Sampai Tak Ada Lagi Ikan untuk Melempar Umpan

Sewaktu kecil, saya sering bersama teman-teman di kampung halaman pergi ke sawah; memungut sisa-sisa panen bawang merah, menangkap kadal rumput di rimbunan semak dan putri malu, lantas sesekali singgah di pinggir kali. Di kali-kali kecil itulah kami sering memancing, terkadang menangkap ikan dengan merogoh lubang ketika kemarau tiba, atau mandi telanjang di aliran segarnya.

Di sungai-sungai desa bahkan saluran irigasi saat itu, masih melimpah ikan-ikan beragam jenis. Ada ikan gabus, wader pari, wader cakul, uceng, hingga lele lokal. Sedihnya, di masa kini, hal semacam itu adalah sebuah kemewahan. Kekeringan kerap melanda, menyisakan sungai-sungai yang kebak sampah dan tak layak untuk mencelupkan demi badan mengusir gerah.

Runtah-nya warna-warni, berserakan mulai dari plastik, kain, hingga pembalut. Tak jarang busa kusam dan warna air yang pekat semakin memberi kesan ngeri ke mata kami. Dan ikan-ikan pun entah ke mana pergi. Lebih parahnya, panorama semacam itu dialami secara hampir merata oleh sungai-sungai kita di penjuru Tanah Air.

Di tiga sungai besar di Jawa, misalnya, semuanya mengalami sakit kronis. Penurunan populasi ikan terjadi secara eksponensial. Dalam kurun 30 tahun terakhir, Sungai Bengawan Solo kehilangan sekitar 20 jenis ikan; sementara Sungai Brantas ditinggalkan 35 jenis ikan untuk selamanya (Ecoton, 2021). Survei lawas pun telah merekam kegetiran yang sama: populasi ikan Sungai Cisadane merosot drastis dari 150 jenis ikan (1910) menjadi kurang dari 50 jenis saja (2010)—dan kini angka tersebut semakin menyusut.

Dalam laporan global terkini pun, ada kenyataan pahit yang mesti kita telan: ikan air tawar yang bermigrasi anjlok sebanyak 81% dalam kurun 1970-2020 (Living Planet Index, 2024). Dan ini belum termasuk ikan-ikan di laut yang kini banyak terpapar limbah logam berat dan paparan aktivitas tambang.

Belum selesai di situ. Dari angka yang menyusut itu pun, ikan-ikan kita terkontaminasi oleh mikroplastik sehingga berbahaya jika dikonsumsi. Ikan-ikan tersebut, akibat mengonsumsi mikroplastik, banyak yang mengalami interseks. Banyak ikan pejantan yang beralih jenis kelamin menjadi betina sehingga mengacaukan keseimbangan ekosistem. Sistem hormon manusia juga dapat terganggu jika mengonsumsi ikan yang terkontaminasi mikroplastik. Ia juga dapat menimbulkan iritasi saluran pencernaan hingga memperbesar risiko kanker.

Di titik inilah, sebagai contoh, mata-rantai bencana ekologis menyentuh langsung ke ujung hidung kita, merasuk ke sistem pencernaan kita. “Sudah mah sungai-sungai kotor, mancing semakin sulit, ikan-ikan raib, begitu dapat dan ingin dimakan, eh malah kena penyakit!” Begitu kira-kira kalau saya boleh mengeluh.

Dulu, di tahun 1960-an Rachel Carson bertanya, “ke mana burung-burung pergi di musim semi?” lewat karyanya The Silent Spring (1962). Satu dekade mendatang, Christopher D. Stone pada tahun 1970-an ikut bertanya seraya menggugat, “bisakah pohon-pohon membela diri mereka sendiri di depan hukum?” dalam esai panjangnya Should Trees Have Standing? (1972). Kini, saya ingin bertanya sedikit nyolot, “ke mana perginya ikan-ikan mahseer, baung, sili, hingga wader pari?!”

Kita mengaku sebagai pemimpin sekaligus pengayom di muka bumi, namun kenyataannya perilaku kita lebih sinkron sebagai pencemar dan perusak. Bahkan ikan sekecil wader pari pun sudah terancam punah, dan masih saja kita setrum, kita racuni, dan rumah-rumah mereka kita tumpahi segunung sampah. Dan mungkin pula karena Jokowi hanya mengajarkan anak-anak untuk menghafal nama-nama ikan, bukan melestarikannya.

Lalu, lingkaran ironi pun bergulung-gulung. Melahirkan efek domino yang tidak dapat dianggap remeh. Para pemancing yang kesulitan mendapat hiburan sebagai obat penat, bisa merembet ke pertengkaran, KDRT, hingga perceraian. Tak aneh bila angka fatherless makin melesat (mengingat para pemancing mayoritas laki-laki). Itu baru dalam satu kategori kecil yang sangat partikular.

Belum jika merambah kehidupan nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan ikan, baik air tawar maupun laut. Mereka melaut melawan angin asin, kaki menapak di perahu yang tergoncang ombak, sementara tangan mereka kebas menariki tali dan kail yang ternyata kosong dan sepi.

Para nelayan pulang dengan wajah legam nan lesu, tak kuasa menatap istri dan anak yang sudah menanak beras sisa dan parutan kelapa. Mereka menanti lauk dari bapaknya. Namun yang diharapkan hanya bisa berbagi napas.

Kini mari kembali ke dunia terdekat kita. Saya paham bahwa pembaca tulisan ini pasti (sebagian besar) bukan nelayan. Juga mungkin bukan pemancing. Dengan begitu, sulit untuk benar-benar merasakan betapa lelah bin frustrasinya ketika dirimu berjam-jam, atau bahkan berhari-hari, diguyur terik mentari dan cipratan ombak yang membuatmu mencari pegangan sembari mual, sementara ikan-ikan yang kalian dambakan sama sekali tiada yang naik ke perahu.

Saya mengerti, bahwa mayoritas kita kini adalah generasi yang chronically digital. Orang-orang yang melakukan ritual yang dulu terbalik: dahulu, dunia digital adalah pelarian dari dunia nyata, sementara kini dunia nyata menjadi pelarian dari dunia digital yang semakin lengket membekap kita. Dan, bagi siapa pun yang masih berakal waras, pelarian ke sungai dan laut yang jorok tanpa ikan mustahil termasuk ke dalam daftar tempat di “dunia nyata” yang ingin mereka datangi.

Dan itulah yang kita alami sebagai generasi hari ini, di negeri ini. Bagaimana dengan generasi mendatang? Jangan-jangan, nanti bukan hanya tidak bisa mencicipi rasa gurih nikmatnya ikan wader kali; mereka boleh jadi tak pernah bisa menyentuh dan mengamatinya secara langsung bagaimana wujud ikan bernama “wader”. Barangkali, mereka cuma bisa menengoknya di buku-buku ensiklopedia bergambar—yang kini tergantikan oleh Google dan ChatGPT.

Maka, para nelayan dan pemancing pun memaki lemas—dengan nada fatalisme penuh frustrasi senyap: Rusaklah, rusak sudah! Rusaklah sungai-sungai dan laut-laut kami, sampai tak ada lagi ikan untuk melempar umpan, apalagi untuk dimakan. Dan saya ikut di barisan mereka.[]

Ironi di Balik Kemewahan Tas Branded dan Hak Hidup Hewan

Menenteng sebuah tas berharga miliaran rupiah dengan merampas hak hidup hewan sebagai penyedia kulit tas tersebut merupakan bentuk arogansi manusia terhadap binatang yang paling memuakkan. Memang betul bahwa hewan tercipta untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti daging dan susunya untuk kita konsumsi sehari-hari. Dari situ pun sebenarnya industri makanan dan minuman sekarang sudah semakin mengeksploitasi hewan.

Tetapi, menyiksa hewan untuk mendapatkan kulitnya lalu dijual hanya kepada segelintir orang sungguh di luar nalar. Yang semakin membuat miris adalah kesan eksklusif hingga label status sosial tertentu bagi mereka yang sanggup membeli tas tersebut. Beberapa produsen tas branded tersebut bahkan sukses mempertahankan reputasinya selama puluhan tahun sehingga mempunyai pangsa pasar yang tidak pernah padam.

Tanpa bermaksud mengindahkan aspek estetik dan kreativitas di balik setiap produk tas tersebut, marilah sejenak melirik dari sisi kepekaan kita melalui bahan dasar di balik tas itu. Salah satu aspek yang membuat tas seperti ini berharga fantastis adalah kualitas kulit yang dipilih.

People for the Ethical Treatment of Animals (PETA), organisasi global yang berfokus pada hewan, pernah menurunkan artikel terkait dugaan dan fakta eksploitasi beberapa jenis binatang. Brand pertama adalah Christian Louboutin. PETA menyebut brand ini menyembelih anak sapi untuk memperoleh bahan baku hak sepatu yang dijual untuk publik.

Ada pula Gucci Marmont, jenis tas kulit yang juga mayoritasnya terbuat dari kulit anak sapi. Brand Gucci sendiri tidak pernah menyebut penderitaan yang harus dialami hewan saat pengrajin mengambil kulit dari daging anak sapi tersebut.

Ada pula jenis produk lain dari Gucci yang terbuat dari kulit eksotis. Investigasi PETA Asia menduga ada rumah penyembelihan hewan di Indonesia yang memasok kadal untuk Gucci. Masalahnya adalah ada dugaan kaki kadal ini diikat, dilempar ke sana kemari, dan dipenggal dalam kondisi masih sadar. Lalu, kulit mereka dipakai untuk membuat dompet, ikat pinggang, dan tas kecil Gucci.

Tidak jarang pula brand mewah memilih kulit hewan langka, seperti ular dan burung onta, agar memperoleh kulit eksotis dengan harga lebih tinggi. Sepertinya semakin jarang kulit hewan ditemukan, semakin tinggi nilai jual produknya.

Brand mewah tersebut lazimnya menampik berita seperti dari PETA di atas dengan menyebut proses yang etis. Mereka mengatakan telah memperlakukan hewan dengan cara manusiawi. Tetapi, pernyataan tersebut rasanya tidak sebanding dengan pelanggaran hak asasi hewan yang telah mereka lakukan, terlebih menawarkannya ke konsumen dengan embel-embel “prestise.”

Derita Hewan yang Tiada Habisnya untuk Gengsi Manusia

Terdapat fakta menarik mengenai penjualan produk fashion dan kulit mewah hingga semester pertama 2024. Secara global, produk tersebut turun sekitar 1% dibandingkan penjualan selama periode yang sama untuk 2023. Faktor penyebabnya adalah kondisi ekonomi yang kurang baik. Kurangnya bonus akhir tahun dan pemutusan hubungan kerja turut menyebabkan turunnya penjualan barang mewah. Di sisi lain, produsen barang mewah meningkatkan harga produk akibat imbas inflasi.

Tetapi, uniknya, produsen yang sudah besar, seperti Louis Vuitton dan Hermès, tetap menikmati penjualan yang bagus. Tas klasik legendaris, seperti Louis Vuitton Speedy dan Neverfull serta Hermès Kelly dan Birkin, tetap diburu pembeli. Bahkan di media sosial nasional, terdapat akun yang menyewakan atau menjual produk tersebut dalam kondisi sudah pernah dipakai sebelumnya.

Kondisi tersebut mempertegas opini yang berkembang di kalangan konsumen produk mewah bahwa mereka membelinya sebagai instrumen investasi. Dengan kata lain, nilai jual produk itu tetap mahal meski sebagai produk bekas pakai hingga sebagai produk sewaan. Pasar barang mewah tetap hidup sebagai efek dari magnet kata “gengsi”.

Rata-rata konsumen produk ini adalah kaum menengah ke atas atau sosialita dengan persentase kecil di masyarakat Indonesia. Mulai dari membawa tas mewah untuk sekadar arisan hingga mengesankan calon klien, produk mewah memang tidak hanya pemanis melainkan alat penglaris. Seolah mendengar merk LV, Prada, atau Hermès, si empunya merupakan warga “di atas rata-rata”.

Mereka adalah orang berada, mempunyai nilai seni tinggi atau istilah sekarang, berdarah old money. Pada akhirnya, mereka membentuk lingkaran sosial sendiri yang sulit ditembus oleh mereka yang tidak mempunyai tas atau sepatu mewah sebagai “syarat masuk ke lingkaran tersebut”.

Dunia mereka seperti alam tidak kasat mata yang berpengaruh secara senyap. Keberadaan mereka membentuk kasta sosial super atas yang eksis di atas tangisan sapi, ular, atau burung onta. Selama bertahun-tahun, sisi kesombongan manusia tetaplah menang. Ekonomi tetap menjadi penggerak sendi kehidupan yang utama. Hal ini memang benar dengan melihat sumbangsih produk mewah ke ekonomi nasional melalui pajak pertambahan nilai barang mewah dan penciptaan lapangan kerja.

Tulisan ini pun hadir tanpa menyanggah sisi positif tersebut. Tetapi jangan pernah lupakan efek samping menahun atas ini semua. Kesenjangan sosial yang semakin timpang dengan strata sosial berjenjang. Belum lagi, hak asasi hewan yang terus kita renggut tanpa merasa berdosa. Bahkan kita melakukannya ke hewan yang entah tinggal berapa sisa jumlahnya di muka bumi ini. Semoga peringatan 100 Tahun Hari Satwa Sedunia ini mengingatkan kita sudah separah apa nikmat hidup hewan yang kita ambil secara paksa demi memuaskan ego kita.

Manusia, Risiko, dan Hewan yang Terlupakan

Kita sedang hidup di masa ketika manusia merasa berdaulat penuh atas bumi. Kita menentukan siapa yang boleh hidup, siapa yang layak dimakan, dan siapa yang dianggap berharga. Hewan tidak lagi dipandang sebagai sesama makhluk hidup, melainkan sekadar komoditas dalam rantai produksi kapitalis yang berputar tanpa henti.

“Manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasanya.”

Kini kalimat itu terdengar bagai gema nostalgia, bagai suara samar di tengah dunia yang semakin kehilangan makna ekologisnya. Saat hutan dibabat demi ladang pakan ternak, saat udara dipenuhi jejak karbon dari daging yang kita santap, dan saat hewan-hewan kehilangan habitatnya demi ambisi kemajuan, kita seakan lupa bahwa mereka pun memiliki hak hidup yang sama.

Modernitas telah menciptakan risiko buatan manusia, yang melampaui batas waktu dan ruang. Dahulu kala, manusia menghadapi ancaman yang tak terhindarkan dari alam itu sendiri. Badai dahsyat menghancurkan permukiman, gempa bumi mengguncang bangunan hingga rata dengan tanah, dan banjir bandang menenggelamkan segala yang dilaluinya.

Kekuatan alam adalah penguasa mutlak, memaksa manusia untuk beradaptasi, berlindung, dan menerima takdir mereka. Hidup adalah perjuangan yang tak pernah usai melawan elemen-elemen yang tak terkendali ini, membentuk masyarakat yang menghormati dan terkadang takut akan kekuatan alam.

Namun, seiring berjalannya waktu, lanskap ancaman telah berubah secara drastis. Ironisnya, kini ancaman terbesar justru berasal dari sistem yang kita bangun sendiri, dari inovasi dan kemajuan yang seharusnya meningkatkan kualitas hidup. Industri-industri besar, dengan ambisi yang hanya berfokus pada keuntungan, telah mengubah ekosistem, mencemari udara dan air, serta mengeksploitasi sumber daya hingga batasnya.

Ekonomi global, yang didorong oleh obsesi efisiensi tanpa memedulikan dampak sosial dan lingkungan, menciptakan kesenjangan yang makin lebar dan mendorong praktik-praktik yang merusak. Lebih jauh lagi, ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi mercusuar penerang dan penuntun kemajuan, sering kali berjalan tanpa kompas moral, menghasilkan teknologi yang berpotensi membahayakan atau digunakan untuk tujuan yang meragukan. Kita telah menciptakan jaring rumit berisi masalah yang kini menjerat kita sendiri, sebuah ironi pahit dari kemajuan yang kebablasan.

Industri pangan global adalah salah satu contohnya. Di balik sepotong daging, tersimpan kisah panjang: deforestasi demi ladang pakan, emisi metana dari ternak, eksploitasi tenaga kerja, hingga penderitaan hewan yang dijadikan mesin hidup. Semua dilakukan demi memenuhi selera manusia modern yang merasa berhak atas segalanya.

Polusi dari peternakan di satu negara dapat mempercepat pemanasan global yang meluluhlantakkan ekosistem di negara lain. Risiko menjadi demokratis dalam dampaknya, meski tetap elitis dalam penyebabnya.

Berkaca dari pemikiran Karl Marx, kapitalisme membuat ada jurang (keretakan metabolik) antara manusia dan alam. Manusia terus mengambil dari bumi tanpa pernah benar-benar mengembalikannya. Produksi dijalankan bukan untuk menjaga keberlanjutan, tapi hanya demi keuntungan.

Sekarang, keretakan itu juga terlihat dalam hubungan manusia dengan hewan. Hewan tidak lagi dipandang sebagai sesama makhluk hidup, tetapi hanyalah sekadar barang produksi. Sapi dihitung sebagai potongan daging, ayam sebagai kode produksi, dan ikan sebagai stok industri. Hubungan sosial kita berubah menjadi sekadar hubungan ekonomi.

Dari sinilah muncul risiko yang paling sunyi yaitu, risiko moral. Kita tahu bahwa industri daging merusak bumi, tetapi kita tetap membiarkannya karena lebih memilih kenyamanan daripada keberlanjutan. Kapitalisme akhirnya merusak alam sekaligus mematikan empati kita.

Jika dulu konflik manusia adalah soal siapa yang paling kaya, kini konflik itu bergeser menjadi siapa yang paling sedikit menanggung bencana. Para petani kecil kehilangan lahan akibat industri pangan global, masyarakat adat terusir dari hutan, sementara hewan yang tak memiliki suara untuk berkata-kata menjadi korban pertama dari rasionalitas produksi modern.

Ya, kemajuan yang kita banggakan ternyata melahirkan ancaman terhadap kehidupan itu sendiri. Teknologi, ekonomi, dan efisiensi yang dulunya dianggap penyelamat, justru menjadi penyebab bencana ekologis baru.

“Masyarakat modern menjadi korban dari logika yang diciptakannya sendiri.”

Manusia begitu percaya bahwa sains dan teknologi dapat menyelamatkan bumi. Padahal, keduanya kini justru menjadi sumber masalah baru. Lihatlah industri peternakan modern yang menciptakan hewan-hewan “super produktif”. Ayam akan tumbuh dua kali lebih cepat, sapi yang diubah genetiknya agar menghasilkan lebih banyak susu. Efisiensi menjadi agama baru, sementara keberlanjutan kehilangan tempat.

Kita perlu menyadari bahwa manusia hanyalah satu spesies di antara miliaran kehidupan lain yang menghuni bumi ini. Bahwa menyelamatkan hewan berarti memulihkan metabolisme alam dan memulihkan bumi berarti menyelamatkan diri kita sendiri. Kesadaran ini membawa implikasi besar. Setiap spesies, sekecil apa pun, memiliki peran unik dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Punahnya satu spesies dapat memicu efek domino yang merusak rantai kehidupan lainnya, mengganggu siklus nutrisi, penyerbukan, atau pengendalian hama alami.

Marx pernah menulis: “Manusia hidup dari alam; artinya, alam adalah tubuhnya.”

Ketika tubuh itu terluka, manusia pun turut merasakan sakitnya. Ketika hutan hilang, sungai kering, dan hewan punah, kehidupan manusia pun perlahan kehilangan penopangnya.

Maka, seruan “Save Animals, Save the Planet!” merupakan slogan moral, dan panggilan untuk mengubah arah modernitas dari logika produksi menuju logika kehidupan.

Perempuan yang Bersahabat dengan Simpanse: Warisan Cinta Jane Goodall untuk Dunia

Ibu konservasionis dunia ini telah mengajarkan bagaimana cara mencintai simpanse. Ia mencatat, mendengarkan, dan menjalin hubungan dengan cara yang paling manusiawi. Kepedulian itu terus membentuk cara baru dalam mendefinisikan ulang bagaimana berdampingan dengan makhluk lain.

Namanya Dame Jane Goodall. Lahir pada 1934 dan dibesarkan di London. Selama 91 tahun ia bekerja untuk proyek-proyek konservasi di seluruh dunia. Namanya melesat terkenal setelah meneliti tentang simpanse di Gombe Stream Game Reserve, Tanganyika (sekarang Tanzania). Tak tanggung-tanggung, deretan atribusi dilekatkan padanya: ahli primatologi, konservasionis, aktivis hewan, humanis, dan pendidik. Bahkan ia memperoleh gelar Dame Commander (DBE) dari Kerajaan Inggris Raya.

Awal dari Cinta pada Satwa

Sejarah mencintai simpanse adalah sejarah berbuku. Setelah membaca The Story of Dr. Doolittle dan Tarzan, Goodall jatuh hati pada satwa. Goodall terus berkenalan dengan orang-orang yang sama-sama mencintai simpanse. Tak khayal, ia bertemu dengan primatolog terkemuka, Profesor Louis Leakey. Pertemuan itu terjadi saat Goodall tinggal di peternakan milik teman Leakey di Kenya, ketika ia masih berusia dua puluhan tahun.

Saat itu, Profesor Louis Leakey melihat potensi Goodall. Meski ia belum memiliki kualifikasi keilmuan sebagai primatolog, Goodall memiliki kepekaan yang tinggi. Karena itu, ia dipercaya membantu penelitian Leakey di hutan-hutan Tanzania pada 1960 silam.

Penelitian lapangan ini mengantarkan Goodall menjadi orang pertama yang menemukan seekor simpanse jantan besar yang kemudian diberi nama David Greybeard. Goodall menunjukkan bahwa simpanse mirip seperti manusia: mereka dapat menggunakan alat, menggali rayap dari gundukan dengan tongkat, membentuk ikatan sosial, bahkan merasakan empati dan kesedihan–tidak hanya kepada sesamanya, tetapi juga kepada manusia.

Temuan-temuan itu diterbitkan di jurnal National Geographic. Atas penemuan tersebut, National Geographic Society Newsroom menilai Goodall sebagai sosok yang membawa begitu banyak cahaya bagi dunia. Bahkan pada tahun 1965, Goodall tampil di sampul depan majalah National Geographic.

Berkat temuan berharga itu, dunia akhirnya tahu bahwa simpanse memiliki kehidupan dengan jaringan sosial yang kompleks. Dunia mengetahui bahwa simpanse memiliki emosi, struktur sosial, ikatan keluarga yang kuat, dan bahkan terlibat dalam konflik memperebutkan wilayah.

Namun, temuan-temuan itu tidak datang dengan mudah. Goodall menghadapi berbagai rintangan berat, mulai dari kesulitan mendekati simpanse hingga kurangnya dukungan dari orang-orang terdekatnya. Ia juga pernah dicemooh oleh sesama ilmuwan pada saat itu.

Pada akhirnya, Goodall menemukan caranya sendiri untuk mendekati simpanse secara erat, hingga menyebut mereka sebagai “sahabat saya.” Hingga kini, hanya Goodall yang begitu lihai bermain dan hidup bersama simpanse. Karena itulah ia dipilih menjadi aktor dalam film dokumenter televisi besutan Orson Welles, dengan adegan bermain dan bergulat bersama bayi simpanse.

Pengamatan panjangnya yang terdokumentasikan dalam The Chimpanzees of Gombe: Patterns of Behavior (1986) mengubah cara berpikir manusia. Jika selama ini manusia merasa telah selesai dengan cara hidup “menjadi manusia” dan moralitasnya, ternyata ada spesies kera yang juga memiliki kehidupan serupa. Manusia bisa mencintai, merawat anak, dan berduka ketika kehilangan keluarga, begitu pula simpanse.

Dale Peterson, penulis biografi Goodall, menulis: “Dia adalah wanita yang mendefinisikan ulang manusia.” Jejak langkah Goodall dianggap para ilmuwan begitu kaya, baik secara sosial maupun emosional, antara manusia dan kera.

Dari Penelitian ke Perjuangan

Tak hanya berhenti di penelitian, Goodall juga menjadi seorang aktivis satwa. Ia melakukan konservasi dan kampanye untuk hak-hak hewan, terus bersuara di forum-forum global dengan tujuan yang satu: kebebasan hidup simpanse.

Goodall turun ke lapangan. Ia memimpin protes untuk membebaskan simpanse yang dipelihara di kebun binatang atau penangkaran. Ia juga menentang tindakan manusia yang merusak alam hingga memicu perubahan iklim dan menghancurkan habitat satwa. “Tentunya orang menginginkan masa depan untuk anak-anak mereka,” ujarnya.

Goodall tak pernah lelah. Ia mengaku tak tidur di ranjang empuknya selama lebih dari tiga minggu sejak 1986. Demi pelestarian simpanse, ia mendirikan Institut Jane Goodall pada 1977, sebuah yayasan yang berfungsi melindungi simpanse dan mendukung berbagai proyek yang memberi manfaat bagi hewan dan lingkungan di dunia.

Pada 2003, Dr. Goodall diangkat menjadi Dame dan menerima Medali Kebebasan Presiden AS.

Namun di saat dunia sangat membutuhkan dirinya, Goodall akhirnya pergi meninggalkan dunia. Semua manusia berduka atas kepulangannya. Banyak pihak memberikan penghormatan, mulai dari Duke dan Duchess of Sussex–Pangeran Harry dan Meghan–hingga aktor dan aktivis lingkungan Leonardo DiCaprio, mantan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, serta berbagai organisasi lingkungan seperti Greenpeace dan People for the Ethical Treatment of Animals (PETA).

“Dr. Jane Goodall DBE adalah seorang visioner kemanusiaan, ilmuwan, sahabat bagi planet ini, dan pahlawan sejati bagi dunia,” tulis mereka.

Di Indonesia, rasa kehilangan itu juga terasa. Harry Surjadi (mantan wartawan Kompas), Rahayu Oktaviani (pendiri Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara), dan Dr. Puji Rianti dari IPB, mengaku kehilangan panutan besar dalam dunia konservasi.

Simpanse itu Goodall, dan Goodall itu simpanse. Mereka menyatu dalam keabadian, satu jiwa yang saling memahami tanpa bahasa.

Warisan yang ditinggalkannya bukan hanya pengetahuan tentang perilaku primata, tetapi juga tentang cara memperlakukan data dengan hati, mencintai alam dengan empati, dan menjadi manusia yang lebih manusiawi.

Burung-Burung yang Tak Lagi Bertasbih di Langit Indonesia

Di Indonesia, burung masih menjadi masalah. Kita menganggap burung hanyalah peliharaan. Di pikiran manusia, burung adalah hiburan. Burung-burung ini diburu, dimasukkan ke sangkar, lalu disuruh berbunyi. Burung-burung itu dilatih berkicau untuk mengikuti perintah tuannya.

Dalam sejarah, kita mudah mengingat burung-burung yang diadu. Manusia berbondong-bondong mempertaruhkan burungnya untuk menjadi hewan nomor satu. Adu burung dimaksudkan sebagai “kompetisi” kicauan. Hari-hari terus mencipta penantian, berharap burung itu menjadi hewan “tersakti” di dunia. Dan manusia mendapat upah dari kemenangannya.

Burung yang Disangkar, Alam yang Dilupakan

Jadi, manusia menganggap burung hanyalah hewan. Bukan makhluk yang sama dengannya, apalagi sahabatnya. Manusia sering omong besar tentang kemanusiaan, tetapi ketika berhadapan dengan burung, ia lupa pada kehidupan baik hewan.

Karena burung dianggap bukan makhluk yang sejajar, maka ia hanya menjadi hiburan dan pelengkap hidup manusia. Bahkan beragam burung yang menawan kini terancam punah. Kekayaan Indonesia akan ragam hayati terus merosot karena keserakahan manusia: diburu, diperdagangkan secara ilegal, dan akhirnya kehilangan habitatnya.

Pemerintah juga lupa melindungi konservasi dan pengelolaan burung. Regulasi perlindungan spesies burung sekadar basa-basi. Tak ada program bermutu dalam konservasi, seperti pelepasliaran burung dan perlindungan habitat.

Perihal ini, kita bisa membaca berita tentang pencabutan status lima jenis burung dari daftar satwa dilindungi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK Nomor 92 Tahun 2018). Lima jenis burung yang dikeluarkan dari daftar dilindungi sesuai Permen LHK Nomor 92 Tahun 2018 antara lain: cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), jalak suren (Gracupica jalla), kucica hutan atau murai batu (Kittacincla malabarica), anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha), dan anis-bentet sangihe (Coracornis sanghirensis).

Kajian Ilmiah yang Diabaikan

Kita melihat hal-hal aneh bin ajaib dari kebijakan Peraturan Menteri LHK No. 20 Tahun 2018 ini. Alasannya, satwa yang tidak dimasukkan dalam daftar dilindungi karena dianggap banyak ditangkarkan, dipelihara untuk kepentingan hobi, dan mendukung kehidupan masyarakat melalui lomba atau kontes.

Pemerintah menghimpun seribu alasan bombastis tapi cacat nalar. Alasan-alasan itu justru pantas disambut dengan debat, gugatan, dan cibiran. Namun, pihak pemerintah tetap menganggap kebijakan ini “niscaya” saat orang-orang menuduhnya “cacat logika” dan “sembrono.”

Untuk kebijakan ngawur ini, kita lekas melihat protes dari anggota Forum Konservasi Burung Indonesia (FKBI), Rosek Nursahid. Ia menuding pencabutan status dilindungi menjadi tidak dilindungi dilakukan untuk memenuhi desakan kelompok penggemar dan pebisnis burung berkicau, bukan melalui kajian ilmiah dan tanpa mengevaluasi populasinya yang sangat sedikit di alam.

Kita sulit melihat kebijakan yang baik, tapi sering mendengar kebijakan ngawur terus disetor pemerintah. Pemerintah terus menjadi sumber panen masalah dan cemooh atas kebijakan yang tak masuk akal.

Pemerintah dianggap menentukan nasib hewan di dunia. Tapi kita pantas menyesalkan dan menaruh curiga: “Ya, kami sangat menyesalkan hal tersebut, karena pencabutan (status dilindungi) itu kami nilai tanpa kajian ilmiah yang matang, dan hanya berdasarkan desakan dari kelompok kecil masyarakat yang bergelut di bidang bisnis jual-beli burung. Seharusnya pencabutan atau penurunan status itu melalui proses-proses ilmiah yang jelas, ada rekomendasi dari LIPI, kemudian dikaji. Tapi ini hanya dalam waktu singkat, dua bulan, LIPI pun tidak merekomendasikan—tiba-tiba dibatalkan,” kata Rosek Nursahid.

Kajian ilmiah itu kunci. Namun, kita perlahan tak lagi memikirkan kajian ilmiah, tapi lekas bertindak sesuai nafsu kepentingan. Padahal, di situ ada burung yang patut dijaga agar dunia tak merana. Burung cucak rawa, jalak suren, kucica hutan, bentet kecil, dan bentet sangihe jauh lebih indah ketimbang uang hasil bisnis haram-ilegal yang berakibat pada kepunahan.

Kekhawatiran aktivis lingkungan sangat masuk akal. Di tengah janji-janji indah soal satwa liar, kita melihat fakta bahwa Indonesia tidak berpihak pada hewan dan lingkungan. Untuk hewan, kebijakannya dilucuti; untuk lingkungan, tanahnya terus dikeruk sampai habitatnya mati.

Kini, kita berada di Indonesia untuk melihat burung berkicau, untuk menyaksikan sayap-sayap melepaskan diri dengan sempurna, untuk melihat mereka beterbangan tanpa takut diburu hina. Tapi pemerintah membatalkan itu semua dengan kebijakan-kebijakan yang munafik. Para penghobi burung dan pelaku perdagangan burung berkicau terus diladeni, sementara upaya mengembangbiakkan burung-burung itu justru dibatasi.

Tanggung Jawab Manusia atas Alam

Kepunahan spesies burung ada di depan mata. Di tengah upaya konservasi yang tak pasti, keindahan bulu dan ekor burung yang memukau—simbol kemegahan alam Indonesia—akan mati. Bulunya yang menawan bisa jadi hanya tersisa sebagai kisah suci. Segala anggapan itu sudah seharusnya kita perbaiki. Kita perlu bertobat agar kebaikan-kebaikan dunia terus terasa sambil menengok kitab suci.

Al-Qur’an menulis: “Tidakkah kamu tahu bahwa kepada Allah bertasbih siapa yang di langit dan di bumi, dan juga burung dengan mengembangkan sayapnya? Masing-masing telah mengetahui cara shalat dan tasbihnya…” (QS. An-Nur [24]: 41).

Ayat ini menunjukkan bahwa hewan memiliki kesadaran spiritual dalam bentuk yang hanya Allah yang memahaminya. Dengan demikian, mereka bukan makhluk tanpa ruh, tetapi bagian dari ibadah semesta kepada Sang Pencipta. Al-Qur’an menyebut hewan sebagai sumber rezeki dan manfaat bagi manusia, tetapi penggunaannya harus disertai tanggung jawab moral.

Hewan sama seperti manusia. Ia memiliki kesetaraan. Dalam (QS. Al-An‘ām [6]: 38), disebutkan bahwa manusia dan hewan setara secara eksistensial sebagai umat-umat Allah yang akan kembali kepada-Nya. Ia adalah makhluk hidup yang bertasbih kepada Allah.

Ia pantas memiliki hak hidup, ruang ekologis, dan fungsi spiritual. Dan manusia pantas untuk menjaga, bukan mengeksploitasi mereka. Sebagaimana surat (QS. Al-Anbiyā’ [21]: 107): “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.”

Monyet yang Tak Merdeka di Persimpangan Jalan

Di bawah terik matahari yang memanggang aspal kota, seekor monyet kecil duduk bersila di atas trotoar yang berdebu, lehernya terjerat rantai besi, matanya menatap kosong ke arah lalu lintas yang bising. Di tangan tuannya, seutas tali bergoyang mengikuti irama musik dari pengeras suara usang, seolah menandai dimulainya sebuah pertunjukan yang disebut “hiburan rakyat”.

Monyet itu menirukan manusia serupa berjalan dengan sepeda mini, mengenakan topeng lusuh, bahkan menunduk memberi hormat kepada penonton yang lewat. Di ujung pertunjukan, ia diberi secuil makanan, bukan sebagai bentuk kasih, melainkan sebagai imbalan atas kepatuhan. Dalam adegan muram itu, manusia berperan sebagai tuan, sementara monyet menjadi aktor tanpa pilihan.

Ironisnya, atraksi yang dianggap lucu oleh sebagian orang ini justru berdiri di atas penderitaan yang panjang.

Di balik setiap monyet yang piawai bermain enggrang atau berlagak seperti serdadu, ada kisah penculikan, pemukulan, kelaparan, dan trauma yang disembunyikan. Praktik topeng monyet keliling, yang pernah menjadi bagian dari lanskap hiburan jalanan di kota-kota besar, kini telah berubah menjadi simbol eksploitasi yang paling gamblang terhadap makhluk hidup lain yang sama-sama berhak merasakan kebebasan.

Luka di Balik Topeng

Sejak 2013, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melarang praktik topeng monyet. Keputusan itu berpijak pada dasar hukum yang kuat, dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penyiksaan hewan, Peraturan Kementerian Pertanian Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesejahteraan Hewan, hingga Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Namun seperti banyak kebijakan lain di negeri ini, larangan bukan berarti berakhirnya praktik. Di banyak daerah, terutama di pinggiran kota, tradisi kelam itu tetap berlangsung dalam diam, disamarkan dengan dalih kebutuhan ekonomi.

Mereka yang menggiring monyet-monyet kecil itu dari satu perkampungan ke kampung lain bukanlah orang jahat yang lahir dari niat menyakiti. Sebagian besar hanyalah manusia yang berjuang bertahan hidup dengan cara yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Dalam bayangan mereka, topeng monyet bukan eksploitasi, melainkan pekerjaan. Bagi mereka, yang penting perut anak-anaknya terisi, tak penting apakah rantai yang menjerat leher monyet itu berarti tirani. Inilah ironi yang paling menyakitkan: antara sesuap nasi manusia dan hak hidup seekor hewan, negeri ini belum menemukan keseimbangannya.

Monyet yang Tak Merdeka

Macaca fascicularis atau monyet ekor panjang, bukan sekadar hewan yang pandai meniru manusia. Mereka adalah primata cerdas dengan struktur sosial yang kompleks, dengan ikatan keluarga yang kuat, dan dengan naluri bertahan hidup yang telah menuntun mereka selama ribuan tahun di hutan tropis Asia Tenggara. Namun sejak Maret 2022, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan spesies ini berstatus “Genting” atau Endangered, dengan prediksi penurunan populasi mencapai 40 persen dalam empat dekade terakhir.

Penyebab utamanya bukan hanya karena deforestasi atau alih fungsi lahan, melainkan juga karena perburuan dan perdagangan ilegal yang tak pernah surut. Anak-anak monyet kerap ditangkap di hutan, dipisahkan secara brutal dari induknya, lalu dijual ke pasar gelap dengan harga yang bahkan lebih murah dari seekor burung kicau. Di sinilah rantai eksploitasi dimulai. Mereka yang berhasil lolos dari jerat perdagangan justru berakhir di dunia pertunjukan, dipaksa hidup dalam lingkaran eksploitasi baru, terikat, kelaparan, dan kehilangan jati diri alaminya sebagai satwa liar.

Bagi monyet yang dijadikan bahan tontonan, hidup tidak lagi diukur dari kebebasan, melainkan dari seberapa cepat mereka bisa menuruti perintah manusia. Mereka diajari cara berdiri tegak, mengayuh sepeda, atau menari dengan musik, bukan dengan sabar dan kasih, tetapi dengan pukulan dan lapar.

Hasil penelusuran Jakarta Animal Aid Network (JAAN) menunjukkan banyak pemilik sengaja menahan makan agar monyet lebih “penurut” saat berlatih. Mereka diberi nasi, roti, atau makanan manusia lain yang jauh dari kebutuhan nutrisi alaminya. Dalam sehari, monyet bisa bekerja tanpa minum, di bawah panas menyengat atau guyuran hujan, hanya untuk menghibur orang-orang yang lewat dan melemparkan koin receh ke tanah.

Kebebasan yang Tak Pernah Dikenal

Di alam liar, monyet adalah makhluk yang gemar bergelantungan di pepohonan, berbagi makanan dengan kelompoknya, saling membersihkan tubuh (grooming), dan memainkan peran sosial dalam komunitasnya. Semua perilaku itu hilang saat mereka dijadikan alat hiburan. Di dunia topeng monyet, mereka bukan lagi primata yang cerdas dan sosial, melainkan “badut” yang dipaksa meniru manusia, kehilangan seluruh ekspresi naluriah mereka. Ironinya, justru di tangan manusia yang mengaku beradab, monyet kehilangan kemanusiaannya.

Tak sedikit di antara mereka yang mengalami cedera fisik akibat proses “penjinakan”. Taring mereka dicabut secara kasar, tubuh mereka dipukul agar patuh, dan luka-luka itu sering dibiarkan infeksi tanpa perawatan. Luka yang tak sembuh bisa berujung pada kematian atau penyebaran penyakit zoonosis yang berisiko pula bagi manusia. Dalam perspektif kesejahteraan hewan, monyet-monyet ini hidup dalam kondisi yang melanggar semua prinsip dasar: tidak bebas dari rasa lapar, rasa takut, rasa sakit, dan tidak bebas untuk mengekspresikan perilaku alami.

Di mata publik, mereka tampil lucu dan menghibur. Tapi di mata moralitas, pertunjukan itu adalah bentuk kekejaman yang dipoles menjadi atraksi. Inilah tragedi yang lebih dalam dari sekadar pelanggaran hukum. Ia menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kita masih memandang hewan bukan sebagai makhluk hidup dengan hak, melainkan sebagai properti yang bisa dijadikan alat cari uang.

Manusia di Persimpangan Etika

Larangan pemerintah dan kampanye dari organisasi perlindungan hewan seperti JAAN, WALHI, dan Animal Defenders Indonesia sebenarnya membuka ruang refleksi lebih besar tentang relasi manusia dan hewan di negeri ini. Bahwa persoalan topeng monyet bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga soal cara berpikir masyarakat tentang empati dan etika ekologis.

Pertanyaannya, apakah kita rela menukar rasa kasihan terhadap hewan dengan harga satu porsi nasi? Di satu sisi, para pengamen topeng monyet adalah bagian dari rakyat kecil yang sering tak tersentuh oleh kebijakan negara. Mereka hidup dalam ketidakpastian, bergantung pada belas kasihan penonton. Tetapi di sisi lain, monyet yang mereka bawa adalah korban lain dari kemiskinan yang sama: sama-sama lapar, sama-sama terjajah oleh sistem yang tak berpihak.

Negara sebenarnya memiliki perangkat hukum yang cukup untuk menghentikan praktik ini, tetapi penegakan hukum sering kali berhenti pada sosialisasi tanpa pengawasan.

Dalam konteks ini, masalahnya bukan sekadar pelanggaran terhadap Pasal 302 KUHP atau Peraturan Kementerian Pertanian, melainkan kegagalan kita sebagai bangsa dalam memandang kehidupan di luar diri manusia. Kita terlalu sibuk memikirkan bagaimana bertahan hidup, hingga lupa bahwa dalam proses itu, ada kehidupan lain yang ikut terampas.

Mencari Jalan Pulang

Sebuah bangsa bisa diukur dari bagaimana ia memperlakukan makhluk paling lemah di dalamnya. Jika monyet-monyet kecil itu masih harus menari di bawah cambuk demi mengisi perut manusia, maka sesungguhnya yang lapar bukan hanya tubuh, melainkan juga nurani kita.

Sudah saatnya praktik topeng monyet benar-benar dihentikan, bukan sekadar dilarang di atas kertas. Pemerintah perlu menyiapkan jalan keluar bagi para pelaku, misalnya melalui program pelatihan kerja dan insentif ekonomi agar mereka tak perlu bergantung pada eksploitasi hewan. Di sisi lain, masyarakat juga harus berhenti menjadi penonton yang pasif. Setiap tawa di depan monyet berkalung rantai adalah legitimasi terhadap kekerasan yang diam-diam kita biarkan.

Monyet tidak lahir untuk menghibur manusia. Ia lahir untuk hidup bebas di hutan, untuk bergelantungan, bermain, dan berkeluarga. Sementara manusia, dengan akalnya yang tinggi, seharusnya mampu memahami bahwa kebahagiaan tak pernah bisa tumbuh dari penderitaan makhluk lain. Jika hari ini, di persimpangan jalan kota, masih ada monyet yang menari untuk sesuap nasi, maka sesungguhnya yang kehilangan kemerdekaan bukan hanya monyet itu, melainkan juga manusia yang telah kehilangan empatinya.

Urgensi Membahas Fatwa Hidup Satwa (Bagian 3-Akhir)

Pembahasan sebelumnya telah menguraikan tentang pentingnya meluruskan beberapa kesalahpahaman terhadap dalil-dalil yang terkesan merenggut hak hidup hewan. Selain persoalan hak hidup hewan, ada satu alasan utama lagi mengapa perlu memperhatikan satwa yaitu Allah swt sering mengajak manusia untuk belajar dari kehidupan hewan.

Eksistensi hewan di alam semesta adalah sebagai guru kehidupan bagi setiap insan. Menteri Agama, Nasaruddin Umar, dalam banyak kesempatan sering menyampaikan, “alangkah ruginya manusia, kalau gurunya hanya orang yang hidup”. Beliau menekankan bahwa kita juga bisa belajar dari orang yang sudah mati. Konteksnya adalah kesadaran irfani, bahwa ilmu itu tidak hanya seputar teks dan akal. Kita perlu tersambung dengan para leluhur yang telah mendahului kita.

Dengan horizon yang mirip, Gita Wiryawan juga menegaskan pentingnya belajar dari 125 milyar orang yang sudah mendahului kita, dibanding sebatas belajar dari 8 milyar penduduk bumi yang hidup saat ini. Keduanya menekankan poin terkait belajar sejarah dengan bahasa ‘belajar dari orang yang sudah mati’. Ketersambungan tradisi dengan orang terdahulu penting sebagaimana kita juga perlu memahami keterkaitan manusia dengan makhluk lainnya.

Berguru dengan Binatang

Karenanya, menyitir ungkapan Menag di atas, “alangkah miskinnya manusia, kalau gurunya hanya manusia”. Kita bisa dan perlu belajar dari makhluk lain, tumbuhan dan hewan. Dalam banyak kisah, kita sering mendengar narasi seorang ‘pelacur’ yang masuk surga karena seekor anjing dan seorang majikan yang dijerumuskan ke neraka karena seekor kucing. Hal ini memberikan pelajaran bahwa berakhlak mulia itu tidak hanya kepada sesama Muslim atau manusia, bahkan kepada hewan pun akhlak diutamakan.

Pelajaran ini juga dapat dipahami dari hadis Nabi saw berikut:

بينَما رجلٌ يمشي بِطريقٍ اشتَدَّ بهِ العَطشُ، فوجدَ بئرًا فنزلَ فيها، فشرِبَ ثمَّ خرجَ، فإذا كلبٌ يلهَثُ، يأكُلُ الثرَى من العَطشِ، فقال الرَّجُلُ: لقد بلغَ هذا الكلبُ من العَطشِ مِثلَ الَّذي كان بلغَني، فنزلَ البِئرَ فملأَ خُفَّهُ ثمَّ أمسكَه بفِيهِ فسَقَى الكلبَ، فشكرَ اللهُ لهُ، فغَفرَ لهُ. قالوا: يا رسولَ اللهِ، وإنَّ لنا في البهائمِ أجرًا؟ قال: في كُلِّ كَبِدٍ رطبَةٍ أجرٌ

Ketika seseorang sedang berjalan, ia merasa sangat haus. Ia pun menemukan sebuah sumur, lalu turun ke dalamnya dan minum. Ketika ia keluar, ia melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya, menjilat tanah karena kehausan. Ia berkata, “Anjing ini telah merasakan haus seperti yang aku rasakan tadi.” Maka ia turun kembali ke sumur, mengisi sepatunya dengan air, menggigit (memegang) sepatu itu dengan mulutnya, lalu memberi minum anjing tersebut. Maka Allah pun berterima kasih kepadanya dan mengampuni dosanya. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita juga mendapat pahala bila berbuat baik kepada hewan?” Beliau menjawab, “Pada setiap makhluk yang bernyawa terdapat pahala.”

Hadis di atas melengkapi dalil mengapa perlu berpihak pada binatang. Selain pendekatan bayani dan burhani sebagaimana dua pembahasan sebelumnya, pendekatan irfani juga perlu dihadirkan. Nasihat Nabi dia atas menegaskan bahwa berlaku baik pada setiap makhluk itu berpahala. Bukankah hewan juga makhluk yang bernyawa? Maka hak hidup hewan juga perlu diperjuangkan.

Selain kisah di atas, ada lagi cerita yang dialami oleh seorang ulama tabi’ tabi’in terkenal, Imam ‘Abdullāh bin al-Mubārak (w. 181 H). Beliau dikenal sebagai sosok ahli hadis, zuhud, dan jihad. Dikisahkan bahwa suatu ketika Imam Ibn al-Mubārak sedang menulis dengan penanya. Tiba-tiba datang seekor lalat yang hinggap di ujung pena beliau untuk meminum tinta.

Beliau pun menahan tangannya, tidak mengusir lalat itu, dan membiarkannya minum sepuasnya dari tinta pena. Setelah lalat itu pergi, beliau berkata: “Inilah bagian rezeki yang Allah tetapkan untuknya dariku hari ini”.

Melihat Hewan dalam Perspektif Tasawuf

Dengan kacamata tasawuf, semua makhluk adalah hamba Allah. Sehingga kita sebagai manusia, tidak boleh menyakitinya apalagi mengabaikan hak asasinya. Bahkan seekor lalat yang kecil atau anjing yang dipandang najis, dengan kacamata irfani, menjadi ‘suci’ dan perlu dihargai hidupnya.

Memang hal ini sulit untuk dipahami dengan menggunakan sudut pandang rasionalitas-antroposentris. Perspektif ini jugalah yang membuat kerusakan alam kian masif terjadi. Dengan rasionalitas pencerahan, banyak orang yang belajar sains dan akhirnya menemukan berbagai penemuan terbaru. Penemuan tersebut membuat orang dengan mudah mengekstraksi kekayaan alam. Bersanding dengan pemahaman antroposentris, bahwa manusia sebagai pusat kehidupan, maka alam raya pun dikeruk kebablasan.

Maka cara pandang sufi yang melihat bahwa semua makhluk itu adalah ciptaan Allah dan tidak boleh dizalimi, perlu mewarnai cara pikir orang modern, terutama umat Islam. Melalui literatur klasik di atas, kita temukan banyak narasi yang menghargai setiap hewan. Bukan berarti pula, dengan cara ini, manusia tidak dapat mengonsumsi hewan sepenuhnya. Di sinilah norma agama dapat menjadi panduan.

Hikmah Halal dan Haram Binatang

Ada hewan yang bisa dikonsumsi, ada yang dilarang. Hewan yang bisa dikonsumsi pun tidak boleh berlebihan, karena akan berdampak pada kesehatan. Hewan yang hendak dikonsumsi pun perlu disembelih dengan cara terbaik yang mengurangi semaksimal mungkin rasa sakit pada hewan. Aturan yang ketat ini sejatinya untuk memberikan penghargaan kepada binatang, sebab mereka pun makhluk hidup yang sama dengan manusia.

Ada pula hewan yang terlarang untuk dimakan. Itu pun ada hikmahnya. Quraish Shihab dalam buku “Jawabannya adalah Cinta” menegaskan, hewan yang tidak boleh dimakan itu diciptakan untuk mengatur keseimbangan ekosistem kehidupan. Ada binatang yang diciptakan di samping untuk menjadi mangsa binatang yang lain, juga berperan membersihkan kotoran dan polusi yang terjadi. Ada banyak ikan di danau, sungai dan laut yang berfungsi demikian.

Di darat juga ada banyak, seperti babi dan tikus. Keduanya diciptakan memang dalam habibat yang kotor. Pun mereka dapat mengonsumsi apa saja, bahkan yang kotor. Karenanya manusia dilarang mengonsumsi hewan tersebut karena berpotensi terinfeksi penyakit. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi beberapa tahun silam, virus covid-19 yang pertama kali tersebar dari Wuhan, salah satu pemicunya adalah karena mengonsumsi hewan ekstrem seperti kelelawar dan ular.

Namun, bukan berarti karena mereka tidak boleh dimakan, lantas kehidupannya perlu diberantas. Justru dengan memberi ruang bagi hewan tersebut dengan tidak mengonsumsinya, kita sedang menjaga ekosistem dan keseimbangan alam.

Hari ini, keserakahan manusia membuat alam menjadi rusak. Karenanya, tafsir agama perlu bergerak dan berpihak. Menjaga manusia, satwa, sekaligus semesta dalam satu tarikan nafas ajaran agama. Itulah cara kita merawat peradaban.

Teladan Nabi Nuh dalam Penyelamatan Binatang Perspektif Iman Islam dan Katolik

Tanggal 4 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai World Animal Day atau Hari Binatang Sedunia. Peringatan tersebut menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran global (Global Awareness) akan kesejahteraan dan pelestarian habitat binatang. Pada mulanya, peringatan Hari Binatang Sedunia pertama kali diperingati pada tahun 1931 di kota Florence, Italia.

Peringatan tersebut terselenggara dalam rangkaian kegiatan Konvensi Ekologi Internasional yang berfokus pada isu-isu konservasi. Pemilihan tanggal 4 Oktober didasarkan pada peringatan liturgis Santo Fransiskus dari Assisi, seorang tokoh suci (Santo) dalam tradisi Katolik yang dikenal luas sebagai pelindung hewan dan lingkungan alam.

Secara historis, tujuan utama penetapan Hari Binatang Sedunia untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap spesies hewan yang berada dalam ancaman kepunahan akibat aktivitas manusia dan perubahan lingkungan. Namun, seiring dengan perkembangan pemikiran ekologi dan etika lingkungan, makna peringatan tersebut mulai mengalami perluasan.

Hari Binatang Sedunia kini juga dapat dipahami sebagai momentum global untuk menegaskan nilai-nilai spiritual dan ekologis dalam memperlakukan binatang sebagai makhluk hidup yang memiliki hak untuk dilindungi serta dihormati keberadaannya dalam sistem kehidupan di bumi.

Memandang Binatang dalam Perspektif Eko-teologi

Dalam perspektif eko-teologi, binatang menempati posisi sebagai makhluk yang diciptakan untuk hidup berdampingan dengan manusia. Dalam iman Islam dan Katolik, Allah sebagai Sang Pencipta menciptakan seluruh makhluk hidup bukan tanpa tujuan termasuk binatang. Dalam Alkitab dan Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang menyebutkan mengenai binatang. Secara langsung, disebutnya binatang pada kedua kitab suci tersebut menegaskan bahwa binatang juga memiliki peran yang penting dalam kehidupan di alam.

Pada Alkitab khususnya Kitab Kejadian 1:20-23 menjelaskan bagaimana binatang tercipta. Ayat tersebut berbunyi “(1:20) Berfirmanlah Allah: “Hendaklah dalam air berkeriapan makhluk yang hidup, dan hendaklah burung beterbangan di atas bumi melintasi cakrawala.” (1:21) Maka Allah menciptakan binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak, yang berkeriapan dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik. (1:22) Lalu Allah memberkati semuanya itu, firman-Nya: “Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak.” (1:23) Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari kelima.”

Sedangkan dalam Al-Qur’an, penciptaan binatang dijelaskan dalam Surah An-Nur ayat 41 yang memiliki arti, “Tidakkah engkau (Nabi Muhammad) tahu bahwa sesungguhnya kepada Allahlah apa yang di langit dan di bumi dan burung-burung yang merentangkan sayapnya senantiasa bertasbih. Masing-masing sungguh telah mengetahui doa dan tasbihnya. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan.”

Serta ayat 45 yang memiliki arti “Allah menciptakan semua jenis hewan dari air. Sebagian berjalan dengan perutnya, sebagian berjalan dengan dua kaki, dan sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Baik dalam ajaran Iman Islam dan Katolik, penciptaan binatang sebagai bagian dari kehendak Ilahi yang merefleksikan kebijaksanaan dan kasih Tuhan. Dalam kedua tradisi tersebut, seluruh makhluk hidup berada dalam satu kesatuan ciptaan yang saling bergantung.

Islam memandang binatang sebagai makhluk Allah yang juga bertasbih dan tunduk kepada-Nya, sebagaimana manusia diperintahkan untuk berlaku adil terhadap mereka. Demikian pula, dalam tradisi Katolik, binatang dilihat sebagai bagian dari ciptaan Allah yang “baik adanya,” sebagaimana ditegaskan dalam Kitab Kejadian.

Teladan Penyelamatan Binatang oleh Nabi Nuh dalam Ajaran Islam dan Katolik

Baik dalam ajaran Iman Islam dan Katolik, terdapat satu kisah yang sama mengenai penyelamatan binatang. Kisah tersebut merupakan kisah Nabi Nuh dengan banjir besar dan kapalnya yang sangat masyhur terkenal di masyarakat.

Dalam Alkitab, Kisah Nabi Nuh terkenal dengan sebutan bahtera Nuh yang tercatat dalam Kitab Kejadian Pasal 6.

“Berfirmanlah Allah kepada Nuh: “Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka; jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi” (6:13). “Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu gofir; bahtera itu harus kaubuat berpetak-petak dan harus kaututup dari luar dan dari dalam.”

(6:14). “Beginilah engkau harus membuat bahtera itu: tiga ratus hasta panjangnya, lima puluh hasta lebarnya, dan tiga puluh hasta tingginya” (6:15). “Buatlah atap pada bahtera itu dan selesaikanlah bahtera itu sampai sehasta dari atas, dan pasanglah pintunya pada lambungnya; buatlah bahtera itu bertingkat bawah, tengah, dan atas” (6:16). “Sebab sesungguhnya Aku akan mendatangkan air bah meliputi bumi untuk memusnahkan segala yang hidup dan bernyawa di kolong langit; segala yang ada di bumi akan mati binasa.”

(6:17). “Tetapi dengan engkau Aku akan mengadakan perjanjian-Ku, dan engkau akan masuk ke dalam bahtera itu: engkau bersama-sama dengan anak-anakmu dan isterimu dan isteri anak-anakmu” (6:18). “Dan dari segala yang hidup, dari segala makhluk, dari semuanya haruslah engkau bawa satu pasang ke dalam bahtera itu, supaya terpelihara hidupnya bersama-sama dengan engkau; jantan dan betina harus kaubawa” (6:19). “Dari segala jenis burung dan dari segala jenis hewan, dari segala jenis binatang melata di muka bumi, dari semuanya itu harus datang satu pasang kepadamu, supaya terpelihara hidupnya.”

Dalam Al-Qur’an, kisah Nabi Nuh AS dan penyelamatan binatang dijelaskan pada surah Hud ayat 36-40, yang berbunyi “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. Dan Nuh membuat bahtera; dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Nuh berkata: ‘Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami pun akan mengejek kamu sebagaimana kamu mengejek kami. Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan ditimpa azab yang kekal. Hingga apabila perintah Kami datang dan tanur telah memancarkan air, Kami berfirman: ‘Bawalah ke dalam bahtera itu masing-masing sepasang dari segala jenis makhluk hidup, dan keluargamu kecuali orang yang telah ditetapkan terkena hukuman, serta orang-orang yang beriman.’ Dan tidak ada yang beriman bersama Nuh, kecuali sedikit” (QS. Hud: 39–40).

Menyelami Makna Keberagaman dan Keseimbangan Alam

Kisah penyelamatan binatang oleh Nabi Nuh baik dalam ajaran Islam dan Katolik mengandung makna eko-teologis yang menegaskan keterkaitan antara iman, kehidupan, dan keberlanjutan alam. Perintah Allah kepada Nabi Nuh untuk membawa sepasang makhluk hidup ke dalam bahtera merefleksikan tanggung jawab manusia dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah kepunahan spesies.

Secara tidak langsung, kisah Nabi Nuh mengajarkan kita semua bahwa pelestarian makhluk hidup merupakan bagian dari ketaatan spiritual yang berakar pada kesadaran akan kesatuan ciptaan. Jika kita melihat kisah tersebut dalam perspektif waktu masa kini, kisah tersebut dapat menjadi dasar teologis bagi upaya perlindungan binatang. Sehingga sejatinya penyelamatan binatang merupakan upaya penyelamatan bumi dan keberlangsungan kehidupan manusia itu sendiri.

Oleh karenanya, penting bagi kita untuk terus menyayangi binatang dengan tidak menyakitinya, tidak merusak habitatnya, serta memastikan keberlangsungan hidup binatang sebagai bagian dari sistem ekologis bumi. Selamat Hari Binatang Sedunia!

Urgensi Membahas Fatwa Hidup Satwa (Bagian 2)

Pembahasan sebelumnya telah menguraikan tentang pentingnya membahas fikih kehidupan satwa. Bahwa sebagai seorang manusia, apalagi beriman, kita perlu menjaga ekosistem alam, termasuk binatang. Bukan sebatas karena perbuatan itu baik, tetapi juga ada dorongan teologis sebagai makhluk yang ditugaskan menjadi khalifah dan abdullah di bumi.

Namun, tidak sedikit dalil-dalil keagamaan yang justru dapat memberikan legalitas untuk memberangus kehidupan hewan. Tulisan ini akan menguraikan beberapa dalil yang sering dijadikan landasan bahwa ada hewan yang tidak layak untuk dibiarkan hidup dan berkembang biak.

Pandangan Islam tentang Anjing

Dalam sebuah hadis yang masyhur diriwayatkan bahwa Rasul saw bersabda:

لولَا أنَّ الكِلابَ أُمَّةٌ مِنَ الأُمَمِ لَأمَرْتُ بقتْلِها ، فاقتُلوا منها كُلَّ أسودَ بهيمٍ

“Seandainya anjing bukan termasuk salah satu umat (kelompok), niscaya aku akan perintahkan untuk membunuh semuanya. Tetapi, bunuhlah yang berwarna hitam.”

Dalam hadis lain, dikatakan bahwa yang berwarna hitam itu adalah setan. Tentu amat susah merasionalkan alasan warna hitam dengan eksistensi setan. Karenanya, ulama hadis menyusun metodologi kritik matan (naqd al-matn) selain juga kritik sanad (naqd al-sanad). Salah seorang ulama yang konsen pada kritik matan adalah Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi dalam kitab Manhaj Naqd al-Matn ind Ulama al-Hadis al-Nabawi.

Menurutnya, ada lima kriteria hadis dapat diterima secara matannya, yaitu: sesuai dengan Al-Quran; hadis sahih dan sirah Nabawiyah; dapat diterima akal, indra dan fakta sejarah; dan redaksi kebahasaan memang menggambarkan perkataan Nabi. Dari kelima kriteria tersebut, paling tidak, gambaran warna hitam sebagai setan sulit diterima oleh akal dan indra manusia. Karenanya, hadis ini perlu dimaknai secara kontekstual, alih-alih dipahami tekstual.

Ibnu Qutaibah dalam kitab Ta`wil Mukhtalaf al-Hadis menegaskan bahwa seandainya Nabi memerintahkan untuk membunuh semua anjing, maka satu spesies akan punah. Padahal manusia mendapatkan manfaat dari anjing untuk menjaga rumah, gembalaan, harta dan dapat dimanfaatkan untuk berburu. Karenanya, dalam literatur fikih pun diperbolehkan mengonsumsi hewan hasil buruan anjing sebagaimana yang termaktub dalam redaksi fakuluu mimma amsakna ‘alaikum dalam surat al-Ma`idah ayat 4.

Belum lagi, kata Ibn Qutaibah, anjing adalah hewan yang paling setia dengan tuannya. Ia mengutip kisah yang dituturkan oleh Abu Ubaidah tentang anjing yang menjaga jenazah majikannya yang tewas dalam perjalanan. Maka menurut Ibn Qutaibah, hadis tersebut harus dipahami pengecualian, bukan keseluruhan. Warna ‘hitam’ dalam hadis tersebut juga perumpamaan dari sifat buas yang memang juga melekat pada beberapa anjing.

Karenanya, bagi anjing buas dan ganas, yang menyerang manusia, diperkenankan untuk membunuh sebagai opsi terakhir melindungi kehidupan. Terlebih, di era modern sekarang diketahui, anjing juga membawa virus rabies yang bisa membahayakan kehidupan jika tidak segera ditangani.

Kehidupan Nabi bersama Anjing

Pada saat yang sama, anjing yang jinak dan tidak menyerang manusia, amat terlarang untuk dibunuh. Dalam sejarah kenabian, sebagaimana dipaparkan Quraish Shihab dalam buku “Jawabannya adalah Cinta”, beliau menegaskan ada tiga periode Nabi hidup bersama anjing. Fase pertama, anjing menemani manusia yang membutuhkan perlindungannya. Dahulu, tidak jarang perempuan keluar di malam hari bersama anjing untuk menjaganya bahkan menunjukkan jalan terdekat dan teraman melalui indra penciumannya yang tajam.

Fase kedua, Rasul memerintahkan untuk menjauhkan bahkan membunuh anjing karena sudah terlampau banyak dan berlalu lalang di dalam masjid sehingga mengganggu ibadah. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Pada fase ketiga, Nabi melarang membunuh anjing kecuali yang ganas dan gila. Bahkan beliau mengizinkan untuk memelihara anjing guna menjadi penjaga kebun serta menjadi anjing pemburu.

Kehidupan Nabi bersama anjing itu juga selaras dengan potret ashabul kahfi dalam Al-Quran yang juga hidup berdampingan dengan anjing. Sehingga membunuh anjing yang tidak menyerang manusia bukan hanya bertentangan dengan sunnah, tetapi juga melanggar hak hidup hewan.

Ada Hewan yang Fasik

Selain anjing, ada beberapa hewan lain yang juga dibolehkan dalam hadis Nabi untuk dibunuh. Sebagaimana hadis Nabi berikut:

خمسٌ منَ الدَّوابِّ كلُّهنَّ فاسقٌ يُقتَلنَ في الحلِّ والحرمِ الْكلبُ العقورُ والغرابُ والحدَأةُ والعقربُ والفأرةُ

“Ada lima hewan fasik yang harus dibunuh di tanah halal maupun haram, yaitu: anjing, gagak, rajawali, kalajengking dan tikus.”

Hadis tersebut menegaskan bahwa ada binatang yang fasik sehingga halal untuk dibunuh. Sama seperti manusia yang ‘kafir’ dalam narasi keagamaan sering dipahami oleh sebagian orang boleh dibunuh. Tentu dengan dalil Al-Quran yang menegaskan qital terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Lagi-lagi, sebagaimana pembahasan sebelumnya tentang anjing, hadis ini pun tidak dapat dipahami secara tekstual. Sebab kalau hewan itu dibunuh secara masif dan punah, maka justru itu akan mengganggu ekosistem kehidupan. Terlebih diyakini bahwa tidak ada yang sia-sia dalam penciptaan Tuhan di bumi ini.

Lantas bagaimana memahami hadis tersebut secara tepat? Ada beberapa poin yang perlu diperhatikan. Pertama, hadis itu melekatkan kata fasiq kepada binatang. Ini menarik untuk dicermati, sebab selama ini ada pemahaman bahwa hewan itu tidak berakal. Kalau dia tidak berakal, maka perbuatannya tidak dapat dikenakan tanggung jawab (taklif). Pun demikian, mereka tidak dapat dikatakan fasik, maksiat, kafir, dan sejenisnya atas perilaku yang dilakukan.

Hewan dan Ketaatan Kepada Sang Pencipta

Dari sini, kata fasiq perlu dipahami secara lebih luas. Ibn Qutaibah memahami kata fasaqa dengan makna fasaqa ‘an amri rabbih, keluar dari perintah dan ketaatan Tuhan. Apakah hewan bisa taat kepada Tuhan? Di sinilah perlu pemahaman yang lebih komprehensif terkait dunia hewan.

Selama ini, dengan kaca mata sebagai manusia, sering kali kita menganggap hewan itu tak beradab. Dunia hewan hanyalah tunduk pada kepentingan manusia. Padahal kalau mau mengeksplorasi kitab suci, ada banyak kisah fabel yang menggambarkan bahwa dunia binatang itu sama dengan manusia. Mereka pun berzikir kepada Tuhan, melalui kokok ayam di pagi hari, kicauan burung di petang hari, hingga suara jangkrik yang memecah keheningan malam. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat Saba` ayat 10:

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا دَاوٗدَ مِنَّا فَضْلًاۗ يٰجِبَالُ اَوِّبِيْ مَعَهٗ وَالطَّيْرَ ۚوَاَلَنَّا لَهُ الْحَدِيْدَۙ

Sungguh, benar-benar telah Kami anugerahkan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman), “Wahai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang kali bersama Daud!” Kami telah melunakkan besi untuknya.

Selain interaksi Nabi Daud dengan kicauan burung, dalam Al-Quran juga ditemukan narasi kehidupan burung Hudhud dan semut bersama Nabi Sulaiman, kehidupan lalat, lebah, laba-laba, tongkat ‘ular’-nya Nabi Musa, dan sebagainya. Potret ini sepenuhnya memberikan pelajaran kepada kita, bahwa kehidupan satwa itu juga beragam dan penuh warna.

Hewan dan Sunnatullah Kehidupan

Kedua, kehidupan hewan sepenuhnya mengikuti sunnatullah. Saling menjaga saling menghidupkan. Tetapi, ada hewan-hewan yang mempunyai sisi lain yang dapat membahayakan kehidupan, seperti anjing buas, bisa kalajengking yang ganas, hingga populasi tikus yang bisa membawa penyakit.

Sifat-sifat buruk inilah yang disematkan pada kata fasiq dalam hadis tersebut. Dan untuk menjaga manusia, bagi hewan yang menyerang diperkenankan untuk dibunuh saat itu juga. Hal ini tidak membuat seluruh populasi anjing, gagak, kalajengking, tikus dan rajawali menjadi mati. Justru perintah tersebut maqasid-nya adalah menjaga kehidupan.

Melampaui Persoalan Asal Membunuh Hewan

Namun, di sini letak vitalnya. Pemahaman soal membunuh hewan ini sering kali berakhir pada fikih normatif bahwa diperbolehkan dan urusan selesai setelah hewan yang mengganggu itu dibunuh. Padahal ada persoalan yang lebih mendasar dari fenomena hewan tersebut.

Sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya, bahwa hewan tersebut hadir di habitatnya masing-masing. Tikus hidup di tempat yang kotor, penuh sampah dan kumuh. Ketika ada tikus yang masuk ke rumah, kesalahan itu tidak sepenuhnya karena sang tikus. Justru kehadiran tikus itu menjadi teguran bagi sang pemilik rumah, bahwa ia sedang hidup di lingkungan yang kotor dan jorok.

Pelajarannya adalah harus membersihkan rumah lebih giat, sampah jangan menumpuk, dan lingkungan sekitar lebih asri. Sayangnya, langkah yang dilakukan biasanya hanya membeli racun tikus. Tetapi rumah tetap dalam kondisi kotor berantakan. Maka ibarat mati satu tumbuh seribu, tikus akan datang menyerbu lagi. Karena yang menjadi problem bukan tikusnya, tetapi gaya hidup kita yang serampangan.

Contoh lain, anjing buas, harimau atau singa yang habitatnya di hutan. Jangan salahkan hewan tersebut kalau pada akhirnya mereka menyerang warga desa, karena rumah mereka di hutan sana sudah habis dibabat manusia. Kalau rumah mereka diganggu, ya mereka akan mengakuisisi rumah lain untuk dijadikan tempat tinggal. Persis seperti naluri manusia yang juga akan menyerang kalau diserang terlebih dahulu.

Karenanya, hadis di atas harus dipahami lebih kontekstual. Bukan sebatas bunuh-membunuh, apalagi pembunuhan menjadi fantasi untuk membasmi satu spesies. Hadis itu justru memberikan pesan agar manusia dan hewan bisa saling memberikan hak hidup dan ruang bersama. Kehadiran hewan ‘pengganggu’ di lingkungan masyarakat harus dipahami sebagai peringatan, bahwa ada pola hidup yang keliru dari manusia. Dan karenanya, kehidupan ini tidak selalu soal manusia, tapi ada hewan dan lingkungan sekitar yang harus dijaga.

Harimau Sumatera: Simbol Keseimbangan Alam yang Terancam Punah

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan satwa terbesar di dunia. Dari hutan tropis Sumatera yang rimbun, rimba Kalimantan yang penuh suara burung, hingga laut biru yang dihuni penyu dan hiu, semuanya menjadi bukti bahwa negeri ini adalah surga keanekaragaman hayati.

Akan tetapi, kekayaan itu sekarang berada di ujung krisis. Tahun demi tahun, daftar satwa Indonesia yang masuk kategori terancam punah semakin bertambah. Berdasarkan laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN), lebih dari 47.000 spesies telah dinilai terancam punah. Salah satu dari 47.000 spesies tersebut adalah Harimau Sumatera.

Melansir dari Harimaukita.or.id, Indonesia dulunya memiliki tiga spesies harimau, yakni Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), Harimau Bali (Panthera tigris balica), dan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Sayangnya, dua spesies pertama telah lama punah akibat perburuan liar dan perusakan habitat. Kini, hanya Harimau Sumatera yang bertahan, itu pun dengan jumlah yang semakin sedikit.

Berdasarkan catatan terbaru Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), populasi Harimau Sumatera diperkirakan kurang dari 600 ekor. Angka ini menempatkannya dalam status kritis atau endangered. Mirisnya, jika tren ini tidak segera dibalik, Harimau Sumatera bisa menyusul saudaranya ke jurang kepunahan.

Apa Jadinya Jika Harimau Sumatera Punah?

Pertanyaan besar yang muncul adalah apa jadinya jika Harimau Sumatera punah? Seberapa penting keberadaannya di dalam hutan? Kehadiran Harimau Sumatera bukan sekadar soal menjaga keberagaman satwa. Ia adalah predator puncak yang memegang peran vital dalam keseimbangan ekosistem. Harimau menjaga populasi mangsa seperti rusa, kijang, babi Hutan, dan hewan herbivora lainnya agar tidak berkembang biak secara berlebihan.

Jika predator ini hilang, rantai makanan hutan akan kacau. Populasi herbivora akan meledak, tumbuhan muda habis dimakan, regenerasi hutan terganggu, dan pada akhirnya ekosistem runtuh.

Ketiadaan harimau juga berdampak langsung pada manusia. Tanaman yang gagal tumbuh karena dimakan berlebihan membuat hutan kehilangan fungsi ekologisnya. Air tanah berkurang, banjir dan longsor menjadi lebih sering, hingga kapasitas hutan untuk menyerap karbon melemah. Artinya, krisis iklim akan semakin parah.

Faktor Penyebab

Ancaman terhadap Harimau Sumatera tidak datang tiba-tiba. Ada beberapa faktor utama yang membuat populasinya terus menyusut. Perburuan liar menjadi penyebab yang paling nyata. Harimau diburu untuk diambil kulit, taring, tulang, dan bagian tubuh lainnya yang dijual dengan harga tinggi di pasar gelap. Menurut catatan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, setiap tahun ada lebih dari 50 Harimau Sumatera yang dibunuh akibat perburuan. Pada 2023, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau bahkan berhasil mengungkap kasus perdagangan kulit Harimau yang melibatkan jaringan lintas provinsi.

Selain perburuan, konflik antara harimau dan manusia juga semakin sering terjadi. Ketika habitatnya menyempit, harimau terpaksa masuk ke pemukiman warga untuk mencari makan. Laporan Forum HarimauKita mencatat bahwa sepanjang 2001 hingga 2016 terjadi 1.061 insiden konflik manusia–harimau di Sumatra.

Dari jumlah tersebut, sekitar 130 ekor harimau terbunuh atau terpaksa direlokasi, sementara 184 orang menjadi korban luka atau kehilangan nyawa. Situasi itu berlanjut hingga kini. Pada awal 2024, misalnya, di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tercatat delapan konflik satwa liar hanya dalam kurun Januari sampai Maret, mulai dari harimau melintas di pemukiman hingga memangsa ternak warga.

Faktor terbesar lainnya adalah kerusakan habitat. Hutan-hutan di Sumatra terus menyusut akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit, tambang, hingga pembangunan infrastruktur. Data Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, dalam dua dekade terakhir, Sumatra kehilangan lebih dari setengah hutan alaminya. Hilangnya tutupan hutan berarti harimau kehilangan ruang jelajah sekaligus mangsa alami.

Di tengah ancaman yang semakin nyata, pelestarian Harimau Sumatera bukan lagi sekadar tanggung jawab aktivis lingkungan atau lembaga konservasi, melainkan tugas bersama seluruh masyarakat. Menjaga harimau berarti menjaga hutan, dan menjaga hutan berarti menjaga kehidupan kita sendiri.

Dalam perspektif Islam, menjaga kelestarian alam bukan sekadar urusan ekologi, melainkan bagian dari amanah spiritual. Al-Qur’an menegaskan, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya” (QS. Al-A‘raf: 56). Kerusakan habitat harimau Sumatera akibat pembalakan liar, perburuan, dan keserakahan manusia adalah bentuk nyata dari peringatan ayat ini. Islam memandang semua makhluk ciptaan Allah, termasuk satwa liar, memiliki hak untuk hidup dan berperan dalam menjaga keseimbangan bumi.

Rasulullah SAW juga melarang perbuatan zalim terhadap hewan. Dalam hadis riwayat Bukhari, beliau mengisahkan seorang perempuan yang masuk neraka karena menelantarkan seekor kucing hingga mati. Jika seekor kucing saja memiliki hak hidup yang dilindungi, apalagi harimau sebagai makhluk besar yang menjadi simbol keseimbangan ekosistem. Melindungi mereka berarti menjalankan prinsip rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi seluruh alam.

Kini, saat jumlah harimau Sumatera terus menurun, kita diingatkan bahwa krisis ini bukan hanya masalah lingkungan, melainkan ujian moral dan spiritual. Apakah kita akan terus merusak hingga satu lagi ciptaan Allah hilang dari muka bumi, atau memilih untuk menjadi khalifah yang menjaga amanah-Nya? Menyelamatkan harimau Sumatera sejatinya adalah menyelamatkan diri kita sendiri, karena di balik matanya yang tajam, ada tanda bahwa hutan masih bernapas, dan bumi masih punya harapan.