Sarjana Rudapaksa

Dunia pendidikan hari ini tidak baik-baik saja. Belum selesai kasus Kekerasan Seksual (KS) Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), publik dihebohkan dengan kasus KS dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad). Belum bernapas lega dengan kasus itu, muncul lagi dokter spesialis kandungan di Garut alumni Unpad yang melakukan KS kepada pasiennya. Di isu yang lain, Universitas Indonesia (UI) juga mempertahankan mahasiswa S-3 meski sudah cacat akademik dan moral dalam penulisan disertasinya. Apa poinnya? Jebolan kampus ternama dan gelar mentereng belum jadi jaminan menjadi manusia yang bermoral.

Pendidikan Tersandera Kepentingan

Dalam horizon keilmuan modern hari ini, kita dididik dengan dogma bahwa ilmu itu terpisah dari nilai. Ilmu itu obyektif dan netral. Paradigma semacam ini menyebabkan dekadensi moral besar-besaran. Ditambah lagi, ada paradigma keliru di perguruan tinggi (juga sekolahan), kala mengejar scopusisasi dan akreditasi untuk mendapat gelar World Class University (WCU). Akhirnya, ghirah pendidikan untuk melahirkan manusia pembelajar digadaikan. Pendidikan menjadi ajang untuk mendapatkan pekerjaan semata. Dan pada saat yang sama, orang yang bisa duduk di bangku perkuliahan adalah mereka yang mempunyai uang. Masuklah logika pasar, ada uang Anda dididik, tak ada uang silakan jadi udik.

Diperparah lagi, dunia pendidikan juga disandera oleh kepentingan politik. Mulai dari pemberian doktor Honoris Causa dan Guru Besar Kehormatan bagi para politisi hingga kebijakan pendidikan yang sangat menteri-sentris. Tidak ada aturan jangka panjang (semacam Garis Besar Haluan Negara [GBHN] dulu) yang bisa memandu pemangku kebijakan untuk tidak asal ganti kurikulum. Jadilah pendidikan lima tahunan. Ganti menteri, ganti kebijakan. Contohnya, menteri mengembalikan pembagian program studi IPA, IPS, Bahasa yang di zaman menteri sebelumnya sudah ditiadakan. Sebenarnya yang perlu dibenahi adalah paradigma besar pendidikannya, bukan teknis pengajarannya semata.

Paradigma Pendidikan

Paradigma yang menanamkan kesadaran bahwa belajar itu sepanjang hayat, menjadi pribadi yang rendah hati tetapi tetap punya marwah diri yang kokoh. Pendidikan itu bukan untuk mendapat pekerjaan. Ini paradigma yang sejak awal sudah kurang tepat. Pendidikan itu untuk menumbuhkan kemampuan dan kapasitas. Dengan kapasitas itu, kita bisa mengembangkannya di dunia kerja. Pada akhirnya dengan belajar kita dapat bekerja itu adalah dampak dari kecintaan kita pada ilmu. Bukan menjadikan pekerjaan, apalagi uang sebagai satu-satunya alasan untuk kita belajar hingga ke perguruan tinggi.

Dalam Islam, iman dan ilmu menjadi satu kesatuan kemajuan sebuah peradaban. Cak Nur merefleksikan Surat Al-Mujadalah ayat 11 sebagai berikut:

“Firman Ilahi itu menegaskan bahwa janji keunggulan, superioritas dan supremasi diberikan Allah kepada mereka yang beriman dan berilmu sekaligus. Iman akan mendorong kita untuk berbuat baik guna mendapatkan rida Allah, dan ilmu akan melengkapi kita dengan kemampuan menemukan cara yang paling efektif dan tepat dalam pelaksanaan dorongan untuk berbuat baik itu”.

Ironinya, apa yang terjadi hari ini adalah sarjana intelek yang jauh dari tuntunan iman yang bermoral. Pendidikan yang utuh harus menyentuh iman dan ilmu sekaligus. Jika paradigma pendidikan masih sebatas mengejar finansial, popularitas maupun jabatan struktural, maka ke depan akan banyak bermunculan sarjana rudapaksa, sarjana koruptor, sarjana pembabat alam, dan sebagainya. Potret sarjana tapi merudapaksa yang terlihat hari ini baru yang kelihatan di permukaan. Ibarat bola salju, gumpalannya akan terus membesar seiring waktu.

Tentu kita mengutuk setiap rudapaksa yang terjadi. Sembari mendampingi pemulihan korban yang sudah tersakiti. Pada saat yang sama, ada PR besar yang perlu dibenahi: bahwa ilmu itu perlu mengejawantah menjadi laku.

Menata Ulang Kebijakan Aborsi Aman Bagi Korban Kekerasan Seksual

Aborsi merupakan topik yang seringkali memantik perdebatan di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Beragam pandangan, baik dari aspek agama, moral maupun hak asasi manusia, seringkali berkonfrontasi satu sama lain. Namun, dalam konteks korban kekerasan seksual, kebijakan menyangkut aborsi menjadi isu yang lebih kompleks dan memerlukan pendekatan yang lebih terbuka, persuasif dan sensitif.

Bagi banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, kehamilan yang tak diinginkan akibat pemerkosaan atau pelecehan seksual bukan hanya memperkeruh kondisi mental, tetapi juga berpotensi besar mengancam kesehatan fisik, terutama alat reproduksi mereka. Maka dari itu, menata ulang kebijakan akses pelayanan aborsi bagi korban kekerasan seksual harus dirancang secara inklusif, transparan dan berpihak pada hak perempuan, keselamatan dan kesehatan mereka.

Setiap tahunnya, jumlah kasus kekerasan seksual mengalami eskalasi peningkatan yang signifikan, namun kondisi dan kebutuhan para korban tak jarang terabaikan. Korban kekerasan seksual memerlukan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif dan mudah diakses.

Jika merujuk pada catatan yang diperoleh dari Komnas Perempuan, sejak 2018 hingga 2023, terdapat 103 korban pemerkosaan yang mengalami kehamilan akibat kekerasan seksual. Mayoritas dari mereka tidak memperoleh akses ke aborsi yang aman. Alhasil, ketika layanan ini tidak tersedia, korban rentan menjalani alternatif praktik aborsi yang berbahaya, yang dapat berakibat fatal bagi mereka, atau justru memicu masalah hukum terkait aborsi yang ilegal. Kondisi demikian tentunya akan semakin memperkeruh keadaan korban.

Pro dan Kontra Kebijakan tentang Aborsi di Indonesia

Meskipun pemerintah telah menetapkan kebijakan menyoal akses aborsi terhadap korban kekerasan seksual, namun upaya untuk memberikan perlindungan, penanganan dan pemulihan masih belum sepenuhnya terakomodasi. Hal ini terutama sangat nampak pada kasus kekerasan seksual atau pemerkosaan yang mengarah pada kehamilan yang tak diinginkan (KTD).

Menyikapi kondisi yang tengah terjadi saat ini, layanan kesehatan aborsi yang komprehensif menjadi hak mendasar bagi korban kekerasan seksual. Seperangkat hak ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Meskipun undang-undang ini telah diberlakukan hampir 3 tahun yang lalu, tidak sedikit dari korban dan penyintas yang masih belum bisa memperoleh akses yang terjangkau dalam pemenuhan terhadap hak-haknya. Kendala seperti ketidakpastian hukum, stigma, serta masalah kesenjangan kelas sosial dan ekonomi menjadi hambatan utama bagi pemenuhan hak-hak mereka.

Bagaimana pun, aturan mengenai layanan aborsi aman bagi perempuan korban kekerasan seksual merupakan bentuk implementasi dari amanat konstitusi Pasal 28H Ayat (1), khususnya yang berhubungan dengan hak konstitusional atas hidup sejahtera lahir dan batin serta pelayanan kesehatan. Selain itu, aturan ini juga merefleksikan komitmen bangsa Indonesia setelah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.

Urgensi Akses Layanan Aborsi Aman Bagi Korban Kekerasan Seksual

Setiap perempuan mempunyai otoritas atas kontrol penuh terhadap tubuhnya, termasuk dalam hal ini kehamilan. Dalam konteks kekerasan seksual, aborsi aman bukan hanya pilihan medis, melainkan juga pilihan psikologis yang penting. Memaksa korban untuk melanjutkan kehamilan akibat pemerkosaan atau bahkan menikahkan paksa korban dengan pelaku dapat memperburuk trauma mereka dan menghambat proses pemulihan.

Akses terhadap layanan aborsi yang aman merupakan kebutuhan konkret dari korban kekerasan seksual dengan tujuan untuk mengurangi ancaman gangguan kesehatan fisik maupun mental pada korban akibat tekanan dari adanya kehamilan yang tidak diinginkan.

Kebijakan ini harus tersedia di semua fasilitas kesehatan yang sah dan terpercaya di setiap daerah. Pasalnya, dalam sejumlah kasus, karena kurangnya fasilitas dan akses literasi dari korban, seringkali praktik aborsi dilakukan secara ilegal dan berbahaya. Hal ini dapat menambah resiko kesehatan dan keselamatan nyawa mereka. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual memperoleh saluran ke pelayanan medis yang memadai, tanpa harus takut akan stigma dan diskriminasi.

Jalan Tengah Pembenahan

Selain penyelesaian yang bersifat struktural dan substansial, penyedia layanan kesehatan harus dilatih untuk memberikan dukungan yang sensitif terhadap kondisi trauma yang mereka alami dan memastikan bahwa korban memperoleh informasi yang jelas tentang pilihan mereka. Dukungan dari keluarga, masyarakat dan lembaga terkait juga sangat berperan penting dalam memutus mata rantai stigma yang melekat dan membantu korban dalam proses pemulihan dari pengalaman tragis yang mereka alami.

Menata ulang kebijakan aborsi aman bagi korban kekerasan seksual di Indonesia menjadi satu topik yang sangat penting untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi hak-hak perempuan. Kebijakan yang lebih inklusif yang memungkinkan korban untuk memperoleh akses aborsi yang aman dan terpercaya akan membantu mereka kembali pulih baik secara fisik maupun mental.

Melalui strategi pembenahan dan perubahan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memastikan bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tidak hanya memperoleh keadilan, tetapi juga bisa mendapatkan kesempatan untuk menata kehidupan baru tanpa beban kehamilan yang tidak mereka inginkan. Dengan demikian, akses terhadap aborsi aman adalah hak fundamental bagi setiap perempuan, dan saatnya bagi bangsa Indonesia untuk menyesuaikan dan menata ulang kebijakan demi menciptakan iklim bernegara yang sesuai dengan karakteristik negara hukum dan jaminan terhadap kedudukan hak asasi manusia.

Membangun Sensitivitas Media dalam Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual

Sebagai instrumen komunikasi yang mampu menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat, media massa mempunyai peran strategis yang teramat vital. Sepanjang ini, media sering kali dipandang sebagai sarana utama untuk memperoleh informasi dan mengikuti perkembangan fenomena di sekitar kita.

Sebagai saluran penyebar pesan, arus media mampu berakselerasi mengirimkan informasi secara efektif, cepat dan tanpa henti kepada beragam audiens. Dampaknya pun sangat besar, mempengaruhi pandangan, pola pikir, opini publik dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam upaya pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di masyarakat, media massa juga mempunyai posisi yang tak dapat dikesampingkan. Media mampu menjangkau publik secara menyeluruh, terlebih jika mereka mengedepankan perspektif gender yang seimbang. Ini penting supaya informasi atau berita yang disebarluaskan tidak terperangkap dalam bias atau keberpihakan yang tidak adil, yang justru dapat memarjinalkan kelompok rentan atau minoritas.

Dalam setiap pendistribusi informasi, media juga perlu memperhatikan cara penyajian informasi, terutama dalam berbagai kasus kekerasan seksual. Sebagai contoh, sering kali pemberitaan kurang berpihak pada korban kekerasan seksual, bahkan tak jarang justru makin memperkeruh keadaan mereka.

Tidak sedikit berita yang mengambil sudut pandang yang merugikan kondisi korban, sehingga menambah beban emosional mereka, dan menciptakan luka traumatis yang semakin mendalam. Meskipun tidak semua media bersikap demikian, penting juga bagi mereka untuk menyadari akan dampak yang ditimbulkan dari cara mereka mempublikasikan informasi.

Harapan kita, tidak hanya mengutamakan objektifitas dan akurasi, media juga harus menyentuh aspek psikologi dan perasaan korban yang juga diperhatikan. Harus ada langkah untuk meminimalisir stigma dan diskriminasi terhadap mereka, serta memberikan akses pemahaman yang lebih sensitif terhadap hak-hak mereka. Alhasil, pemberitaan dapat lebih berperan dalam membentuk masyarakat yang lebih adil dan peka terhadap isu kekerasan seksual seperti ini.

Misalnya, dalam salah satu publikasinya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan bahwa sejumlah media massa telah melanggar kode etik dalam memberitakan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah seorang oknum guru terhadap muridnya di Gorontalo.

Dalam laporan tersebut, sejumlah media ini secara terang-terangan memuat nama korban, bahkan menyebutkan nama sekolah dan organisasi tempat korban berkegiatan. Tindakan ini jelas memperlihatkan minimnya sensitivitas media terhadap pentingnya perlindungan identitas korban yang semestinya diproteksi dengan sangat hati-hati.

Lebih buruk lagi, sejumlah media bahkan menyiarkan potongan rekaman video yang memperlihatkan peristiwa kejahatan tersebut. Kendati diburamkan, penayangannya tetap mengungkapkan ketidakpedulian media terhadap keadaan korban.

Keputusan untuk menyiarkan rekaman semacam itu justru akan menambah beban psikologis bagi korban yang sudah terperangkap dalam kondisi trauma yang mendalam. Pemberitaan seperti ini tidak hanya melanggar etika jurnalistik, tetapi juga bertentangan dengan prinsip fundamental dalam perlindungan anak dan perempuan yang semestinya dijunjung tinggi oleh media.

Media massa seharusnya tidak terbuai pada hasrat untuk memperoleh popularitas dan viralitas semata ketika memberitakan kasus kekerasan seksual. Sebaliknya, media harus melaksanakan perannya sebagai penjaga etika, yang tidak hanya berperan untuk menyebarluaskan informasi, tetapi juga melindungi hak dan kondisi korban.

Media mempunyai imperatif moral dan tanggung jawab untuk merawat empati terhadap korban kekerasan seksual dan mengedukasi publik supaya lebih bijak serta peka dalam memahami isu-isu semacam  ini. Melalui cara demikian, media dapat berperan tidak hanya sebagai sumber informasi, tetapi juga sebagai agen perubahan yang mendukung terciptanya kesadaran kolektif dan proses pemulihan bagi korban.

Cara media massa mempublikasikan kasus kekerasan seksual mempunyai dampak yang signifikan terhadap bagaimana masyarakat memposisikan dan memahami risiko kekerasan seksual. Ketika media mengedepankan pemberitaan yang hiperbolis dan sensasional mengenai kasus kekerasan seksual, hal ini justru beresiko semakin mengakarnya pandangan negatif tentang kasus kekerasan seksual dalam masyarakat. Penyajian berita yang berlebihan dapat menciptakan ketakutan yang tidak proporsional, meskipun mungkin tidak menggambarkan kenyataan dengan akurat.

Ketidakseimbangan dalam pemberitaan, seperti sudut pandang yang berlebihan pada kasus tertentu atau tendensi pada elemen sensasional, seringkali dapat menyebabkan informasi yang tidak akurat. Pada gilirannya, hal ini dapat memantik ketidaknyamanan dalam masyarakat. Misalnya, pemberitaan yang menonjolkan detail-detail mengerikan atau memvisualisasikan kekerasan seksual, bisa membuat individu merasa cemas berlebihan akan kemungkinan terjadinya kekerasan seksual di lingkungan sekitar mereka.

Meskipun kewaspadaan terhadap potensi bahaya sangat penting, rasa takut yang berlebihan dan tak seimbang juga dapat menyebabkan depresi dan kecemasan yang tidak perlu. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya kedudukan media dalam mendesain pandangan masyarakat secara objektif dan bertanggung jawab.

Karena media massa mempunyai kekuatan besar dalam membentuk pandangan publik tentang risiko ancaman kekerasan seksual, mereka mesti menyadari dampak yang ditimbulkan baik positif maupun negatif dari cara mereka mempublikasikan isu tertentu. Maka dari itu, media perlu memastikan pemberitaannya adil, berimbang dan akurat, tanpa melebih-lebihkan, mendramatisir atau menyelewengkan fakta, agar dapat mendistribusikan pemahaman yang lebih komprehensif kepada masyarakat dan mencegah terjadinya ketakutan yang tidak mendasar.

Menumpas Kekerasan Seksual pada Remaja Perempuan Autistik

Diskursus mengenai kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik jarang sekali dibahas di Indonesia, bahkan bisa dibilang hanya terhitung jari jumlahnya. Sungguh sangat disayangkan mengingat banyak remaja perempuan autistik yang dikabarkan menjadi korban kekerasan seksual, sebagaimana diungkapkan Dr Sarah Lister Brook, direktur klinis di National Autistic Society. Kalau dibiarkan terus begini, tentu hajat hidup remaja perempuan autistik ada dalam bahaya; Indonesia tak aman lagi bagi mereka!

Beberapa bulan lalu, misalnya, tersiar sebuah berita bahwa seorang remaja perempuan autistik menjadi korban kekerasan seksual oleh tukang rongsok di kawasan Bantul (Kumparan.com, 5/4/2023, “Heboh Tukang Rongsok di Bantul Lecehkan Perempuan Berkebutuhan Khusus”). Berita lain yang kurang lebih sama, pada 2016, seorang remaja perempuan autistik dikabarkan telah mengalami kekerasan seksual di rumah sakit khusus penyandang penyakit kejiwaan di Sukabumi (Detik.com, 26/10/2016, “Bocah Penyandang Autis Diduga Jadi Korban Seksual di Sukabumi”).

Meski jumlah berita mengenai remaja perempuan autistik yang menjadi korban kekerasan seksual tidak sebanyak remaja non-disabilitas, riset menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh perempuan autistik merupakan korban kekerasan seksual, dua sampai tiga kali lebih besar daripada perempuan non-disabilitas. Prastiwi dkk (2016) pun mengatakan bahwa perempuan autistik memiliki risiko kekerasan seksual lebih besar dibanding dengan perempuan non-disabilitas. Dengan kata lain, jumlah remaja perempuan autistik yang mengalami kekerasan seksual lebih banyak daripada yang “kelihatannya”.

Tentu akan menjadi kesalahan yang sangat fatal bilamana kita mengabaikan fakta ini begitu saja. Masalahnya, korban remaja perempuan autistik berisiko tinggi mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), sebagaimana disebutkan dalam sebuah studi bahwa dua per tiga dari remaja perempuan autistik yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami PTSD. Sehingga, membiarkan kekerasan seksual pada remaja autistik terus berlanjut sama saja dengan “menyiksa” mereka tanpa henti. Indonesia tak ubahnya lorong yang gelap bagi remaja perempuan autistik.

Dari penjelasan tadi, akhirnya kita mengetahui kenapa diskursus mengenai kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik harus mendapat perhatian lebih dari kita. Terlebih jika benar kita berkomitmen penuh menciptakan Indonesia yang inklusif; menumpas kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik tidak boleh diganggu gugat!

Nah, untuk menumpas kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mengetahui kelindan autisme dan kekerasan seksual. Hal ini agar penanganan atau bahkan pencegahan yang dilakukan bisa tepat sasaran. Sehingga, diskursus mengenai remaja perempuan autistik tidak berjalan sia-sia.

Untuk mengetahui kelindan autisme dan kekerasan seksual, kita bisa memulainya dengan memahami dulu apa yang dimaksud dengan autisme. Dengan demikian, nantinya kita bisa mengetahui kenapa mereka lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan dengan remaja perempuan non-disabilitas.

Kelindan autisme dan kekerasan seksual

Autisme sendiri merupakan disabilitas perkembangan saraf yang menghambat individunya dalam berbagai aspek, mulai dari sulitnya berinteraksi sampai pada memahami konteks sosial. Hambatan-hambatan ini tentunya memengaruhi remaja perempuan autistik dalam menghadapi situasi yang berbahaya seperti kejadian kekerasan seksual; mereka jadi rentan menjadi korban kekerasan seksual.

Penjelasannya begini; secara biologis, remaja perempuan autistik memiliki semacam otak transmisi manual, yang membuat mereka tidak mampu membaca situasi sosial yang bersifat ‘intuitif’ seperti peristiwa kekerasan seksual, berbeda dengan remaja perempuan non-disabilitas yang mampu memahami tanda-tanda akan terjadinya kekerasan seksual secara natural. Oleh karena ketidakmampuan ini, otak remaja perempuan autistik akan merekam semua kejadian yang mereka alami sebagai sesuatu yang positif, sekalipun itu adalah kekerasan seksual. Sehingga, ketika dihadapkan dengan kekerasan seksual berikutnya, mereka akan berpotensi menjadi korban lagi. Baik dengan pelaku yang sama ataupun tidak. Sudah seperti lingkaran setan.

Faktor penolakan sosial yang dialami remaja perempuan autistik pun turut memperparah ini. Mereka akan semakin sulit mengidentifikasi suatu kejadian kekerasan seksual akibat tidak bisa memahami apa yang ada di balik sikap ramah si pelaku, karena sudah terbiasa ditolak di lingkungannya sehingga tidak dapat mempelajari konteks sosial dengan baik.

Hal ini tentunya berpotensi dimanfaatkan pelaku kekerasan seksual. Mereka akan menggunakan sifat manipulatif dan oportunisnya untuk mengontrol sikap remaja perempuan autistik dalam memandang kejadian kekerasan seksual yang menimpa diri remaja perempuan autistik. Tidak mustahil mereka akan mengatakan bahwa remaja perempuan autistik hanya berkhayal dan bersenda gurau tentang kejadian tersebut. Sehingga pada akhirnya remaja perempuan autistik akan meragukan dirinya sendiri, dan semakin rentan untuk mengalami kejadian yang sama di kemudian hari.

Bahkan, pelaku kekerasan seksual bisa saja ‘merekayasa’ kejadian kekerasan seksual. Oleh karena ketidakmampuan remaja perempuan autistik dalam mencerna keadaan, pelaku kekerasan seksual akan memanfaatkannya untuk memanipulasi pengakuan ketika diinterogasi oleh pihak berwajib. Sehingga, semakin sulit untuk mengatasi kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik.

Perlunya dukungan yang terstruktur dan komprehensif

Dari penjelasan mengenai kelindan autisme dan kekerasan seksual tadi, akhirnya kita bisa mengetahui solusi apa yang mesti diberikan untuk penanganan dan bahkan pencegahan kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik. Dalam hal ini, penanganan dan pencegahan yang bisa diberikan adalah dukungan terstruktur dan komprehensif pada remaja perempuan autistik, sehingga masalah kekerasan seksual yang menimpa diri mereka bisa diberantas sampai habis bahkan dicegah kemunculannya.

Seperti katakanlah, langkah bisa dimulai dari penanganan kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik terlebih dulu, baru setelah itu pencegahan. Harapannya, langkah-langkah yang diambil bisa membantu menuntaskan persoalan kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik secara terstruktur dan sistematis. Dengan demikian, masalah akan tuntas dari hulu sampai ke hilirnya.

Nah, untuk tahap penanganan, bisa dimulai dengan mendorong pihak kepolisian untuk memperkuat hulu ke hilir dari penanganan kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik, seperti misal memberikan layanan konseling kepada remaja perempuan autistik sampai kasus kekerasan seksual yang menimpa mereka terselesaikan dengan baik. Yang tentunya dibantu psikolog dan dokter spesialis saraf agar remaja perempuan autistik dapat terbantu dalam menyampaikan keluhannya kepada pihak kepolisian. Sehingga, penanggulangan kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik dapat teratasi dengan baik.

Tidak hanya itu, kolaborasi juga bisa dilakukan dengan pihak sekolah dalam menanggulangi kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik, terutama jika kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan sekolah. Dalam hal ini, sekolah dapat membentuk semacam “Disability Center” untuk memberikan ‘perlindungan’ kepada remaja perempuan autistik yang telah menjadi korban kekerasan seksual (Sari dkk, 2016). Sehingga, mereka jadi tahu harus ‘ke mana’ jika mengalami kekerasan seksual dan ingin mendapatkan perlindungan yang aman. Orang tua pun jadi mendapatkan informasi bahwa anaknya sudah pernah menjadi korban seksual, dan bisa meneruskan laporannya ke pihak berwajib.

Selain mendirikan “Disability Center”, pihak sekolah juga bisa berinisiatif mengimplementasikan sistem pertemanan yang terdiri dari remaja perempuan autistik dan remaja non-disabilitas (Muller, 2022). Studi sudah menunjukkan bahwa remaja perempuan autistik memiliki pengetahuan kekerasan seksual yang minim karena tidak memiliki lingkaran pertemanan untuk mendiskusikannya. Karena itu, sistem pertemanan akan menjadi solusi yang efektif untuk remaja perempuan autistik membicarakan pengalaman seksualitasnya dengan teman sebayanya. Sehingga, mereka nanti jadi tahu kalau yang mereka alami itu kekerasan seksual atau bukan, bahkan mengetahui apa solusi yang mesti mereka lakukan — bisa diteruskan langsung ke “Disability Center” atau pihak kepolisian.

Sementara untuk tahap pencegahan, pihak sekolah (dengan persetujuan orang tua, tentunya) bisa memberikan pendidikan seksualitas pada remaja perempuan autistik melalui mata pelajaran biologi. Tujuan dari pendidikan seksualitas ini tak lain dan tak bukan agar remaja perempuan autistik bisa memahami dan membedakan mana yang merupakan kekerasan seksual dan mana yang bukan. Ini merupakan metode pencegahan yang paling efektif karena remaja perempuan autistik lebih mudah menerima materi tentang pendidikan seksualitas bila diajarkan pada lingkungan yang lebih terstruktur dan mudah diprediksi seperti sekolah.

Untuk metode pembelajarannya sendiri seperti apa, dibebaskan sesuai dengan kondisi dari masing-masing remaja perempuan autistik, mengingat setiap remaja perempuan autistik memiliki hambatan yang beda-beda. Tidak bisa dipaksakan sama karena takutnya pembelajaran malah tidak berjalan efektif sesuai dengan yang direncanakan.

Bentuk pencegahan lainnya, bisa dilakukan dengan memberikan sosialisasi, edukasi, dan informasi kepada masyarakat umum terutama remaja perempuan autistik mengenai kekerasan seksual yang menimpa mereka, dan perlindungan apa yang bisa mereka dapatkan. Hal ini agar diskursus mengenai kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik tidak hanya berhenti di kita, dan bisa menjadi concern bersama agar semua tahu kalau remaja perempuan autistik di Indonesia belum aman dari kekerasan seksual yang mengintai diri mereka.

Belum sampai di situ, agar penanganan dan pencegahan bisa sampai ke akar-akarnya, alangkah baiknya kita juga mempertimbangkan soal hukum yang berlaku terkait kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik. Walau memang perlindungan hukum terhadap perempuan disabilitas korban seksual sudah diatur dalam Pasal 5 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, serta Undang-Undang Perlindungan Anak, akan lebih baik jika Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan, dan tentunya sudah mempertimbangkan akan kemungkinan kekerasan seksual yang menimpa remaja perempuan autistik.

Pemerintah juga perlu berkomitmen penuh dalam memastikan berjalan tidaknya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik, supaya tidak hanya sekadar wacana yang tidak terealisasikan. Pemerintah harus terus aktif sebagai pihak yang menentang keras adanya kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik, dan memastikan penanganan dan pencegahan terjadi secara berkelanjutan. Sehingga, remaja perempuan autistik bisa mendapatkan ruang yang aman di Indonesia.

Diskursus mengenai kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik bukanlah sesuatu yang eksklusif yang hanya boleh dipikirkan oleh segelintir orang. Kita seyogyanya menaruh perhatian lebih pada isu ini demi mewujudkan Indonesia yang aman dan ramah bagi remaja perempuan autistik.

Menumpas kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik tidak boleh diganggu gugat, dan harus dilakukan secara sinergis dan holistik. Dengan demikian, remaja perempuan autistik akan menutup episode senja mereka dengan senyum yang lembut nan menawan.