Krisis Lingkungan Butuh Sentuhan Perempuan
Bila kita berbicara soal perubahan iklim dan lingkungan, pasti kita langsung terbayang tentang musim kemarau yang berkepanjangan, bencana banjir, atau bahkan polusi udara yang makin parah. Namun, pernahkah kita berpikir siapa saja yang membuat kebijakan untuk menyelamatkan bumi ini? Ternyata, perempuan sering sekali terpinggirkan dari ruang pengambilan keputusan lingkungan.
Dengan tantangan perubahan iklim yang semakin mendesak, dunia tidak bisa lagi mengabaikan potensi perempuan. Sudah saatnya kita menggeser paradigma dan memastikan bahwa perempuan mendapatkan tempat di meja pengambilan keputusan, bukan hanya demi kesetaraan, tetapi demi menyelamatkan bumi yang kita tinggali bersama.
Kenapa Perempuan Penting untuk Memutuskan Kebijakan?
Perempuan biasanya lebih dekat dengan alam. Jika kita lihat di desa-desa, perempuan sering kali yang paling tahu soal cara mengatur air, menghemat energi, atau bahkan mengelola lahan kecil untuk bercocok tanam. Mereka memiliki pengalaman langsung. Jadi, logis kalau suara mereka sangat diperlukan dalam diskusi besar soal kebijakan lingkungan. Tapi kenyataannya, hanya sedikit perempuan yang memiliki posisi untuk benar-benar memengaruhi kebijakan ini.
Data baru dari Women’s Environment & Development Organization (WEDO) menunjukkan 34% partisipasi perempuan dalam delegasi partai di CoP28, persentase yang sama dengan 10 tahun lalu. Bahkan organisasi lingkungan berbasis Islam, yaitu Green Islamic yang dipimpin perempuan, hanya mencatat sekitar 24%.
Padahal, dalam hal membangun ketahanan iklim di masyarakat, melibatkan perempuan sangat penting. Faktanya, PBB melaporkan bahwa masyarakat lebih berhasil dalam strategi ketahanan dan pengembangan kapasitas ketika perempuan menjadi bagian dari proses perencanaan. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa ketika perempuan terlibat, kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan ramah lingkungan.
Hal ini dibuktikan secara global. Perempuan telah menunjukkan potensi mereka dalam memimpin perubahan. Contohnya, Greta Thunberg dan Christiana Figueres adalah dua tokoh yang menjadi simbol perjuangan lingkungan dunia. Greta memimpin gerakan “Fridays for Future,” sementara Christiana Figueres memainkan peran penting dalam “Perjanjian Paris 2015.” Kepemimpinan mereka membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk memobilisasi massa dan menciptakan perubahan sistemik.
Hambatan yang Terus-Menerus Menghadang
Ada banyak hambatan yang membuat perempuan sulit berkontribusi secara penuh dalam isu-isu lingkungan. Hambatan ini bukan hanya persoalan struktural dan sosial, tetapi juga kultural.
Beberapa alasan mengapa perempuan susah masuk ke ranah kebijakan adalah partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan tentang lingkungan yang sangat minim. Islam mendorong perempuan untuk berkontribusi dalam kebaikan dan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk di ranah publik. Namun, hambatan sosial, seperti stereotip gender dan kurangnya dukungan keluarga, sering menjadi penghalang. Misalnya, perempuan yang ingin terlibat dalam program lingkungan sering kali dihadapkan pada tuntutan domestik yang lebih besar dibandingkan laki-laki.
Di banyak tempat, perempuan memiliki akses terbatas terhadap pendidikan formal, apalagi yang berkaitan dengan isu lingkungan. Padahal, pendidikan adalah kunci untuk memahami dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Perspektif Islam sangat jelas menekankan pentingnya pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW:
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan.” (HR. Ibnu Majah)
Budaya patriarki juga sering kali membuat peran perempuan hanya menjadi pelaksana kebijakan, bukan pembuat atau bahkan penentu kebijakan. Ini mempersempit ruang mereka untuk memberikan solusi yang inklusif dan inovatif dalam isu lingkungan.
Bagaimana Solusinya?
Aksi nyata peduli lingkungan, seperti menanam pohon demi masa depan yang lebih baik, perlu didorong lebih lanjut. Yang jelas, kita butuh perubahan cara pandang. Program-program seperti yang dilakukan oleh LLHPB Aisyiyah, dengan menggandeng perempuan sebagai aktor utama dan memasyarakatkan “Fikih Lingkungan,” bisa menjadi contoh yang baik. Mereka mencoba membawa perspektif Islam dalam upaya lingkungan, sekaligus mendorong perempuan untuk lebih aktif. Dengan begitu, agama bisa menjadi dasar untuk memperjuangkan isu lingkungan sekaligus memberdayakan perempuan.
Pesantren-pesantren juga bisa menjadi tempat yang strategis untuk edukasi lingkungan, misalnya dengan mengajarkan santri perempuan soal pengelolaan sampah secara 3R atau pengelolaan sumber energi dengan bijak.
Contoh lainnya di dunia internasional adalah Women and Environment Development Organization (WEDO). Organisasi ini memimpin kampanye global untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam isu perubahan iklim, seperti di UN Climate Summits. WEDO juga memfasilitasi perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan lingkungan. Hal ini bisa diimplementasikan di Indonesia dengan menyelenggarakan forum diskusi dan lokakarya yang melibatkan perempuan di kawasan rawan bencana untuk berbagi pengalaman dan solusi berbasis komunitas.
Atau bahkan dapat mengikuti langkah dari Gender and Climate Change Action Plan (GCCAP), yang memberikan panduan kepada negara-negara untuk mengintegrasikan gender ke dalam kebijakan iklim nasional. Perempuan dilatih untuk berpartisipasi dalam negosiasi kebijakan lingkungan. Apabila ini diimplementasikan di Indonesia, hal tersebut dapat membentuk kelompok advokasi khusus perempuan untuk isu-isu lokal seperti deforestasi, pencemaran air, atau pertambangan, dengan memberikan pelatihan hukum dan negosiasi kebijakan.
Pendekatan seperti ini menunjukkan bahwa dengan fokus pada perempuan, kita tidak hanya mendukung kesetaraan gender, tetapi juga menciptakan solusi lingkungan yang lebih efektif dan berkelanjutan. Dengan mengatasi beberapa hambatan dengan solusi di atas, perempuan dapat menjadi penggerak utama dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Perspektif Islam yang mendukung keadilan gender dan keberlanjutan harus dijadikan pedoman untuk memberdayakan perempuan di segala aspek, termasuk dalam pelestarian lingkungan lewat kebijakan-kebijakan strategis yang diambil. Perempuan tidak hanya terus-terusan menjadi korban perubahan iklim, tetapi juga pemimpin perubahan lewat penentu kebijakan.