Pernikahan Anak Dibiarkan: Tidak ada Kemauan Politik untuk Mencegahnya

Artikel ini dimuat di Harian Kompas edisi 25 April 2016.

JAKARTA, KOMPAS — Negara dinilai masih abai terhadap praktik pernikahan anak. Sejumlah riset dan advokasi telah dilakukan oleh para aktivis pemerhati anak dan perempuan, tetapi usaha itu buntu di tengah jalan. Tidak ada kemauan politik dari pemerintah dan DPR untuk mencegahnya.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartika Sari, Sabtu (23/4), mengatakan, Indonesia menempati peringkat kedua di Asia dan peringkat ke-10 di dunia dalam praktik perkawinan anak.

”Ini kondisi kritis. Risiko kematian ibu yang menikah pada usia dini empat kali lebih besar karena tulang panggul mereka belum sempurna. Mereka juga berisiko tinggi tertular penyakit menular seksual dan HIV/AIDS,” ucap Dian dalam seminar tentang peningkatan peran perempuan dan pencegahan perkawinan anak, di Gedung Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Jakarta.

Dian menilai, perkawinan anak adalah bentuk pemiskinan struktural karena rata-rata anak-anak yang menikah pada usia dini tidak lama kemudian bercerai, tidak mempunyai pendidikan layak, lalu bekerja serabutan, dan akhirnya jatuh dalam kemiskinan. ”Negara punya andil dalam kemiskinan struktural ini,” katanya.

Menurut penelusuran Kompas, Kamis (21/4)-Minggu (24/4), salah satu wilayah terdampak pernikahan dini adalah Nusa Tenggara Barat (NTB). Di provinsi ini tercatat Angka Kematian Ibu (AKI) 370 per 100.000 kelahiran.

Jumlah ini lebih tinggi daripada AKI nasional, yakni 359 per 100.000 kelahiran.

Salah satu faktornya adalah karena UU Perlindungan Anak belum disosialisasikan dengan maksimal sehingga aparat pemerintahan masih mengacu pada UU Perkawinan.

Pemalsuan umur

Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab) Lies Marcoes menyatakan, pihaknya menemukan praktik-praktik pemalsuan umur pada kartu tanda penduduk (KTP) anak-anak yang hendak menikah. ”Usia perkawinan yang paling rawan sekitar 14-15 tahun saat dorongan anak untuk bereksperimentasi sangat kuat, tetapi pemahaman jender mereka masih lemah,” ucapnya.

Hasil penelitian Rumah Kitab di sembilan daerah di Indonesia menunjukkan, satu dari lima perempuan Indonesia menikah di bawah umur. Sebanyak dua pertiga dari perkawinan anak tersebut akhirnya kandas di tengah jalan dengan tragedi perceraian.

Upaya judicial review Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) ke Mahkamah Konstitusi guna menaikkan batas usia pernikahan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, menurut Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy, telah dilakukan masyarakat sipil. Namun, MK menolaknya tahun lalu.

Ninuk yang saat itu tampil sebagai saksi ahli mengatakan, secara sosiologis, kesehatan, dan ekonomis, pernikahan anak sangat tidak menguntungkan. ”Namun, majelis hakim menolak judicial review dan lalu melimpahkannya ke DPR,” ujarnya.

Tahun lalu, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan, pihaknya tak bisa menetapkan batas usia kawin menjadi 18 tahun. Perubahan lebih tepat dilakukan melalui legislative review atau merevisi UU Perkawinan (Kompas, 20 Juni 2015). Dengan kata lain, MK mendorong DPR untuk merevisi undang-undang itu.

UU Perlindungan Anak

Praktik perkawinan anak, menurut Lies, juga jelas melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Maka, negara tidak bisa membiarkan ada peraturan perundang-undangan yang saling bertolak belakang. ”Yang harus dilakukan adalah kriminalisasi karena ini melanggar UU Perlindungan Anak. Pemalsu KTP anak bisa kena, pihak yang mengawinkannya juga bisa kena, karena mereka melanggar UU Perlindungan Anak,” paparnya.

Adapun peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama, Abdul Jamil Wahab, membantah praktik- praktik pernikahan anak masih tinggi di Indonesia. ”Pernikahan memang bisa dilakukan di bawah usia 16 tahun (untuk perempuan) dan 19 tahun (untuk laki-laki), tetapi harus ada dispensasi. Selama ini kami tidak pernah mendapat pengajuan dispensasi,” katanya. (ABK/DNE)

2 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.