankannya.

Namun di antara ibadah- ibadah itu, ibadah puasa merupakan ritual yang paling menuntut kejujuran. Pada ibadah puasa, ketika seseorang menjalankannya, aspek tontonannya hampir tidak menojol. Hanya diri sendiri yang tahu apakah ia sedang berpuasa atau tidak. Sementara untuk ibadah yang lain, orang bisa ikut tahu, bisa menyaksikan dan menontonnya. Sejak sahadat, shalat, zakat dan haji, orang bisa menyaksikannya, tapi tidak untuk ibadah puasa. Bagaimana membuktikan orang puasa dan tidak puasa? Penerapan syariat Islam pun hanya bisa mengawasi apakah warung nasi buka siang hari atau tidak.

Ibadah puasa yang dijalankan seseorang tak memperlihatkan aspek tontonan sebagaimana ibadah yang lain. Sejak dari bangun untuk memasak dan sahur, menahan diri dari makan dan minum sepanjang hari, berbuka dan melanjutannya dengan shalat tarawih selama sebulan penuh adalah rangkaian ibadat yang menuntut disiplin dan kejujuran diri. Hampir sulit orang mampu menjalankannya jika hanya untuk kepura-puraan. Mungkin orang sanggup menjalankan ritual shalat atau bahkan haji. Orang bisa ikut tawaf dan sa’i dan wukuf di Mina sekalipun untuk berpura-pura. Tapi hampir tidak mungkin orang menjalankan ritual puasa sebagaimana menjalankan ritual shalat, bayar zakat sepanjang bulan untuk kepura-puraan. Hanya ibadah shalat “qiyamul lail” yang tuntutan tingkat kejujurannya menyerupai puasa. Orang melakukannya sendirian di malam buta, ketika semua orang terlelap tidur. Aspek tontonan pada qiyamul lail sangat kecil sehingga unsur riya tak menonjol.

Dalam tradisi Sufi, karenanya, ibadah puasa dikenali sebagai ibadah yang sepenuhnya “untuk Tuhan”. Puasa adalah ibadah yang menuntut kejujuran pribadi dan ibadah yang sepenuhnya dipersembahkan bagi Tuhan sebagai bentuk ketundukkan sejati yang tanpa pamrih. “Ibadah Puasa itu untuk-Ku”.

Selamat menjalankan ibadah puasa!

#Lies Marcoes, 2 April 2022

Another critical attribute of the superior instructor is his information and own education.

If you’re a student in the university, faculty or higher school degree, maybe you are thinking about the very same question. Pupils therefore, require to take treatment when selecting an organization where they’re getting their school article documents from. Teachers must also provide the children proper instructions for every type of article which they need to compose. Read more

Seminar Kitab

Pengorbanan Atas Dasar Cinta Kepada Tuhan Menggerakkan Solidaritas dan Kasih Sayang Antarsesama

Oleh: DR. KH. Affandi Mochtar, MA.

SETIAP tahun umat Muslim di berbagai penjuru dunia bertemu dengan hari raya Idul Adha (qurban) atau hari raya haji. Pada momen perayaan tersebut, umat Muslim menunjukkan khidmat dan takzhim melalui kumandang takbir dan tahmid, shalat sunnah berjamaah dan penyembelihan hewan kurban, untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, Tuhan yang Mahakuasa. Dengan perayaan Idul Adha, umat Muslim juga mengekspresikan rasa syukur atas limpahan nikmat yang Allah berikan berupa kesehatan jasmani dan ruhani, terlebih berupa nikmat iman serta Islam yang telah tertanam kokoh di dalam hati nurani dan dibuktikan dengan amal salih. Karena itu, marilah kita dalam kesempatan idul adha tahun ini merenungkan dan sekaligus menangkap makna terdalam dari perayaan Idul Adha, bahwa pengorbanan harus dilakukan atas dasar cinta kepada Allah sehingga dapat menggerakkan kebersamaan dan kasih sayang antar sesama baik dalam kondisi suka maupun duka. Salah satu pesan Allah kepada umat Muslim adalah meneladani dan memetik pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim as. yang sangat berkesan, Allah SWT. berfirman,

Sesungguhnya terdapat teladan yang baik bagi kamu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan beliau,” [QS. al-Mumtahanah : 4].

Di antara yang perlu kita renungkan adalah peristiwa yang melatarbelakangi disyariatkannya hari raya idul adha atau hari raya kurban. Sebuah peristiwa yang mendebarkan dan menggetarkan sekaligus mengesankan, yaitu perintah Tuhan yang dialamatkan pada seorang ayah, kekasih-Nya, Khalilullah, Nabi Ibrahim as., agar menyembelih anaknya, Ismail, si jantung hati dan belahan jiwa, untuk dipersembahkan sebagai bukti cinta suci kepada Tuhan. Nabi Ibrahim As. bukan hanya mengajarkan, tapi juga membuktikan bagaimana memenuhi panggilan-Nya meski disertai dengan pengorbanan yang teramat besar. Melalui mimpi, beliau diperintahkan oleh Allah menyembelih putra kandungnya sendiri, meski kelahirannya telah dinanti-nanti serta didamba-dambakan selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Allah SWT berfirman,

Maka tatkala anak itu mencapai pada umur sanggup berusaha bersam-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “O anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku akan menyembelihmu, maka pikirlanlah bagaimana pendapatmu?” Ia menjawab, “Duhai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, isyaallah akan kau dapati bahwa aku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya. Dan kami panggillah ia, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah kami membalas kepada orang-orang yang berbuat baik. Peristiwa ini adalah ujian yang nyata. Dan kami ganti untuk disembelih seekor binatang (kambing) yang besar. Dan kami abadikan untuk keduanya (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,” [QS. al-Shafat: 103-107].

Ajaran kurban sejatinya telah disyariatkan semenjak Nabi Adam as., dan dilanjutkan oleh para Nabi sampai dengan Nabi Ibrahim dan kemudian diabadikan dalam Islam sebagai salah satu ritual ibadah mendekatkan diri kepada Allah. Kurban yang distilahkan dalam bahasa Arab udhiyah merupakan nama untuk sebuah binatang yang disembelih di hari raya atau hari tasyriq dengan niat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Ibadah kurban haruslah dengan niat yang lurus, tulus dan ikhlas hanya semata karena Allah. Sebagaimana Allah berfirman,

“Daging-daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai keridhaan Allah, tetapi ketakwaan kamulah yang dapat mencapainya,” [QS. al-Hajj: 37].

Hukum menyembelih kurban adalah sunnah muakkadah bagi seorang Muslim yang berakal, baligh (dewasa), merdeka (bukan seorang budak), dan mampu menunaikan ibadah kurban seperti membeli hewan yang akan disembelihnya. Allah SWT. berfirman,

Dan telah kami jadikan untan-untan itu sebagian dari syiar Allah,” [QS. al-Hajj; 36].

Dan di ayat lain, Allah SWT. berfirman,

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah,” [QS. al-Kautsar: 2].

Ada beberapa pelajaran berharga yang patut kita petik dari ibadah kurban yang sesuai dengan ajaran Islam.

Pertama, ibadah kurban adalah amalan yang menghargai kelangsungan hidup manusia. Ini sejalan dengan salah satu tujuan syariat Islam yaitu hifzh al-nafs (menjaga jiwa). Nyawa manusia sangat berharga dan dihargai dalam Islam. Walaupun perintah dalam mimpinya agar menyembelih seorang manusia, tetapi dalam kenyataannya Nabi Ibrahim menyembelih seekor hewan ternak. Peristiwa ini merupakan penghapusan tradisi buruk berupa penyembelihan manusia yang dijadikan sebagai sesaji dan “tumbal” yang dipersembahkan bagi tuhan-tuhan yang mereka sembah. Di Kan’an, bayi-bayi mungil yang tak berdosa dipersembahkan kepada Dewa Bal; di Mesir Kuno, di setiap tahun pada hari kesebelas bulan Kibti, masyarakat Mesir mengadakan ritual dengan menghiasi gadis tercantik jelita dengan hiasa yang paling mewah dan didandani dengan bedak, lipstik dan parfum yang terhebat kemudian ditenggelamkan ke dalam Sunga Nil sampai ke dasar yang bertujuan demi sebagai semebahan Dewa Sungai Nil, dan ritual tersebut dihapus sedikit demi sedikit sampai punah oleh Amr ibn al-Ash atas persetujuan Amirul Mukmini Umar ibn al-Khattjhab; di Meksico, orang-orang Astec mempersembahkan jantung dan darah manusia kepada Dewa Matahari; di Eropa Utara, orang-orang Viking mempersembahkan pemuka agama kepada Dewa Odin, Dewa perang yang mereka sembah; di Persia, menyembelih manusia untuk sesembahan Dewa; bahkan ritual pengurbanan manusia masih terus berlangsung di Eropa sampai pada tahun 657 Masehi ketika undang-undang pelarangan menyembelih manusia sebagai sesaji dirumuskan.

Ritual kurban yang diajarkan oleh agama Islam jauh sama sekali dari praktik pengorbanan nyawa manusia. Ajaran kurban dalam Islam dipraktikkan dengan menyembelih hewan ternak yang sehat, utuh dan kuat, yang dagingnya disedekahkan dan dikonsumsi oleh orang banyak. Alih-alih mengorbankan jiwa manusia, ritual kurban dalam Islam justru bermakna bagi kesehatan, keperkasaan, kebahagiaan, dan kesejahteraan manusia khususnya kaum dhu’afa (lemah) karena dapat menikmati konsumsi daging. Sebagaimana Allah berfirman,

Makanlah sebagian darinya dan berilah orang yang merasa puas dengan apa yang dimilikinya (meski dia tidak meminta) serta orang-orang yang meminta, agar mereka menjadi orang yang bersyukur,” [QS. al-Hajj: 36].

Kedua, ibadah kurban mengajarkan tentang cinta kepada Allah yang harus senantiasa dijunjung tinggi di atas cinta kita kepada anak. Dalam kehidupan nyata, tidak sedikit orang tua yang menjadikan anak segala-galanya, sehingga merendahkan bahkan melupakan cintanya kepada Allah. Demi mewujudkan rasa cintanya kepada sang anak, banyak orang tua yang buta dan lupa akan syariat agama. Kisah Ibrahim yang mematuhi perintah Allah dalam mimpinya untuk menyembelih putranya membuktikan kesetiaan cintanya yang total kepada Allah. Ajaran Islam menegaskan bahwa orang tua harus mencintai anaknya dengan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui pengasuhan, bimbingan, keteladanan, pembinaan, dan pendidikan sesuai dengan perkembangan kejiwaannya. Dalam waktu yang bersamaan, ajaran Islam juga mengingatkan akan timbulnya fitnah yang bersumber dari perlakuan atas nama cinta yang berlebihan kepada sang anak.

Ketiga, kisah dialog antara Ibrahim dan Isma’il dalam memutuskan perintah penyembelihan menggambarkan proses pendidikan cinta kepada Allah. Ibrahim dikenal sebagai khalilullah yang berarti kekasih Allah. Gelar ini sejatinya menegaskan bahwa Ibrahim adalah figur yang pasti tunduk dan patuh pada perintah Allah. Tapi dalam kisah al-Qur’an, Ibrahim memutuskan niat menyembelih putranya setelah melalui kegundahan batin dan dialog dengan putranya dalam bingkai keimanan kepada Allah. Ini menggambarkan bahwa proses cinta kepada Allah harus dibangun melalui proses pendidikan dan pembelajaran. Dengan kata lain, pendidikan yang baik harus mengutamakan perhatiannya pada penanaman dan pembiasaan cinta kepada Sang Khaliq.

Keempat, Isma’il adalah sosok pemuda yang berfikir matang dan bervisi masa depan. Tidak terkecoh oleh kenikmatan sesaat yang sering kali mengecohkan para pemuda. Menyadari bahwa segala sesuatu membutuhkan pengorbanan adalah prinsip Ismail. Melihat prinsipnya itu mencerminkan sikapnya dalam meraih sesuatu tidak instan, membutuhkan kesabaran, ada proses dan mekanisme yang harus dilalui, dan tidak tergesa-gesa. Isma’il, meski berumur muda, akan tetapi bersikap dan bertindak dengan ilmunya selaksa orang yang sudah dewasa dan matang. Sebaik-baik anak muda adalah anak muda yang berprilaku seperti orang tua. Sedangkan seburuk-buruk orang tua adalah orang tua yang berprilaku seperti anak muda. Teladan Isma’il sangat baik dijadikan ikon bagi anak-anak muda dalam membangun peradaban.

Kelima, hewan kurban merupakan simbol nafsu kebinatangan yang bersemayam dalam diri manusia. Nafsu kebinatangan yang secara binal mendorong manusia bertindak semena-mena, buas, rakus, hilangnya rasa malu, a-moral, dan mengabaikan pertimbangan akal sehat. Nabi mengumpamakan orang yang tidak berakhlak bagaikan Lalat, Nabi berkata, “Laysa al-adab ka al-dubab” (orang yang tidak bermoral bagaikan Lalat). Nafsu kebinatangan inilah yang harus kita waspadai dan kita harus mampu menjinakkan karena ia merupakan musuh yang ada di dalam diri kita sendiri. Proses pematangan kesadaran menuju keparipurnaan adalah bermula dari penundukan segenap pasukan nafsu yang bersemayam di dalam diri manusia. Sebab dengan penundukan itu, maka ia akan dapat berbuat kebaikan yang maksimal bagi segenap makhluk dan alam semesta ini.

Makna Idul Adha sebagaimana digambarkan di atas sungguh relevan untuk kita aktualisasikan dalam kehidupan modern ini khususnya bagi kaum muslimin di Indonesia. Sebagai bangsa yang beradab, kita terus berusaha menciptakan tata kehidupan yang damai penuh cinta kasih baik dalam sekala kecil pergaulan antar pribadi maupun dalam sekala luas pergaulan antar sesama komunitas. Di sisi lain, sebagai bangsa yang terus mengupayakan pembangunan dalam segala bidang, kita senantiasa berusaha memperkuat kesatuan, persatuan, dan solidaritas untuk kebahagiaan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dalam waktu yang bersamaan, sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia terus mengupayakan sumbangan dan peran dalam membangun peradaban modern, manusiawi dan religius. Untuk semua tujuan itu, maka ajaran pengorbanan yang tulus dan meningkatkan derajat manusia sebagaimana dipraktikkan dalam ritual kurban harus ditransformasikan oleh setiap kita pada semua segi kehidupan.

Pada era modern ini tradisi mengorbankan nyawa manusia sebagaimana terjadi pada masa jahiliyah sepertinya sudah tidak berlaku. Tapi dalam kenyataannya banyak praktik dan prilaku yang sejatinya mengorbankan nyawa dan menistakan derajat manusia. Peperangan, konflik, bahkan teror yang berujung pada penghancuran manusia atas nama perjuangan ideologi dan agama masih kita saksikan. Dalam praktik kehidupan politik kita, prilaku yang mengecilkan derajat manusia pun masih acap kali dipraktikkan dalam bentuk fitnah, pembunuhan karakter, menjajah, diskriminasi, mengeksploitasi dan memperkosa hak-hak manusia. Dengan momentum perayaan Idul Adha tahun ini, marilah kita perkuat dan kita persegar arti dan semangat cinta kepada Allah untuk mewujudkan pengorbanan kita melalui ketundukan dan ibadah kita kepada Allah, kepatuhan dan kesetiaan kita kepada ulil amri di negeri tercinta, solidaritas dan kepedulian kita terhada penderitaan sesama.

Lebih-lebih pada kondisi akhir-akhir ini dimana sebagian dari saudara-saudara kita tengah menghadapi musibah karena bencana alam, sudah sepatutnya hati kita terketuk dan cinta kita terkuak untuk mengorbankan perhatian, pikiran, dan harta kita untuk kebahagiaan dan kesejahteraan sesama. Momen Idul Adha akan semakin meningkatkan cinta kita kepada Allah yang diwujudkan melalui pengabdian, karya, dan dedikasi kita untuk meningkatkan kualitas individu, memperkuat kehidupan keluarga, mewujudkan solidaritas sosial, dan menciptakan kemajuan bangsa serta mendorong perdamaian dunia.[]

Salafi yang Diimajinasikan

Ketika Indonesia sedang hiruk-pikuk menyambut kedatangan Raja Salman bin Abdul Aziz Alu Saud, Raja Arab Saudi, saya langsung terbersit dua hal: investasi duniawi dan investasi ideologi Salafi-Wahabi. Salafi sebagai ideologi akhir-akhir ini banyak dibincangkan, karena banyak golongan dari internal Islam Sunni yang memperebutkan dan mengklaim sebagai kelompok yang paling absah menyandangnya. Tetapi, masing-masing kelompok mengimajinasikan Salafi berbeda-beda antara satu dengan lainnya, sehingga memunculkan tipologi Salafi yang beragam. Bahkan terkadang masing-masing tipologi adalah anti-tesa bagi yang lainnya.

Sekurang-kurangnya ada tiga tipologi salafi. Pertama, Salafi yang diimajinasikan Wahabi. Kalangan Wahabi mengimajinasikan Salafi sebagai kehidupan yang secara periodik terbatas pada masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya, sedangkan secara ideologi menggunakan jargon kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah secara harfiyah. Pandangan ini dirawat dalam karya-karya Muhammad ibn Abdil Wahab dan penerus serta pengikut setianya, yang terinspirasi oleh pandangan Ibn Taimiyah. Selain cara pandang literalistik, kalangan Salafi-Wahabi juga melarang filsafat, mantiq, dan tasawuf. Ajaran mereka yang paling terkenal adalah anti TBC (Tahayul, Churafat, dan Bid’ah). Semakin seseorang itu steril dari TBC, menurut Wahabi, maka ia semakin salafi.

LIPIA adalah lembaga indoktrinasi Salafi-Wahabi yang ada di Jakarta, dan sekarang Raja Salman bin Abdil Aziz datang ke Indonesia memastikan bahwa LIPIA akan dikembangkan dan dibuka di Surabaya, Medan, dan Makasar. Ini satu tanda akan lebih semarak dan masif lagi penyebaran paham Salafi-Wahabi di Indonesia. Alumnus LIPIA banyak bergerak di bidang pendidikan, seperti pendirian Pondok Pesantren As-Sunnah dan Radio Roja.

Kedua, Salafi yang diimajinasikan oleh kalangan jihadis, yang sejatinya sama persis dengan Salafi yang diimajinasikan kalangan Wahabi. Kalangan jihadis banyak terinspirasi dari paham Salafi-Wahabi dan dikolaborasi dengan paham Ikhwanul Muslimin (IM). Oplosan Salafi-Wahabi dan Ikhwanul Muslimin melahirkan al-Qaidah. Dan perkembangan selanjutnya kalangan Salafi-Jihadi melahirkan ISIS yang jauh lebih ekstrim. Kalangan jihadis garda depan Indonesia diwakili oleh Aman Abdurrahman, seorang alumnus LIPIA Jakarta, yang banyak menerjemah kitab-kitab para tokoh Salafi-Wahabi, di antaranya karya-karya Muhammad ibn Abdil Wahab dan Abu Muhammad al-Maqdisi, juga menguasai kitab-kitab Syaikh Muhammad Salim al-Dausari, memperdalam dan mengkaji lebih lanjut dengan memahami kitab-kitab karya para ulama yang disebutnya sebagai Aimmatu al-Dakwah al-Najdiyyin (para imam dakwah Najd), di antaranya yaitu: kitab “al-Durar al-Saniyyah”, “Fatawa Aimmah al-Najdiyyah”, “Majmu’at al-Rasa`il wa al-Masa`il al-Najdiyyah”, “Majmu’ Muallafat Syaykh Muhammad”, “Mishbah al-Zhalam”, “Minhaj al-Ta`sis”, “al-Qawl al-Fashl Nafis”, “al-Radd ‘ala al-Quburiyyin”, “Kasyfu al-Syubuhat”, “Tawhid al-Khallaq”, dan “Tarikh Najd”.

Aman Abdurrahman yang alumnus LIPA menguasai serta mengamalkan apa yang didapatkan dari doktrin Salafi-Wahabi malahan lebih memilih berbaiat pada ISIS. Pernyataan baiatnya disampaikan dari penjara Nusakambangan. Meski Aman Abdurrahman bukan representasi resmi dari lembaga LIPIA, tetapi ia sudah mencoba menjadi seorang Salafi-Wahabi yang kaffah (total).

Ketiga, Salafi yang diimajinasikan kalangan NU (Nahdlatul Ulama) atau Nahdliyyin. NU mengimajinasikan Salafi secara periodik tidak hanya terbatas pada masa Rasulullah Saw. dan sahabatnya saja, tetapi juga tabi’in (generasi paska shahabat), tabi’i al-tabi’in (generasi kedua paska sahabat), dan para ulama pengikut setia mereka dengan baik. Sehingga bisa dikatakan bahwa kehidupan salaf yang diidealkan oleh NU tidak terbatas pada periode tertentu, akan tetapi yang dijadikan standar adalah nilai luhur yang dihidupkan dari masa ke masa oleh generasi awal Islam dan penerusnya.

Salafi-NU secara ideologis menggunakan ajaran-ajaran yang merujuk pada al-Qur`an, hadits, dan kitab kuning warisan (turats) para ulama terdahulu yang mencoba menjelaskan secara rinci isi al-Quran dan hadits dengan tergambar pada berbagai macam disiplin ilmu keislaman. Sebab mulanya NU memunculkan istilah salaf atau salafiyah adalah untuk pondok pesantren yang masih menjadikan kitab kuning karya ulama klasik Islam sebagai materi dasar pengajian dan kurikulum wajibnya, dengan menggunakan metode pembelajaran tradisional, seperti bandongan, sorogan, pembacaan kitab dengan sistem makna perbaris yang kata perkata diterjemahkan dan diberi tanda baca kedudukan kata secara gramatika Arab.

Secara sosiologis, salaf di kalangan Nahdliyyin diimajinasikan sebentuk kehidupan yang selalu merujuk pada ‘ibarat (penjelasan) yang ada di kitab kuning, menjunjung tinggi hidup sederhana, hidup dengan apa adanya, secara simbolik berkostum dengan menggunakan sarung dan kopiyah, sikap asketik (zuhud), hidup merakyat, tawadhu’ (rendah hati), sopan santun, toleran, adaptif, dan berbagai nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran sufisme.

Kalangan Nahdliyyin, memang cara pandangan dan perspektif keagamaannya lebih didominasi oleh fikih oriented, akan tetapi amaliyahnya justru lebih didominasi oleh sufisme oriented. Sehingga, meski pun dalam fikih misalkan masih ada ajaran yang ‘bias diskriminasi’ agama—dan bahkan terkesan menganjurkan intoleran—akan tetapi ajaran itu ketika dikebumikan di alam realita mengalami pemfilteran dan seterilisasi oleh unsur sufisme yang malahan menganjurkan hidup yang toleran, egaliter dan saling hormat menghormati. Selain itu, sebagian kalangan Nahdliyyin juga sudah mulai berpikir metodis dalam menyikapi realitas dengan memfilter fikih melalui perangkat ushul fikih, maqashid al-syariah, dan qawa’id al-fiqhiyyah yang bersifat metodologis, sehingga dapat berfikir universal.

Salafi yang diimajinasikan kalangan Nahdliyyin lebih support terhadap nilai-nilai kebangsaan, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan Pancasila. Sebab Nahdliyyin membolehkan bid’ah hasanah (inovasi yang baik) dan sikap keberagamaannya sudah menyatakan bahwa NKRI sudah final. Sebaliknya Salafi-Wahabi berpandangan bahwa pemerintahan yang tidak berlandaskan penerapan syariat Islam adalah thaghut.[]

Teologi Gempa Bumi *)

Sesunggunhnya akan Kami (Allah Swt.) berikan cobaan kepada kalian semua dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, [yakni] Orang-orang yang ketika tertimpa oleh musibah maka akan berkata, ‘Sesungguhnya semua milik Allah dan akan kembali kepada-Nya,” [QS. al-Baqarah: 155-156].

Masih mengendap dalam memori otak kita betapa gempa berkekuatan besar dan badai tsunami mengguncang, meluluhlantakkan dan menyapu bersih bangunan, manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan yang ada di Aceh dan Sumatra Utara (26/30/’04). Gempa bumi juga mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah (27/05/’06). Juga, dalam waktu hampir bersamaan, Gunung Merapi di Yogyakarta kembali memuntahkan lahar, gempa dan tsunami menyapu kepulauan Mentawai. Dalam sekejap, ratusan nyawa melayang, bangunan-bangunan roboh dan hancur berkeping-keping.

Sebagai orang awam, saya tidak mengerti mengapa Tuhan menjatuhkan bencana alam kepada manusia. Kenapa harus bangsa Indonesia yang harus menanggung musibah ini? Dosa apalagi yang dilakukan bangsa ini sehingga Tuhan tega menimpakan bencana yang maha dahsyat ini? Ataukah ini sebagai manifestasi dari Kasih dan Sayang-Nya? Aku semakin bingung dan tidak mengerti maksud-Mu, Tuhan!

Andai aku seperti Nabi Musa, mungkin aku akan langsung bertandang ke gunung Sinai, meminta jadwal pertemuan dengan Tuhan, lantas bertanya langsung kepada-Nya: “Kenapa Kau jatuhkan musibah ini, ya Rabb?”. Atau jika aku jadi Nabi Muhammad, aku akan minta di-Isra’kan yang kedua kalinya, meminta klarifikasi dan menanyakan kepada-Nya prihal musibah ini. Tapi, aku bukanlah seorang Nabi atau Rasul. Aku hanyalah manusia biasa yang tidak punya kuasa untuk itu. Aku tidak bisa berkomunikasi langsung dengan creator-ku, apalagi menanyakan langsung kepada-Nya. Jika aku bertanya kepada manusia, niscaya mereka akan menjawab berdasarkan asumsi dan interpretasinya sendiri. Aku semakin tidak puas!

Namun, kendatipun demikian, akal manusia setidaknya bisa memahami—sejauh kemampuan akal—setiap gejala yang terjadi di alam ini. Karena Tuhan sudah memberikan sunnatullah-Nya (hukum alam) kepada manusia untuk diketahui, dipahami, dan dipelajari guna kemanfaatan dan kesejahteraan kehidupan di dunia ini. Dengan demikian, kosmos merupakan teka-teki sekaligus misteri Tuhan yang harus dipecahkan oleh manusia.

Dalam QS. al-Baqarah: 164, Allah Swt. menegaskan bahwa semesta alam (kosmos) adalah “ayat-ayat-Nya” yang diperlihatkan kepada manusia. Dia ingin menunjukkan eksistensinya pada manusia lewat sebuah “tanda” (sign), sebagai petunjuk atas adanya “Penanda”. Karena itu, Tuhan menciptakan alam agar eksistensinya dapat diketahui oleh manusia. Seorang sufi dari Persia, Ibn Arabi, menyebut bahwa alam adalah “cermin” sekaligus “bayangan” Tuhan. Lewat alam ini, Tuhan sebetulnya ingin memperlihatkan, mengenalkan, sekaligus melihat dirinya sendirinya lewat pantulan dalam “cermin” itu. Dalam terminologi tasawuf Allah ber-tajalli lewat alam.

Oleh karena itu, ayat al-Qur’an yang pertama kali turun dan dibacakan kepada Nabi Muhammad Saw. adalah QS. al-Alaq: 4-5 yang menyebutkan, “Iqra’ warabbuk al akram (3) Alladzi allama bi al qalam (4) Allama al insana ma lam ya’lam (5)” (Bacalah, dan Tuhanmulah Yang paling Pemurah [3] Yang mengajari [manusia] dengan perantaraan qalam [4] Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya). Pada ayat 4 dan 5 di sebutkan bahwa Allah SWT. mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui dengan perantaraan qalam. Qalam adalah “tanda” yang bisa membuka cakrawala pengetahuan manusia, termasuk pengetahuannya tentang Tuhan. Secara umum qalam adalah alam ini. Jadi, berdasarkan ayat itu, Tuhan sebetulnya ingin memperkenalkan sekaligus mengajarkan manusia lewat sebuah “tanda”. Ia menginginkan “tanda”-Nya dipahami dan dipelajari. Karena dengan memahaminya, tersingkaplah rahasia-rahasia-Nya. Dengan ini, memahami dan mempelajari alam sama halnya mempelajari dan memahami (ilmu) Tuhan. Dan Mempelajari (ilmu) Tuhan tergolong amal ibadah yang sangat luhur dan bisa mendatangkan pahala yang berlimpah.

Jadi, kalau kita teliti lebih mendalam, sebetulnya tidak ada distingsi antara yang sakral dan yang profan, karena semuanya bersumber dari Tuhan sebagai Dzat yang sakral. Semuanya adalah ayat-ayat Tuhan yang secara umum mewujud kedalam dua bentuk: al-ayat al-maktubah (kitab suci) dan al-ayat al-kauniyyah (kosmos). Keduanya menuntut untuk dikaji, dipahami, dan dipelajari. Keduanya sama-sama istimewa, dan menerima adanya penandaan (pemaknaan).

Memahami Rahasia Allah SWT. Lewat (Tanda) al-Qur’an

Seperti yang tersebut di atas, bahwa semua yang ada di alam ini adalah “tanda” dari kesekian banyak “tanda-tanda” Tuhan, tak terkecuali al-Qur’an. Ada banyak “tanda-tanda” Tuhan yang termanifestasikan dalam bentuk kitab suci, ayat al-maktubah (Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur’an). Dalam al-Qur’an, misalnya, terkandung ayat-ayat (tanda-tanda) yang terkumpul dalam satu mushaf. Dari sekian “tanda” menyatakan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan persoalan manusia, baik menyangkut hubungan vertikal (transendental) maupun horisontal. Itu semua adalah rahasia Tuhan yang dibeberkan kepada manusia untuk dipahami dan dipelajari. Sebagaimana setiap tanda-tanda Tuhan mengharuskan untuk diteliti, dipahami dan dipelajari, jika ingin mengetahui segala rahasia yang terkandung di dalamnya.

Dalam QS. al-Baqarah: 155 disebutkan, bahwa Allah akan menguji manusia dengan rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, lenyapnya jiwa dan buah-buahan (makanan). Kesemuanya adalah ujian atau cobaan (tanda) dari-Nya. Kalau kita sempitkan arti dari ayat itu, dan kita sesuaikan dengan konteks gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah, kira-kira artinya begini: “Sesungguhnya Allah akan menguji masyarakat Indonesia, sehingga menyebabkan mereka marasakan takut, terancam kelaparan, kehilangan harta benda, orang tua, anak, saudara dan tetangga karena semuanya telah mati. Dan informasikan kepada mereka [orang-orang sabar] bahwa semua itu adalah “tanda” dari Allah dan [tanda-tanda itu] akan kembali [merujuk] kepada-Nya).

Kata kunci (keywords) dari ayat di atas adalah “sabar”. Pengertian “sabar” dijelaskan oleh ayat setelahnya (156), yaitu: “Orang-orang yang ketika tertimpa musibah maka akan berkata: ‘Sesungguhnya semua milik (tanda) Tuhan dan akan kembali kepada-Nya’”. Artinya, ketika kita terkena cobaan atau ujian dari Tuhan, yang pertama kali kita tanamkan dalam hati adalah kesadaran bahwa semua yang ada di alam ini, termasuk harta dan jiwa kita, adalah milik (tanda-tanda) Tuhan yang merujuk kepada-Nya. Orang yang sabar dalam menerima cobaan adalah mereka yang bersikap kritis, aktif dan produktif atas apa yang dialaminya. Ia akan selalu bersikap optimis dan berpandangan positif dalam menilai dan menghadapi apapun yang datang dari Allah Swt.

Maka, membaca dan memahami bencana alam berarti mempelajari gejala-gejala berikut kemungkinan yang ditimbulkannya, setelah itu dicarikan solusi yang tepat untuk menanggulanginya, dan bila perlu mencegahnya. Gempa bumi adalah tanda dari sekian tanda-tanda Tuhan yang diperlihatkan kepada manusia. Semuanya untuk diketahui, dipahami dan dipelajari. Sebab, pada ghalibnya, orang akan tertarik kepada sesuatu setelah ia melihat, merasakan atau mendengarnya. Bagi orang yang kritis, ia akan mengamati dan mencoba untuk memahaminya, tidak serta merta hanya dilihat dan dinilai sebagai fenomena alam biasa, apalagi sampai “menghakimi” dan “menuduh” Tuhan sebagai pihak yang paling “bersalah” dan bertanggung jawab.

Penutup

Rentetan bencana alam yang menimpa Bangsa Indonesia akhr-akhir ini adalah tanda yang diberikan Allah Swt. untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini. Tujuannya agar bangsa ini memiliki kecerdasan dalam memahami seluruh fenomena alam berikut misteri yang terkandung di dalamnya. Dengan memahaminya, diharapkan manusia akan tergerak untuk selalu meneliti, mempelajari, dan menemukan sebab-sebabnya.

Bencana alam merupakan salah satu medium Allah SWT untuk berkomunikasi dengan makhluk-Nya. Allah Swt. memiliki banyak cara untuk menyatakan “kalamnya”, baik melalui ayat al-maktubah maupun ayat al-kauniyyah. Inilah hikmah dari cobaan yang diberikan-Nya. Fa’tabiru ya ulil al-bab![]

*)Tulisan lama yang diposting kembali untuk mendoakan mereka yang terkena bencana beberapa waktu lalu.