Qurban di dalam Agama-agama Ibrahim

AL-QUR`AN, di satu sisi, menyatakan, “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan [pula] seorang Nasrani, tetapi ia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri [kepada Allah] dan sekali-kali bukanlah ia termasuk golongan orang-orang musyrik,” [Q.S. al-Imran: 67]. Di sisi lain, banyak agamawan menjadikan Yahudi dan Kristen sebagai agama Ibrahim. Antara keduanya tidak ada kontradiksi. Q.S. al-Imran: 67 mengacu pada dua ciri Ibrahim: al-hanafîyyah (lurus) dan al-istislâm (berserah diri). Ada keterkaitan antara keduanya, karena tauhid mengarah pada keberserahan, dan para agamawan melihatnya melalui kesamaan “garis nasab ajaran” lebih dari sekedar “garis nasab ras”. Artinya, semua agama bernisbat kepada Ibrahim dan mengagungkannya. Dan pada saat yang sama, agama-agama ini saling berhubungan satu sama lain, baik dalam arti pengaruh alamiah ide dan gagasan, atau dalam arti perkembangan profetik menurut ruang dan waktu.

Sebagian dari mereka menyebut agama-agama ini sebagai monoteisme, yang berarti umat manusia mengalami transformasi dari banyak tuhan menjadi satu Tuhan. Namun hal ini perlu dikaji; karena kenabian dan agama-agama sebelum Ibrahim percaya pada monoteisme, hanya saja Ibrahim hidup di lingkungan yang memercayai ragam wujud tuhan, mulai dari matahari, bintang, dan planet-planet, dan perwujudan Tuhan berupa patung dan berhala. Karena itulah, dakwahnya diabadikan di dalam Taurat melalui Sepuluh Perintah yang diwahyukan kepada Musa, dan ketentuan-ketentuan utamanya diakui oleh seluruh agama Ibrahim, “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu,” [Kitab Keluaran 20: 4-5].

Agama-agama ini juga disebut agama-agama samawi yang mengacu pada al-sumuw (keagungan) dan al-irtifâ’ (ketinggian), atau karena ajaran-ajarannya bersifat transenden dan tidak bersifat duniawi, atau karena Tuhan adalah sumber agama-agama ini dan Dia adalah Tuhan samawi, yaitu yang transenden, terlepas dari dialektika ruang dan Waktu.

Dari segi jumlah, para agamawan umumnya melihat ada tiga agama Ibrahim: Yahudi, Kristen, dan Islam. Hal ini terlihat dari segi pengaruh dan penyebarannya. Meskipun Yahudi tidak tersebar luas seperti Kristen dan Islam, karena Yahudi bukan agama misionaris, tetapi pengaruhnya kuat terhadap kedua agama tersebut (Kristen dan Islam), dan seluruh agama setelahnya memiliki kesamaan dalam teologi, penafsiran, biografi para nabi, dan syariat (hukum).

Namun, kalau diperhatikan lebih jauh, di dalam agama-agama Ibrahim sebenarnya ada empat agama utama, dan ada tiga agama cabang yang dipengaruhi olehnya. Empat agama Utama yang dimaksud adalah: Samaria, Yahudi, Kristen, dan Islam. Sedangkah tiga agama cabangnya adalah: Sabian-Mandaean, Sikhisme, dan Baha’isme, hal ini jika kita menganggap Mormon sebagai sekte Kristen, dan bukan agama yang berasal dari Kristen; karena mereka mempunyai kitab suci, yaitu Kitab Mormon (The Book of Mormon), Kesaksian Kedua tentang Yesus Kristus, dan gereja mereka disebut Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir, yang didirikan oleh Joseph Smith (w. 1844 M). Diceritakan, Joseph Smith menerima wahyu yang mengarahkannya ke loh-loh Kitab Mormon, yaitu loh-loh kuno yang kemudian ia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Tidak sedikit orang yang melihat Samaria dan Yahudi sebagai satu agama. Abbas al-Aqqad (w. 1964 M) di dalam bukunya, “Hayâh al-Masîh”, menyebut Samaria sebagai sebuah sekte Yahudi. Tetapi pandangan ini disangkal oleh umat Samaria dan Yahudi. Persamaan umat Samaria dengan Yahudi ada empat hal: ras bani Israel, finalitas kenabian Musa, keimanan pada lima Kitab Taurat, dan perhatian pada Hukum Pertama Musa. Umat Samaria menganggap diri mereka sebagai ahli waris sejati bani Israel, dan umat Yahudi adalah campuran berbagai ras setelah pengasingan dan pembuangan orang-orang Israel dari Kerajaan Yehuda kuno ke Babilonia oleh Nebukadnezar II pada tahun 586 SM. Istilah Samaria mengacu pada Samirah, dan demikian pula Yahudi mengacu pada Kerajaan Yehuda, yaitu setelah kerajaan Israel pecah menjadi utara dan selatan. Kemudian setelah dua ratus tahun, orang-orang Yahudi memperkenalkan teks dan hukum baru (Talmud), yang menjadikan mereka sebagai agama independen.

Sementara itu, agama Kristen—orang Yahudi dan Muslim menyebutnya Nasrani—, mengacu pada kota Nazaret, di mana malaikat memberitahukan kepada Maria tentang kehamilan dan kelahiran Yesus Kristus. Namun, umat Kristiani umumnya menolak hal ini. Mereka percaya bahwa kelompok Nasrani ada setelah Kristus, dan bahwa untuk masuk agama Kristen, seseorang harus terlebih dahulu masuk agama Yahudi sebelum dibaptis, baru kemudian masuk agama Kristen. Namun Paulus dan Barnabas memperdebatkannya di Dewan Yerusalem pada tahun 50 dan 51 M.

Adapun kaum Sabian-Mandaean, mereka dekat dengan agama Kristen dalam hal pembaptisan, sebagaimana mereka juga dekat dengan hukum Yahudi. Mereka bernisbat kepada Yahya ibn Zakariya. Hanya saja mereka melihat bahwa suhuf (kitab) mereka kuno, yang bersumber dari Adam, Seth dan sebagainya, dan mereka adalah penganut monoteisme. Terjadi kebingungan antara mereka dengan kaum Sabian Harran yang menyembah planet. Bisa jadi Sabian Harran adalah orang-orang Samaria, tetapi orang-orang Samaria tidak menyembah planet, mereka hanya tertarik pada astrologi dan astronomi sejak zaman yang sangat kuno.

Sedangkan Sikhisme (Sikhiyah), bukanlah agama Ibrahim, asalnya adalah agama Hindu dan lahir dari rahimnya. Namun, Guru Nanak (w. 1539 M) yang merupakan guru pertama dipengaruhi oleh para sufi Muslim India, terutama warisan Baba Fariduddin Mas’ud (w. 1265 M), yang merupakan salah satu sufi besar Muslim India pada tarekat Habasyiah.

Selanjutnya, Baha’isme (Baha’iyah), lahir di Persia (sekarang Iran) pada tahun 1863. Pendirinya adalah Husain Ali al-Nuri yang berjuluk Baha’ullah (w. 1892 M), yang percaya pada ajaran Bab Ali Muhammad al-Syirazi (w. 1850 M). Dikatakan, Husain Ali al-Nuri mendapatkan kabar dari Bab Ali Muhammad al-Syirazi bahwa ia yang akan “ditampakkan” (dipilih) oleh Allah dengan membawa Kitab al-Aqdas yang di dalamnya terkandung banyak hal yang membatalkan hukum-hukum al-Qur`an, seperti shalat, puasa, dan waris. Kitab ini adalah suci bagi umat Baha’i. Mereka mempunyai kitab lain yang sangat penting di dalam agama mereka, yaitu Kitab al-Iqan dan al-Wadiyan al-Sab’ah. Setelah Husain Ali al-Nuri meninggal, ajarannya diteruskan oleh putra sulungnya, Abdul Baha’ Abbas Effendi (w. 1921 M). Sebagian orang menganggap Baha’isme sebagai sekte mistik Islam, seperti Druze yang lahir dari Syiah Ismailiyah, tetapi Baha’isme menganggap diri mereka sebagai agama yang independen.

Secara umum, ketika membahas hari raya qurban, kita menemukannya dengan jelas melekat pada empat agama utama Ibrahim: Samaria, Yahudi, Kristen, dan Islam.

Qurban, sebagaimana tercantum di dalam al-Mu’jam al-Wasîth, adalah: “Segala sesuatu yang [digunakan untuk] mendekatkan seseorang kepada Allah ‘Azza wa Jalla, baik berupa sembelihan maupun lainnya.” Di dalam agama Samaria, itu terkait dengan hari Raya Paskah, yaitu hari peringatan keselamatan Musa dari Fir’aun. Di dalam Taurat Samaria, Kitab Keluaran 12: 1-6, dikatakan: “Berfirmanlah TUHAN kepada Musa dan Harun di tanah Mesir: ‘Bulan inilah akan menjadi permulaan  segala bulan bagimu; itu akan menjadi bulan pertama bagimu tiap-tiap tahun. Katakanlah kepada segenap jemaah Israel: Pada tanggal sepuluh bulan ini diambillah oleh masing-masing seekor anak domba, menurut kaum keluarga, seekor anak domba untuk tiap-tiap rumah tangga. Tetapi jika rumah tangga itu terlalu kecil jumlahnya untuk mengambil seekor anak domba, maka ia bersama-sama dengan tetangganya yang terdekat ke rumahnya haruslah mengambil seekor, menurut jumlah jiwa; tentang anak domba itu, kamu buatlah perkiraan menurut keperluan tiap-tiap orang. Anak dombamu itu harus jantan, tidak bercela, berumur setahun; kamu boleh ambil domba atau kambing. Kamu harus mengurungnya sampai hari yang keempat belas bulan ini.” Seekor domba berumur satu tahun yang bebas dari cacat harus disembelih, disertai ziarah ke Gunung Gerizim di Sikhem, yaitu kota Nablus di Palestina saat ini.

Bagi umat Yahudi, seperti halnya umat Samaria, qurban adalah seekor anak domba berumur satu tahun yang bebas cacat, disertai ziarah ke Gunung Sion, tempat Bait Suci berada, atau setidaknya Tembok Ratapan yang dibangun pada masa pemerintahan Herodes Romawi (w. 4 SM), yang tetap ada sampai sekarang setelah penghancuran Bait Suci, seperti yang mereka ceritakan.

Ibnu Abbas meriwayatkan, “Rasulullah Saw. mendatangi Kota Madinah, lalu didapatinya orang-orang Yahudi berpuasa di Hari Asyura. Maka beliau pun bertanya kepada mereka: ‘Hari apakah ini, hingga kalian berpuasa?’ Mereka menjawab, ‘Hari ini adalah hari yang agung, hari ketika Allah memenangkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun serta kaumnya. Karena itu, Musa puasa setiap hari itu untuk menyatakan syukur, maka kami pun melakukannya.’ Maka Rasulullah Saw. bersabda: ‘Kami lebih berhak dan lebih pantas untuk memuliakan Musa daripada kalian.’ Kemudian beliau pun berpuasa dan memerintahkan kaumnya puasa di hari itu,” [H.R. al-Bukhari dan Muslim]. Ini bertepatan dengan hari Paskah, dan hari Paskah adalah hari raya di mana baik orang Samaria maupun Yahudi tidak berpuasa.

Bagi umat Kristiani, penangkapan Kristus menurut Injil bertepatan dengan hari Paskah. Gubernur Pilatus biasa membebaskan seorang tahanan pada hari raya Paskah, sebagaimana dinyatakan dalam Injil Matius 27, 15-23: “Gubernur biasa membebaskan bagi orang banyak, seorang tahanan yang dikehendaki oleh mereka. Pada waktu itu, mereka mempunyai seorang tahanan yang terkenal, yang disebut Barabas. Jadi, ketika orang banyak berkumpul, Pilatus bertanya kepada mereka, ‘Siapa yang kamu inginkan untuk kubebaskan, Barabas atau Yesus, yang disebut Kristus?’ Sebab, Pilatus tahu bahwa karena iri, mereka telah menyerahkan Yesus kepadanya. Ketika Pilatus sedang duduk di kursi pengadilan, istrinya mengirim pesan kepadanya, ‘Jangan lakukan apa pun terhadap Orang benar itu. Sebab, aku telah menderita banyak hal hari ini dalam mimpi karena Dia.’ Akan tetapi, imam-imam kepala dan para tua-tua meyakinkan orang banyak untuk meminta Barabas dan membunuh Yesus. Gubernur bertanya kepada mereka, ‘Yang mana dari kedua orang itu yang kamu kehendaki untuk aku bebaskan bagimu?’ Dan, mereka berkata, ‘Barabas!’ Pilatus berkata kepada mereka, ‘Kalau begitu, apa yang harus kulakukan dengan Yesus, yang disebut Kristus?’ Mereka semua berkata, ‘Salibkan Dia!’ Dan, Pilatus bertanya, ‘Mengapa? Dia telah melakukan kejahatan apa?’ Akan tetapi, mereka berteriak lebih keras lagi, ‘Salibkan Dia!

Jadi, Kristus adalah qurban yang mengorbankan dirinya pada hari Paskah. Umat Kristiani percaya bahwa dengan pengorbanan diri Kristus maka datang keselamatan. Dari sini, qurban diubah dari bentuk hakiki menjadi bentuk simbolis, yaitu diwujudkan dalam Perjamuan Kudus dengan memakan roti dan meminum anggur sebagai simbolisasi tubuh dan darah Yesus.

Umat Kristiani merayakan Paskah dengan Hari Kebangkitan, yaitu setelah kebangkitan Kristus tiga hari kemudian, dan itu adalah perwujudan qurban Kristus dan keselamatan umat manusia, yang didahului, seperti di kalangan Ortodoks, dengan Masa Prapaskah Besar.

Bagi umat Muslim, meskipun hukum Islam memiliki kesamaan dengan hukum Samaria dan Yahudi, mereka mengaitkan qurban dengan kisah Ibrahim as. ketika ia hendak menyembelih putranya, Ismail. Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M) di dalam Majmû’ al-Fatâwâ (Juz 4, hal. 204) mengatakan, “Terdapat dua mazhab terkenal di kalangan ulama, dan masing-masing disebut dari sekelompok pendahulu (salaf). Dalam hal ini Abu Ya’la menyebut dua riwayat dari Ahmad, dan ia menyatakan bahwa itu adalah Ishaq, mengikuti Abu Bakr Abdul Aziz, dan Abu Bakr mengikuti Muhammad ibn Jarir, dan oleh karena itu Abu al-Faraj ibn al-Jauzi menyebutkan bahwa para sahabat Ahmad berpendapat bahwa itu adalah Ishaq. Keduanya mendukung pendapat ini, juga siapa pun yang mengikuti mereka.” Namun, berbeda dengan umat Samaria, Yahudi, dan Kristen, di kalangan umat Muslim yang diyakini adalah Ismail.

Oleh umat Muslim qurban Ibrahim diwujudkan dengan menyembelih hewan, yaitu pada hari kesepuluh Dzulhijjah sampai hari keempat belas, berupa seekor domba berumur satu tahun yang bebas cacat, juga boleh berupa seekor domba yang telah genap enam bulan, atau seekor sapi yang telah genap dua tahun untuk tujuh orang, atau seekor unta yang telah berumur lima tahun. Mereka menyebut hari qurban dengan Idul Adha, yaitu Hari Penyembelihan, atau Hari Raya setelah Idul Fitri, atau Hari Raya Haji karena bertepatan dengan pelaksanaan ibadah haji.

Kesimpulannya, bahwa tiga hari raya: Paskah, Kebangkitan, dan Al-Adha, yang merupakan hari raya qurban dalam empat agama Ibrahim, tetap menjadi ritual fisik yang dipraktikkan oleh umat Samaria, Yahudi, dan Muslim, dan menjadi ritual simbolis yang dipraktikkan oleh umat Kristiani.[]

Perbedaan Pendapat di dalam Fikih

PERBEDAAN dalam masalah hukum merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada setiap pensyariatan (tasyrî’) yang menjadikan aktivitas-aktivitas manusia berikut adat-adat mereka sebagai sumber, di samping juga pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran dan pertimbangan mereka sebagai dasar pijakan. Hal itu disebabkan kerena adat-adat manusia berbeda-beda, pekerjaan-pekerjaan mereka bermacam-macam, dan pendapat-pendapat mereka beragam, sesuai dengan fitrah mereka yang diciptakan Allah Swt.. Bila dasar pikiran yang digunakan berbeda, sudah tentu hasilnya pun akan berbeda pula. Itulah sebabnya seluruh syariat positif (al-syarî’ah al-wadh’îyyah) hingga saat ini masih saja menjadi obyek perbedaan dan pemicu perdebatan, karena itu merupakan ‘buatan’ sekaligus hasil pemikiran manusia dalam upaya mencapai maslahat-maslahat yang mereka inginkan. Dan maslahat-maslahat yang dicapai tentu saja tidak sama antara satu dengan yang lain tersebab perbedaan pandangan, tujuan, lingkungan dan zaman.

Kiranya perbedaan semacam itu tidak terjadi dalam syariat Islam di masa Nabi Saw. hidup, yaitu ketika beliau menyampaikannya di tengah-tengah manusia dan menjelaskan signifikansinya dalam kehidupan. Hal ini disebabkan karena Allah Swt. selalu ‘turut campur’ dalam menentukan mana yang termasuk wahyu dari-Nya guna mengatur manusia dan mana yang termasuk ijtihad atau upaya penalaran subyektif Nabi Saw.. Apapun yang berasal dari Allah Swt. maka tidak ada pertentangan di dalamnya. Allah Swt. berfirman di dalam al-Qur`an, “Apakah mereka tidak merenungkan al-Qur`an? Dan kalau [al-Qur`an itu] berasal dari selain Allah niscaya mereka akan menemukan banyak sekali pertentangan di dalamnya.”[1]

Adapun setelah Nabi Saw. wafat, yaitu ketika pawahyuan al-Qur`an sudah terhenti, maka orang-orang setelah beliau (para shahabat) atau orang-orang setelah mereka (para tabi’in dan tabi’it tabi’in) berupaya menerapkan ajaran dari beliau terhadap kejadian-kejadian baru. Nah di sinilah mereka dihadapkan pada kenyataan-kenyataan dengan berbagai corak dan beragam kondisi serta perbedaan tempat.[2] Dalam hal ini mereka berpijak pada pandangan dan perbandingan antara apa yang terjadi di masa Nabi Saw. dengan apa yang terjadi setelahnya, disertai identifikasi adanya persamaan antara kejadian-kejadian yang lalu dengan kejadian-kejadian setelahnya dan kesamaan konteks hukum berikut ‘illah-nya.

Kemudian pada tahapan selanjutnya dicarilah makna-makna teks yang sesuai dan hubungan antara yang satu dengan yang lain sembari melakukan ithlâq, taqyîd, takhshîsh, ta’mîm dan naskh. Ini semua adalah hal-hal yang di dalamnya terdapat banyak sekali pola pandang sehingga melahirkan banyak perbedaan; di antaranya perbedaan kejadian-kejadian yang lalu berikut kondisi dan penentuan konteks hukum tentangnya serta pengokohan aspek-aspek persamaan antaranya dengan kejadian-kejadian yang baru; di antaranya adalah perbedaan teks yang diriwayatkan tentang hukum-hukum yang ada, baik yang diriwayatkan secara benar (shahîh) atau tidak, atau yang sudah ditetapkan atau tidak; di antaranya perbedaan dalam mengetahui konteks hukum berikut syarat-syaratnya; di antaranya perbedaan dalam menjadikan titik persamaan sebagai dasar legal yang mana hukum dapat melampaui konteks asalnya; di antaranya perbedaan dalam menghubungkan hukum yang ada dengan kesimpulan dari ‘illah-nya; dan masih banyak lagi perbedaan yang lainnya.[3]

Sebelum melangkah lebih jauh membahas perbedaan dalam fikih, alangkah baiknya bila saya memaparkan terlebih dahulu tentang fikih di masa Nabi Saw..

 

Fikih di Masa Nabi Saw.
Di masa hidupnya Nabi Saw. menyampaikan hukum-hukum yang disyariatkan Allah Swt. kepada umat Muslim, yaitu menyampaikan hukum-hukum yang tertera di dalam al-Qur`an dan menjelaskannya, atau menerapkannya di tengah-tengah mereka sebagai contoh, atau memberikan nasihat dalam hal-hal yang mereka selisihkan. Nabi Saw. adalah marja’ (tempat kembali/rujukan) ketika di antara mereka terjadi perselisihan, mafza’ (tempat berlindung) di saat mereka dirundung kesusahan, râ`id (pemimpin) dalam semua urusan, hâdîy (pemberi petunjuk) di kala mereka dilanda kebingungan, dan mursyid (pembimbing) ketika mereka terjerembab ke dalam kubang kesesatan. Jika mereka berselisih mengenai suatu perkara, maka beliau mengembalikannya kepada yang benar (al-shawâb). Dan jika kebenaran tidak nampak kepada mereka, maka beliau segera menunjukkannya.

Sebagian dari mereka terkadang dihadapkan pada suatu perkara yang menuntut penyelesaian mendesak sehingga tidak memungkinkan untuk bertanya langsung kepada Nabi Saw. dikarenakan jauhnya tempat atau dalam perjalanan. Maka mereka kemudian melakukan ijtihad untuk mengetahui hukumnya, dan ketika pada suatu kesempatan mereka hadir di majlis beliau maka mereka langsung mengadukan hasil ijtihad mereka kepada beliau, kemudian beliau menerangkan kepada mereka tentang kebenaran perkara tersebut yang segera mereka terima dengan penuh keimanan.

Pernah suatu ketika shahabat Amru ibn al-Ash ra. diutus untuk memimpin para tentara muslim dalam sebuah peperangan di tahun kedelapan Hijriyah. Dan pada suatu malam yang sangat dingin ia mimpi basah; junub! Waktu shalat Shubuh pun tiba. Ia khawatir kalau memaksakan diri untuk mandi akan membahayakan bagi kesehatan fisiknya, apalagi saat itu masih dalam suasana perang. Karena kekhawatiran itulah ia hanya bertayamum untuk kemudian melaksanakan shalat bersama shahabat-shahabat yang lain.

Dan pada suatu kesempatan, yaitu ketika berkumpul bersama Nabi Saw., para shahabat menceritakan apa yang dialami oleh Amru ibn al-Ash. Beliau pun kemudian bertanya kepadanya, “Wahai ‘Amru, apakah kau melakukan shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kau dalam keadaan junub?” Amru ibn al-Ash menjawab dengan menyebutkan salah satu ayat dalam al-Qur`an yang berbunyi, “Janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri, sesungguhnya Allah sangatlah Penyayang kepada kamu.” Mendengar itu Nabi Saw. hanya tertawa dan tidak mengatakan apa-apa. Maka tenanglah Amru ibn al-Ash.[4]

Atha` ibn Yasar juga meriwayatkan tentang dua orang yang sedang bepergian. Di tengah perjalanan keduanya tidak menemukan air, padahal waktu shalat sudah tiba. Akhirnya keduanya bertayamum dan kemudian melakukan shalat. Setelah itu keduanya melanjutkan perjalanan. Tetapi belum begitu jauh melangkah keduanya melihat air. Lalu salah seorang dari keduanya berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang lain tidak melakukannya. Maka begitu bertemu Nabi Saw. keduanya langsung menceritakan hal tersebut. Kemudian beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Kamu benar, shalatmu mendapat pahala.” Setelah itu beliau berkata kepada orang yang berwudhu dan mengulangi shalatnya, “Kamu mendapat dua pahala.”[5]

Demikianlah keadaan di masa Nabi Saw., tidak ada perbedaan hukum. Ketika beliau menetapkan hukum atas suatu perkara maka tidak ada seorang pun yang tidak mematuhinya. Tidak ada seorang pun dari para shahabat yang berselisih pendapat dengan beliau. Kalau ada orang yang berpendapat dalam masalah hukum, dan kemudian diutarakan kepada Nabi Saw., kalau beliau menerima dan mengakuinya maka dengan sendirinya itu menjadi syariat yang kudu dijalankan. Tetapi kalau beliau menolak, maka setelah itu tidak ada yang boleh mengerjakannya.[6]

Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas, fikih di masa Nabi Saw. sebetulnya bersifat praksis (terapan), tidak bersifat teoritis seperti sekarang ini. Kala itu sumber hukum yang dijadikan pijakan dalam setiap permasalahan adalah figur Nabi Saw. sebagai penerima wahyu secara langsung dari Tuhan.[7] Artinya, setiap kali ada masalah, terutama yang berhubungan dengan agama, umat Muslim langsung menanyakannya kepada beliau. Kala itu pula, masalah apapun yang terjadi hanya membutuhkan solusi yang amat sederhana. Sebab umat Muslim masih sedikit dan tinggal di satu tempat, yaitu di Jazirah Arab.[8]

 

Perbedaan Pendapat di Masa Shahabat
Setelah Nabi Saw. berpulang ke Rahmatullah, otomatis penurunan wahyu terhenti. Di sini para shahabat, ketika dihadapkan pada sebuah perkara yang menuntut penjelasan suatu hukum, mereka mencarinya di dalam al-Qur`an dan kemudian di dalam Sunnah. Apabila mereka menemukannya di dalam kedua pedoman tersebut atau di salah satunya, maka dengan penuh keimanan mereka mengamalkannya.

Salah seorang dari mereka bertanya kepada yang lain ketika ia tidak mengetahui hukum dari suatu perkara. Seperti riwayat yang menyebutkan bahwa seorang nenek datang kepada Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra. menanyakan tentang warisan untuknya. Sang khalifah lalu mencarinya di dalam al-Qur`an namun tidak menemukannya, dan ia juga tidak mengetahui adanya suatu acuan dari Nabi Saw. yang secara eksplisit atau implisit membahas tentang warisan untuk nenek-nenek. Akhirnya ia bertanya kepada shahabat-shahabat yang lain, kemudian muncullah al-Mughirah ra. dan Muhammad ibn Salamah yang memberi kesaksian bahwa Nabi Saw. memberikan hak waris seper enam untuk seorang nenek.[9]

Tetapi kalau mereka benar-benar tidak menemukannya di dalam al-Qur`an maupun Sunnah, maka sang Khalifah akan mengumpulkan beberapa orang pilihan dari para sahabat yang dianggap mumpuni dalam masalah hukum untuk melakukan musyawarah. Kalau nantinya mereka sependapat dalam suatu hukum, maka sang khalifah akan langsung menerapkannya. Tetapi bila terjadi perbedaan di antara mereka, maka sang khalifah akan memilih yang menurutnya lebih mendekati kebenaran demi terwujudnya maslahat umat Muslim secara umum, tanpa menganggap hal itu sebagai penghalang untuk merubah pilihannya tersebut mana kala nantinya terdapat pendapat lain yang lebih benar.[10]

Dengan demikian, pasca wafatnya Nabi Saw., perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat tidak lain merupakan konsekuensi dari ijtihad mereka mengenai suatu perkara yang tidak ada satupun teks yang menegaskannya, baik dari al-Qur`an atau Sunnah. Dan Nabi Saw. sendiri di masa hidup beliau telah mengajarkan kepada para shahabat cara melakukan istinbâth (pengambilan kesimpulan hukum) dan cara melakukan ijtihad dalam hal yang belum mendapat ketegasan hukum secara tekstual.

Dan meskipun terjadi perbedaan dalam berijtihad di kalangan shahabat, hanya saja di dalamnya terdapat beberapa keistimewaan, di antaranya:[11]

Pertama, mereka merasa cukup dengan kenyataan yang ada. Mereka tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebelum terjadi, dan tidak meletakkan jawaban-jawaban sebelum bertanya terlebih dahulu, sebagaimana juga dilakukan oleh orang-orang setelah mereka. Jika mereka bertanya tentang sesuatu, mereka berkata, “Apakah itu terjadi?” Kalau itu terjadi, maka mereka kemudian melakukan ijtihad guna menemukan jawabannya. Dan kalau itu tidak terjadi, maka mereka tidak memberikan jawaban apa-apa. Mereka hanya berkata, “Biarkan itu terjadi, kemudian kami akan memberi jawaban.” Setidaknya ini menunjukkan bahwa mereka memang tidak menyukai pendapat yang bersifat asumtif atau hipotesis.

Ya, mereka tidak suka bertanya tentang suatu hal yang tidak terjadi. Bahkan mereka mencela orang yang memaksakan diri untuk menanyakannya. Hal ini dipertegas oleh Umar ibn al-Khaththab ra. dengan perkataannya yang cukup populer di masanya, “Tidak ada seorang pun yang boleh menanyakan sesuatu yang belum terjadi. Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan apa yang ada.”

Kedua, adanya kebebasan ijtihad di kalangan shahabat. Setiap orang dari mereka melakukan ijtihad dalam hal yang dianggap benar. Meski demikian mereka tetap menghargai pendapat-pendapat sebagian yang lain ketika terjadi perbedaan. Ini bisa dilihat dari perbedaan pendapat yang terjadi antara Ibn Abbas dan Zaid ibn Tsabit mengenai bagian “ibu” dari harta warisan yang mencakup suami, ayah dan ibu, atau istri, ayah dan ibu. Ibn Abbas berpendapat, “Ia mempunyai hak sepertiga dari harta itu.” Berbeda dengan Zaid ibn Tsabit yang berpendapat, “Ia mempunyai hak sepertiga sisa dari harta itu.” Kemudian Ibn Abbas bertanya, “Adakah di dalam al-Qur`an sepertiga sisa dari harta?” Zaid menjawab, “Aku hanya mengatakan dengan pendapatku, dan kau juga mengatakan dengan pendapatmu.” Jadi keduanya tidak saling menyalahkan, justru saling menghargai.

Ketiga, mereka enggan menisbatkan pendapat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Mereka sangat hati-hati menisbatkan pendapat yang mereka kemukakan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Mereka lebih banyak menisbatkannya kepada diri mereka sendiri. Misalnya, salah seorang dari mereka berkata, “Ini pendapat si Fulan, kalau benar maka itu dari Allah, dan kalau salah maka itu dari dirinya sendiri atau dari setan. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya terbebas dari sesuatu yang buruk.”

Hal itu juga dicontohkan oleh Abu Bakar ra., yaitu ketika ia dihadapkan pada sebuah masalah yang tidak ditemukan landasan hukumnya baik di dalam al-Qur`an ataupun Sunnah. Ia melakukan ijtihad berdasar pendapatnya, lalu berkata, “Ini adalah pendapatku, kalau benar maka itu berasal dari Allah, tetapi kalau salah maka itu berasal dariku, dan aku memohon ampun kepada Allah.”

Di sini nampak betapa para shahabat melakukan ijtihad berdasar kemampuan mereka dalam merumuskan hukum yang terbentuk melalui pendidikan Nabi Saw. semasa beliau hidup. Sehingga perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan mereka tidak berlandaskan pada hawa nafsu, melainkan pada kematangan ilmu yang beriringan dengan keimanan yang menghujam kuat di dalam dada.

 

Latarbelakang Terjadinya Perbedaan
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang lumrah dalam kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan Islam, paling tidak ini menunjukkan kerealistisannya sebagai sebuah agama yang memperlakukan manusia sebagai manusia yang memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya dalam hal tingkat kemampuan, pengetahuan dan pemahaman. Setelah masa-masa kenabian perbedaan pola pandang di kalangan sahabat acap terjadi, tetapi perbedaan tersebut tidak timbul dari kelemahan akidah, atau keraguan terhadap kebanaran ajaran Nabi Saw., melainkan semata-mata karena keinginan yang kuat untuk merumuskan hukum-hukum yang sesuai dengan kehendak Allah Swt..

Kita lihat berdasar kejadian-kejadian yang ada, bahwa semua faktor yang melatarbelakangi perbedaan di kalangan sahabat tidak keluar dari perbedaan pemahaman terhadap teks karena faktor-faktor lughawiyah (kebahasaan) atau ijtihadiyah (penalaran), yaitu dalam manafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi Saw.. Namun di balik faktor-faktor tersebut sama sekali tidak ada maksud-maksud tersembunyi yang sengaja diupayakan untuk menumbuhkan benih pertentangan sebagaimana sering dilakukan oleh orang-orang munafik.

Dan secara natural ada beberapa faktor perbedaan dari satu masa ke masa yang lain, sehingga sulit untuk dibangun semacam pagar-pagar pemisah antara faktor-faktor satu masa dari masa yang lainnya. Namun terdapat beberapa hal baru dalam dunia Islam yang memunculkan unsur-unsur spirit perbedaan.

Sejak terbunuhnya Khalifah Utsman ibn Affan ra., wilayah-wilayah Islam mengalami goncangan-goncangan amat dahsyat sehingga melahirkan peristiwa-peristiwa yang memasukkan ke dalam ‘ranah perbedaan’ banyak hal yang tadinya berada di luarnya. Inilah yang barangkali membuat penduduk setiap wilayah ‘mengisolasi’ apa yang sampai kepada mereka dari Sunnah Nabi Saw. karena khawatir terjadi pemalsuan dan penipuan.

Kemudian lahirlah aliran Kufah dan aliran Basrah sebagai lingkungan amat subur bagi interaksi berbagai pemikiran politik, di samping muncul berbagai kelompok seperti Khawarij, Syi’ah, Murji`ah, Muktazilah dan lain-lain.

Tak ayal lagi, karena banyaknya kelompok yang bermunculan, maka metode pemikiran juga semakin banyak, yang mana setiap kelompok mempunyai pijakan-pijakan atau kaidah-kaidah tersendiri yang digunakan dalam berinteraksi dengan teks-teks agama serta menafsirkan sumber-sumber syariat dan menyikapi berbagai problem baru yang muncul. Sehingga menjadi sangat wajar bila peletakan patokan-patokan baku menjadi sangat penting, juga perumusan metode-metode dan cara-cara penyimpulan hukum-hukum realitas dari wahyu ilahi, serta pembatasan mana yang boleh masuk ke dalam ‘ranah perbedaan’ dan mana yang tidak.

Dan sungguh merupakan rahmat Allah Swt. yang telah menjadikan fikih boleh masuk ke dalam ‘ranah perbedaan’. Sebab pada dasarnya fikih merupakan pengetahuan seorang ahli fikih (faqih) mengenai hukum realitas berdasar dalil-dalil universal dan partikular (al-adillah al-kullîyyah wal juz’îyyah) yang terkandung di dalam al-Qur`an dan Sunnah. Bisa saja kesimpulan hukum seorang ahli fikih sesuai dengan maksud syariat, dan bisa juga tidak. Namun dalam dua keadaan tersebut ia tidak dituntut lebih dari upayanya mencurahkan puncak kemampuan akalnya untuk sampai pada suatu kesimpulan hukum. Artinya, jika ia tidak benar-benar sampai pada hukum yang dimaksudkan syariat, maka paling tidak apa yang ia capai itu mendekati kebenaran dan tujuannya. Oleh sebab itulah perbedaan menjadi sesuatu yang dibolehkan dalam agama.

Secara umum, terutama setelah masa-masa para shahabat, faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan dalam penyimpulan hukum bisa dibagi menjadi tiga, yaitu:

 

1. Faktor-faktor yang menyangkut bahasa
Terkadang dalam teks-teks syariat terdapat “lafazh musyrarak” (kata yang mempunyai banyak makna), seperti kata “‘ayn” yang bisa berarti “mata”, “barang”, “emas murni” dan lain sebagainya.

Jika dalam teks syariat terdapat kata yang tidak terkait dengan konteks tertentu, maka makna-makna yang ada bisa digunakan seluruhnya, tergantung masing-masing mujtahid mau menggunakan yang mana.

Misalnya para ahli fikih berbeda pendapat dalam memaknai kata “al-qur`” dalam Q.S. al-Baqarah: 228. Kata “al-qur`” bisa dimaknai “al-thuhr” (masa suci) atau bisa juga “al-haydh” (masa haid). Di sini para ahli fikih berbeda pendapat mengenai iddah perempuan yang ditalak suaminya, apakah dengan tiga kali suci atau dengan tiga kali haid? Para ahli fikih di Hijaz berpendapat bahwa iddah perempuan yang ditalak suaminya adalah tiga kali suci, sedangkan para ahli fikih Irak berpendapat tiga kali haid.[12]

Dan terkadang ada suatu kata dalam teks syariat yang bermakna haqîqîy dan majâzîy. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih, mana di antara kedua makna tersebut yang lebih bisa gunakan.[13]

Misalnya, kata “al-mîzân” dalam Q.S. al-Rahman: 7. Ada sebagian yang lebih memilih makna majâzîy, yaitu “keadilan”. Dan ada sebagian yang memilih makna haqîqîy, yaitu “timbangan”.

 

2. Faktor-faktor yang menyangkut periwayatan Sunnah
Sebagian besar perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama salaf bermuara di sini. Terkadang sebuah hadits tidak sampai kepada mujtahid tertentu, sehingga ia berfatwa berdasar makna tekstual ayat atau hadits lain, atau dengan melakukan qiyas (analogi) terhadap kejadian yang pernah terjadi di masa Nabi Saw. hidup, atau dengan yang lain.

Terkadang sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid, tetapi ia menemukan kekurangan di dalamnya yang membuat ia enggan mengamalkannya. Misalnya, ia meragukan keshahihan sanad hadits tersebut karena terdapat perawi yang majhûl (tidak diketahui/tidak dikenal), atau lemah dalam menghafal silsilah isnad-nya, atau karena maqtû’ atau mursal.

Para ahli fikih bisa saja berbeda pendapat mengenai makna-makna hadits, misalnya mereka berbeda dalam masalah “al-muzâbanah”, “al-mukhâbarah”, “al-muhâqalah”, “al-mulâmasah”, “al-munâbadzah”, dan “al-gharar” karena perbedaan mereka dalam menafsirkannya.

Terkadang ada sebuah hadits yang sampai kepada seorang mujtahid dengan suatu lafazh (redaksi), dan sampai kepada mujtahid lain dengan lafazh yang berbeda. Misalnya, salah satu dari keduanya menghapus sebuah kata yang mana makna hadits tersebut menjadi tidak sempurna kecuali dengan kata itu.

Kadang-kadang ada sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid disertai dengan asbâbul wurûd-nya, dan sampai kepada mujtahid lain tanpa disertai dengan itu sehingga membuat pemahamannya berbeda dengan yang pertama.

Terkadang ada seorang perawi yang menerima sebuah hadits secara lengkap, sementara perawi lain tidak. Maka tak nyana ini akan berpengaruh pada pemahaman keduanya.

Kadang juga seorang mujtahid menganggap sebuah hadits telah di-nasakh, atau di-takhshîsh, atau di-taqyîd, sementara mujtahid lain tidak beranggapan demikian. Maka sudah tentu ini akan membuat pendapat keduanya berbeda.

 

3. Faktor-faktor yang menyangkut kaidah-kaidah ushuliyah dan acuan-acuan penyimpulan hukum
Ilmu ushul fikih merupakan sekumpulan kaidah dan acuan yang dibuat oleh para mujtahid untuk lebih mengakuratkan proses ijtihad dan penyimpulan hukum-hukum syariat yang sifatnya furu’iyah dari dalil-dalil tafshiliyah (terperinci). Para mujtahid menetapkan dalam metode-metode ushuliyah mereka dalil-dalil yang darinya dapat disimpulkan hukum-hukum, kemudian mereka menentukan cara-cara penyimpulan hukum syariat dari setiap dalil yang ada, juga langkah-langkah yang mesti ditempuh untuk sampai kepada hukum syariat yang dimaksud.

Setiap mazhab atau aliran mempunyai kaidah-kaidah dan acuan-acuannya masing-masing. Ada madzhab yang berpendapat bahwa fatwa seorang sahabat Nabi Saw. kalau sudah populer dan tidak ada satu pun yang menentangnya—dari para sahabat sendiri—bisa digunakan sebagai hujjah, karena para sahabat tidak akan mengeluarkan fatwa kecuali berlandaskan pada sebuah dalil, atau pemahaman mereka terhadapnya, atau berdasarkan apa yang mereka dengar dari Nabi Saw..

Sebagian mujtahid ada yang menggunakan al-mashâlih al-mursalah, yaitu hal-hal yang di dalam syariat tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan keberadaannya, sebagaimana tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan penghapusan terhadapnya. Jika seorang mujtahid menemukan di dalam hal-hal tersebut sesuatu yang menjamin kemaslahatan, maka ia akan berpendapat berdasar maslahat tersebut dengan anggapan bahwa syariat digariskan hanya untuk menjamin kemaslahan manusia.[14]

Ada juga beberapa hal lain yang hingga saat ini masih menjadi obyek perdebatan di kalangan ahli fikih atau mujtahid, seperti istishlâh (pencapaian maslahat), istihsân (kebaikan yang dicapai dengan rasio), istish-hâb (penetapan hukum yang telah berlaku sebelumnya), syar’ man qablanâ (syariat agama pra-Islam), sadd al-dzarâ`i’ (tindakan preventif), ‘amal ahl al-Madînah (tradisi penduduk Madinah), ‘urf (adat istiadat), istiqrâ` (observasi), al-akhdz bi aqall mâ qîla (pengambilan ukuran minimal yang dikemukakan), al-akhdz bi al-ahwath (pengambilan yang lebih hati-hati), dan lain sebagainya.

 

Penutup
Setelah kita membahas—meski tidak detail—mengenai faktor-faktor yang mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat di kalangan shahabat, ahli fikih atau mujtahid, di sini kita bisa mengambil beberapa kesimpulan berikut:

Pertama, bahwa fikih di masa sahabat terbentuk dengan munculnya kejadian-kejadian baru setelah wafatnya Nabi Saw.. Apabila di dalam teks-teks syariat (al-Qur`an dana Sunnah) tidak ditemukan ketentuan hukumnya, maka mereka melakukan ijtihad dan mengamalkannya berdasarkan maslahat.

Kedua, bahwa al-Qur`an merupakan pedoman utama bagi para mujtahid. Kalau ada suatu masalah, maka yang pertama kali mereka rujuk adalah al-Qur`an. Dan meskipun para shahabat adalah orang-orang yang dianggap paling mampu memahami al-Qur`an karena mereka benar-benar mengetahui asbâb al-nuzûl-nya, tetapi tetap saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka disebabkan tingkat keilmuan dan intelektualitas mereka.

Ketiga, bahwa perbedaan tingkat kecerdasan dan keilmuan para shahabat disebabkan karena sebagian dari mereka yang selalu bersama Nabi Saw. lebih lama, sedangkan sebagian lainnya ada yang disibukkan dengan jihad, atau disibukkan dengan pekerjaan berdagang dan bercocok tanam. Sehingga apa yang didengarkan sebagian dari Nabi Saw. tidak diketahui oleh yang lain. Maka wajar kiranya bila terjadi silang pendapat di antara mereka. Terlebih lagi dalam kehidupan umat Muslim di masa-masa setelah mereka hingga masa kini.

Maka, berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut, dapat dikatakan bahwa perbedaan hakikatnya merupakan rahmat dari Allah Swt. bagi hamba-hamba-Nya. Kita lihat betapa umat Muslim hidup di berbagai belahan bumi dengan kondisi dan lingkungan yang berbeda-beda. Bisa saja suatu mazhab atau aliran tertentu lebih cocok bagi lingkungan yang ini, sementara yang lain lebih sesuai dengan lingkungan yang itu. Dan satu hal yang perlu dipahami, bahwa kita tidak mungkin bisa melebur-satukan mazhab-mazhab yang ada, dan itu memang bukan sesuatu yang penting. Tetapi yang penting adalah mengetahui faktor-faktor yang sekiranya dapat mendamaikan mazhab-mazhab tersebut, sehingga tidak ada lagi yang namanya pertikaian dan permusuhan di antara umat Muslim.[]

 


[1] Ada beberapa hal penting mengenai perbedaan tingkat validitas antara periwayatan al-Qur`an dan Sunnah—yang membuat al-Qur`an lebih diutamakan ketimbang Sunnah—yang sebetulnya bisa dikatakan sebagai pemicu terjadinya silang pendapat dalam masalah hukum di kalangan sahabat, selain perbedaan pemahaman mereka terhadap kedua sumber hukum tersebut, yaitu:

Pertama, bahwa al-Qur`an dalam periwayatannya dari Nabi Saw. tidak ada yang memicu perselisihan sehingga tidak melahirkan perbedaan dalam hukum, berbeda dengan Sunnah yang tidak ‘selamat’ dari perselisihan dalam hal kebenaran (keshahihan) periwayatannya, sehingga ada satu kelompok yang mengamalkan sementara yang lain tidak.

Kedua, bahwa al-Qur`an sudah dikodifikasi dan banyak yang menghafalnya. Hal ini sangat diketahui oleh umat Muslim. Al-Qur`an merupakan dasar agama sekaligus pedoman dan sandaran bagi mereka. Mereka semua berkewajiban mengikutinya. Sementara Sunnah tidaklah menyatu atau terkodifikasi layaknya al-Qur`an, tetapi bertebaran di antara para shahabat yang meriwayatkannya. Siapa pun dari mereka yang mengetahuinya, maka ia akan mengamalkannya, sebaliknya yang tidak mengetahuinya, maka ia akan langsung melakukan ijtihad, dan tentu saja ijtihadnya berbeda dari ijtihad shahabat lain. Sehingga timbullah perbedaan pendapat di kalangan mereka.

Ketiga, bahwa perbedaan para shahabat dalam periwayatan Sunnah disebabkan oleh perbedaan mereka dalam pemahaman terhadapnya mana kala mengandung banyak kemungkinan, baik lafazh ataupun maknanya, sehingga nantinya melahirkan perbedaan di kalangan mereka dalam beberapa hukum. Berbeda dengan al-Qur`an yang memang mereka hafal lafazh-lafazhnya ‘di luar kepala’ dan terpercaya.

Keempat, bahwa perbedaan dalam penyimpulan hukum dari al-Qur`an disebabkan oleh perbedaan pemahaman mereka terhadapnya. Perbedaan semacam ini juga terjadi dalam memahami Sunnah.

[2] Umat Muslim di masa Nabi Saw. masih sedikit dan tinggal di satu tempat, yaitu di Jazirah Arab. Namun, setelah beliau wafat, mereka melakukan ekspansi ke beberapa tempat di luar Jazirah Arab dan berbaur serta menjalin interaksi dengan masyarakat yang berbeda keyakinan dan budayanya, sehingga masalah-masalah yang muncul kemudian menjadi kompleks dan rumit. Hal ini menuntut para ulama untuk melakukan langkah-langkah kongkret guna mencari solusi-solusi bagi seluruh permasalahan yang ada, terutama hal-hal yang berhubungan dengan agama, agar interaksi kaum muslimin dengan masyarakat-masyarakat lain itu berjalan secara dinamis. Tentu saja langkah-langkah yang mereka lakukan itu bukan tanpa dasar, justru, meski sudah dianggap sempurna, al-Qur`an menyuruh manusia untuk terus melakukan perubahan sesuai dengan fitrahnya sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang dianugerahi akal, di samping juga beberapa hadits Nabi Saw. Dengan dasar inilah para ulama klasik kemudian melakukan upaya-upaya mempersambungkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal (al-kullîyyât) pada kasus-kasus kehidupan yang bersifat partikular (al-juz`îyyât). Inilah yang populer disebut ijtihad. Dan hasil ijtihad—sebagai proses intelektual untuk menurunkan ketentuan universal pada ketentuan-ketentuan yang bersifat partikular sekaligus kerangka teknis operasionalnya—itulah yang disebut fikih.

[3] Syaikh Ali al-Khafif, Asbâb Ikhtilâf al-Fuqahâ`, Kairo: Darul Fikr al-Arabi, Cet. 2, 1996, hal. 8

[4] H.R. Ahmad dan Abu Daud.

[5] Syaikh Ali al-Khafif, Asbâb Ikhtilâf al-Fuqahâ`, Kairo: Darul Fikr al-Arabi, Cet. 2, 1996, hal. 10 – 11

[6] Ibid., hal. 11

[7] Di masa Nabi Saw. hukum-hukum tidak memiliki sumber selain al-Qur`an dan Sunnah. Al-Qur`an adalah sumber primer yang hanya menjelaskan dasar-dasar hukum yang bersifat umum tanpa menyentuh hukum-hukum secara detail. Sedangkan Sunnah merupakan sumber sekunder yang menjelaskan secara detail hal-hal yang bersifat umum di dalam al-Qur`an.

[8] Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin, al-Ijtihâd wa al-Tajdîd fî al-Fiqhil Islâmî, Beirut: al-Mu`assasah al-Dauliyah, Cet. 1, 1999, hal. 46

[9] Dr. Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi, Ikhtilâf al-Shahâbah, Kairo: Maktabah Madbuli, Cet. 1, 1991, hal. 15

[10] Hal ini menegaskan bahwa sumber-sumber fikih di masa sahabat adalah al-Qur`an, Sunnah, Ijma’ dan Ra`y. Hanya saja “ra`y” yang dimaksud di sini adalah pendapat yang membuat hati tenang setelah melalui proses berpikir dan perenungan yang mendalam, disertai upaya pencarian terhadap relevansi pada suatu perkara yang mencakup dalil-dalil yang bertentangan, atau suatu perkara yang memang tidak ada satu pun teks yang menegaskannya. Makanya bagi mereka “ra`y” itu mencakup ijtihad dalam memahami makna teks-teks yang bertentangan atau tidak ada. Sebagaimana juga mencakup qiyâs, istihsân, sadd al-dzarâ`i’, al-mashâlih al-mursalah, dan hal-hal lain yang pada masa-masa berikutnya menjadi kaidah-kaidah dasar yang digunakan oleh para imam untuk merumuskan hukum-hukum fikih.

[11] Dr. Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi, Ikhtilâf al-Shahâbah, Kairo: Maktabah Madbuli, Cet. 1, 1991, hal.. 20 – 26

[12] Ibid., hal. 87

[13] Syaikh Ali al-Khafif, Asbâb Ikhtilâf al-Fuqahâ`, Kairo: Darul Fikr al-Arabi, Cet. 2, 1996, hal. 126

[14] Ibid., hal. 231

Kisah Ratu Bilqis di dalam Al-Qur`an

AL-QUR`AN menyebut banyak kisah perempuan, menceritakan tentang kepahlawanan mereka, ketabahan mereka dalam menghadapi kesulitan, usaha mereka untuk berbuat kebajikan, pengakuan mereka terhadap kebenaran, dan seterusnya. Terlalu banyak, dan tidak akan cukup untuk disebutkan di sini. Cukup kita tahu bahwa Musa as. selamat dari pembunuhan karena campur tangan istri Fir’aun. “Dan istri Fir’aun berkata, ‘[Ia] adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kau membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia sebagai anak,” [Q.S. al-Qashash: 9].

Isa as. adalah kemuliaan dari Allah Swt. kepada ibundanya, Maryam, sebagai imbalan atas kesuciannya, kesabarannya dalam beribadah, dan ketaatannya kepada Tuhan, sebagaimana diceritakan al-Qur`an: “Dan Maryam, putri Imran, yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan ia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan ia termasuk orang-orang yang taat,” [Q.S. al-Tahrim: 12].

Khadijah binti Khuwailid adalah perempuan yang mendukung dan menguatkan Nabi Muhammad Saw. saat pertama kali beliau menyampaikan wahyu. Ia berkata kepada beliau: “Demi Allah, Allah tidak akan pernah mempermalukanmu.”

Di sini akan berbicara tentang Ratu Saba yang disebut-sebut bernama Bilqis. Allah menceritakan tentang perempuan ini terkait hubungannya dengan Sulaiman as.. Di dalam cerita itu disebutkan beberapa situasi yang menunjukkan kecerdasan dan kebijaksanaan Ratu Bilqis serta kemampuannya mengambil alih tampuk kekuasaan Kerajaan Saba.

Pertama, diangkatnya Bilqis sebagai ratu bagi bangsa Yaman di masa itu adalah bukti meyakinkan bahwa ia merupakan sosok yang cerdas, bijaksana, dan berwibawa. Kalau tidak, mereka tidak akan pernah mengangkatnya menjadi ratu. Hal ini sudah menjadi kebiasaan di kalangan orang-orang Arab sejak dahulu kala. Kalau Bilqis tidak punya kemampuan itu, tidak ada alasan bagi bangsa Yaman untuk menjadikannya sebagai pemimpin negara.

Kedua, ketika membaca surat dari Sulaiman as., Bilqis tidak terprovokasi oleh perintahnya untuk menyerah. Sebaliknya, ia sangat mengaguminya dan senang dengan isi surat tersebut. Itulah sebabnya ia menyebut surat itu “mulia” (karîm). “Ia (Bilqis) berkata: ‘Hai para pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia,” [Q.S. al-Naml: 29], yang berarti sangat berharga dan penting. Hal ini menunjukkan bahwa ia jauh dari kesombongan, keangkuhan, dan kecongkakan.

Ketiga, ketika membacakan surat Sulaiman as. kepada para menteri dan pembantunya, Bilqis tidak langsung memberikan perintah untuk berperang, melainkan dalam kata-katanya terkandung sesuatu yang mendorong mereka untuk memberikan pendapat dan pertimbangan. Ketika ia menggambarkan surat tersebut sebagai “mulia” dan ketika ia menyebut pengirimnya dengan namanya saja (Sulaiman) tanpa menganggapnya sebagai musuh atau semacamnya, mereka memahami hal itu, karena mereka adalah orang-orang yang bijaksana dan cerdas.

Keempat, penyerahan Bilqis bukan karena kepengecutan atau ketakutan kepada Sulaiman as., melainkan karena ia merasakan di dalam hatinya kebenaran nabi ini dan nasihatnya. Ketika ada keraguan di dalam hatinya, ia mengujinya untuk menghilangkan keraguan itu.

Kelima, Bilqis adalah teladan paling baik dalam musyawarah dan tak pernah memaksakan pendapatnya. Ia tidak langsung mengeluarkan perintah untuk menyerah atau berperang. Sebaliknya, ia mengumpulkan rakyatnya dan bermusyawarah dengan mereka. Hal ini menjadi jaminan bagi dirinya sendiri akan konsekuensi dari setiap tindakan dan langkah yang diambilnya. Bisa dibayangkan seandainya yang memimpin bangsa Yaman pada saat itu adalah seorang laki-laki (raja), bagaimana pendapatnya dan apa akibatnya?!

Keenam, ketika melihat rakyatnya memasrahkan kepadanya untuk mengambil keputusan, “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan [juga] memiliki keberanian yang sangat [dalam peperangan], dan keputusan berada di tanganmu: maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan,” [Q.S. al-Naml: 33], Bilqis menunjukkan keengganan untuk berperang. Ia tidak memilih jalan itu demi rakyatnya, yang memperlihatkan tingkat kecerdasan dan kebijaksanaannya yang tinggi. “Ia (Bilqis) berkata: ‘Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia terhina,” [Q.S. al-Naml: 34].

Ketujuh, perkataannya itu menunjukkan ketajaman pikirannya, kedalaman kasih sayangnya, dan keteguhan tekadnya untuk menjaga kehormatan seluruh rakyatnya. Juga menunjukkan bahwa ia bersikap realistis, sebab ia yakin Sulaiman as. pasti akan mengalahkannya bila ia memilih berperang.

Kedelapan, perkataan rakyatnya kepadanya: “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan [juga] memiliki keberanian besar [dalam peperangan], dan keputusan berada di tanganmu: maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan,” [Q.S. al-Naml: 33] adalah bukti bahwa Bilqis dipandang lebih mempunyai keunggulan dibandingkan kaum laki-laki di masanya dalam hal kecakapan pikiran dan mental. Rakyatnya menyatakan kepadanya bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan dan keberanian yang besar, tetapi, “Masalahnya terserah padamu. Pilihlah apa yang menurutmu paling tepat dan baik hasilnya.”

Kesembilan, Bilqis yakin bahwa Sulaiman bukan hanya seorang raja, melainkan juga seorang nabi yang mendapatkan petunjuk (wahyu) dari langit. Tetapi ia sedikit ragu mengenai hal itu, sehingga ia merasa perlu untuk mengujinya, seperti yang dikisahkan di dalam al-Qur`an saat ia berkata, “Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu,” [Q.S. al-Naml: 35].

Imam al-Qurthubi berkata, “Inilah di antara kecemerlangan pandangan dan perencanaannya, yaitu, ‘Aku akan mencoba memberi orang ini hadiah berupa barang-barang berharga, dan aku akan mengalihkan perhatiannya dengan urusan kerajaan. Jika ia seorang raja duniawi, ia akan puas dengan harta, dan kita akan mempelakukannya sesuai dengan itu. Namun, jika ia seorang nabi, harta itu tidak akan menyenangkannya, dan ia akan terus menuntun kita pada urusan agama sampai kita beriman kepadanya dan mengikuti agamanya, maka aku kirimkan kepadanya hadiah yang besar.”

Kesepuluh, Bilqis secara sukarela datang kepada Sulaiman as. setelah yakin akan kenabiannya, dan ia mengakui kezhalimannya terhadap dirinya sendiri karena telah menyembah makhluk yang tidak dapat memberikan manfaat atau bahaya. “Ia (Bilqis) berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam,” [Q.S. al-Naml: 44]. Di zamannya, tidak ditemukan kematangan pikiran yang lebih sempurna dari ini.

Ratu Bilqis dipandang berhasil memimpin bangsanya menuju kemakmuran dan kesejahteraan, dengan segala kebijaksanaan dan kemampuannya, yang menunjukkan kecemerlangan pikiran dan kombinasi sifat-sifat baiknya. Sehingga Allah mengabadikan sejarahnya di dalam al-Qur`an dan memberikan petunjuk kepada bangsanya melalui dirinya.[]

Kisah Ibnu Batutah Beribadah Haji

PADA tahun 726 H/1326 M, Ibnu Batutah meninggalkan Mesir menuju Damaskus untuk bergabung dengan orang-orang Syam dalam perjalanan mereka ke tempat-tempat suci di Madinah al-Munawwarah dan Makkah al-Mukarramah. Ia menceritakan secara sinematik kesulitan yang dihadapi orang-orang Syam dalam perjalanan ini.

 

Menuju Madinah

Ibnu Batutah menggambarkan gurun di Semenanjung Arab setelah kota Ma’an di selatan Yordania sebagai tempat yang “di dalamnya hilang dan di luarnya lahir”. Gambaran ini benar; karena jalannya tidak rata, banyak bahaya, panas amat sangat menyengat, angin beracun menerpa kafilah dalam beberapa tahun, dan hanya sedikit yang lolos.

Rombongan Syam yang didampingi Ibnu Batutah berhasil memasuki Madinah, dan ia menggambarkan Masjid Nabawi: “Masjid Agung berbentuk persegi panjang, keempat sisinya dikelilingi ubin, dan di tengahnya terdapat halaman yang dilapisi kerikil dan pasir. Di sekitar masjid terdapat jalan yang dilapisi dengan batu-batu berukir. Raudhah yang suci—shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada penghuninya—berada di sisi depan di sebelah timur masjid, bentuknya menakjubkan dan tidak ada bandingannya, dilapisi marmer yang diukir dengan sangat indah, diselimuti dengan misk dan wewangian sepanjang waktu. Di halaman depannya terdapat paku perak yang mengarah kepada wajah yang mulia, dan di sana orang-orang berdiri di hadapan wajah yang mulia dengan menghadap kiblat.”

Karena di masa itu Madinah dan Makkah berada di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk Mesir, para sultan Mamluk biasa menunjuk para imam untuk dua masjid suci itu dari kalangan tokoh ahli fikih yang berada di dalam lingkup kekuasaan mereka. Umumnya orang-orang Mesir yang kerap mendapatkan posisi tersebut. Ibnu Batutah menyebutkan bahwa imam Masjid Nabawi saat itu adalah Syaikh Baha`uddin ibn Salamah, salah seorang tokoh terkemuka Mesir, dan Syaikh Izzuddin al-Wasithi, ulama yang saleh dan zuhud menjadi wakilnya. Sebelumnya, Syaikh Sirajuddin Umar al-Mashri biasa menyampaikan khutbah dan menjadi hakim di kota Madinah.

Ibnu Batutah menghabiskan banyak waktu di Madinah. Ia bercerita banyak tentang Masjid Nabawi dan para pelayannya. Ia juga menyampaikan beberapa kisah tokoh-tokoh terkenal dan petualangan mereka di kota Madinah. Kisah-kisah ini menggambarkan sisi kemanusiaan dan sosial dari kota suci tersebut, khususnya budaya pada masa itu.

Setelah rombongan Syam menyelesaikan kunjungan mereka ke Masjid Nabawi dan tinggal cukup lama di kota ini, Ibnu Batutah melanjutkan cerita mengenai perjalanannya dari Madinah menuju Makkah; terjal dan sangat berbahaya, hingga Allah menuntun mereka memasuki Makkah.

 

Di Makkah

Ketika angin sepoi-sepoi Makkah menerpa, keharuman dan kewangian, serta kemegahan kota mulai tampak di hadapannya, Ibnu Batutah berkata, “Di antara keajaiban ciptaan Allah Swt. adalah Dia telah membuat hati manusia agar condong ke arah pemandangan mengagumkan ini dan rindu untuk berada di dalamnya. Dia jadikan cinta kepadanya tertanam kuat di dalam hati, sehingga tidak ada seorang pun yang mencintainya kecuali ia akan membawanya ke dalam hatinya, dan tidak ada seorang pun yang meninggalkannya melainkan ia akan menyesali berpisah darinya, selalu merindukannya saat jauh darinya, dan berniat untuk kembali padanya berulang kali. Tanah Makkah yang diberkati menjadi pusat perhatian semua orang. Cinta kepadanya yang memenuhi hati merupakan hikmah dari Allah, dan pembenaran atas seruan Nabi Ibrahim as.. Rindu senantiasa menemani kala ia jauh, mewakilinya saat ia tiada, dan memberikan kemudahan bagi para pencarinya untuk menghadapi kesulitan. Betapa banyak orang lemah menyaksikan kematian dengan jelas tanpanya, dan melihat kerusakan di jalannya. Ketika Allah mempertemukan ia kembali dengannya, ia menyambutnya dengan suka cita dan kegembiraan, seolah-olah ia belum pernah merasakan kepahitan apa pun dengannya, dan belum pernah mengalami musibah apapun bersamanya. Ini adalah urusan Ilahi, ciptaan Ilahi, dan suatu petunjuk yang tidak ternoda oleh keraguan, tidak dikaburkan oleh syubhat, dan tidak terpengaruh oleh kamuflase, menguatkan pandangan dan mencerahkan pikiran.”

Ibnu Batutah melihat akhlak masyarakat Makkah, dan ia berkata, “Penduduk Makkah mempunyai perbuatan yang indah, kemurahan hati yang sempurna, akhlak yang baik, altruisme terhadap orang lemah dan terlantar, dan bertetangga baik dengan orang asing. Dan di antara akhlak baik mereka adalah, setiap kali salah seorang mereka mengadakan pesta, ia akan memulainya dengan memberi makan kepada tetangga-tetangganya yang miskin dan terlantar. Ia memanggil mereka dengan lembut, kasih sayang, dan akhlak yang baik, lalu memberi mereka makan. Banyak orang miskin yang terlantar itu potong berada di tempat orang-orang memasak roti. Jika salah seorang dari mereka memasak roti, lalu ia membawanya ke rumahnya, maka orang-orang miskin itu akan mengikutinya. Ia akan memberikan masing-masing dari mereka apa yang menjadi bagiannya, dan ia tidak membuat mereka pulang dengan kecewa. Dan jika ia hanya memiliki sepotong roti, ia akan memberikan sepertiga atau setengahnya, dan ia akan merasa puas dengan itu.”

 

Haji Menurut Ibnu Batutah

Adapun tata cara haji pada masa itu: persiapannya telah dilakukan dengan baik sejak hari pertama Dzulhijjah setiap tahunnya: “Pada hari pertama bulan Dzulhijjah, kendang dan rebana ditabuh pada waktu-waktu shalat, pagi dan petang, sebagai tanda musim berkah, dan itu berlangsung terus hingga hari naik ke Arafah.”

Pada hari ketujuh Dzulhijjah, “seorang khatib akan menyampaikan khutbah yang fasih setelah shalat Zuhhur untuk mengajari orang-orang tentang manasik mereka dan memberi tahu mereka tentang hari wukuf”. Hari berikutnya, tanggal 8 Dzulhijjah, hari Tarwiyah, orang-orang pergi ke Mina. “Mereka bangun pagi-pagi untuk berangkat ke Mina, dan para pangeran Mesir, Syam, dan Irak serta orang-orang alim bermalam di Mina. Ada rasa bangga di antara orang-orang Mesir, Syam, dan Irak Ketika menyalakan lilin (untuk penerangan), namun pujian atas hal itu selalu ditujukan kepada orang-orang Syam.”

Keesokan harinya, tanggal 9 Dzulhijjah, hari Arafah, orang-orang berkumpul di Arafah, yang di tengah-tengahnya terdapat Jabal Rahmah. Pada hari Ibnu Batutah melihat gunung itu, di atasnya terdapat sebuah kubah yang dinisbatkan kepada Ummul Mukminin, Ummu Salamah ra.. Sementara di dasar gunung, Ibnu Batutah melihat: “Di sebelah kiri menghadap Ka’bah, terdapat sebuah bangunan kuno yang dikaitkan dengan Adam as., dan di sebelah kirinya terdapat batu-batu tempat Nabi Muhammad Saw. berdiri. Di sekelilingnya terdapat kolam-kolam dan pancuran air, dan di dekatnya ada tempat imam berdiri untuk menyampaikan khutbah dan menjamak shalat Zhuhur dan Ashar.”

Ketika hari Arafah telah usai, dan tiba saatnya bertolak ke Muzdalifah untuk menuntaskan ritual ibadah haji, “seorang imam memberi isyarat dengan tangannya lalu turun dari posisinya dan mendorong orang-orang untuk beranjak dengan kekuatan penuh yang membuat bumi dan gunung bergetar. Sungguh, itu adalah adegan dan pemandangan yang agung, jiwa-jiwa mengharapkan hasil yang baik, dan mendambakan curahan rahmat-Nya”.

Dari Muzdalifah, orang-orang mengambil batu-batu kerikil atau dari sekitar Masjid Al-Khaif untuk ritual Jumrah Aqabah pada hari kesepuluh, yaitu Hari Qurban, di mana para jamaah berqurban. Pada hari itu, “kiswah (penutup) Ka’bah dikirim dari kafilah Mesir ke Baitullah, dan ditempatkan di atapnya. Kemudian pada hari ketiga setelah hari Qurban: orang-orang Syaibi (Bani Syaibah, penjaga Ka’bah) mulai menyebarkannya di atas Ka’bah, penutup berwarna hitam pekat yang terbuat dari sutra yang dilapisi dengan linen, dan di atasnya terdapat pola yang ditulis dengan warna putih: Ja’alallâhu al-ka’bah al-bayt al-harâm qiyâman. Dan pada semua sisinya terdapat pola-pola yang ditulis dengan warna putih ayat-ayat al-Qur`an yang seakan-akan sinar terang di tengah kegelapan”.

Ibnu Batutah menyebutkan: “Raja Al-Nashir (Muhammad ibn Qalawun, Sultan Mamluk, w. 741 H) adalah orang yang menutup Ka’bah dengan kiswah. Ia mengirimkan gaji hakim, khatib, imam, muazin, penjaga, dan menyediakan kebutuhan Masjidil Haram berupa lilin dan minyak setiap tahunnya.”

Di masa itu, menurut Ibnu Batutah, para jamaah haji dari Mesir dan Syam serta orang-orang dari negara-negara terdekat yang mengikuti mereka akan berangkat empat hari sebelum rombongan jamaah haji dari Irak dan Khurasan. Ibnu Batutah tidak keberatan dengan perilaku orang-orang Irak dan Khurasan pada masa itu. Sebab biasanya, sebelum berangkat haji, mereka mengumpulkan para fakir-miskin untuk bersedekah. Bahkan, sesampainya di Makkah, mereka tidak meninggalkan kebiasaan mereka bersedekah. “Aku melihat mereka berjalan-jalan di sekitar Masjidil Haram pada malam hari. Siapapun yang mereka temui di Masjidil Haram, baik dari lingkungan sekitar maupun dari Makkah, mereka akan memberinya perak dan pakaian. Mereka juga memberikannya kepada orang-orang yang menyaksikan Ka’bah. Mungkin mereka menemukan seseorang sedang tidur dan memasukkan emas dan perak ke dalam sakunya sampai ia bangun.”

Inilah beberapa pemandangan yang dilihat oleh Ibn Batutah saat menunaikan ibadah haji tahun 726 H/1326 M atau lebih dari tujuh ratus tahun yang lalu. Meskipun terjadi perubahan dalam realitas politik sejak saat itu hingga kini, peristiwa haji yang mempertemukan manusia dari seluruh penjuru dunia, di mana mereka merendahkan diri di hadapan Allah, dan kepada-Nya mereka merasakan kesatuan dan kedekatan, akan tetap kekal dan abadi sepanjang sejarah.[]

Peran Sosial Perempuan dan Kaitannya dengan Kepedulian Terhadap Lingkungan (2/2)

Peran Perempuan dalam Pengembangan Masyarakat dan Pelestarian Lingkungan

Peran perempuan tidak hanya sebatas di rumah saja, atau sebagai seorang ibu saja, meskipun peran tersebut sangat penting baginya di ruang domestik. Namun, dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya, perannya bisa semakin luas hingga menjangkau bidang-bidang yang lain di ruang publik.

Perempuan mempunyai bidang-bidang pekerjaan lain, sebab ia merupakan unsur efektif dalam proses pembangunan, merupakan unsur efektif dalam pemajuan kebudayaan bangsa, dan merupakan unsur efektif dalam menghadapi tantangan globalisasi yang semakin kompleks.

Perempuan mempunyai peran penting dalam menerapkan perilaku hidup bersih dan menjaga kelestarian lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Kepeduliannya terhadap rumahnya bukanlah satu-satunya cara menjaga lingkungan dan membebaskannya dari sampah untuk menyebarkan udara segar dan sehat di rumahnya saja, tetapi pekerjaannya melampaui batas-batas rumah; seperti mendorong pola hidup bersih dan sehat melalui praktik sederhana membuang sampah di tempat umum, taman, gedung pemerintahan, dan sekitar pemukiman warga, serta menjaga kebersihan fasilitas dan jalanan umum.

Deklarasi Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan, yang diadakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, menyatakan seruan “untuk mengakui peran perempuan, dan bahwa mereka harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik. Mereka juga harus dilihat sebagai inovator, aktivis, pelestari lingkungan, pengelola sumber daya alam, dan mampu melakukan perubahan di semua lapisan masyarakat. Karena itu, harus ada kesetaraan antar jenis kelamin, tidak hanya perhatian terhadap perempuan, dan itu harus menjadi pilar dasar”.

Seruan ini datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena perempuan, pada dasarnya, di banyak negara berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, dengan bekerja di luar rumah di sektor pendidikan, kesehatan, teknik, dll. Di daerah-daerah pedesaan kita kerap menemukan banyak perempuan yang bertanggungjawab mencari dan menyiapkan makanan sehari-hari untuk keluarga, mencari sumber-sumber energi, bekerja di ladang dan sawah, dan beternak. Semua pekerjaan ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan lingkungan.[]

_______

Referensi

  • Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrîr al-Mar`ah fî ‘Ashr al-Risâlah, Kuwait: Dar al-Qalam
  • Bakr ibn Abdillah Abu Zaid, Harâsah al-Fadhîlah, Rabat: Dar al-Ashimah, 2000
  • Fathi Dardar, al-Bî`ah fî Muwâjahah al-Talawwuts, Aljaza’ir: Dar al-Amal, 2003
  • Khalijah Muhammad Shalih, Dawr al-Mar`ah al-Muslimah fî Muwâjahah Tahaddiyât al-Awlamah, Malaysia: Multaqa al-Ulama al-Alami, 11 Juli 2003
  • Lauren Elyouth, al-Siyâsah al-‘Âlamîyyah li al-Bî`ah, 2017
  • Mahmud Muhammad al-Jauhari, Mâdzâ Qaddama al-Islâm li al-Mar`ah, Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr, 1997
  • Majalah al-Arabi, “al-Insân wa al-Bî`ah“, Vol. 500, Juli 2000
  • Muhammad Abu Zahrah, al-Takâful al-Ijtimâîy fî al-Islâm, Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.
  • Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, al-Islâm wa al-Mar`ah, Aqîdah wa Manhaj, Aljazair: al-Thariq li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1990
  • Wahbah al-Zuhaili, al-Milkîyyah wa Tawâbi’uha, Damaskus: Universitas Damaskus, 1988
  • Yusuf al-Qaradhawi, Markaz al-Mar`ah fî al-Hayâh al-Islâmîyyah, Amman: Dar al-Furqan, 1417 H

Peran Sosial Perempuan dan Kaitannya dengan Kepedulian Terhadap Lingkungan (1/2)

Islam menghormati perempuan dengan penghormatan luar biasa. Tak terhitung jumlah hak yang diberikan kepada perempuan. Bukan sebatas memulihkan harkat dan martabatnya, melainkan juga melibatkannya dalam berbagai tanggungjawab seperti halnya laki-laki demi mewujudkan tujuan ibadah kepada Tuhan.

Teks-teks al-Qur`an dan sunnah menegaskan sifat saling melengkapi di antara keduanya. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan,” [Q.S. al-Imran: 195]; “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,” [Q.S. al-Taubah: 71]. Dalam artian, keduanya turut serta dan saling melengkapi dalam melaksanakan tanggungjawab dan tugas yang dibebankan Tuhan kepada mereka di dunia ini.

Saling melengkapi dan ikut serta dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepada keduanya oleh syariat, tidak menjadikan syariat mengabaikan fitrah perbedaan di antara keduanya sehubungan dengan fungsi bawaan yang membedakan satu dari yang lainnya; pada mulanya keduanya adalah dua individu yang muncul dari satu pasangan, terpisah satu sama lain karena masing-masing menjalankan tugasnya. Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi mengatakan dengan sangat baik mengenai hal ini:

 

Kata imra`ah berarti padanan bagi rajul. Imra`ah berarti perempuan, dan rajul berarti laki-laki. Jika kita perhatikan, kita akan menemukan bahwa ada spesies yang menyatukan keduanya, yaitu manusia. Maksud saya, spesies adalah asal mula dua jenis, yaitu individu-individu yang setara, dan tidak ada perbedaan dalam komposisi aslinya. Oleh karena itu, kita harus mengatakan bahwa spesies itu dibagi menjadi dua jenis untuk melakukan dua tugas yang berbeda. Jika tidak, jika misinya sama, spesies tersebut tidak akan membelah dan tetap menjadi satu, dan pembagian ini menunjukkan bahwa masing-masing mempunyai ciri-ciri yang menunjukkan jati dirinya.”

 

Karena itu, dalam syariat terdapat ketentuan-ketentuan umum bagi keduanya sehubungan dengan tugas-tugas yang keduanya lakukan dan ikut serta di dalamnya. Syariat juga memiliki ketentuan-ketentuan khusus untuk masing-masing dari keduanya yang sesuai dengan fitrah keduanya. Tidak ada perbedaan antara tanggungjawab moral, sosial, politik, keilmuan, intelektual, dan lainnya, selain pengecualian yang secara tegas didefinisikan oleh syariat.

 

Peran Sosial Perempuan

Bagian ini akan fokus pada peran sosial partisipasi perempuan. Dalam hal ini kita memiliki teladan yang baik dalam dalam sîrah Nabi Saw., yaitu ketika para sahabat perempuan, dan sebelum mereka ummahât al-mu`minîn (istri-istri Nabi Saw.) terlibat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, dengan keluar untuk belajar dan mengajar.

Bukan rahasia lagi bahwa para sahabat perempuan ini telah meminta kepada Nabi Saw. untuk menyediakan hari khusus bagi mereka sendiri saja (supaya mereka juga bisa belajar bersama Nabi Saw.). Kemudian mereka pergi untuk bertani, membajak, menggembalakan hewan ternak, dan berdagang, bahkan mereka juga ikut di dalam rombongan mujahidin (para pejuang dalam perang), baik sebagai petarung atau perawat, atau paramedis bagi yang sakit dan terluka, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang dengannya para sahabat perempuan menunjukkan bahwa seorang perempuan Muslim dapat menjadi anggota aktif kehidupan masyarakat bila mereka menginginkannya, sebagai respons terhadap kebutuhan hidup yang serius dan aktif.

Tentu saja itu merupakan suasana yang sangat hidup di bawah naungan syariat yang tidak melabrak moral dan melanggar kesopanan. Para sahabat perempuan diberi hak untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Saat itu para perempuan bisa bekerja untuk mendapatkan upah di beberapa tempat, atau melayani masyarakat dan membantu sesama perempuan, dan berkontribusi dalam perjuangan melawan kemiskinan, kebodohan, penyakit, dan kejahatan.

Peran perempuan sebagai khalifah di muka bumi dapat dijalankan dengan berbagai cara sesuai dengan kecenderungan, spesialisasi, keinginan, dan tentunya kesempatan, karena setiap orang diciptakan untuk apa yang mungkin baginya, sebagaimana dianjurkan oleh Nabi Saw.

 

Peran Penting Perempuan dalam Pendidikan Lingkungan

Dalam keadaan apa pun, peran penting seorang perempuan dalam keluarga di antaranya, bersama laki-laki, adalah membesarkan putra-putrinya. Seorang perempuan harus menyadari fungsi eksistensialnya dalam kehidupan dunia, yaitu melahirkan keturunan sebagai penerus (khalifah), dan mereka adalah putra-putrinya. “Peran penting perempuan tidak akan berubah. Ia harus melanjutkan proses reproduksi manusia. Hal ini tidak hanya untuk kelangsungan hidup umat manusia, tetapi juga untuk memberinya pengalaman mengambil manfaat dan menikmati berkah menjadi perempuan dan kemudian menjadi ibu.”

Perempuan, atau lebih tepatnya ibu, ketika menjalankan peran vitalnya dalam kehidupan “keibuan”, harus memanfaatkan perannya sebagai ibu dalam mempersiapkan generasi mendatang untuk mewujudkan suksesi kehidupan, melalui pengasuhan alamiah (makanan, pakaian, dan kebersihan), kemudian pendidikan sosial dan agama. Di sini, ibu adalah pelaksana penyebaran prinsip, nilai dan ajaran agama kepada putra-putrinya. “Seorang ibu harus giat memperkuat fondasi keluarga dan membesarkan putra-putrinya dengan pemahaman yang benar dan tekad yang tulus; untuk mengubah realitas bangsa menjadi lebih baik.”

Dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari, seorang ibu merepresentasikan teladan hidup bagi putra-putrinya, teladan seseorang yang bekerja dan aktif menghadapi kesulitan hidup dalam rangka beribadah kepada Tuhan. Setiap orang memainkan perannya dengan penuh kesabaran, kejujuran, dan tekad yang kuat untuk berubah; mengubah suasana rumah dari menjadi rumah yang bersih, teratur, tenang, dan sehat, atau mengubah pola perilaku, persepsi, dan pikiran.

Anak yang terlahir adalah sebuah kertas kosong, maka sang ibu mempunyai peran penting dan mendasar untuk mengisinya, dan menuliskan di atasnya segala sesuatu yang diinginkannya dari anaknya, dan dengan melakukan itu ia berangkat dari kesadarannya akan perannya sebagai manusia yang menjadi khalifah di muka bumi; kepada putra-putrinya, kepada rumah tangganya, kepada masyarakatnya, kepada agama, bangsa dan negaranya.

Segala sesuatu yang dituliskan ibu di dalam benak anaknya menunjukkan ketulusannya, yang memperlihatkan sejauh mana kesadaran, pengetahuan, intelektualitas, dan pemahamannya terhadap peran penerusnya.

Ibu bertanggungjawab menyebarkan konsep dan budaya kebersihan, keindahan, dan wewangian di rumah. Ia bertanggungjawab mengubah prinsip kebersihan menjadi perilaku halus dan beradab yang diikuti oleh seluruh anggota keluarga di dalam rumah. Dari sini kemudian berlanjut ke lingkungan eksternal kecil, lalu lingkungan umum. “Kebersihan adalah perilaku yang diupayakan dan dapat kita pelajari sebagai hasil didikan yang dengannya kita tumbuh dan berkembang.”

Mengendalikan anak ketika masih kecil jauh lebih mudah daripada mengendalikannya ketika sudah dewasa. Mengajari dan mendidik anak ketika masih kecil jauh lebih mudah daripada mendidiknya ketika sudah dewasa. Maka benarlah pepatah yang mengatakan: “Belajar di Waktu kecil seperti mengukir di atas batu.”

Pendidikan lingkungan dimulai sejak bulan-bulan pertama kehidupan seorang anak, yaitu ketika ibu menanamkan di dalam dirinya perilaku kebersihan dan pelestarian lingkungan. Proses penanaman perilaku kebersihan berlanjut bahkan saat ia duduk untuk buang hajat, sehingga ia belajar bahwa setiap tindakan memiliki prinsip yang mengikuti, karena ia bukanlah binatang yang makan kapan pun ia mau dan buang hajat di mana saja di lingkungannya.

Ketika seorang ibu membuang sampah, ia akan membuangnya di tempat yang telah ditentukan untuk membuang sampah. Anak akan melihat perilaku ini dan menyimpannya dalam ingatannya hingga suatu hari ia dapat menerapkan perilaku tersebut.

Demikian seterusnya, dan seiring berjalannya waktu anak tersebut tumbuh dan berkembang hingga ia menjadi dewasa, di mana ia mempelajari banyak perilaku dan mekanisme yang dilatih oleh ibunya. Sang ibu tidak perlu menyuruhnya, “Jangan buang sampah dari jendela!”, sebab ia belum pernah melihat ibunya melakukan hal itu. Sang ibu juga tidak perlu menyuruhnya untuk membersihkan debu dari karpet atau taplak meja, sebab ia sering melihat ibunya melakukan itu.

Ketika seorang ibu mengajak seluruh anggota keluarganya pada saat libur sekolah atau hari libur nasional untuk melakukan pembersihan menyeluruh, mulai dari dapur, kamar tidur, hingga kamar mandi, kemudian menata pakaian, buku dan perlengkapan sekolah, mengelap sepatu, kemudian membersihkan bagian luar rumah, mengejawantahkan sabda Nabi Saw.: “Sesungguhnya Allah Maha Baik, dan menyukai kepada yang baik, Maha Bersih dan menyukai kepada yang bersih, Maha Pemurah, dan menyukai kemurahan, dan Maha Mulia dan menyukai kemuliaan, karena itu bersihkanlah diri kalian,” [H.R. al-Tirmidzi] maka dengan perilakunya ini ia telah menanamkan nilai-nilai keteraturan dan ketertiban, yang diwakili oleh kebersihan dan kepedulian terhadap lingkungan tempat ia tinggal. Dan dengan itu ia telah mentransformasikan prinsip dan nilai menjadi perilaku dan tindakan yang beradab di hati seluruh anggota keluarga kecilnya.

Perempuan dapat mengambil peran berharga ini di rumahnya, dan ia bisa mengukuhkan jati dirinya. Dengan melakukan hal ini, ia menghilangkan perbudakan dirinya dengan memerankan diri sebagai subjek yang mandiri, dan dengan cara ini ia juga dapat mengisi kesenjangan yang seharusnya dapat ia jembatani berupa penanaman nilai-nilai luhur di keluarga kecilnya.

Kesadaran perempuan akan diri dan perannya sebagai pelindung keluarga serta penjaga nilai dan prinsip, berarti, dalam skala nilai, ia sadar sepenuhnya akan peran dan hakikat dirinya, keberadaan dan fungsinya, dan bahwa ia adalah khalifah Tuhan di muka bumi.

Perempuan berakal, yang menyadari perannya sebagai pelindung keluarga, menyadari sepenuhnya bahwa celah di dalam rumah tangganya dapat diisi olehnya, di mana ia akan mengurus putra-putrinya, dan dengan demikian berkontribusi dalam membangun masyarakat serta menjaga stabilitas, ketahanan, dan keamanannya. Dengan mengikuti seruan akal sehatnya, ia akan mengamankan stasiun di salah satu perbatasan yang paling rawan, yaitu mengurus rumah tangga dan membesarkan putra-putrinya, mendidik dan membekali mereka agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh paham-paham yang merusak.

 

Bersambung….

Kesadaran, Peran Sosial, dan Kepedulian terhadap Lingkungan (3/3)

Unsur-unsur Menjaga Lingkungan dari Aspek Ketiadaan

 

Pengendalian Pencemaran Lingkungan

 

Apa yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan? “Kita katakan bahwa lingkungan hidup ini tercemar apabila keseimbangan senyawa-senyawa di dalamnya terganggu, karena prinsip dasar dalam lingkungan hidup adalah keseimbangan antara senyawa-senyawa organik dan non-organik, dan yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keserasian dan kebersihan.”

 

Polusi dianggap sebagai salah satu praktik paling negatif yang dilakukan manusia terhadap lingkungan dengan menghabiskan sumber dayanya, melanggar keseimbangan vital di dalamnya, dengan membunuh hewan, membakar pohon, dan mencemari lingkungan secara umum karena penyebaran gas beracun yang dikeluarkan oleh pabrik, kendaraan, dan mesin pengangkut, serta akibat pembuangan limbah pabrik ke laut, atau penguburannya di bawah tanah, yang mengakibatkan keracunan organisme darat dan perairan, selain akibat tenggelamnya kapal-kapal tanker minyak di lautan, atau bahan beracun dan limbah yang mereka buang.

 

Sumber dan lokasi pencemaran cukup beragam, tidak hanya terjadi di udara saja, melainkan pencemaran di tanah, dan pencemaran di air, yang dampaknya tidak hanya terhadap makhluk hidup saja, namun juga terhadap manusia sendiri. Sebuah penelitian membuktikan bahwa “jumlah kematian akibat polusi udara adalah 180.000 setiap tahunnya. Di Tiongkok saja, 75 juta orang menderita asma setiap tahunnya.”!

 

 

1 – Hak Masyarakat atas Lingkungan yang Bersih

 

Merupakan hak manusia atas sesamanya untuk hidup dalam suasana yang suci dan lingkungan yang bersih. Jika ia berjalan di jalan raya, ia tidak akan terhalang oleh batu, sampah, atau air kotor. Dan jika ia beristirahat dan memulihkan diri, ia tidak akan diganggu oleh bau kotor di dekat pohon tempat ia berteduh, atau di  pantai dekat tempat ia merasa nyaman untuk tidur. Nabi Saw. bersabda: “Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.”

 

Nabi Saw. bersabda: “Hati-hatilah dengan orang yang dilaknat oleh manusia!’ Para sahabat bertanya, ‘Siapa itu orang yang dilaknat oleh manusia, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, ‘Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia,” [H.R. Muslim].

 

Makna dari hadis ini adalah bahwa orang yang mengganggu jalan dan tempat duduk manusia, ia akan dimusuhi dan dilaknat.

 

Mengganggu jalan manusia atau di bawah naungannya adalah salah satu dosa besar, termasuk jalan menuju rumah, pasar, desa, sumber air, dan setiap tempat yang mereka duduki untuk mendapatkan manfaat, dan ini meliputi pasar, taman, dan lain-lain.

 

Kita melihat hadis tersebut mengandung dua hal: pertama, larangan mengganggu dan membuang hajat, air seni atau kotoran/sampah di tempat-tempat yang sering dikunjungi manusia. Kedua, hukuman bagi siapa pun yang melakukan perbuatan tercela berupa laknat dari masyarakat sehingga ia termasuk golongan orang-orang zhalim yang terlaknat.

 

Disebutkan juga dalam sunnah Nabi, dalam konteks yang sama, bahwa dilarang membuang air kecil di air yang tergenang, dan dilarang buang air besar di jalanan, di tempat-tempat teduh, atau di sumber-sumber air. Nabi Saw. bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian kencing di air yang menggenang kemudian dia mandi darinya,” [H.R. Muslim] [28]. Nabi Saw. juga melarang buang air kecil di air yang tergenang.

 

Departemen Kesehatan dan Dinas Kebersihan di kota bertanggung jawab mengatur masalah ini dengan membangun toilet-toilet umum di wilayah perkotaan, dan mendirikan tempat peristirahatan di jalan raya antar daerah dan wilayah sehingga para pelancong tidak kesulitan buang air besar dan kecil.

 

Kita melihat bahwa hadis-hadis Nabi Saw. di atas dengan sangat jelas mengatur kebersihan dengan memberikan peringatan keras bagi siapa pun untuk tidak membuang kotoran/sampah di sembarang tempat sehingga merugikan orang lain. Di sini Islam telah menetapkan dasar-dasar kemaslahatan sebelum peradaban saat ini menyadarinya.”

 

 

2 – Melakukan Cara Terbaik untuk Membuang Air Bekas dan Limbah Pabrik

 
Banyak negara maju, dan beberapa negara berkembang, menerapkan teknologi daur ulang dan penggunaan sampah dengan segala jenisnya, seperti kaca, kertas, dan plastik. Selain limbah-limbah ini, semuanya dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur di dalam tanah. Contoh kecil yang bisa disebutkan adalah dampak buruk yang ditimbulkan oleh kantong plastik yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari saat berbelanja terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Hal ini harusnya mendorong Kementerian Lingkungan Hidup untuk membunyikan alarm bahaya dan segera membentuk sebuah komite khusus guna meneliti kemungkinan memproduksi secara massal tas biodegradable atau tas ritel.

 

Langkah-langkah ini dan langkah-langkah lain semuanya terfokus pada upaya melestarikan lingkungan dan mengurangi produksi limbah.

 

Begitu pula dengan air limbah yang didaur ulang dan diolah untuk digunakan kembali, khususnya dalam bidang penyiraman tanaman kosmetik.

 

Proses ini sangat efektif dan penting bagi lingkungan hidup, serta mendatangkan banyak manfaat. Kalau proses-proses ini tidak diintegrasikan ke dalam pembangunan ekonomi, tentu akan sangat merugikan lingkungan dengan membuang limbah dan membuang air yang tidak layak ke laut dan sungai atau menguburnya di daratan. Akibatnya, itu akan merusak tanaman dan organisme laut, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia sendiri karena ia akan mengkonsumsi hasil tanaman dan makhluk laut!

 

 

3 – Melindungi Sumber Daya Hewani dari Penipisan dan Kepunahan

 
Selain peduli pada tumbuhan, Islam juga peduli pada hewan. Berburu binatang, baik yang liar maupun yang hidup di air, diperbolehkan dan baik, tetapi Islam mengharamkan pembunuhan hewan jika tidak ada manfaatnya, atau hanya untuk pemborosan (kesia-siaan) yang mengancam keberadaan hewan sebagai salah satu makhluk Tuhan. Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: “Tidak seorang pun yang membunuh Usfur (sejenis burung pipit) atau yang lebih kecil tanpa hak kecuali Allah akan menanyakannya di hari kiamat. Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa haknya?’ Beliau menjawab, ‘Haknya adalah menyembelihnya lalu memakannya dan tidak dipotong kepalanya lalu dibuang,” [H.R. al-Hakim].

 

Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: “Barang siapa yang membunuh seekor burung hanya sekedar beramain-main/senda gurau, burung itu akan berteriak mengadu kepada Allah, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya Si fulan membunuh saya hanya sekedar bermain-main saja, dan tidak membunuhku untuk dimanfaatkan.”

 

Nabi Saw. juga bersabda: “Andaikata anjing itu bukan sebagai satu bangsa dari bangsa-bangsa yang ada, akan aku perintahkan untuk membunuh semua anjing. Bunuhlah anjing yang hitam legam.”

 

Kita tentu bertanya-tanya: Apakah hadis ini benar-benar menunjukkan gagasan untuk melestarikan beberapa spesies hewan dari kepunahan?

 

Hal ini mungkin ada benarnya jika kita melihat penjelasan dari Imam al-Khaththabi yang mengatakan: “Artinya beliau tidak menyukai pemusnahan suatu bangsa, dan pemusnahan satu generasi dari makhluk Allah hingga musnah seluruhnya tanpa sisa, karena tidak ada ciptaan Allah Saw. yang tidak mengandung hikmah dan maslahat.”

 

Dari Abu Hurairah: “Ada semut yang menggigit seorang nabi dari nabi-nabi terdahulu lalu nabi itu memerintahkan agar membakar sarang semut-semut itu. Maka kemudian Allah mewahyukan kepadanya, firman-Nya: ‘Hanya karena gigitan sesekor semut maka kamu telah membakar suatu kaum yang bertasbih,” [H.R. al-Bukhari].

 

Kita mempunyai kisah tentang seseorang yang masuk surga karena ia memberi air kepada seekor anjing yang terengah-engah karena kehausan, juga kisah tentang seseorang yang dimasukkan ke neraka karena ia mengurung seekor kucing dan tidak memberinya makan atau membiarkannya memakan hama di bumi.

 

Nabi Saw. bersabda: “Apabila kalian bepergian ke tempat yang subur, berikanlah unta itu bagiannya dari bumi. Apabila kalian bepergian ke tempat yang gersang, maka percepatlah perjalanannya, dan segerakanlah (sebelum habis) sumsumnya. Apabila kalian bermalam maka jauhilah jalanan, karena itu adalah lalu lintas binatang-binatang tunggangan yang lain dan binatang-binatang melata di waktu malam,” [H.R. Muslim].

 

Inilah akhlak terhadap makhluk hidup yang ada di lingkungan hidup kita, perilaku yang dengannya kita berupaya melestarikan dan menjaga lingkungan tersebut. Maukah kita mengikuti perilaku ini, dan menanamkan pada generasi kita dan generasi mendatang kesadaran lingkungan akan pentingnya budidaya tanaman, perlindungan hewan dan pelestariannya dari kepunahan?

 

 

4 – Keamanan Lingkungan

 

Istilah ini muncul setelah Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada tahun 1992 M, “Ini merupakan istilah baru yang isinya banyak kontroversi, mencakup lingkungan hidup dan keamanan, serta kekerasan dan perang sebagai penyebab kerusakan lingkungan.” Karena tidak dapat disangkal dampak negatif dan jangka panjang dari kolonialisme, pendudukan, dan perang saudara terhadap pertanian dan generasi manusia. Selain membunuh orang, hal tersebut juga menghancurkan lahan pertanian yang berubah menjadi benteng pertahanan tentara dan mengeksploitasi lingkungan menjadi senjata pemusnah yang menyeluruh, selain pergerakan kendaraan-kendaraan dan alat-alat militer di lahan-lahan pertanian dan penggalian parit.

 

Semua kita tahu apa-apa yang ditinggalkan oleh perang-perang dalam bentuk ranjau dan bahan peledak yang ditanam di tanah yang menghancurkannya dan mengubah komposisi kimianya. Belum lagi apa yang terjadi pada hewan dan organisme hidup yang tidak aman dari peluru dan meriam, dan apa yang mereka derita ketika sumur minyak tumpah dan terbakar, seperti yang terjadi pada Perang Teluk pertama dan kedua.

 

Segala hal yang menyertai peperangan mempunyai dampak terhadap lingkungan secara umum, berupa pencemaran air dan tanah, pencemaran udara yang dipenuhi dengan bau pembunuhan dan pembusukan, penyakit-penyakit yang disebarkannya yang membunuh manusia, dan memburuknya kesehatan masyarakat. Meskipun Perang Dingin telah berakhir, di gurun Nevada Amerika terdapat unsur kimia “iodine-131″, sisa dari ledakan nuklir. Unsur ini menyebabkan kasus kanker tiroid di kalangan orang Amerika, yang jumlahnya berkisar antara 11.300 hingga 212.000 kasus.!!

 

 

5 – Menetapkan Undang-undang dan Perundang-undangan Lingkungan hidup yang Memberikan Efek Jera

 

Pemerintah mempunyai peran besar dan efektif dalam membuat undang-undang dan peraturan yang melindungi hak atas lingkungan hidup dari ketidakadilan manusia. “Aktivitas manusia mengubah lingkungan secara negatif, dan dengan cara yang berbeda dengan yang terjadi di era-era lain, dengan upaya besar dan berlebihan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, menghabiskan energi dengan cara yang tidak teratur dan membahayakan kehidupan, industrialisasi, dan elaborasi pertumbuhan ekonomi. Semua ini terkait dengan kerusakan lingkungan hidup negara.”

 

Peran pemerintah harus ditunjukkan secara kuat dalam mencegah tindakan pengurasan dan sabotase sumber daya alam, serta eksploitasi destruktifnya. Pencegahan dan sanksi adalah kunci untuk mengintimidasi masyarakat. Tanpa adanya hukum pidana, penindasan manusia terhadap lingkungannya akan terus berlanjut.[]

———————
Referensi

 

1. Muhammad ibn Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Amman: Dar al-Nafa’is, 1999

2. Yusuf al-Qaradhawi, al-Sunnah Mashdar li al-Ma’rifah wa al-Hadharah, Kairo: Dar al-Syuruq, 2002

3. Yusuf al-Qaradhawi, Kayfa Nata’mal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, Ma’alim wa Dhawabith, t.t.

4. Wahbah al-Zuhaili, alMilkiyyah wa Tawabi’uha, Damaskus: Universitas Damaskus, 1988

5. Muhammad Abu Zahrah, alTakaful al-Ijtima’iy fi al-Islam, Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.

6. Fathi Dardar, alBi’ah fi Muwajahah al-Talawwuts, Aljaza’ir: Dar al-Amal, 2003

7. Abdul Qadir Halimi, “Talawwuts al-Bi’ah“, Majalah al-Ashalah, Aljazair: Wizarah al-Ta’lim al-Ashli wa al-Syu’un al-Diniyah, 1975

8. Majalah al-Arabi, “al-Insan wa al-Bi’ah“, Vol. 500, Juli 2000

9. Abdul Hamid ibn Badis, Majalis al-Tadzkir min Hadits al-Basyir al-Nadzir, Aljazair: Mathbu’at Wizarah al-Syu’un al-Diniyyah, 1983

10. Koran al-Syuruq al-Yawmi, Vol. 1549, Kamis 1 Desember, 2005

11. Ahmad al-Khamlisyi, Wijhah Nazhr, Ribath: Dar al-Ma’rifah, 1998

12. Bakr ibn Abdillah Abu Zaid, Harasah al-Fadhilah, Ribath: Dar al-Ashimah, 2000

13. Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, al-Islam wa al-Mar’ah, Aqidah wa Manhaj, Aljazair: al-Thariq li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1990

14. Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr al-Risalah, Kuwait: Dar al-Qalam

15. Yusuf al-Qaradhawi, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayah al-Islamiyyah, Amman: Dar al-Furqan, 1417 H

16. Khalijah Muhammad Shalih, Dawr al-Mar’ah al-Muslimah fi Muwajahah Tahaddiyat al-Awlamah, Malaysia: Multaqa al-Ulama al-Alami, 11 Juli 2003

17. Mahmud Muhammad al-Jauhari, Madza Qaddama al-Islam li al-Mar’ah, Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr, 1997

 

Kesadaran, Peran Sosial, dan Kepedulian terhadap Lingkungan (2/3)

Unsur Pelestarian Lingkungan

 

Unsur-unsur pelestarian meliputi landasan-landasan perlindungan dari aspek keberadaannya di satu sisi. Hal ini mencakup segala upaya guna menjamin keberlangsungan unsur-unsur lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya.

 

Di sisi lain, landasan perlindungan dari ketiadaan yang mencakup pertahanan dan kepedulian untuk menjaga lingkungan hidup dan unsur-unsurnya dari gangguan negatif manusia, serta melindunginya dari segala jenis limbah, perusakan, dan bentuk-bentuk kerusakan lainnya.

 

 

Unsur-unsur Pelestarian Lingkungan dari Aspek Keberadaannya

 

Pertama, Dorongan untuk Bercocok Tanam

 

Terdapat banyak ketentuan dalam hukum Islam yang legalitasnya menunjukkan minat yang sangat besar terhadap pertanian dan dorongan terhadapnya. Sebab di dalamnya mengandung manfaat dan kemaslahatan bagi manusia sendiri, seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan bercocok tanam, pengairan, dan menghidupkan tanah-tanah yang mati. Semua ini menunjukkan sejauh mana minat Islam dalam memakmurkan bumi dengan menggunakan metode pertanian dan menghidupkan tanah-tanah yang mati. Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yang memiliki lahan hendaklah dia tanami atau dia berikan kepada saudaranya untuk digarap,” [H.R. al-Bukhari]. Hal inilah yang membuat para sahabat tidak segan-segan sedikitpun untuk bertani dan memberikan dorongan untuk melakukannya. Imarah ibn Khuzaimah ibn Tsabit berkata: “Aku mendengar Umar ibn al-Khaththab berkata kepada ayahku: ‘Apa yang menghalangimu menanami tanahmu?’ Ayahku berkata kepadanya: ‘Aku sudah tua, aku esok aku akan mati.’ Umar berkata kepadanya: ‘Aku menganjurkanmu untuk menanaminya.’ Dan aku melihat Umar ibn al-Khaththab menanaminya dengan tangannya sendiri bersama ayahku.”

 

Hukum menghidupkan kembali tanah-tanah mati layak untuk dipelajari dan diteliti karena pentingnya hal tersebut, serta mengetahui perannya dalam memperluas kawasan pertanian hijau. Ketika Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengolah tanah yang bukan milik siapa pun maka ia yang lebih berhak atasnya.” Hadits ini menunjukkan bahwa syariat menginginkan supaya lahan-lahan dikelola dengan baik karena kebutuhan masyarakat akan sumber daya pertanian dan rekonstruksi alam semesta, yang akan dapat membawa dampak kesejahteraan ekonomi bagi mereka dan memberikan kekayaan publik yang besar.

 

Dengan cara ini, Islam menganjurkan dan menyerukan untuk bertani dan bercocok tanam, memberikan motivasi kepada para pembajak dan petani, serta menjadikan siapa pun yang menghidupkan tanah yang tidak menghasilkan tanaman menjadi miliknya.

 

Dalam seruan untuk menghidupkan kembali tanah-tanah mati terdapat isyarat “bahwa Islam menyerukan untuk memakmurkan bumi dan memperbaiki kerusakannya. Dan jika manusia mengkikuti prinsip Islam untuk menghidupkan kembali tanah-tanah mati dan melaksanakan sabda Nabi Saw.., ‘Barangsiapa yang menghidupkan kembali tanah mati, itu adalah miliknya,’ maka pertanian dan pembangunan akan lebih melimpah, sehingga kita tidak akan lagi  menemukan begitu banyak hutan-hutan yang membutuhkan tangan manusia untuk melakukan perbaikan, dan tidak akan lagi mendapati gurun-gurun yang tidak ada pembangunannya.”

 

Umat manusia, dengan keinginan mereka yang tidak bijaksana dalam berbagai aktivitas kehidupan, mengubah sebagian besar lahan pertanian hijau menjadi gurun pasir, menyalahkan kekeringan, mengabaikan kegagalan melindungi tanah mereka, atau menyalahkan kondisi kemiskinan yang menyedihkan di tempat mereka tinggal.

 

Tidak dapat disangkal bahwa salah satu penyebab penggurunan adalah terjadinya kekeringan di wilayah tersebut, dan andil manusia dalam hal ini tidak dapat dibantah. “Peran manusia secara praktis terlihat jelas dalam praktik-praktik yang berkontribusi terhadap peningkatan laju penggurunan, seperti pembukaan hutan-hutan alam, kebakaran hutan, dan kesalahan pengelolaan irigasi dan drainase air, yang menyebabkan erosi, dan dengan demikian terjadi penggurunan.”

 

 

Kedua, Merawat Hutan dan Padang Rumput

 

Salah satu dampak negatif dari hilangnya dan berkurangnya luas hutan dan padang rumput adalah pasir gurun akan melahap daratan. Selain itu, udara dan atmosfer bumi menjadi saksi terjadinya emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Arti istilah ini adalah suhu naik dan memburuk akibat terkurungnya dan kurangnya penetrasi sinar matahari ke permukaan bumi, akibat penumpukan gas antara permukaan bumi dan udara. Di antara akibatnya adalah penggurunan yang berdampak terutama pada para petani yang menyiapkan lahan pertanian dengan menebang atau membakar pohon, dan juga berdampak pada para petani yang ingin membuka lahan pertanian tetap, namun masalahnya berlipat ganda ribuan kali lipat dengan dibangunnya pertanian-pertanian skala kecil dan seringnya penebangan pohon secara komersial, yang menyebabkan percepatan kenaikan suhu udara di seluruh dunia.”

 

Kita ambil contoh lain dampak negatif hilangnya dan berkurangnya luas hutan dan padang rumput di dunia: antara 4.000 dan 6.000 spesies hewan hilang sama sekali setiap hari, menciptakan semacam ketidakseimbangan lingkungan di wilayah tersebut, dan seperlima populasi dunia akan kekurangan air yang diperlukan untuk mengairi lahan dan bercocok tanam.

 

Dari sini kemudian muncul desakan untuk tidak menghabiskan pohon-pohon di hutan dengan cara mengubahnya menjadi kayu, dan lebih memperhatikan padang dan area rerumputan, serta bekerja untuk memperbaiki padang rumput alami dengan menanam jenis-jenis tanaman pakan ternak. “Percobaan telah berhasil dilakukan di Tunisia dan Mesir dalam mengolah daerah lahan salin dengan irigasi dari air laut untuk menghasilkan jenis-jenis pakan ternak. Di negara-negara lain juga telah berhasil dilakukan percobaan pemanfaatan sisa tanaman setelah diolah dengan TPA menjadi pakan ternak yang baik.”

 
Larangan menebang pohon disebutkan dalam sebuah hadis Rasulullah Saw.: “Barangsiapa menebang pohon bidara maka Allah akan membenamkan kepalanya dalam api neraka.” Yang dimaksud dengan “bidara” adalah pohon Sidr yang terkenal, yang tumbuh di gurun-gurun pasir, tahan haus, tahan panas, dan orang mendapat manfaat dari naungan penuh dan makan buahnya, jika mereka melintasi gurun tersebut sebagai pelancong, atau untuk mencari padang rumput, dan ancaman “neraka” bagi siapapun yang menebang pohon tersebut menunjukkan adanya penekanan terhadap kelestarian komponen lingkungan alam karena terjaganya keseimbangan antar makhluk hidup.

 

Eksperimen penelitian telah membuktikan bahwa pohon bidara sangat tahan lama, tahan kekeringan, mampu menahan panas dan iklim kontinental yang kering.

 

 

Ketiga, Seruan untuk Penghijauan

 

Empat belas abad yang lalu, sebelum dunia menetapkan Hari Hutan Internasional pada tanggal 21 Maret setiap tahunnya, Islam, dalam banyak teks, menyerukan dilakukannya penanaman pohon dan penanaman secara berkelanjutan. Nabi Saw. berkata: “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.”

 

Mari kita perhatikan hadis ini di mana Nabi Saw. menyerukan untuk menanam ketika hari kiamat terjadi, manfaat apa yang akan diperoleh si penanam ketika ia berada di ambang hari kiamat?

 

Mengenai hal ini, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi mengatakan: “Menurut pendapat saya, ini adalah penghormatan atas kerja keras membangun dunia itu sendiri, dan jika tidak ada manfaat di baliknya bagi yang menanam, atau bagi orang lain setelahnya, maka tidak ada harapan bagi siapa pun untuk memperoleh manfaat dari penanaman yang ditanam ketika hari kiamat telah tiba. Setelah itu, tidak ada dorongan untuk bercocok tanam dan berproduksi selama masih ada jiwa yang bimbang dalam hidup. Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, kemudian untuk bekerja dan memakmurkan bumi, maka hendaknya ia tetap menjadi penyembah dan pekerja sampai dunia menghembuskan nafas terakhirnya.”

 

Nabi Saw. juga bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian pohon/tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan menjadi sedekah baginya,” [H.R. al-Bukhari].

 

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat,” [H.R. Muslim].

 

Di antara manfaat penanaman dan penghijauan adalah peningkatan gas oksigen di udara dan pengurangan jumlah karbon, sehingga memulihkan keseimbangan lingkungan dan panas di planet bumi, yang berdampak positif pada kesehatan manusia. Ambil contoh, polusi yang mempengaruhi manusia akibat transportasi, dan apa yang dapat dilakukan oleh pepohonan di sekitar jalan dan kawasan pemukiman untuk mengurangi dampak polusi dan panas ekstrem, serta menyejukkan udara.

 

Dan yang tak kalah pentingnya, para peneliti telah menemukan manfaat dan fakta lain tentang pohon yang diceritakan oleh para petani kepada kita, dengan mengatakan: “Pohon adalah perisai mereka terhadap aktivitas angin, sehingga melindungi mereka tanaman, agar tidak tercabut atau tertimbun oleh angin badai, dan akar-akarnya menembus jauh ke dalam tanah sejauh beberapa meter, berfungsi untuk menstabilkan tanah agar tidak tersapu oleh angin yang merambat di atasnya.

 

Dan yang tak kalah penting, para peneliti telah menemukan manfaat dan fakta lain tentang pohon yang diceritakan oleh para petani, dengan mengatakan: “Pohon adalah perisai terhadap aktivitas angin, ia menghalau angin, sehingga melindungi tanaman, agar tidak tercabut atau tertimbun oleh angin badai, dan akar-akarnya yang menancap di dalam tanah beberapa meter berfungsi untuk menstabilkan tanah, agar tidak tersapu angin yang merambat di atas mereka.”

Kesadaran, Peran Sosial, dan Kepedulian terhadap Lingkungan (1/3)

Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi, sebagaimana tercantum di dalam firman-Nya, “[Ingatlah] ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi,” [Q.S. al-Baqarah: 30]. Dia menundukkan bumi beserta seluruh isinya untuk kepentingan manusia, “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya,” [Q.S. Hud: 61].

 

Untuk mewujudkan tujuan kekhalifahan umat manusia di muka bumi ini, diperlukan kerja sama dan integrasi antar seluruh umat manusia di dunia, sebagaimana firman-Nya, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa,” [Q.S. al-Hujurat: 13]. Salah satu aspek dari kerja sama ini adalah melestarikan kekayaan dan hal-hal baik yang melimpah di bumi dan bermanfaat bagi semua orang; seperti melindungi hewan dan tumbuhan, melestarikan air, rerumputan, sumber daya bawah tanah, dan hal-hal lainnya yang terdapat di permukaan bumi.

 

Hal ini terlihat dari perkataan Ibn Asyur ketika berbicara tentang tujuan umum syariat: “Tujuan umum dari tasyri‘ (pensyariatan) di antaranya adalah melestarikan sistem umat dan mempertahankan kebaikannya melalui kebaikan penguasanya, yaitu jenis manusia. Kebaikan jenis manusia meliputi kebaikan akal-pikiran, kebaikan pekerjaan, serta kebaikan harta benda duniawi yang ia hidup di dalamnya.”

 

Kenyataannya, persoalan “kekhalifahan” merupakan persoalan yang patut kita perhatikan karena akan menentukan peran dan kewajiban manusia terhadap lingkungannya. “Kekhalifahan” berarti bahwa manusia adalah penjaga dan pemelihara lingkungan, bukan pemiliknya. Ia bertanggung jawab atas pengelolaan, pengembangan, pembangunan, dan ia merupakan wali atas lingkungan tersebut.

 

Kewajiban “kekhalifahan” tentu saja mengharuskan manusia mengikuti apa yang diperintahkan oleh Sang Pencipta dan Sang Pemilik lingkungan ini, dan Sang Pemberi wewenang kepada manusia untuk menjaganya.

 

Kemudian, fungsi “kekhalifahan” mengharuskan manusia bertindak sebagai wali yang jujur sesuai dengan amanah yang diterimanya dari Tuhan. Bumi adalah tanah Tuhan, dan hamba-hambanya adalah hamba Tuhan. Ini menunjukkan tidak ada kepemilikan mutlak di dalam Islam, sehingga tidak seorang pun mempunyai hak untuk menyia-nyiakan apa yang dimilikinya sesuka hatinya. Kepemilikan dalam Islam dibatasi oleh pengendalian dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Tuhan, termasuk pemanfaatan dan pemeliharaannya dengan baik, serta menjaganya dari segala kerusakan atau vandalisme.

 

Dalam melaksanakan tugas “kekhilafahan” tidak dituntut bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri saja. Sebaliknya, ia harus memperluas jangkauan kepentingannya hingga mencakup seluruh lingkungannya dan apa-apa yang berada di wilayah kekuasaannya, dengan tidak menyebabkan kerusakan dan kehancuran terhadap makhluk hidup, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik,” [Q.S. al-A’raf: 56], “Apabila berpaling [dari engkau atau berkuasa], ia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan,” [Q.S. al-Baqarah: 205].

 

Menafsirkan ayat-ayat ini, Ibn Asyur mengatakan bahwa Allah Swt. “memberi tahu kita bahwa kerusakan yang diperingatkan itu adalah kerusakan hal-hal yang ada di dunia ini, dan bahwa Dia yang telah menciptakan di dalamnya hukum kelangsungan hidup tidak berpikir melakukannya dengan sia-sia.”

 

Allah telah berulang kali menyatakan di dalam al-Qur’an bahwa dilarang berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah menciptakannya dengan sangat baik dan mempersiapkannya untuk kemaslahatan umat manusia. Allah menyatakan tidak menyukai kerusakan, tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan, termasuk merusak lingkungan, mencemarinya, melanggarnya, serta melakukan tindakan menyimpang dari tujuan diciptakannya dunia ini. Semua ini adalah pengingkaran (kufur) terhadap nikmat, yang akan mendatangkan bencana dan pelakunya diperingatkan dengan azab sangat pedih yang akan menimpanya sama dengan azab yang menimpa kaum Ad dan Tsamud, dan kaum-kaum setelah mereka. “Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi,” [Q.S. al-Fajr: 11 – 14].

 

Kerusakan komponen-komponen lingkungan berbeda-beda antara satu unsur dengan unsur lainnya; ada yang terkena kerusakan dan kehancuran, ada yang terkena pencemaran, ada yang terkena pemborosan dan hilangnya manfaat. Umumnya berkisar pada sifat kerusakan dan perusakan di muka bumi yang dilarang oleh Tuhan.

 

Jika lingkungan telah memberikan kemudahan bagi manusia, ditundukkan untuknya atas kehendak dari Yang Mahakuasa, maka pada saat yang sama, ia adalah salah satu makhluk Tuhan. Sehingga, karenanya, manusia–yang juga merupakan salah satu makhluk Tuhan–tidak boleh merusak dan menyakitinya, atau mencegahnya menjalankan fungsinya sesuai dengan tujuan penciptaannya di alam semesta ini. Prinsip umum dalam hukum Islam adalah: “la dharara wa la dhirar” (tidak membayakan diri dan orang lain)”[4]. Artinya, jika manusia merugikan dan menggangu hak-hak lingkungan, maka mau tidak mau kerugian itu akan kembali menimpa dirinya sendiri.

Perjalanan Pemikiran al-Ghazali (3/3)

Mukâsyafah adalah manifestasi pengetahuan di dalam hati sufi. Semua hati manusia sebenarnya mempunyai potensi yang sama dalam menerima mukâsyafah. Tetapi, mukâsyafah hanya bisa dicapai kalau antara hati manusia dan lawh al-mahfûzh tidak terhalangi oleh apapun. Penghalang hanya mampu disirnakan oleh para nabi dan wali melalui riyadhah (olah diri) dan tazkiyah (pensucian). Perbedaan antara keduanya hanya teletak pada kemampuan dalam menyaksikan kehadiran sang pembawa pengetahuan. Mukâsyafah dalam diri nabi disebut dengan wahyu, sedangkan pada diri wali disebut ilham.

Mukâsyafah tidak didapatkan melalui pengkajian atau penalaran. Mukâsyafah adalah buah dari olah diri dan pensucian yang dilakukan para sufi. Itu semua bagaikan kajian keilmuan yang dilakukan para ulama. Dalam hal ini, kajian keilmuan juga mendapatkan pengetahuan dari lawh al-mahfûzh. Perbedaan antara kajian keilmuan dengan mukâsyafah hanya pada mekanisme pencapaian pengetahuan. Para sufi mendapatkan itu melalui olah diri dan amal saleh yang bertumpu pada hati, sedangkan para ulama melalui pengkajian yang bertumpu pada nalar. Para sufi akan terhalangi di saat melakukan kemaksiatan, sedangkan ulama akan terhalangi oleh kelupaan.[1]

Bagi al-Ghazali, mukâsyafah adalah kebenaran Ilahiyah. Argumentasinya dapat dimengerti melalui mimpi yang terkadang memberikan informasi berupa kepastian terjadinya peristiwa di masa depan. Hal ini terjadi karena di saat tidur manusia tidak lagi memperhatikan tuntutan-tuntutan jasmaninya. Namun, pengabaian terhadap tuntutan-tuntutan jasmani tidak hanya terjadi pada saat-saat tidur. Dalam kondisi sadarpun manusia mampu menepisnya dengan melakukan puasa, olah diri, dan pensucian hati. Sehingga dalam kondisi sadar, manusia juga mampu mengetahui peristiwa masa depan tersebut. Tidak ada perbedaan antara mukâsyafah melalui mimpi dengan mukâsyafah dalam kondisi sadar. Yang terpenting adalah kemampuan manusia dalam meminimalisir seluruh tuntutan jasmaninya.[2]

Selain mendapatkan mukâsyafah, para sufi juga mencapai musyâhadah. Musyâhadah menjadikan para sufi mampu menyaksikan semua fenomena menakjubkan yang tidak bisa disaksikan di alam nyata. Mereka mampu menyaksikan para malaikat, arwah para nabi, serta dapat mengambil manfaat dari persaksian itu. Klimaks dari itu semua adalah fanâ`. Tahapan ini merupakan tahapan paling akhir dari upaya pendekatan para sufi dengan Tuhan. Dalam tahapan ini, meraka senantiasa akan menyaksikan dan merasakan kehadiran Tuhan. Tak ada lain kecuali hanya Tuhan yang tampak oleh mereka. Ini merupakan empati tertinggi para sufi. Fanâ` hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang telah merasakan empati itu. Mempublikasikan empati tersebut kepada masyarakat umum akan melahirkan tuduhan kafir terhadap mereka.[3] Ketidakpahaman terhadap empati itu akan memunculkan klaim panteisme dan inkarnasi. Klaim tersebut muncul akibat ketidakpahaman masyarakat umum mengenai arti fanâ` dalam dunia sufisme.

Pengingkaran al-Ghazali terhadap panteisme dan inkarnasi tidak berarti ia mengkafirkan para imam sufi yang mempunyai teori itu. Ia hanya melarang jika teori itu dijalankan oleh masyarakat biasa yang tidak memahami kaidah-kaidah sufisme. Tetapi, itu pun tidak berarti bahwa al-Ghazali merestui teori penteisme dan inkarnasi. Artinya, dia tidak melihat bahwa statemen-statemen para tokoh sufi mengandung arti penyatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya. Statemen-statemen mereka tidak bisa dipahami hanya melalui peranti-peranti tekstual. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh Abu Yasid al-Busthami, “Maha suci aku dan tidak ada entitas yang lebih agung dariku,” tidak boleh diklaim sebagai bentuk kekufuran. Statemen tersebut tidak berarti bahwa dirinya telah menyatu dengan Tuhan. Justru itu merupakan sebuah ungkapan atas kebesaran Tuhan yang sedang disaksikannya. Artinya, Abu Yazid menganggap dirinya telah mencapai tingkatan paling atas dalam dunia sufisme, sehingga posisinya di hadapan Tuhan tidak tertandingi oleh entitas apapun.[4]

Demikianlah konsep tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali di dalam dinasti Saljuk yang berpaham Sunni. Jelas, konsep ini jauh berbeda dengan konsep tasawuf Syi’ah Batiniyah yang sangat identik dengan panteisme dan inkarnasi. Kerhadiran konsep tasawuf al-Ghazali diharapkan menjadi alternatif untuk menggatikan tasawuf Batiniyah. Namun, akibat bias ideologi Sunni pemikiran al-Ghazali nampak paradoks. Pemikiran-pemikirannya terkesan tidak selaras dan saling berbenturan. Ini bisa dilihat dari konsep tasawuf rumusannya yang bertolak belakang dengan ilmu logika yang dipromosikannya. Himbauan untuk bertasawuf hingga mencapai mukâsyafah akan menghantam himbaunnya untuk mempelajari ilmu logika. Antara ilmu mukâsyafah dengan ilmu logika adalah dua hal yang saling berlawanan. Memang, keduanya sama-sama mendapatkan pangetahuan dari lawh mahfûzh. Tetapi keduanya tetap berbeda, perbedaannya adalah pada mekanisme pancapaian pengetahuan. Ilmu logika bersandar pada pijakan-pijakan akal, sedang ilmu mukâsyafah justru menihilkan penalaran. Mukâsyafah tidak hanya akan membentur himbauannya akan urgensi ilmu logika, tetapi juga akan membentur pelarangannya terhadap filsafat.

Sebetulnya, bila diamati lebih jauh, paradoksalitas pemikiran al-Ghazali lebih disebabkan karena beratnya beban ideologi aliran Sunni yang menindih pundaknya. Himbauannya untuk mempelajari ilmu logika sebenarnya merupakan upayanya untuk menggantikan konsep ‘pembimbing suci’ aliran Syi’ah Batiniyah. Sementara, rumusan tasawufnya sengaja dicanangkan untuk menjadi pengganti atas bangunan spiritualitas Syi’ah Batiniyah. Begitu pula pengkafirannya terhadap filsafat tidak lain adalah untuk mematikan landasan filsafat Syi’ah Batiniyah tersebut. Dalam pandangan al-Ghazali, filsafat Batiniyah adalah perwujudan dari filsafat Neoplatonisme yang dikembangkan al-Farabi dan Ibnu Sina. Sehingga, pengkafiran terhadap al-Farabi dan Ibnu Sina diharapkan akan dapat meruntuhkan dasar-dasar filsafat Syi’ah Batiniyah.[5]

_____________________________

[1]          Sulaiman Dunya, op. cit., hal. 129

[2]          Ibid., hal. 139

[3]          Majdi Muhammad Ibrahim, op. cit., hal. 514

[4]          Al-Ghazali, al-Muqshid al-Asnâ fî Syarh Asmâ` Allâh al-Husnâ

[5]          Muhammad Abed al-Gabiri, Nahwu wa al-Turast, hal. 147