Menumpas Kekerasan Seksual pada Remaja Perempuan Autistik

Diskursus mengenai kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik jarang sekali dibahas di Indonesia, bahkan bisa dibilang hanya terhitung jari jumlahnya. Sungguh sangat disayangkan mengingat banyak remaja perempuan autistik yang dikabarkan menjadi korban kekerasan seksual, sebagaimana diungkapkan Dr Sarah Lister Brook, direktur klinis di National Autistic Society. Kalau dibiarkan terus begini, tentu hajat hidup remaja perempuan autistik ada dalam bahaya; Indonesia tak aman lagi bagi mereka!

Beberapa bulan lalu, misalnya, tersiar sebuah berita bahwa seorang remaja perempuan autistik menjadi korban kekerasan seksual oleh tukang rongsok di kawasan Bantul (Kumparan.com, 5/4/2023, “Heboh Tukang Rongsok di Bantul Lecehkan Perempuan Berkebutuhan Khusus”). Berita lain yang kurang lebih sama, pada 2016, seorang remaja perempuan autistik dikabarkan telah mengalami kekerasan seksual di rumah sakit khusus penyandang penyakit kejiwaan di Sukabumi (Detik.com, 26/10/2016, “Bocah Penyandang Autis Diduga Jadi Korban Seksual di Sukabumi”).

Meski jumlah berita mengenai remaja perempuan autistik yang menjadi korban kekerasan seksual tidak sebanyak remaja non-disabilitas, riset menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh perempuan autistik merupakan korban kekerasan seksual, dua sampai tiga kali lebih besar daripada perempuan non-disabilitas. Prastiwi dkk (2016) pun mengatakan bahwa perempuan autistik memiliki risiko kekerasan seksual lebih besar dibanding dengan perempuan non-disabilitas. Dengan kata lain, jumlah remaja perempuan autistik yang mengalami kekerasan seksual lebih banyak daripada yang “kelihatannya”.

Tentu akan menjadi kesalahan yang sangat fatal bilamana kita mengabaikan fakta ini begitu saja. Masalahnya, korban remaja perempuan autistik berisiko tinggi mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), sebagaimana disebutkan dalam sebuah studi bahwa dua per tiga dari remaja perempuan autistik yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami PTSD. Sehingga, membiarkan kekerasan seksual pada remaja autistik terus berlanjut sama saja dengan “menyiksa” mereka tanpa henti. Indonesia tak ubahnya lorong yang gelap bagi remaja perempuan autistik.

Dari penjelasan tadi, akhirnya kita mengetahui kenapa diskursus mengenai kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik harus mendapat perhatian lebih dari kita. Terlebih jika benar kita berkomitmen penuh menciptakan Indonesia yang inklusif; menumpas kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik tidak boleh diganggu gugat!

Nah, untuk menumpas kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mengetahui kelindan autisme dan kekerasan seksual. Hal ini agar penanganan atau bahkan pencegahan yang dilakukan bisa tepat sasaran. Sehingga, diskursus mengenai remaja perempuan autistik tidak berjalan sia-sia.

Untuk mengetahui kelindan autisme dan kekerasan seksual, kita bisa memulainya dengan memahami dulu apa yang dimaksud dengan autisme. Dengan demikian, nantinya kita bisa mengetahui kenapa mereka lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan dengan remaja perempuan non-disabilitas.

Kelindan autisme dan kekerasan seksual

Autisme sendiri merupakan disabilitas perkembangan saraf yang menghambat individunya dalam berbagai aspek, mulai dari sulitnya berinteraksi sampai pada memahami konteks sosial. Hambatan-hambatan ini tentunya memengaruhi remaja perempuan autistik dalam menghadapi situasi yang berbahaya seperti kejadian kekerasan seksual; mereka jadi rentan menjadi korban kekerasan seksual.

Penjelasannya begini; secara biologis, remaja perempuan autistik memiliki semacam otak transmisi manual, yang membuat mereka tidak mampu membaca situasi sosial yang bersifat ‘intuitif’ seperti peristiwa kekerasan seksual, berbeda dengan remaja perempuan non-disabilitas yang mampu memahami tanda-tanda akan terjadinya kekerasan seksual secara natural. Oleh karena ketidakmampuan ini, otak remaja perempuan autistik akan merekam semua kejadian yang mereka alami sebagai sesuatu yang positif, sekalipun itu adalah kekerasan seksual. Sehingga, ketika dihadapkan dengan kekerasan seksual berikutnya, mereka akan berpotensi menjadi korban lagi. Baik dengan pelaku yang sama ataupun tidak. Sudah seperti lingkaran setan.

Faktor penolakan sosial yang dialami remaja perempuan autistik pun turut memperparah ini. Mereka akan semakin sulit mengidentifikasi suatu kejadian kekerasan seksual akibat tidak bisa memahami apa yang ada di balik sikap ramah si pelaku, karena sudah terbiasa ditolak di lingkungannya sehingga tidak dapat mempelajari konteks sosial dengan baik.

Hal ini tentunya berpotensi dimanfaatkan pelaku kekerasan seksual. Mereka akan menggunakan sifat manipulatif dan oportunisnya untuk mengontrol sikap remaja perempuan autistik dalam memandang kejadian kekerasan seksual yang menimpa diri remaja perempuan autistik. Tidak mustahil mereka akan mengatakan bahwa remaja perempuan autistik hanya berkhayal dan bersenda gurau tentang kejadian tersebut. Sehingga pada akhirnya remaja perempuan autistik akan meragukan dirinya sendiri, dan semakin rentan untuk mengalami kejadian yang sama di kemudian hari.

Bahkan, pelaku kekerasan seksual bisa saja ‘merekayasa’ kejadian kekerasan seksual. Oleh karena ketidakmampuan remaja perempuan autistik dalam mencerna keadaan, pelaku kekerasan seksual akan memanfaatkannya untuk memanipulasi pengakuan ketika diinterogasi oleh pihak berwajib. Sehingga, semakin sulit untuk mengatasi kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik.

Perlunya dukungan yang terstruktur dan komprehensif

Dari penjelasan mengenai kelindan autisme dan kekerasan seksual tadi, akhirnya kita bisa mengetahui solusi apa yang mesti diberikan untuk penanganan dan bahkan pencegahan kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik. Dalam hal ini, penanganan dan pencegahan yang bisa diberikan adalah dukungan terstruktur dan komprehensif pada remaja perempuan autistik, sehingga masalah kekerasan seksual yang menimpa diri mereka bisa diberantas sampai habis bahkan dicegah kemunculannya.

Seperti katakanlah, langkah bisa dimulai dari penanganan kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik terlebih dulu, baru setelah itu pencegahan. Harapannya, langkah-langkah yang diambil bisa membantu menuntaskan persoalan kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik secara terstruktur dan sistematis. Dengan demikian, masalah akan tuntas dari hulu sampai ke hilirnya.

Nah, untuk tahap penanganan, bisa dimulai dengan mendorong pihak kepolisian untuk memperkuat hulu ke hilir dari penanganan kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik, seperti misal memberikan layanan konseling kepada remaja perempuan autistik sampai kasus kekerasan seksual yang menimpa mereka terselesaikan dengan baik. Yang tentunya dibantu psikolog dan dokter spesialis saraf agar remaja perempuan autistik dapat terbantu dalam menyampaikan keluhannya kepada pihak kepolisian. Sehingga, penanggulangan kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik dapat teratasi dengan baik.

Tidak hanya itu, kolaborasi juga bisa dilakukan dengan pihak sekolah dalam menanggulangi kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik, terutama jika kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan sekolah. Dalam hal ini, sekolah dapat membentuk semacam “Disability Center” untuk memberikan ‘perlindungan’ kepada remaja perempuan autistik yang telah menjadi korban kekerasan seksual (Sari dkk, 2016). Sehingga, mereka jadi tahu harus ‘ke mana’ jika mengalami kekerasan seksual dan ingin mendapatkan perlindungan yang aman. Orang tua pun jadi mendapatkan informasi bahwa anaknya sudah pernah menjadi korban seksual, dan bisa meneruskan laporannya ke pihak berwajib.

Selain mendirikan “Disability Center”, pihak sekolah juga bisa berinisiatif mengimplementasikan sistem pertemanan yang terdiri dari remaja perempuan autistik dan remaja non-disabilitas (Muller, 2022). Studi sudah menunjukkan bahwa remaja perempuan autistik memiliki pengetahuan kekerasan seksual yang minim karena tidak memiliki lingkaran pertemanan untuk mendiskusikannya. Karena itu, sistem pertemanan akan menjadi solusi yang efektif untuk remaja perempuan autistik membicarakan pengalaman seksualitasnya dengan teman sebayanya. Sehingga, mereka nanti jadi tahu kalau yang mereka alami itu kekerasan seksual atau bukan, bahkan mengetahui apa solusi yang mesti mereka lakukan — bisa diteruskan langsung ke “Disability Center” atau pihak kepolisian.

Sementara untuk tahap pencegahan, pihak sekolah (dengan persetujuan orang tua, tentunya) bisa memberikan pendidikan seksualitas pada remaja perempuan autistik melalui mata pelajaran biologi. Tujuan dari pendidikan seksualitas ini tak lain dan tak bukan agar remaja perempuan autistik bisa memahami dan membedakan mana yang merupakan kekerasan seksual dan mana yang bukan. Ini merupakan metode pencegahan yang paling efektif karena remaja perempuan autistik lebih mudah menerima materi tentang pendidikan seksualitas bila diajarkan pada lingkungan yang lebih terstruktur dan mudah diprediksi seperti sekolah.

Untuk metode pembelajarannya sendiri seperti apa, dibebaskan sesuai dengan kondisi dari masing-masing remaja perempuan autistik, mengingat setiap remaja perempuan autistik memiliki hambatan yang beda-beda. Tidak bisa dipaksakan sama karena takutnya pembelajaran malah tidak berjalan efektif sesuai dengan yang direncanakan.

Bentuk pencegahan lainnya, bisa dilakukan dengan memberikan sosialisasi, edukasi, dan informasi kepada masyarakat umum terutama remaja perempuan autistik mengenai kekerasan seksual yang menimpa mereka, dan perlindungan apa yang bisa mereka dapatkan. Hal ini agar diskursus mengenai kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik tidak hanya berhenti di kita, dan bisa menjadi concern bersama agar semua tahu kalau remaja perempuan autistik di Indonesia belum aman dari kekerasan seksual yang mengintai diri mereka.

Belum sampai di situ, agar penanganan dan pencegahan bisa sampai ke akar-akarnya, alangkah baiknya kita juga mempertimbangkan soal hukum yang berlaku terkait kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik. Walau memang perlindungan hukum terhadap perempuan disabilitas korban seksual sudah diatur dalam Pasal 5 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, serta Undang-Undang Perlindungan Anak, akan lebih baik jika Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan, dan tentunya sudah mempertimbangkan akan kemungkinan kekerasan seksual yang menimpa remaja perempuan autistik.

Pemerintah juga perlu berkomitmen penuh dalam memastikan berjalan tidaknya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik, supaya tidak hanya sekadar wacana yang tidak terealisasikan. Pemerintah harus terus aktif sebagai pihak yang menentang keras adanya kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik, dan memastikan penanganan dan pencegahan terjadi secara berkelanjutan. Sehingga, remaja perempuan autistik bisa mendapatkan ruang yang aman di Indonesia.

Diskursus mengenai kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik bukanlah sesuatu yang eksklusif yang hanya boleh dipikirkan oleh segelintir orang. Kita seyogyanya menaruh perhatian lebih pada isu ini demi mewujudkan Indonesia yang aman dan ramah bagi remaja perempuan autistik.

Menumpas kekerasan seksual pada remaja perempuan autistik tidak boleh diganggu gugat, dan harus dilakukan secara sinergis dan holistik. Dengan demikian, remaja perempuan autistik akan menutup episode senja mereka dengan senyum yang lembut nan menawan.