Sampai Tak Ada Lagi Ikan untuk Melempar Umpan
Sewaktu kecil, saya sering bersama teman-teman di kampung halaman pergi ke sawah; memungut sisa-sisa panen bawang merah, menangkap kadal rumput di rimbunan semak dan putri malu, lantas sesekali singgah di pinggir kali. Di kali-kali kecil itulah kami sering memancing, terkadang menangkap ikan dengan merogoh lubang ketika kemarau tiba, atau mandi telanjang di aliran segarnya.
Di sungai-sungai desa bahkan saluran irigasi saat itu, masih melimpah ikan-ikan beragam jenis. Ada ikan gabus, wader pari, wader cakul, uceng, hingga lele lokal. Sedihnya, di masa kini, hal semacam itu adalah sebuah kemewahan. Kekeringan kerap melanda, menyisakan sungai-sungai yang kebak sampah dan tak layak untuk mencelupkan demi badan mengusir gerah.
Runtah-nya warna-warni, berserakan mulai dari plastik, kain, hingga pembalut. Tak jarang busa kusam dan warna air yang pekat semakin memberi kesan ngeri ke mata kami. Dan ikan-ikan pun entah ke mana pergi. Lebih parahnya, panorama semacam itu dialami secara hampir merata oleh sungai-sungai kita di penjuru Tanah Air.
Di tiga sungai besar di Jawa, misalnya, semuanya mengalami sakit kronis. Penurunan populasi ikan terjadi secara eksponensial. Dalam kurun 30 tahun terakhir, Sungai Bengawan Solo kehilangan sekitar 20 jenis ikan; sementara Sungai Brantas ditinggalkan 35 jenis ikan untuk selamanya (Ecoton, 2021). Survei lawas pun telah merekam kegetiran yang sama: populasi ikan Sungai Cisadane merosot drastis dari 150 jenis ikan (1910) menjadi kurang dari 50 jenis saja (2010)—dan kini angka tersebut semakin menyusut.
Dalam laporan global terkini pun, ada kenyataan pahit yang mesti kita telan: ikan air tawar yang bermigrasi anjlok sebanyak 81% dalam kurun 1970-2020 (Living Planet Index, 2024). Dan ini belum termasuk ikan-ikan di laut yang kini banyak terpapar limbah logam berat dan paparan aktivitas tambang.
Belum selesai di situ. Dari angka yang menyusut itu pun, ikan-ikan kita terkontaminasi oleh mikroplastik sehingga berbahaya jika dikonsumsi. Ikan-ikan tersebut, akibat mengonsumsi mikroplastik, banyak yang mengalami interseks. Banyak ikan pejantan yang beralih jenis kelamin menjadi betina sehingga mengacaukan keseimbangan ekosistem. Sistem hormon manusia juga dapat terganggu jika mengonsumsi ikan yang terkontaminasi mikroplastik. Ia juga dapat menimbulkan iritasi saluran pencernaan hingga memperbesar risiko kanker.
Di titik inilah, sebagai contoh, mata-rantai bencana ekologis menyentuh langsung ke ujung hidung kita, merasuk ke sistem pencernaan kita. “Sudah mah sungai-sungai kotor, mancing semakin sulit, ikan-ikan raib, begitu dapat dan ingin dimakan, eh malah kena penyakit!” Begitu kira-kira kalau saya boleh mengeluh.
Dulu, di tahun 1960-an Rachel Carson bertanya, “ke mana burung-burung pergi di musim semi?” lewat karyanya The Silent Spring (1962). Satu dekade mendatang, Christopher D. Stone pada tahun 1970-an ikut bertanya seraya menggugat, “bisakah pohon-pohon membela diri mereka sendiri di depan hukum?” dalam esai panjangnya Should Trees Have Standing? (1972). Kini, saya ingin bertanya sedikit nyolot, “ke mana perginya ikan-ikan mahseer, baung, sili, hingga wader pari?!”
Kita mengaku sebagai pemimpin sekaligus pengayom di muka bumi, namun kenyataannya perilaku kita lebih sinkron sebagai pencemar dan perusak. Bahkan ikan sekecil wader pari pun sudah terancam punah, dan masih saja kita setrum, kita racuni, dan rumah-rumah mereka kita tumpahi segunung sampah. Dan mungkin pula karena Jokowi hanya mengajarkan anak-anak untuk menghafal nama-nama ikan, bukan melestarikannya.
Lalu, lingkaran ironi pun bergulung-gulung. Melahirkan efek domino yang tidak dapat dianggap remeh. Para pemancing yang kesulitan mendapat hiburan sebagai obat penat, bisa merembet ke pertengkaran, KDRT, hingga perceraian. Tak aneh bila angka fatherless makin melesat (mengingat para pemancing mayoritas laki-laki). Itu baru dalam satu kategori kecil yang sangat partikular.
Belum jika merambah kehidupan nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan ikan, baik air tawar maupun laut. Mereka melaut melawan angin asin, kaki menapak di perahu yang tergoncang ombak, sementara tangan mereka kebas menariki tali dan kail yang ternyata kosong dan sepi.
Para nelayan pulang dengan wajah legam nan lesu, tak kuasa menatap istri dan anak yang sudah menanak beras sisa dan parutan kelapa. Mereka menanti lauk dari bapaknya. Namun yang diharapkan hanya bisa berbagi napas.
Kini mari kembali ke dunia terdekat kita. Saya paham bahwa pembaca tulisan ini pasti (sebagian besar) bukan nelayan. Juga mungkin bukan pemancing. Dengan begitu, sulit untuk benar-benar merasakan betapa lelah bin frustrasinya ketika dirimu berjam-jam, atau bahkan berhari-hari, diguyur terik mentari dan cipratan ombak yang membuatmu mencari pegangan sembari mual, sementara ikan-ikan yang kalian dambakan sama sekali tiada yang naik ke perahu.
Saya mengerti, bahwa mayoritas kita kini adalah generasi yang chronically digital. Orang-orang yang melakukan ritual yang dulu terbalik: dahulu, dunia digital adalah pelarian dari dunia nyata, sementara kini dunia nyata menjadi pelarian dari dunia digital yang semakin lengket membekap kita. Dan, bagi siapa pun yang masih berakal waras, pelarian ke sungai dan laut yang jorok tanpa ikan mustahil termasuk ke dalam daftar tempat di “dunia nyata” yang ingin mereka datangi.
Dan itulah yang kita alami sebagai generasi hari ini, di negeri ini. Bagaimana dengan generasi mendatang? Jangan-jangan, nanti bukan hanya tidak bisa mencicipi rasa gurih nikmatnya ikan wader kali; mereka boleh jadi tak pernah bisa menyentuh dan mengamatinya secara langsung bagaimana wujud ikan bernama “wader”. Barangkali, mereka cuma bisa menengoknya di buku-buku ensiklopedia bergambar—yang kini tergantikan oleh Google dan ChatGPT.
Maka, para nelayan dan pemancing pun memaki lemas—dengan nada fatalisme penuh frustrasi senyap: Rusaklah, rusak sudah! Rusaklah sungai-sungai dan laut-laut kami, sampai tak ada lagi ikan untuk melempar umpan, apalagi untuk dimakan. Dan saya ikut di barisan mereka.[]










