Pos

Kisruh Mencium Anak

Belum lama ini, viral video seorang penceramah yang mencium anak kecil di mimbar dakwahnya. Yang membuat publik geram, pose menciumnya di luar kebiasaan. Sang penceramah itu mencium bibir anak-anak, bahkan ada foto yang menunjukkan ia meng-kokop pipi anak. Meski sebenarnya sang anak tak nyaman diberlakukan demikian.

Publik terpecah. Mayoritas geram melihat potret itu. Ada pula yang mencoba mendukung dengan memberikan dalil Nabi yang menganjurkan mencium anak kecil. Benarkah demikian?

Tulisan ini tidak sedang menggugat satu instansi lembaga pendidikan mana pun. Coretan ini justru dibuat untuk membela nilai-nilai agama yang tercoreng dari perilaku pendakwah tersebut. Ada dua hal mendasar yang perlu disoroti terkait fenomena ini. Pertama, soal ketokohan. Kedua, soal keadaban.

Soal Ketokohan

Elham Yahya, sang dai kondang yang digugat karena mencium anak ini adalah seorang Gus. Panggilan akrab bagi putra kiai. Fenomena memanggil putra kiai dengan Gus sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Jawa. Kita pun menyaksikan, ada banyak Gus yang benar-benar menghayati ilmunya, seperti Gus Baha’ dan Gus Mus. Meski sebenarnya keduanya sudah masuk level kiai, tetapi masih sering dipanggil Gus.

Namun, Gus yang bermasalah juga banyak. Terutama di tengah disrupsi informasi. Selain kasus mencium anak, jejak digital menunjukkan Elham Yahya pernah mengatakan dalam ceramahnya bahwa setiap satu tarikan hisapan rokok itu mendapatkan pahala. Senada dengan itu, Muhammad Izza Sadewa, seorang Gus dari Jombang, dalam sebuah video menyampaikan bahwa ada merek rokok melambangkan ketauhidan karena ada huruf A untuk Allah dalam kemasan rokoknya.

Mungkin penjelasan tentang rokok itu dibuat dengan tujuan bercanda, tetapi di situlah problemnya. Mereka tidak bisa menempatkan diri, mana yang bisa dibuat guyonan dan mana yang harus serius. Mohon maaf, kalimat ini mungkin cukup pedas, tetapi perlu disampaikan. Selama ini ulama pesantren sering mengkritik kalangan non-santri yang terburu-buru mengambil panggung dakwah. Maka kritik yang sama perlu kita sampaikan kepada “gus-gus” dan “ning-ning” muda yang belum saatnya berdakwah, tetapi diberikan panggung.

Hanya karena mereka keturunan kiai. Kalau logikanya hanya karena nasab, maka Nabi Nuh dan Nabi Luth pun mempunyai anak yang ingkar kepada Tuhan. Sekelas Nabi pun tak bisa menjamin anaknya menjadi baik. Apalagi manusia biasa yang bukan Nabi. Karenanya ada satu ungkapan yang sering disampaikan Cak Nur:

Al-ihtiraam fil Islam lil a’mal wal ihtiraam fil jahiliyyah lil anshab
Penghormatan dalam Islam berdasarkan amal, sedangkan penghormatan pada masa jahiliyah berdasarkan nasab atau keturunan.

Ungkapan tersebut perlu direnungkan berbagai pihak, terutama masyarakat. Jangan menghormati seseorang hanya karena dia anak kiai, ustaz, ajengan, anre’gurutta, dan sebagainya. Apalagi jika sikap dan perilakunya bertentangan dengan nilai-nilai keislaman dan akhlak yang mulia.

Soal Keadaban

Inilah persoalan kedua: keadaban. Tradisi pesantren amat menjunjung tinggi adab yang luhur. Kepada yang tua dihormati, yang muda disayangi. Namun, akhir-akhir ini ada kesenjangan antara dalil yang dihafal dengan potret yang viral.

Sebelum kasus ini, kita masih ingat seorang tokoh yang menghina penjual es teh dan dalam ceramahnya banyak mengobjektifikasi seks dan perempuan. Tokoh-tokoh semacam ini mungkin tidak banyak. Minimal tidak sebanding dengan tokoh pesantren yang alim, tawadhu, dan berakhlak mulia. Namun, citra publik tertuju pada mereka yang tersorot kamera.

Ironinya, mereka yang tersorot kamera sering kali lupa etika. Merasa pengikutnya sudah banyak, sehingga kebablasan dalam bersikap. Sebagai contoh soal mencium anak. Pendukung tindakan itu menggunakan dalil anjuran Nabi untuk mencium anak kecil. Berikut hadisnya:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَبَّلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ وَعِنْدَهُ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِيُّ جَالِسًا فَقَالَ الْأَقْرَعُ إِنَّ لِي عَشَرَةً مِنْ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ

Bahwasanya Abu Hurairah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, “Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampun melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan dirahmati/disayangi.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Jika kita membaca dengan cermat hadis tersebut, tentu kita tidak akan membenarkan potret yang dilakukan sang penceramah. Pertama, hadis itu jelas menyasar relasi ayah-anak kandung, bukan sembarang anak langsung dicium. Pesan utama hadis bukan pada praktik menciumnya, tetapi kehadiran ayah dalam ruang pengasuhan. Sesuatu yang kala itu—bahkan sampai kini—sering diabaikan laki-laki. Banyak yang menganggap pengasuhan anak hanya tugas ibu. Sejak awal Nabi sudah menyadari fenomena fatherless, satu istilah yang hari ini sering dibahas.

Maqasid kedua hadis itu adalah penekanan untuk menebarkan kasih sayang. Siapa yang tidak menyayangi, maka tidak disayangi. Dalam hadis lain, Nabi menegaskan: “Sayangilah mereka yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.” Prinsip kasih sayang ini tentu dibatasi syariat dan akhlak. Bukan pemahaman yang benar kalau ada seorang suami “menyayangi” istri orang lain.

Sama halnya dengan memaksa anak untuk dicium. Bukan sikap yang tepat ketika sang anak merasa risih dipegang, lalu orang dewasa memaksanya. Relasi kuasa seperti ini tidak melahirkan kasih sayang, tetapi ketakutan dan trauma. Terlebih karena anak kecil belum memahami konsep persetujuan (consent). Maka keteladanan seharusnya datang dari orang dewasa.

“Boleh nggak Mamah makan sedikit makanan kamu,” satu ungkapan sederhana dari seorang kawan kepada anaknya yang masih membekas dalam ingatanku. Terlihat sederhana, tetapi ini mengajarkan anak tentang persetujuan dan batasan yang perlu dihormati.

“Makanan itu milikku; kalau orang lain mau menyentuhnya, ia harus meminta izin. Sama dengan tubuh ini. Tubuh ini milikku; kalau ada yang ingin menyentuhnya, ia harus meminta izin terlebih dahulu”.

Ini pola parenting yang melihat anak sebagai manusia merdeka. Persis seperti nasihat Nabi kepada sahabatnya yang menjauh dari kehidupan anak. Sayangnya, kita malah dengan lapang dada memberikan panggung kepada mereka yang menciderai sunnah Nabi.

Jalan Moderat Mengatasi Serbuan Gawai dalam Kehidupan Anak

“Akses pertama pendidikan anak-anak adalah ibu, ketika seorang ibu mempersiapkan dirinya semaksimal mungkin, seraya itu dipersiapkan untuk masa depan anak-anak bangsa.”

Penggalan pesan tersebut, disampaikan Dr. Wahbah Zuhaili dalam karyanya yang berjudul al-Muslimah al-Mu’ashirah (2007). Secara literal, pesan tersebut memiliki nilai penting untuk seorang perempuan agar mempersiapkan dirinya, baik dari aspek kognitif maupun etikanya, sebelum ia menjadi ibu. Karena betapa pun itu, anak-anak dalam membangun karakternya tidak meniru dari sumber lain, melainkan dari orang terdekatnya, yaitu ibu—bahkan sejak ia di dalam kandungan.

Namun jika pesan di atas, dimaknai secara resiprokal (makna kesalingan), seorang ayah pun dituntut untuk mempersiapkan dirinya sebelum ia menjadi ayah. Sehingga keduanya, sama-sama memikul beban terhadap masa depan seorang anak, baik secara kognitif maupun etik.

Terlepas dari keduanya sebagai penjaga gawang moral seorang anak, setidaknya ada dua faktor yang berkontribusi penting terhadap kehidupan anak dalam membangun karakter, yaitu faktor internal dan eksternal. Segala tindakan orang tua yang terlihat oleh anak merupakan faktor internal, yang dapat membentuk karakter seorang anak dari wilayah domestik (rumah tangga). Tentu saja faktor yang pertama ini, berperan penting untuk menimbang faktor-faktor lain yang datang dari luar (eksternal).

Dalam realitas modern yang kian maju, tempat bermain anak-anak bukan lagi petak umpet, sepak bola, manjer layang-layang, dan permainan lainnya yang masih bersifat tradisional. Dunia modern telah berhasil membuat anak-anak lebih cenderung suka dan terhibur dengan gawai kecil yang bisa mengakses dunia lebih cepat, yang di dalamnya menyediakan berbagai macam jenis hiburan.

Yang pada gilirannya, hal itu menjadi kecemasan tersendiri bagi orang tua—mengingat hampir semua yang dapat diakses melalui gawai, seperti halnya pisau bermata dua. Di satu sisi, anak-anak bisa terhibur dan terdidik melalui gawai dan internet yang tersedia di dalamnya. Namun di sisi lain, gawai juga menyediakan banyak akses kejahatan dan konten-konten yang nir-faedah, yang sering kali menjadikan anak lupa makan, malas belajar, bahkan tindakan yang radikal sekalipun.

Informasi Dangkal dan Sensasional yang Menggempur Media Sosial

Mengutip dari esai yang ditulis M. Ikhsan Shiddieqy yang berjudul Brain Rot, Detoks Informasi, dan Reformasi Nutrisi (Harian Kompas pada tanggal 13 Juli 2025). Shiddieqy mengutarakan bahwa dampak kemunduran kognitif akibat konten-konten receh yang memberikan sensasi menarik, telah banyak dirasakan oleh Gen Z dan Gen Alpha, yang seharusnya menjadi kelompok usia yang paling produktif dan kreatif.

Dan ketika mereka kecanduan dengan layar gawai dan seisinya, itu berdampak pula pada kepekaan sosial Gen Z dan Gen Alpha yang menjadikannya malas untuk bersosialisasi. Bukan hanya itu, beberapa konten makanan yang menjadi trending topik di media sosial, berdampak pula pada kesehatan Gen Z dan Gen Alpha.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam catatan laporannya yang bertajuk Marketing of Unhealthy Foods and Drinks mengemukakan, bahwa anak-anak dan remaja menjadi target utama pemasaran produk makanan dan minuman yang kurang sehat yang dilakukan melalui konten media sosial.

Dan dalam keadaan seperti ini, tanggung jawab orang tua sangat dipertaruhkan untuk menopang masa depan anak-anaknya. Sehingga pertanyaan yang layak diajukan adalah bagaimana dan seperti apa orang tua menyikapi anak-anaknya yang sudah kadung nyemplung teradiksi gawai dan konten-konten receh tersebut?

Mendongeng: Solusi Literasi dari Kungkungan Teknologi

Dalam keadaan yang sedemikian adanya, orang tua berada di posisi yang dilematis. Karena ketegasan sikap orang tua dalam agenda pengurangan gawai dalam kehidupan anak, seringkali tergelincir dalam tindakan destruktif yang menjadikan anak trauma dan sakit mental bahkan melawan. Pun juga membiarkan anak dalam menggunakan gawai, yang secara tidak langsung orang tua telah membuka lebar gawang kemunduran intelektual dan degradasi moral seorang anak.

Dalam konteks psikologi modern, terdapat istilah emotional contagion atau penularan emosi. Kiranya, istilah itu dapat menjadi ukuran orang tua dalam menyikapi fenomena gempuran gawai yang hampir menyelimuti di seluruh sela-sela aktivitas anak.

Secara netral, istilah itu menggambarkan perihal emosional orang tua yang akan menular secara alami pada sisi emosional anak. Yang mana, ketika orang tua sedang dilanda emosi, tanpa disadari, gelombang emosional tersebut dapat menular pada anak, baik melalui ekspresi verbal, intonasi suara, maupun suasana psikisnya.

Oleh sebab itu, bagi penulis, emotional contagion adalah kata kunci bagi orang tua untuk bersikap lebih arif tanpa harus melahirkan dampak lain yang berpotensi negatif. Secara ilustrasi, ketika orang tua hendak mencegah anak untuk bermain gawai, di samping mengontrol emosi yang meliputi kata-kata kasar dan intonasi tinggi yang hendak dikeluarkannya, orang tua harus mengalihkan fokus keinginan anak kepada hal lain yang lebih positif.

Sebagai penggantinya, dengan mengutip apa yang disampaikan Agus Nur Amal, sosok seniman tutur dan pendongeng ulung dari tanah Aceh, dalam Festival Dongeng Internasional Indonesia yang digelar pada tanggal 1-2 November di Museum Bahari, Jakarta, ialah, mengajak anak membaca bukan sebatas pada buku saja, namun juga dapat diupayakan melalui gerak dan suara. Bagi Salim, literasi dapat tumbuh dari telinga yang mendengar, hati yang terbuka, dan imajinasi yang mengalir (Harian Kompas, 9 November 2025).

Dan apa yang disampaikan Salim, menjadi inspirasi baru bagi para orang tua dalam menyikapi anak di era kungkungan teknologi. karena setidaknya, lewat keajaiban mendongeng, anak-anak akan bersedia meletakkan gawai untuk berinteraksi dan bersuka-cita bersama. Di sisi lain, aktivitas mendongeng adalah ruang bagi anak-anak untuk kembali ke dunia nyata, tempat di mana ia bercengkerama dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Melalui emotional contagion, mendongeng adalah solusi moderat dari permasalahan anak dengan aktivitas bergawai, karena untuk membaca, anak-anak masih cenderung belum menyukainya.

Pandangan Kiai Said tentang Kesehatan Reproduksi (2)

Dalam konteks demografi, keragaman jumlah populasi dikaitkan dengan mutu penduduk, Keluarga Berencana (KB) menjadi relevan dibicarakan. KB, menurutnya harus dilihat sebagai ikhtiar manusia terkait dengan reproduksi manusia.

Pertanyaan selanjutnya, apakah upaya itu baik dalam bentuk KB atau upaya lainnya yang dibenarkan secara teknis bertentangan dengan hadis yang menekankan kebanggaan Nabi pada jumlah umat yang banyak.

Menurut Kiai Said, selagi tujuan KB tidak untuk memutus perkembangan reproduksi (tahdid al-nasl) melainkan hanya untuk mengatur kelahiran (tanzim al-nasl) maka agama tidak melarang. Yang tidak diperbolehkan, kata Kiai Said, jika membatasi anak karena didasarkan pada kekhawatiran bahwa rezeki dari Allah tidak akan mencukupi.

“Hal yang tidak boleh adalah  jika membatasi anak karena takut Allah tidak bisa mencukupi rezeki manusia, tidak bisa memberi makan, itu mutlak tidak boleh,” tegas Kiai Said.

Landasan Kiai Said adalah dalil Al-Quran sebagai berikut:

ولا تقتلوا أولادكم من إملاق نحن نرزقكم وإياهم

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” (QS al-An’am 151)

ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإياكم إن قتلهم كان خطءا كبيرا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS Al-Isra 31)

Lebih lanjut dengan mengutip sejumlah ayat kiai Said memperlihatkan bagaimana Al-Qur’an memberi pedoman agar dalam ber-KB ada prinsip-prinsip yang basisnya adalah larangan untuk berburuk sangka kepada Allah.

Kiai Said menegaskan bahwa setiap makhluk di dunia ini sudah diatur rezekinya oleh Allah SWT. Logika sederhana yang kerap digunakan sebagai pembanding adalah bahwa binatang yang tidak memiliki akal saja bisa makan, apalagi manusia. Allah SWT di dalam Al-Quran sudah berjanji:

وما من دآبة في الأرض إلا على الله رزقها ويعلم مستقرها ومستودعها كل في كتاب مبين

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (lauhmahfuz) (QS Hud: 6).

Sebagai pedoman, ayat tersebut memberi batasan bagaimana KB bisa dilaksanakan sebagai ikhtiar manusia. Jika bukan atas dasar meragukan rezeki Allah atau kekhawatiran tak mendapatkan pangan dengan meragukan kebaikan Allah, KB sama sekali tidak dilarang. Bahkan, dalam kondisi tertentu, malah dianjurkan.

Lebih lanjut, dengan menggunakan analisis bahasa, kiai Said mengatakan bahwa bentuk  amr (perintah) dalam hadis di atas bukanlah perintah wajib (amru lil wujub) melainkan bersifat anjuran yang dalam pelaksanaannya membutuhkan syarat.

Selanjutnya, Kiai Said mengutip pendapat Imam al-Ghazali yang membolehkan KB dengan berbagai alasan atau pertimbangan. Pertama, untuk memelihara atau menjaga kesehatan (ri’ayatu al-sihhah) perempuan. Kedua, demi pendidikan anak (li tarbiyatu al-nasy’i), mampu memelihara anak dengan baik.

Ketiga, demi kemaslahatan (lil maslahah). Kemaslahatan dimaksud adalah kebaikan keluarga, ketenangan, kenyamanan dalam keluarga, kesejahteraan, anak mendapatkan asuhan, pendidikan dan bimbingan. Dan yang keempat, untuk menjaga atau memelihara kecantikan perempuan (lil khifadz ala jamaliha).

Dengan demikian, KB harus dipandang sebagai ikhtiar manusia, namun dalam merumuskan ikhtiar dan praktiknya manusia dibimbing oleh aturan, dalam bahasa agama oleh syar’i, oleh etika sosial dan agama. Sebab tanpa itu kebijakan KB akan bersifat zalim dan jahiliah.

Ini dicontohkan di negara-negara yang memaksakan KB dengan mengejar-ngejar penduduknya seperti di Cina. Penduduk dipaksa hanya punya anak satu, kalau lebih dipaksa untuk menggugurkan kandungan. Ini yang dalam prinsip kemanusiaan juga dilarang karena melanggar HAM.

“Jadi, kesimpulannya secara hukum Islam KB itu boleh. Hanya alasan atau argumentasi yang disosialisasikan, niat (nawaitu) orangnya harus diperbaiki,” 

“Memang, di awal-awal KB digulirkan, banyak kiai menolak. KB disamakan dengan ‘pembunuhan tersamar’ atau ‘pembunuhan kecil’. Itu ekstremnya begitu. Namun, setelah NU membolehkan dan malah ikut mensosialisasikan program KB, para kiai mulai banyak menerima. Bahkan di NU sendiri ada lembaga LKKNU (lembaga kemaslahatan keluarga Nahdlatul Ulama) yang secara aktif ikut mensosialisasikan KB”.

Sebagai referensi, kiai Said merujuk Konferensi Besar Syuriah Nahdlatul Ulama ke-1 pada 18-22 April 1960. Di sana disepakati bahwa: azl (mengeluarkan sperma di luar rahim) atau dengan alat yang mencegah sampainya sperma ke rahim, seperti kondom, dihukumi makruh.

Begitu juga makruh meminum obat untuk menjarangkan kehamilan. Terlebih, jika memutus kehamilan sama sekali, dihukumi haram, kecuali ada bahaya. Semisal, terlalu banyak melahirkan anak dan menurut dokter bisa membahayakan nyawa ibunya, maka hukumnya boleh.

Keputusan ini didasarkan pada beberapa pendapat ulama yang tercatat dalam kitab-kitab mu’tabarah (sumber-sumber otoritatif), seperti kitab Asna al-Mathalib hal. 186, Fatawa Ibnu Ziyad hal. 249, al-Bajuri hal. 93 vol II, dan Ahkamul Fuqaha hal. 231 vol. II.

والعزل تحرزا من الولد مكروه وان أذنت فيه المعزول عنها حرة كانت اوأمة لانه طريق الى قطع النسل

“Adapun azl adalah makruh, meskipun pihak wanita mengizinkan, baik wanita budak maupun wanita merdeka, karena azl merupakan cara untuk memutus keturunan.”

افتى ابن عبد السلام وابن يونس بأنه لا يحل للمرأة أن تستعل دواء يمنع الحبل ولو برضا الزوج

“Ibnu Abdussalam dan Ibnu Yunus berfatwa, sesungguhnya tidak halal bagi istri memakai obat anti kehamilan walaupun suami mengizinkan”.

وكذا استعمال المرأة الشئ الذى يبطئ الحبل ويقطعه من أصله قيكره فى الأول ويحرم فى الثانى وعند وجود الضرورة فعلى القاعدة الفقهية اذا تعارضت المفسدتان روعى أعظمها ضرارا بارتكاب أخفهما مفسدة

“Demikian halnya wanita yang mempergunakan sesuatu (seperti alat kontrasepsi) yang dapat memperlambat kehamilan. Hal ini hukumnya makruh. Sedang memutus keturunan hukumnya haram. Dan ketika darurat maka sesuai dengan kaidah fikih: jika ada dua bahaya saling mengancam, maka diwaspadai yang lebih besar bahayanya dengan melaksanakan yang paling ringan bahayanya”.

Jadi, menurut Kiai Said, berdasarkan pada keputusan ulama di atas, pada prinsipnya KB dibolehkan. Sehingga, penolakan apapun terhadap KB harus dikembalikan pada kemalahatan, karena KB sendiri sejatinya adalah untuk kemaslahatan keluarga. “Jika anaknya 10 di dalam keluarga itu terasa tegang,” kata Kiai Said.

Menurut Kiai Said, sebelum dikenal pelbagai alat kontrasepsi, Islam sendiri sebetulnya sudah mengenal KB, yaitu melalui azl (coitus interuptus). Azl dipraktikan para sahabat Nabi untuk melakukan penjarakan dan pengaturan kelahiran. Sehingga banyak bermunculan hadis tentang azl, baik yang membolehkan atau yang melarang. Selanjutnya muncul pendapat ulama yang mengatakan azl sama dengan “pembunuhan tersamar” (al-wa’du al-khafy) atau “pembunuhan kecil” (al-wa’du al-asghar).

Jelas harus dibedakan antara pembunuhan dan pencegahan. KB-kan hanya mencegah, tidak membunuh. Bahkan, kiai-kiai kita dulu menggunakan jus nanas muda untuk diminumkan kepada istri-istrinya. Ini cara tradisional untuk mengatur kelahiran. KB berbeda dengan aborsi, misalnya. Kalau Aborsi biasanya sudah ada janin kemudian digugurkan. Itu namanya pembunuhan”.

Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menolak jika azl dikategorikan sebagai pembunuhan. Menurutnya, azl tergantung niatnya. Jika niatnya untuk mengatur kelahiran, misalnya, kalau anaknya banyak maka dikhawatirkan tidak terurus, maka azl boleh dilakukan. Atau, azl bertujuan menjaga istri agar awet muda. Dengan awet muda diharapkan memperpanjang umur perkawinan.

Kata al-Ghazali, azl tidak dibolehkan jika niatnya agar tidak lahir anak perempuan, seperti tradisi Arab Jahiliyyah. Jadi, menurut Kiai Said, pandangan dan penolakan apa pun terhadap KB dikembalikan pada kemaslahatan, karena KB adalah untuk kemaslahatan keluarga.

“Jika anaknya 10 di dalam keluarga itu terasa tegang. KB itu maslahah ammah (kemaslahatan umum yang bersifat universal). Dalam ushul fiqh-nya disebut istihsan, apa yang menurut manusia baik, maka baik. Ma hassanahul mu’min fahuwa hasan. Kalau tidak ada hadis atau al-Quran, maka dikembalikan pada common sens atau akal sehat. Nah, untuk mengatur maslahah atau tidaknya, maka dikembalikan pada Negara,” kata Kiai Said.

Begitu juga dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi. Selagi tidak membahayakan maka tidak bermasalah. “Walhasil, boleh-boleh saja. Kalau boleh-boleh itu mendekati haram, namanya makruh. Jika mendekati wajib namanya sunnah. Kembali pada la dharar wala dhiror. Jangan berbuat bahaya dan membahayakan,” ujar kiai Said.

Kiai Said menambahkan sama seperti nikah muda pada prinsipnya tidak dilarang, secara agama sah-sah saja, tetapi negara boleh menerbitkan regulasi kalau memang ada kemaslahatan.

Lagi pula perintah dalam dalam hadis: Tazawwaju al-Walud al-Wadud (nikahilah perempuan yang subur), amr (perintah) dalam hadis itu hanyalah anjuran, bukan kewajiban. Sehingga hukumnya pun tidak permanen (qat’i) (bersambung).

Pandangan Kiai Said tentang Kesehatan Reproduksi (1)

Berikut serial pemikiran Kiai Said tentang Kesehatan Reproduksi (kespro). Tulisan ini diolah dari pelbagai sumber dan wawancara langsung. Sebelum menyelami inti pemikiran beliau, terlebih dahulu dipaparkan biografi beliau yang sedikit banyak memengaruhi konteks pemikirannya.

Kiai Said Aqil Siraj lahir di Kempek, Palimanan, Cirebon, dari pasangan Kiai Aqil Siraj dan Hj Afifah. Kiai Said sendiri merupakan anak kedua dari lima bersaudara, yaitu: Ja’far, Musthafa, Ahsin, dan Niamillah.

Kiai Said pertama kali belajar agama pada guru sekaligus ayahnya: Kiai Aqil Siraj, salah satu pengasuh di Pondok Pesantren Kempek. Di tanah kelahirannya ini, Kiai Said menyelesaikan pendidikan dasar Sekolah Rakyat (SR).

Kiai Said kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah asuhan dan bimbingan langsung Hadratus Syaikh Kiai Makhrus Ali yang tergolong masih kerabat ayahnya dari Pesantren Gedongan, Cirebon.

Di Lirboyo, Kiai Said menyelesaikan Madrasah Tingkat Aliyah, kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Tribakti yang didirikan Kiai Mahrus Ali. Tak sampai selesai, Kiai Said melanjutkan ke IAIN Sunan Kalijaga sambil nyantri di Pesantren Krapyak asuhan Kiai Ali Maksum.

Di Krapyak Kiai Said bertemu dengan Nurhayati yang pada tanggal 13 Juli 1977 menikah dengannya. Dari perkawinan itu, Kiai Said dikaruniai empat putra-putri: Muhammad, Nisrin, Rihab, dan Aqil. Di sini pula ia menjadi teman seangkatan pemikir NU, Kiai Masdar Farid Mas’udi yang pernah sama-sama menjadi pengurus PBNU.

Ketika kiai Masdar mengembangkan program Fiqh An-Nisa untuk penguatan Hak-hak Reproduksi Perempuan, kiai Said sering kali diundang untuk mendemonstrasikan penggunaan metode ushul fiqh dalam melihat kemaslahatan bagi umat tanpa mencederai pandangan keagamaan yang umumnya telah dipahami atau diyakini umat, terutama di kalangan NU, termasuk dalam isu Keluarga Berencana (KB).

“Ketika anak saya sudah empat, saya ikut KB. Saya pakai alat kontrasepsi, istri saya minum obat. Pilihan KB saya ambil karena saya masih belajar (kuliah) dan dirasakan repot mengurus dan membesarkan anak banyak,” kata Kiai Said mengenang waktu ia belajar di Saudi Arabia.

Keempat anaknya itu lahir di Makkah, Arab Saudi, ketika ia kuliah di Ummul Qura. Kiai Said menyelesaikan S-1 di universitas ini tahun 1982 di Jurusan Ushuluddin dan tahun 1987 selesai S-2 Jurusan Perbandingan Agama dengan penelitian tentang Perjanjian Baru dan Surat-Surat Paus Johanes Paulus.

Memasuki tahun ke 14 di Mekkah, atau tepatnya tahun 1994, Kiai Said menggondol gelar doktor dengan disertasi “Shilatullah bil Kaun Fi Tasawwuf Falsafi” (Relasi Tuhan dengan Alam dalam Perspektif Tasawuf Falsafi). Kiai Said berhasil mempertahankan disertasinya dengan nilai cum laude.

Sejak di Makkah Kiai Said sudah kenal akrab dengan Kiai Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Setiap kali ke Makkah, Gus Dur pasti menginap di kediaman Kiai Said. “Kalau sudah nginep, Gus Dur selalu ngajak bapak berdiskusi dari sore sampai pagi,” kenang Muhammad, anak pertama Kiai Said.

Gus Dur sendiri mengakui kecerdasan dan keilmuan Kiai Said. Suatu waktu Gus Dur pernah berseloroh, “Kiai Said itu kamus berjalan. Doktor muda dengan disertasi seribu referensi”. Nurcholis Madjid atau Cak Nur juga mengakui keilmuan Kiai Said. “Said Aqil ini putra kiai yang cerdas. Dia pernah berjanji akan menulis disertasi tentang al-Ghazali sekaligus ingin mengkritiknya,” kata Cak Nur.

Tahun 1995 Kiai Said pulang ke Indonesia. Gus Dur selaku ketua umum PBNU langsung memberi posisi strategis sebagai Wakil Katib Am  (wakil sekretaris umum) PBNU.

“Saat menjabat pengurus PBNU saya pernah jadi pembicaraan konferensi internasional tentang kependudukan di Bali, itu sekitar tahun 200an. Waktu itu ketua PWNU Jawa Timur, saudara Ali Maschan Musa. Saya diutus PBNU untuk menjadi salah satu narasumber menjelaskan KB dalam perspektif Islam.” 

Jika dipelajari biodatanya, niscaya kita akan melihat sederetan aktivitasnya baik di dunia akademik maupun dalam organisasi. Selain menjadi dosen beliau meniti karier organisasi dari tingkat yang paling bawah, ranting sampai PBNU. Terlihat dengan jelas kiai Said merupakan veteran dalam dunia pendidikan sekaligus organisasi. Dan ini tergambar pula dalam cara beliau menjelaskan soal pentingnya KB untuk kemaslahatan umat.

Pandangan Kiai Said tentang KB

Menurutnya, pada hakikatnya Islam menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk  berketurunan dengan cara memiliki anak banyak. Ini misalnya digambarkan dalam Al-Qur’an agar setiap manusia bertebaran di bumi, berpasang-pasangan lalu beranak-pinak  untuk kemudian saling mengenal (ta’aruf). Selain  dalam Al Qur’an, perintah agar laki-laki menikahi perempuan yang subur dan (berpotensi) memiliki anak banyak juga disebut dalam hadis Nabi SAW:

تزوجوا الولود الودود فانى مكاثر بكم الأمم يوم القيامة رواه ابو داود

“Nikahilah wanita-wanita yang subur (banyak anak) dan penyayang. Karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat lain di hari kiamat nanti” (HR Abu Dawud)

Terkait dengan hadis ini, Kiai Said menyatakan bahwa:

“Hadis ini memberikan pesan sepertinya Nabi Muhammad SAW akan merasa bangga jika umatnya lebih banyak dibanding umat Nabi-Nabi yang lain. Karenanya, kalangan yang membaca hadis itu secara harafiah akan memaknai bahwa Islam mendorong umatnya untuk kawin, agar mereka punya anak, berketurunan, sehingga umat manusia tidak punah sampai hari kiamat nanti. Ini juga tergambar dalam rumusan tujuan nikah (mabda’ al-nikah) yaitu al-muhafadzah ala al-nasl (reproduksi).” 

Menurut kiai Said, dalam sejarah politik di dunia, logika ini juga digunakan. Terbukti, kata Kiai Said, negara-negara yang mempunyai populasi banyak, memiliki daya tawar cukup kuat dibanding negara-negara berpenduduk sedikit.

“Ternyata, bobot negara dihitung dari populasi penduduknya. Apalah arti Kuwait, Qatar, Bahrain, Brunei? Negara dengan penduduk kecil seperti tak ada bobotnya di mata dunia. Namun ternyata bobot itu tak selalu menunjuk kepada jumlah. Sebab selain jumlah orang akan melihat mutu. Beberapa negara di Eropa dan atau Singapura adalah contoh itu. Kualitas memang mutlak diperlukan, tanpa mengabaikan kuantitas. Negara Singapura dan Jepang yang menyadari makin banyak anak muda tak menikah atau  pasangan tak memiliki anak, mendorong warganya untuk  berkeluarga dan punya anak. Indonesia, akan makin diperhitungkan dunia karena penduduknya banyak. Apalagi kalau banyak, SDM melimpah, kaya raya, SDA-nya berkualitas,” 

“Coba lihat Jepang (126. 890. 000). Warga negaranya malas menikah, malas punya anak. Dalam lima tahun berkurang 1 juta. Sekarang kalau ada orang kawin dan punya anak dikasih uang, diberi hadiah oleh negara, Singapura (5.535. 000), kalau anak mudanya punya anak dikasih bonus atau hadiah, China (1.380.370.000) sekarang sudah boleh 2 anak, karena sudah banyak yang tua, lanjut usia, sudah tidak produktif lagi. Hitungannya kira-kira dalam tiga puluh tahun meregenerasi lagi”. 

Dalam paparannya, Kiai Said mengatakan bahwa Negara Timur Tengah yang banyak penduduknya hanya Mesir yang mendekati 100 juta penduduk, lalu Iran yang penduduknya  hampir 80 juta, Turki juga mendekati 80 juta. Mereka menjadi perhatian dunia. Secara kontras kiai Said membandingkannya dengan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya namun jumlahnya kecil seperti Kuwait  yang hanya 4 juta, Qatar 2 juta, atau bahkan Saudi yang kurang dari 40 juta penduduk, Syiria sebelum perang mencapai 24 juta penduduk, tetapi kini niscaya separuhnya pun kurang.

Namun, negara-negara Islam dengan penduduk besar pun ternyata bisa menjadi perhatian dunia bukan karena kehebatannya melainkan karena kemiskinannya. Misalnya Pakistan dengan jumlah populasi mendekati 200 juta penduduk, Bangladesh yang hampir 100 juta penduduk. Begitu juga di negara-negara Afrika Barat seperti Sudan, Aljazair yang terus dilanda konflik perebutan sumber daya dan ekonomi. Mereka menjadi perhatian dunia karena jumlah penduduknya besar tapi miskin dan sangat rentan konflik etnis dan agama. Di negara-negara berpenduduk Muslim terbesar itu celah jurang kaya miskin sangat mencolok (bersambung).

Menggugat ‘Ternak’ Anak

Kata ‘ternak’ (mungkin) cukup keras untuk disandingkan dengan ‘anak’ manusia. Tetapi, kadang perlu kata yang tegas untuk memberikan kesadaran bahwa ada masalah dari cara kita melihat sosok anak.

Mulai dari ungkapan, “banyak anak, banyak rezeki”. Alhasil banyak pasutri yang berlomba-lomba mempunyai anak. Nyatanya, setelah anak melimpah, rezeki tetap saja terbawah. Sebab kunci rezeki bukan pada kuantitas, tetapi kualitas sumber daya insani yang digagas.

Pola pikir lain menegaskan bahwa keluarga yang ideal adalah yang melahirkan buah hati. Sepasang suami istri belum lengkap tanpa kehadiran anak. Hal ini juga menjadi stigma baru bagi mereka yang memilih untuk tidak mempunyai anak.

Terlebih di tengah kondisi ekonomi, sosial, politik hari ini, geliat childfree kian menggema. Ketika berbicara seputar otonomi tubuh dan kesuburan perempuan, sosok anak sering dikaitkan dan digambarkan sebagai beban. Alhasil, publik terbelah dengan dua arus utama yang bertolak belakang.

Di satu sisi, ada yang mendewakan kehadiran anak dalam keluarga, sebisa mungkin, anak harus ada, bagaimana pun caranya. Ada pula yang menegasikannya dengan segala macam alasan: ideologis hingga pragmatis.

Sebenarnya, ada opsi ketiga yang dapat kita pertimbangkan untuk melihat isu otonomi tubuh, kesuburan dan peran anak dalam keluarga. Sebagaimana yang diungkap oleh Toni Morrison dalam artikelnya berjudul “Women, Race and Memory” berikut:

“Daripada membatasi definisi feminin pada sebuah kromosom, ketimbang mengubah definisi untuk mengangkat kromosom lainnya, mengapa tidak memperluas definisi untuk menyerap keduanya? Kami memiliki keduanya. Karena tidak menginginkan atau membutuhkan anak bukan berarti kita harus meninggalkan panggilan hati untuk mengasuh.

Mengapa tidak mendefinisikan feminisme dengan makna baru-makna yang membedakannya dari memuja-perempuan dan dari mengagumi-lelaki? Yang benar, bahwa laki-laki bukanlah jenis kelamin yang superior; perempuan juga bukan jenis kelamin yang superior”.

Peraih Nobel Sastra pada 1993 ini memberikan tawaran definisi terkait feminisme. Alih-alih sebagaimana yang dipahami selama ini, feminisme itu anti-pria dan anak, justru feminis mencoba menyejajarkan perempuan dan laki-laki pada kasta yang sama. Tak ada relasi superior-inferior. Dan rasanya, feminisme semacam ini amat relevan dalam konteks keindonesiaan.

Terlebih, dalam tulisan tersebut, Morrison menegaskan, “Karena tidak menginginkan atau membutuhkan anak bukan berarti kita harus meninggalkan panggilan hati untuk mengasuh”. Bagiku, ini adalah spirit utama feminisme-keibuan. Bisa saja seseorang menolak memiliki anak biologis, tetapi panggilan jiwa seorang manusia untuk mengasuh sulit dibuat luruh.

Anak biologis itu adalah pilihan. Ada banyak pertimbangan yang membuat orang tidak bisa mempunyai anak. Misalnya kesehatan. Meski demikian, seseorang tetap dapat mengasuh melalui adopsi anak yang terlantar atau mendidik generasi penerus di instansi pendidikan.

Semua ini adalah kerja pengasuhan yang erat kaitannya dengan gerakan feminin. Pada pola pengasuhan ini juga, seorang perempuan tetap dapat independen dengan tubuhnya. Ia punya hak penuh untuk melahirkan atau tidak. Pada saat yang sama, ia tetap dapat mengasuh anak.

Di satu sisi, gerakan pengasuhan ini juga dapat menjadi solusi mengurangi anak-anak terlantar yang dibuang atau ditinggal oleh keluarganya sejak kecil. Tugas sebagai manusia adalah menyambung dan mencurahkan kasih sayang, shilah al-rahim. Bukan ‘beternak’ dengan melahirkan terus-menerus tanpa curahan kasih sayang.

Namun, kalau ada perempuan yang memilih melahirkan banyak anak dan ia mampu membesarkan dengan sepenuh hati, itu adalah pilihan hidupnya yang patut dihormati. Baik yang memilih mempunyai anak atau tidak, selama itu lahir dari kesadaran mandiri, bukan paksaan suami apalagi keluarga dan masyarakat, pilihan itu adalah jalan yang bermartabat.

Justru di sinilah ruang kebebasan itu patut dirayakan. Ketika semua bisa memilih ekspresi ketubuhan sesuai dengan keyakinannya, itulah otonomi. Meski pada saat yang sama, perlu digarisbawahi, setiap kemandirian ada pertanggungjawaban. Maka menjadi feminis bukan hanya mengajarkan kita menjadi pribadi yang berdikari, tetapi juga manusia yang mawas diri.

Membongkar Tabu Ketubuhan

Belum lama ini, ada satu konten tiktok yang menarik perhatian. Konten kreator @husnaafhh mengomentari video yang dibuat oleh seorang guru muda @dhoni.rmd. Hal yang dikomentari adalah seputar kontak fisik yang ‘berlebihan’ antara murid dan guru.

Ia mengkritik hal tersebut karena menurutnya itu hal yang tidak boleh dinormalisasi. Bahwa memang dunia anak adalah bermain, tetapi sang guru seharusnya tetap memberikan batasan fisik. Terlebih bagi perempuan yang secara biologis lebih cepat memasuki masa pubertas.

Sebenarnya konten serupa @dhoni.rmd cukup banyak di tiktok. Beberapa kali saya pun melihat konten serupa. Sayangnya, banyak yang mendukung hal semacam itu dengan beragam alasan. Misalnya, itu dilakukan untuk membangun bonding antara guru dan murid. Ada juga yang mengaitkannya dengan tingkat fatherless yang tinggi.

Namun, di sinilah letak problem mendasar dari pola pendidikan kita. Membiarkan orang lain secara bebas berinteraksi dengan anak—meskipun dia seorang guru, tanpa memberikan penegasan bahwa ada batasan-batasan tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang lain.

Kelihatannya sepele, padahal tindakan semacam ini bisa berkembang menjadi child grooming. Imbasnya, anak dapat menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Sebab anak tidak mengetahui batasan yang perlu dijaga. Karenanya, pendidikan seks termasuk mengenalkan otonomi tubuh manusia pada anak perlu dilakukan sejak awal.

Ironinya, hal ini justru sering dianggap tabu. Membicarakan seks, apalagi dalam ruang pendidikan dan keagamaan, seolah perlu dihindarkan. Seks dianggap barang haram, padahal itu bagian dari naluri manusia yang tidak bisa dilepaskan. Alih-alih melarang apalagi mengabaikan, justru yang penting adalah mengenalkan dan mengarahkan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Terlebih bagi umat Islam. Salah satu karakter orang beriman sebagaimana yang digambarkan Al-Quran adalah mereka yang menjaga kemaluannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mu’minun ayat 5:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَ ۙ

“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”.

Ayat tersebut menegaskan dengan konkret bahwa bagian dari keimanan adalah menjaga harga diri dengan tidak menyerahkan tubuh kepada orang lain. Bahkan dalam konteks masyarakat Arab saat itu yang sering ‘menjual’ anak perempuannya untuk melacur pun dikritik keras dalam Al-Quran. Sebagaimana potongan ayat ke 31 surat al-Nur berikut:

… ۗوَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا …

“…Janganlah kamu paksa anak-anak gadis melakukan pelacuran karena kamu hendak mencari keuntungan dunia…”

Dari dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa setiap orang berhak menjaga tubuhnya dari segala bentuk eksploitasi yang merendahkan harkat manusia. Dalam Al-Quran, akumulasi eksploitasi diri itu disebut dengan fahisyah yang berarti perzinaan, pencabulan, pornografi, pemerkosaan, dan tindakan keji lainnya.

Menurut Ziauddin Sardar dalam buku “Reading the Quran: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam”, dengan urgensi untuk menghindari fahisyah itulah, Al-Quran memberikan perhatian khusus pada tubuh manusia. Tubuh secara hakikat bukanlah sesuatu yang cabul atau tidak pantas. Sebagaimana seks juga bagian dari kecenderungan alamiah, tubuh pun bagian dari penampilan fisik manusia.

Penting menjaga ketubuhan dalam Islam juga dapat dilihat dari ibadah yang berkaitan dengan anggota tubuh. Salah satunya adalah wudhu. Ibadah ini tidak hanya praktik membasuh bagian tubuh dengan air, tetapi juga terselip pesan untuk menjaga kebersihan tubuh. Ini adalah bagian dari pendidikan otonomi tubuh yang mendasar dalam Islam. Sayangnya, jika praktik wudhu sudah diajarkan kepada anak sejak dini, mengapa otonomi tubuh anak justru abai untuk dikenalkan?

Dalam buku “Fikih Perlindungan Anak” yang diterbitkan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menegaskan bahwa Islam telah memberikan pengajaran pendidikan seks bagi remaja dan orang tua dalam mengarahkan anak untuk tidak terjerumus pada perilaku negatif. Ada tiga pola yang dapat dilakukan orang tua untuk mengenalkan pendidikan seks kepada anak.

Pertama, memisahkan tempat tidur anak. Dalam hadis, Nabi menegaskan untuk memisahkan tempat tidur anak dengan orang tuanya pada usia sepuluh tahun. Sebab pada usia ini, anak memasuki masa pubertas. Ketika tidak dipisahkan, dikhawatirkan memberikan rangsangan seksual bagi yang lain. Ini adalah pendidikan seks yang paling awal dalam keluarga. Dalam konteks yang lebih luas, ajaran ini memberikan penekanan pada penghargaan ruang privat bagi anak.

Kedua, perlu ada izin ketika anak hendak masuk ke kamar orang tua, demikian pula sebaliknya. Konsep izin ini lebih jauh dapat dipahami sebagai bagian dari consent. Seseorang tidak bisa memasuki ruang privat yang lain tanpa izin yang ketat.

Ketiga, adab memandang orang lain. Islam memperkenalkan istilah menundukkan pandangan (gadhul bashar). Sayangnya, justru ajaran ini sering dipahami sebagai upaya intervensi terhadap tubuh perempuan. Ketika ada kasus pelecehan, perempuan distigma sebagai penyebab karena memakai baju yang minim sehingga seorang pria gagal menundukkan pandangannya.

Pemahaman ini bukan hanya keliru, tetapi juga merendahkan martabat perempuan yang sudah menjadi korban. Esensi gadhul bashar adalah menjaga pandangan kedua belah pihak dan menghormati ruang otonomi ketubuhan setiap insan. Ajaran ini sebenarnya berkaitan dengan menaruh batasan yang jelas. Mana yang boleh disentuh dan dilihat; mana yang tidak.

Dan yang terpenting, penundukan ini bukan hanya pada pandangan mata, tetapi juga hawa nafsu. Islam tidak melarang manusia untuk menyalurkan hasrat seksual, tetapi ada aturan yang perlu dilalui. Hanya melalui pernikahan saja pemenuhan seksual dapat dibenarkan. Aturan yang ketat seputar akses ketubuhan ini bukan untuk membatasi ruang gerak manusia. Justru aturan ini sebagai bagian dari penghormatan terhadap kemanusiaan.

Dengan memahami ajaran agama secara utuh, ketubuhan bukanlah ajaran baru dalam Islam. Ia melekat bersanding dengan keimanan yang kokoh. Karenanya, pendidikan soal tubuh juga perlu dilakukan sejak dini agar anak terhindar dari pelecehan dan kekerasan seksual. Sebagaimana pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati.

Dengan atau Tanpa Anak, Tubuh Perempuan Tetap Berharga

Beberapa hari yang lalu di beranda media sosial saya ramai tentang perdebatan soal nilai tubuh perempuan. Bagi sebagian orang, ternyata sangat wajar seorang laki-laki meninggalkan pasangannya hanya karena ia tidak mampu, atau tidak mau memiliki anak.

Bahkan di kolom komentar, para laki-laki lain pun ikut merayakan pernyataan tersebut. Katanya “wajar gak sih suami menuntut istri punya anak. Kan emang tujuan pernikahan tuh buat punya keturunan”. “Kalau emang gak punya anak, entah karena pilihan atau emang mandul, ya suami boleh-boleh aja menceraikannya, atau mungkin bisa diatasi dengan poligami”.

Membaca komentar-komentar tersebut membuat saya gemetar dan marah. Rasa-rasanya, sejak lahir tubuh perempuan tidak pernah menjadi miliknya sendiri. Bayangkan, ketika ia lahir, vaginanya sudah diperdebatkan apakah harus disunat atau tidak.

Bersamaan dengan itu, ia juga akan terus dinilai dan dikontrol sesuai keinginan orang-orang di sekitarnya. Yang dalam banyak realitas sosial, pihak laki-lakilah yang punya hak untuk menentukan apa yang boleh dan tidak atas tubuh perempuan. Misalnya anak perempuan hanya boleh main boneka, tidak dengan mobil-mobilan, hanya boleh bermain masak-masakan, tidak dengan memanjat pohon.

Kontrol atas tubuh perempuan ini berlanjut hingga kehidupan rumah tangga. Setelah menikah, sebagian laki-laki masih menganggap perempuan sebagai mesin pencetak anak, yang harus memberikan anak, dan kalau bisa, bahkan pada sebagian masyarakat hari ini masih diwajibkan, adalah anak laki-laki.

Bahkan untuk menguatkan kontrol ini, perempuan dianggap lemah dan tidak bernilai ketika ia tidak bisa menjadi ibu atau tidak mau memiliki anak (memilih childfree). Dalam kasus yang lebih memprihatinkan, seorang laki-laki bisa meninggalkan, bahkan menduakan istrinya, hanya karena ia tidak memperoleh keturunan yang diinginkannya.

Kenyataan pahit atas tubuh perempuan tersebut sangat pas sekali dengan pembacaan Ester Lianawati dalam buku “Dari Rahim ini Aku Bicara”. Dalam pemaparannya disebutkan bahwa dalam masyarakat patriarki, rahim perempuan harus menghasilkan.

Karena itu, demi menghasilkan sebanyak mungkin anak, praktik-praktik yang mendukung kelahiran diupayakan, seperti poligami, larangan penggunaan kontrasepsi, larangan aborsi, larangan onani, dan bahkan larangan homoseksualitas.

Tubuh Perempuan yang Ditindas

Hal tersebut semakin memperlihatkan dengan jelas bagaimana patriarki terus menerus menindas perempuan. Ia hanya bernilai ketika tubuhnya mampu memberikan apa yang diinginkan oleh konstruksi sosial.

Perempuan kerap dianggap berharga hanya ketika mampu melahirkan, bahkan dalam pandangan sempit, harus melahirkan secara pervaginam (bayi lahir alami melalui jalan lahir). Ia dinilai cantik ketika tubuhnya tetap putih, langsing, awet muda, dan tanpa keriput, meski usia terus bertambah. Perempuan juga baru mendapat pujian jika tidak banyak bicara dan sanggup mengerjakan kerja-kerja domestik seorang diri, meski sebenarnya ia sedang kelelahan.

Menurut Ester, tuntutan-tuntutan tersebut bukan hanya merampas kepemilikan perempuan atas tubuhnya sendiri, tetapi juga memecah belah sesama perempuan. Perempuan dengan anak vs perempuan tanpa anak.

Karena itu, tak heran jika dalam pembicaraan soal anak, perempuanlah yang lebih dulu disalahkan, bahkan tidak jarang justru menyalahkan diri sendiri. Ia merasa tak berharga ketika belum bisa menjadi ibu, sekaligus iri pada mereka yang sudah memiliki anak. Akhirnya mereka terjebak pada kondisi memandang perempuan lain sebagai saingan.

Begitu pun dengan perempuan yang memilih childfree, sering kali ia dipandang sebagai perempuan yang tidak berguna dan melanggar kodrat sebagai perempuan.

Dalam kondisi seperti ini, Ester dalam buku yang sama mengingatkan perempuan untuk merebut kembali otonomi tubuhnya sendiri. Ya, meski perempuan terlahir dengan rahim, ia tetap punya kontrol atas dirinya sendiri. Menjadi ibu ataupun childfree hendaknya menjadi pilihan, bukan tuntutan dan bukan kewajiban.

Sudah saatnya kita hentikan pembangkitan rasa bersalah pada perempuan. Dengan atau tanpa anak, tubuhnya tetap bernilai. Ia tetap berharga dengan menjadi dirinya sendiri.

Terakhir, barangkali puisi Ester di penutup buku “Dari Rahim ini Aku Bicara” bisa merangkul setiap perempuan yang tengah berjuang merebut otonomi tubuhnya sendiri.

Dari rahim ini aku bicara,

Untuk perempuan yang tidak punya anak,

Untuk perempuan yang punya anak satu, dua, atau sepuluh anak,

Untuk perempuan yang tidak ingin punya anak,

Untuk perempuan yang berusaha keras untuk punya anak,

Untuk perempuan yang belum tahu apakah ingin atau tidak ingin punya anak,

Untuk perempuan yang kehilangan anak,

Untuk perempuan yang tengah kerepotan mengurus anak.

Untuk perempuan yang sedang tertekan oleh tuntutan untuk segera punya anak

 

Dari rahim inilah, aku bicara hari ini,

Bukan sebagai ibu, bukan sebagai istri, bukan sebagai perawan, bukan sebagai pelacur,

Melainkan sebagai perempuan,

Mari bersama kita lanjutkan perlawanan dan pertempuran,

Merebut kembali rahim ini, memiliki tubuh kita sendiri: Tubuh Perempuan.

Kehamilan Bukan Kewajiban, Perempuan Berhak Memilih Tidak Punya Anak

“Nanti sebaiknya tidak perlu menunda untuk punya anak karena usia sudah cukup matang,” ucapan itu keluar dari seorang Kepala KB kecamatan kepadaku ketika aku mengurus berkas pendaftaran nikah. Aku memutuskan untuk menikah di usia 28 tahun yang bagi sebagian orang di lingkunganku adalah usia ‘telat’ menikah.

Begitu juga dengan anggapan bidan di Puskesmas dan kader KB di kecamatan. Usiaku dianggap sudah ‘tua’ dan harus segera memiliki anak. Mereka seolah-olah mewajibkan perempuan untuk memiliki anak dan menjadi ibu tanpa pilihan lain.

Bahkan di usiaku itu, kata menunda memiliki anak terdengar egois bagi sebagian orang. Mereka yang seharusnya memberikan penjelasan tentang pilihan kontrasepsi secara menyeluruh hanya menjelaskan pilihan kontrasepsi dalam jangka pendek. Tradisi patriarki membuat perempuan diharuskan cepat menikah dan cepat punya anak dibandingkan dengan mengejar apa yang mereka impikan. Lebih memilih untuk mengejar mimpi daripada punya anak seperti dosa yang tidak dapat dimaafkan oleh sebagian masyarakat.

Membongkar Mitos Wajib Punya Anak

Dalam masyarakat patriarki, nilai perempuan sering kali diukur dari kemampuannya untuk melahirkan anak, menjadi poin tambahan jika melahirkan anak laki-laki.

Apalagi bagi perempuan yang sudah menikah. Seperti pengalamanku sebelumnya, di mana masyarakat menganggap tujuan pernikahan hanyalah memiliki anak atau keturunan. Ternyata bukan hanya aku yang mengalaminya, di media sosial banyak perempuan yang mengaku dianggap tidak bernilai oleh masyarakat karena belum memiliki anak walau sudah menikah dalam jangka waktu yang lama.

Lalu apakah benar jika tujuan menikah hanya untuk memiliki anak? Bahwa perempuan wajib melahirkan?

Tujuan menikah dalam perspektif mubadalah adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat melalui relasi yang penuh cinta, penghormatan, dan kerja sama yang setara. Hal tersebut didukung dengan dalil Al-Quran yang menjelaskan tentang tujuan pernikahan surat Ar-Rum ayat 21:

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah) dan rahmat (rahmah). Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.

Dalam dalil yang biasanya digunakan dalam pernikahan tersebut dapat dilihat bahwa tujuan pernikahan bukan hanya untuk memiliki anak melainkan mencapai kebahagiaan dunia akhirat.

Perempuan memang ditakdirkan untuk menstruasi, melahirkan, dan menyusui, tetapi memiliki anak bukanlah kewajiban melainkan pilihan. Setiap perempuan berhak memilih untuk menikah atau tidak dan memiliki anak atau tidak. Tidak ada kewajiban bagi perempuan untuk memiliki anak dalam Islam, karena memiliki anak adalah sebuah anjuran, bukan kewajiban mutlak.

Misi utama pernikahan dalam Islam adalah meraih kemaslahatan dan kebaikan, bukan semata-mata untuk punya anak. Prinsip rahmatan lil ‘alamin juga menekankan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, yang mencakup kebaikan bagi individu, keluarga, dan masyarakat.

Memilih Tidak Memiliki Anak Adalah Pilihan yang Sah

Tidak sedikit perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak dan itu adalah pilihan yang sah. Setiap perempuan dan pasangan memiliki hak reproduksi masing-masing. Hak reproduksi adalah bagian integral dari hak asasi manusia.

Konsep ini mencakup hak setiap individu untuk membuat keputusan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai tubuh dan kehidupan reproduksi mereka, tanpa paksaan, diskriminasi, atau kekerasan. Setiap Individu berhak untuk memutuskan apakah akan memiliki anak atau tidak, berapa banyak anak yang diinginkan, dan kapan akan memilikinya. Ini termasuk hak untuk tidak dipaksa hamil atau menjalani sterilisasi.

Selama ini banyak perempuan yang tidak memiliki previlege untuk mengakses informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi. Sehingga mereka hamil dan melahirkan bukan atas keinginannya sendiri melainkan tekanan dari lingkungan sekitar bahkan pasangannya sendiri.

Tidak semua pasangan mendapatkan informasi tentang hak reproduksi. Mereka hanya mengikuti alur yang umumnya terjadi dalam masyarakat. Inilah yang membuat banyak perempuan tidak bisa menentukan pilihan atas otonomi tubuhnya sendiri.

Padahal, mereka juga memiliki hak untuk mengakses berbagai metode Keluarga Berencana yang aman, efektif, dan terjangkau, serta mendapatkan konseling yang objektif. Informasi seperti inilah yang seharusnya diberikan kepada pasangan yang akan menikah, bahkan seharusnya diinformasikan sejak usia remaja.

Sehingga semakin banyak perempuan yang menyadari bahwa tujuan mereka hidup di dunia bukan hanya untuk menikah dan melahirkan. Masih banyak hal yang bisa mereka kejar selain kedua hal itu.

Pilihan untuk memiliki anak seharusnya diambil dengan matang dan kesadaran penuh terkait apa saja yang akan mereka alami dan pertimbangan masa depan bagi anak mereka nanti. Kesadaran ini yang harusnya dibangun sejak usia dini di bangku sekolah yang terus digaungkan dari tenaga pendidik dan orang tua di rumah.

Menghargai dan Mendukung Pilihan Hidup Perempuan

Sebagai pendidik atau penyuluh, Bidan atau kader KB sebaiknya memiliki sudut pandang yang adil gender dan tidak bias. Daripada memberikan ultimatum untuk segera memiliki anak bagi yang dianggap tua dan menunda bagi yang dianggap muda, mereka seharusnya menanyakan terlebih dahulu pilihan individu masing-masing. Lalu memberikan informasi yang dibutuhkan bagi para calon pengantin terkait pilihan-pilihan kontrasepsi yang tersedia baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Tidak semua perempuan ingin memiliki anak, banyak perempuan yang juga ingin menggapai cita-cita dengan melanjutkan jenjang pendidikan dan karier setinggi yang mereka bisa capai.

Dalam keadaan negara yang kurang berpihak kepada perempuan, memiliki anak menjadi keputusan yang berat bagi perempuan. Semua perempuan sama berharganya terlepas dari apa pun pilihan yang mereka buat, entah itu menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak.

Perempuan bukan mesin penghasil keturunan tetapi subjek yang juga berhak mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki. Sudah saatnya bagi sesama perempuan untuk saling mendukung agar usaha untuk menciptakan dunia yang adil gender bisa diusahakan bersama.

Anak, Karier, dan Harga yang Harus Dibayar Perempuan

Ketika mendengar kata anak, pikiran saya selalu teringat pada nasihat yang kerap diucapkan oleh orang tua, mereka selalu mengatakan bahwa anak adalah anugerah, karunia, dan titipan suci dari Allah yang harus dijaga sepenuh hati.

Bagi mereka, kehadiran seorang anak membawa kebahagiaan dan diyakini membuka jalan bagi datangnya rezeki. Ada keyakinan yang begitu kuat dan mengakar bahwa semakin banyak anak, maka semakin luas pula pintu keberkahan yang akan terbuka untuk keluarga.

Sering kali, keyakinan tentang anak sebagai anugerah dipandang begitu penuh kasih, seolah hanya membawa kebahagiaan tanpa cela. Namun, di balik pandangan yang tampak indah itu, ada satu hal penting yang kerap luput dari perhatian yaitu pandangan tersebut sering kali menyingkirkan agensi perempuan, Seolah-olah kemampuan perempuan tidak dapat membuat keputusan atas tubuh, hidup, dan masa depannya sendiri.

Dari sinilah muncul pertanyaan-pertanyaan yang pelan-pelan tumbuh dalam kesadaran:

“Apakah tubuh perempuan benar-benar sepenuhnya milik dirinya? Apakah perempuan berhak menentukan kapan ingin mengandung, melahirkan, atau memilih untuk tidak memiliki anak? Ataukah tubuhnya justru dianggap milik keluarga, masyarakat, negara, bahkan agama yang merasa memiliki legitimasi untuk mengatur setiap keputusannya?”

Pertanyaan-pertanyaan itu kerap muncul dalam kesadaran banyak perempuan. Dalam pandangan banyak orang, tubuh perempuan menjadi cermin moralitas, penanda kesuburan, sekaligus lambang kehormatan keluarga yang harus senantiasa dijaga. Semua itu memperlihatkan bagaimana tubuh perempuan tidak pernah benar-benar berdiri sendiri, karena keberadaannya senantiasa ditempatkan dalam sorotan sosial yang tajam dan nyaris tak henti.

Dalam pandangan lama, anak sering dianggap sebagai berkah tanpa syarat. Kehadiran anak diyakini membawa kebahagiaan dan keberuntungan, tanpa perlu dipikirkan apa pun selain rasa syukur. Namun, pandangan ini mulai bergeser ketika teori ekonomi mikro dari Becker dan Lewis memperkenalkan gagasan tentang “harga anak”.

Dalam cara pandang ini, anak tidak lagi hanya dilihat sebagai karunia, keberkahan, pencapaian, tetapi juga bagian dari pertimbangan rasional. Orang tua mulai memikirkan berbagai biaya yang harus disiapkan seperti halnya biaya pendidikan, kesehatan, makanan bergizi, dan kesempatan lain yang mungkin hilang ketika memiliki anak.

Dengan memiliki anak peluang bagi karier perempuan akan menjadi pertimbangan. Perempuan kerap dihadapkan pada dilema antara melanjutkan perkembangan karier dan menjalankan peran sebagai ibu, sehingga keputusan untuk memiliki anak dipandang sebagai pilihan yang menuntut kesiapan, kesadaran akan konsekuensi, serta perhitungan terhadap masa depan.

Becker dan Lewis memperkenalkan istilah “harga anak” yang seolah mereduksi nilai seorang anak menjadi kalkulasi biaya dan manfaat. Konsep ini tidak hanya menyentuh aspek materi seperti pendidikan, kesehatan, dan nutrisi, tetapi juga aspek non-materi seperti tenaga, waktu, dan kesempatan karier yang hilang, terutama bagi perempuan.

Pandangan ekonomis ini tentunya bertolak belakang dengan pandangan tradisional. Jika sebelumnya memiliki banyak anak dianggap tanda keberkahan, kini semakin banyak anak justru dianggap semakin berat secara finansial. Maka muncullah paradigma yang mengatakan “lebih baik memiliki sedikit anak, asalkan kualitas hidup mereka terjamin”.

Selaras dengan perubahan zaman, muncul pergeseran paradigma anak tidak lagi dilihat semata dari kuantitas. Semakin tinggi biaya membesarkan anak, semakin besar kecenderungan orang tua terutama perempuan yang menanggung beban reproduksi untuk memilih sedikit anak, tetapi dengan jaminan kualitas hidup yang lebih baik. Sehingga arti cinta pun melebur menjadi artikulasi baru, bukan lagi terletak pada jumlah anak yang dimiliki, tetapi pada kesungguhan dalam memberikan ruang tumbuh yang layak bagi setiap anak.

Dibalik logika rasional ini, ada hal penting yang kerap terabaikan karena baik pandangan tradisional maupun pendekatan ekonomi sama-sama masih memandang tubuh perempuan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang memiliki kendali atas keputusan reproduksinya sendiri.

Hak perempuan atas tubuhnya kerap tumpang tindih dengan kuasa keluarga, tekanan masyarakat, aturan agama, hingga regulasi negara yang membentuk cara pandang kolektif terhadap peran reproduktif perempuan. Program “dua anak cukup” menjadi contoh nyata bagaimana negara turut mengintervensi keputusan reproduksi, menjadikan tubuh perempuan sebagai objek kebijakan demografis yang dikalkulasi demi kepentingan pembangunan.

Di sisi lain, doktrin kultural “banyak anak banyak rezeki” menghadirkan tekanan dari ranah tradisi, seolah menempatkan keberhasilan perempuan pada kemampuannya melahirkan sebanyak mungkin. Dua kutub yang saling berlawanan ini menjadikan tubuh perempuan medan tarik-menarik wacana dan kuasa. Tempat berbagai kepentingan sosial, politik, ekonomi, dan kultural saling bertubrukan, sering kali tanpa ruang bagi suara perempuan sendiri dalam menentukan masa depan tubuhnya.

Padahal, tubuh memiliki hak. Tubuh berhak istirahat, menolak, bahkan memilih. Sebagaimana sabda Nabi Saw:

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ

“Sesungguhnya Tuhanmu punya hak atasmu, tubuhmu punya hak atasmu, keluargamu punya hak atasmu. Maka berikanlah setiap yang berhak sesuai haknya.”

Hadis ini mengingatkan bahwa tubuh perempuan adalah subjek yang seharusnya dihargai dan memang seperti itu.

Membicarakan ketubuhan, kesuburan, dan otonomi berarti membicarakan hak paling mendasar sebagai manusia. Bahwa tubuh perempuan bukanlah milik masyarakat, bukan pula instrumen politik atau budaya. Tubuh adalah ruang personal yang suci, tempat keputusan seharusnya lahir dari diri sendiri. Tubuh yang terus diukur dengan standar sosial akan rapuh. Tetapi tubuh yang dirawat dengan kesadaran, dihormati hak-haknya, dan dijalani dengan kebebasan yang bertanggung jawab, akan menjadi tubuh yang benar-benar merdeka.

Tubuh Perempuan Bukan Mesin untuk Melahirkan

“Nadong artamu,” begitu kira-kira ucapan Oppung (nenekku) dalam bahasa Batak. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, artinya: “Tidak ada hartamu.” Ucapan itu keluar ketika beliau menanyakan jumlah anak yang kumiliki.

Saat itu, sudah hampir lima tahun aku menikah, dan hingga hari itu aku dan suamiku memilih untuk hanya memiliki satu anak berdasarkan kesepakatan bersama, karena kami ingin berfokus pada kualitas hidup, kesehatan, dan kebahagiaan keluarga kecil kami. Namun, bagi nenekku yang berpegang pada nilai tradisional, keputusan untuk memiliki satu anak terdengar aneh.

Dalam pandangannya, jumlah anak selalu berbanding lurus dengan rezeki dan kebanggaan keluarga.

Aku tahu, nenekku tidak sendiri. Di banyak tradisi di Indonesia, tubuh perempuan memang sering dipandang sebagai ladang subur bagi keluarga dan masyarakat. Perempuan diharapkan melahirkan banyak anak, terutama laki-laki, demi meneruskan garis keturunan. Keputusan kapan hamil, berapa jumlah anak, bahkan apakah akan menggunakan kontrasepsi, jarang benar-benar berada di tangan perempuan.

Tradisi yang Membebani Tubuh Perempuan

Pengalaman pribadiku ini hanyalah satu contoh kecil dari warisan budaya yang lebih luas di Indonesia, ketika tubuh perempuan sering dihubungkan dengan kebanggaan keluarga maupun nilai adat.

Tuntutan agar perempuan melahirkan banyak anak ternyata tidak hanya ada di Batak. Di berbagai daerah lain di Indonesia, aku menemukan narasi serupa yang seolah-olah menempatkan perempuan bukan sebagai manusia utuh, melainkan semacam pabrik anak. Perempuan dianggap harus siap menambah generasi, bahkan dengan beban tuntutan yang tidak masuk akal tentang jenis kelamin bayi.

Dalam masyarakat Jawa, misalnya, kita mengenal pepatah serupa yang akrab di telinga: “banyak anak, banyak rezeki.” Ungkapan sederhana ini sering berubah menjadi standar sosial yang membebani perempuan. Seorang istri yang hanya memiliki sedikit anak atau pun tak kunjung memiliki anak kerap dipandang kurang sempurna, seolah keberadaannya baru lengkap bila mampu melahirkan (banyak) keturunan.

Di Bali, cerita lain hadir dengan wajah yang mirip. Sistem kekerabatan patrilineal membuat keluarga menaruh harapan besar pada kelahiran anak laki-laki. Anak laki-laki dipandang sebagai pewaris nama keluarga sekaligus pelanjut ritual adat. Tidak jarang, bila seorang perempuan hanya melahirkan anak perempuan, ia akan didesak untuk terus hamil hingga mendapatkan anak laki-laki. Memang ada alternatif melalui pernikahan khusus bernama perkawinan nyentana (sentana marriage)[1], saat garis keturunan bisa diteruskan lewat pihak perempuan, tetapi jalan ini sering dianggap tidak lazim dan sarat akan stigma.

Di banyak daerah di Indonesia, kita masih akan terus menemukan fakta bahwa perempuan sering kali tak punya pilihan atas tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan yang dipandang sebagai mesin penghasil anak dan kerap kali diatur oleh masyarakat, adat, bahkan keluarga. Akses terhadap kontrasepsi maupun kebebasan untuk menentukan jumlah anak menjadi semakin terbatas, terutama bagi perempuan yang tinggal di pedesaan atau di lingkungan dengan sumber daya rendah.[2]

Tubuh, Kesuburan, dan Otonomi

Tubuh perempuan bukan alat untuk melahirkan anak. Tubuh perempuan adalah ruang kehidupan yang membawa denyut nadi bayi, rasa sakit saat melahirkan, cinta yang tidak terukur materi, dan kekuatan yang tidak dapat dikalkulasi.

Dari tubuh perempuan inilah,  darah, air susu, dan pelukan hangat lahir, menjadi fondasi pertama bagi tumbuhnya sebuah generasi. Karena itu, tubuh perempuan sejatinya harus dihargai, dijaga, dan dimaknai secara utuh, sebagai sebuah subjek kehidupan yang tak hanya dipandang sebagai mesin produksi anak.

Kesuburan, bagi perempuan, memang sebuah karunia. Tetapi karunia itu tidak bisa dimaknai semata sebagai kewajiban untuk terus-menerus hamil demi memenuhi ekspektasi adat atau pandangan sosial. Menjadi subur tidak berarti harus melahirkan sebanyak mungkin.

Menjadi subur juga bisa berarti merawat tubuh dengan penuh kasih, menghargai kesehatan mental, dan mengambil keputusan dengan sadar.

Sayangnya, kenyataan di Indonesia masih jauh dari ideal. Banyak perempuan belum bisa menikmati otonomi atas tubuhnya. Ada yang hamil bukan karena keinginannya, tetapi karena desakan pasangan, orang tua, atau mertua. Ada pula yang harus menanggung risiko kesehatan karena terlalu sering melahirkan, tubuhnya rapuh sebelum waktunya. Berbagai risiko seperti gigi mudah rapuh, cepat letih, anemia, hingga komplikasi serius pada kehamilan dan persalinan pun harus dihadapi.

Tidak sedikit perempuan yang kehilangan masa mudanya, kesempatan menempuh pendidikan, bahkan kehilangan nyawa karena dipaksa menjalani peran sebagai “mesin kelahiran” tanpa henti. Tidak sedikit perempuan yang dicap “tidak sempurna” hanya karena belum melahirkan anak laki-laki, seolah jenis kelamin anak adalah hal yang bisa ia tentukan sendiri.

Mengubah Narasi “Rezeki”

Rasa-rasanya, sudah saatnya kita berani menggeser narasi lama. Ungkapan “banyak anak banyak rezeki” perlu dimaknai ulang dengan perspektif yang lebih berpihak pada otoritas perempuan atas tubuhnya. Rezeki bukan lagi semata-mata dihitung dari banyaknya anak yang lahir, melainkan dari kualitas kehidupan yang mampu kita hadirkan.

Rezeki bisa berarti anak yang tumbuh sehat, baik secara fisik maupun mental; yang mendapat pendidikan layak; memiliki kesempatan untuk bermimpi; dan dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang. Rezeki juga bisa berarti seorang ibu yang tubuhnya tidak kelelahan oleh kehamilan berulang, melainkan cukup kuat untuk mendampingi anak-anaknya tumbuh hingga dewasa.

Mari kita bayangkan, apakah seorang ibu yang melahirkan lima anak, tetapi hidup dalam kemiskinan, kelelahan, dan tanpa akses kesehatan, benar-benar lebih “kaya” daripada seorang ibu dengan satu anak yang bisa ia besarkan dengan penuh perhatian? Bukankah rezeki sejatinya bukan soal angka, melainkan kualitas hidup yang dirasakan setiap hari?

Ketika seorang perempuan menyatakan hanya ingin memiliki anak dengan jumlah tertentu yang berbeda dari ekspektasi masyarakat, memilih menunda kehamilan, bahkan memutuskan untuk childfree, itu sama sekali bukan tanda kurang bersyukur. Justru, pilihan semacam ini adalah wujud cinta perempuan yang lebih besar; cinta kepada dirinya sendiri, cinta kepada pasangannya, dan cinta kepada anak yang sudah atau akan lahir.

Memiliki otoritas dan otonomi atas tubuh sendiri, bagi perempuan, adalah wujud tanggung jawab sekaligus pengakuan atas martabat kemanusiaan. Sebab tubuh perempuan berhak menentukan jalannya sendiri.

Tubuhku, Milikku

Aku percaya bahwa tubuhku bukan milik adat, bukan milik keluarga besar, bukan milik masyarakat, melainkan milikku sendiri. Di dalam tubuh ini ada suara yang harus didengar dan hak yang harus dihormati. Keputusan tentang kesuburan, tentang jumlah anak, adalah ranahku bersama suamiku, bukan sesuatu yang bisa dipaksakan oleh pandangan orang lain.

Pada akhirnya, toh kebahagiaan keluarga tidak diukur dari banyaknya anak yang lahir, tetapi dari bagaimana kita merawat satu sama lain dengan penuh kesadaran, kesabaran, dan cinta. Anak tidak pernah menjadi angka untuk dibanggakan. Anak adalah manusia dengan haknya sendiri. Dan keputusan untuk melahirkan, sedikit atau banyak, adalah hak perempuan yang harus dilindungi, bukan?

[1] Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan ketika seorang laki-laki atau suami ikut dalam keluarga istrinya, tinggal di rumah istri, dan semua keturunannya menjadi penerus dari pihak keluarga istri.

[2] https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/family-planning-contraception