Pos

Menerka Tujuan Syariat (2/2)*

Oleh: Buya Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A.

 

KITA harus mengetahui kenapa diperintah dan dilarang melakukan sesuatu. Bagaimana kita melaksanakan perintah atau menjauhi larangan jika kita tidak mengetahui maksud Tuhan? Seorang Muslim yang jumud berpandangan bahwa dalam beragama tidak boleh berpikir. Orang yang sering bertanya dianggap sebagai Bani Israil. Islam dipandang relevan sepanjang zaman (al-Islâm shâlih fî kulli zamân), sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Qutb pada Kongres Ikhwanul Muslimin II di Mesir. Kalimat ini menyebar ke mana-mana yang memunculkan pemahaman bahwa pendapat para ulama klasik mengenai hukum syariat sudah final dan harus diyakini kebenarannya.

Dulu saya pernah menyampaikan tentang ketidakadilan terhadap perempuan dalam hal waris (yang hanya mendapatkan separuh saja) dan dalil-dalilnya kepada Menteri Agama Munawir Sadzali. Kemudian ia menyampaikannya di majalah Mimbar dan diserang habis-habisan. Ini adalah hal yang sangat sensitif dan perlawanannya sangat berat. Itulah kenapa perbudakan, mengawinkan anak kecil, dan memukul istri dibolehkan karena dianggap masih relevan. Apakah mengawinkan anak kecil itu relevan?

Kita tidak berbicara teori, tetapi realitas sehari-hari. Seorang perempuan datang kepada saya dan mengatakan bahwa ia dicerai secara lisan oleh suaminya. Saya mengatakan, cerai lisan telah dicabut oleh negara dan harus diproses di pengadilan—cerai tiga kali secara lisan tidak sah. Namun sebagian tokoh agama lain menyatakan bahwa itu sah. Akhirnya ia bercerai dan ia dengan susah payah membesarkan anak-anaknya sendirian. Di sini ada dualisme hukum; menaati fikih atau UU negara. Tentu yang seharusnya ditaati adalah UU negara.

Saya mengajukan calon bupati perempuan. Para kiyai menentangnya dan menyatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dengan dalil “al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ`”. Di sebagian negara Arab, ayat ini, dengan tafsir yang beredar saat ini, mungkin masih relevan. Tetapi di Indonesia tidak relevan, karena ada banyak perempuan yang menjadi rektor, menteri, pejabat, direktur, pimpinan perusahaan, pengasuh pesantren, dan seterusnya. Jika perempuan tidak boleh memimpin, semua kebijakan pada zaman Megawati akan tidak sah.

Secara linguistik, qiwâmah pada ayat “al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ`” bukan sulthânah (kesultanan/kekuasaan), imârah (keamiran/kepemimpinan), wishâyah, atau haymanah (penguasaan/hegemoni). “Qawwâm” berasal dari kata “qâma-yaqûmu” yang bermakna berdiri. Ism fa’il-nya adalah qâ`im—asalnya qâwim—dan kemudian menjadi qawwâm yang bermakna pendamping, bukan pemimpin. Misalnya Jokowi sedang berada di luar negeri dan tidak bisa menandatangani suatu dokumen keputusan resmi negara. Ma’ruf Amin kemudian menandatanganinya dengan menyantumkan strip Presiden RI ad interim. Itu disebut dengan al-qâ`im bi al-a’mâl (mewakili).

Dalam budaya Arab perempuan berada di bawah perlindungan laki-laki, karenanya perempuan yang ingin menikah harus punya wali. Perempuan tidak bisa menikah jika walinya tidak menyetujui. Artinya, perempuan tidak punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Padahal di hari akhirat nanti laki-laki dan perempuan bertanggungjawab atas dosanya masing-masing. Bagaimana mungkin perempuan yang ingin shalat di masjid saja harus mendapatkan izin dari suaminya? Kita harus memperjuangkan hak-hak perempuan itu.

Kita tidak mengabaikan atau meninggalkan teks. Al-Qur`an tidak perlu direvisi dan biarkan itu sebagai sesuatu yang sudah selesai. Kita menghormati dan membacanya karena itu adalah ibadah. Tetapi, tentu saja, kita perlu melakukan reinterpretasi sesuai dengan kebutuhan zaman. Dan teks-teks agama (baik al-Qur`an maupun hadits) mengenai perbudakan tidak perlu diinterpretasi ulang karena Tuhan pasti tidak suka manusia diperjualbelikan.

Islam tidak sedang melegalisasi praktik perbudakan, perkawinan anak, memukul istri, poligami, menceraikan istri seenaknya, melainkan hanya mengakomodir tradisi dan budaya setempat saja di masanya. Islam tidak sedang melegalisasi praktik perbudakan, perkawinan anak, memukul istri, poligami, menceraikan istri seenaknya, melainkan hanya mengakomodir tradisi dan budaya setempat saja di masanya. Tradisi dan budaya ini oleh Islam justru diupayakan untuk diubah secara bertahap demi terwujudnya kesetaraan laki-laki dan perempuan serta kesetaraan antara sesama manusia di masa-masa mendatang.

Sekarang banyak orang yang mulai merasa ribet dan terbebani dalam beragama. Teman saya yang seorang santri bekerja sebagai supir dan tidak melaksanakan shalat selama 10 tahun karena ia merasa susah—jam kerjanya dari siang sampai tengah malam. Jika demikian, seorang Muslim tidak bisa menjadi supir, pilot, nahkoda, dan masinis. Sejak kapan kita menganggap agama memberatkan hidup kita? Bagaimana mungkin kita menjadi terbebani dalam beragama. Solusinya: ia bisa mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan jamak taqdim sebelum mengambil mobil. Setelah mengantarkan barang ia bisa melaksanakan shalat Isya` dan Maghrib dengan jamak ta’khir.

Ada orang yang hidup di tahun 2022 sedangkan otaknya masih di abad ke-7. Kita diharuskan hidup dengan gaya orang abad ke-7 agar tidak dianggap sebagai pelaku bid’ah seperti cebok dengan batu dan tidak boleh dengan tisu, tidak boleh menonton televisi, tidak boleh pakai sendok saat makan, dan seterusnya. Segala hal yang tidak ada atau tidak dilakukan Nabi maka tidak boleh dilakukan karena dianggap bid’ah. Bahkan ada orang yang tidak mampu berinteraksi dengan teknologi sehingga muncul pertanyaan “bagaimana hukum mengantongi HP yang di dalamnya terdapat rekaman atau aplikasi al-Qur`an saat buang air besar?” Saya tanya balik, “Orang yang hafal al-Qur`an boleh tidak buang air besar?”[]

 

*) Disarikan dari presentasi Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A. dalam Diskusi Pendalaman “Maqashid Syariah Lin Nisa’” yang diselenggaran Rumah KitaB di Pondok Pesantren Ma’had Al-Shighor Al-Islamy Al-Dualy, Gedongan, Cirebon, Sabtu, 17 Desember 2022

Dialog Nasional

Pentingnya Kerja-kerja Kolaboratif untuk Pencegahan Perkawinan Anak

PEMERINTAH dinilai tidak bisa bekerja sendiri dalam upaya percepatan pencegahan perkawinan anak yang saat ini masih marak terjadi di masyarakat, baik perdesaan maupun perkotaan. Diperlukan upaya kolaboratif dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat, dan meningkatkan partisipasi anak dan remaja dalam mendorong implementasi Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA).

Upaya kolaboratif tersebut bisa dilakukan di antaranya melalui sosialisasi, pendidikan kecakapan hidup, kampanye pencegahan perkawinan anak, mendorong terbentuknya kesadaran masyarakat untuk melakukan pengawasan di lingkungan sekitarnya, melakukan penjangkauan kepada rumah tangga rentan yang berpotensi menikahkan anak di usia anak, melakukan pendampingan bagi korban perkawinan anak atau anak yang mengajukan dispensasi kawin, penguatan pemahaman tokoh agama dan tokoh masyarakat yang menjadi panutan terkait pencegahan perkawinan anak dan kepentingan terbaik bagi anak, serta penguatan kelembagaan perlindungan anak di masyarakat terkait pemenuhan hak-hak anak.

Hal itu terungkap dalam acara dialog nasional bertajuk “Dialog Nasional Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Masa Pandemi” yang diselenggarakan Yayasan Rumah Kita Bersama atas dukungan AIPJ2 pada Kamis, 10 Maret 2022. Dalam acara ini hadir I Gusti Ayu Bintang Darmawati (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak RI), Woro Srihastuti Sulistyaningrum, ST., MIDS. (Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas), dan Lia Marpaung (Perwakilan AIPJ2).

Sejumlah aktor penggerak PATBM daerah dihadirkan sebagai narasumber. Mereka adalah: H. Abdul Karim (Ketua RW. 06 Kalibaru/Ketua PATBM Kalibaru, Jakarta Utara), Ade Suryati (Kepala Desa Songgom/Motor Penggerak PATBM Desa Songgom, Kab. Cianjur), Gilang Romadan (Remaja Pengurus PATBM Kel. Kalibaru, Kota Jakarta Utara), Miffetin Kholilah (Orang Muda Pengurus PATBM Kel. Kalibaru, Kota Cirebon), dan Yuniar Kailani (Forum Anak Desa Songgom, Kab. Cianjur).

Selain itu, beberapa tokoh juga dihadirkan sebagai penanggap, yaitu: Abu Marlo (Dialog Positive), Rohika Kurniadi Sari, S.H. M.Si. (Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan – KPPPA), dan Ciput Eka Purwianti, S.Si. MA. (Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan – KPPPA).

Lies Marcoes menyampaikan bahwa Rumah KitaB telah melaksanakan program-program pencegahan perkawinan anak selama delapan tahun terakhir ini. Menurutnya, banyak hal yang sudah dilakukan, namun ada banyak agenda yang masih perlu dilakukan. “Isu kawin anak seperti situasi yang abu-abu. Kita bekerja keras untuk menolaknya, namun masih ada pintu daruratnya seperti dispensasi, anggapan ‘yang penting sah dulu’, dan lainnya,” ungkapnya.

Selanjutnya Lies menjelaskan empat langkah strategis Rumah KitaB dalam pencegahan perkawinan anak. Pertama, riset dan kajian keagamaan. Tidak mungkin berbicara mengenai perkawinan anak kalau tidak berbasis riset. Rumah KitaB memiliki dua jenis riset, yaitu riset sosial dan sosial-keagamaan. Kedua, membisingkan isu. Rumah KitaB bekerjasama dengan berbagai media untuk menyosialisasikan kegiatan-kegiatannya. Ketiga, membangun kesadaran melalui penyusunan modul, kajian, pelatihan, dan pemberdayaan. Keempat, advokasi dua arah (politik hukum-norma agama) di tingkat kabupaten. Rumah KitaB telah melakukan advokasi kepada pemerintah dan juga ormas keagamaan.

Lies sangat berharap masyarakat di komunitas dapat melanjutkan program ini. Sebab keberlanjutan upaya pencegahan perkawinan anak ada di tangan mereka.

Senada dengan yang disampaikan Lies, Lia Marpaung berbicara mengenai pentingnya pelibatan masyarakat secara terpadu melalui gerakan perlindungan anak yang dikelola sendiri oleh masyarakat. Kerja-kerja tokoh masyarakat di level komunitas perlu terus didorong dan direkognisi. Pelibatan remaja dan anak muda sebagai agen perubahan di daerah perlu terus dipastikan ada dan menguat, karena pada prinsipnya apa yang dilakukan itu adalah demi memastikan perlindungan bagi anak-anak dan menciptakan masa depan anak Indonesia yang jauh lebih baik dan terbebas dari praktik perkawinan anak.

“Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak terlengkap, khususnya anak perempuan, karena mereka menjadi rentan kehilangan hak atas pendidikan, kesehatan, mengalami kekerasan dan tereksploitasi, tercabut untuk mendapat kebahagiaan masa anak-anak, dan masuk lebih dalam pada perangkap kemiskinan. Dan untuk itu tidak ada alasan pembenaran apapun untuk melanggengkan budaya dan praktik perkawinan anak. Itu sebabnya kerja kolaborasi lintas pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan perkawinan anak adalah penting dan perlu terus dilakukan. Hal ini akan semakin membuka lebih lebar dan lebih dalam ruang-ruang dialog dan kemitraan dalam upaya pencegahan perkawinan anak di Indonesia,” tambahnya.

Lia menegaskan bahwa kerja-kerja seperti yang dilakukan Rumah KitaB dapat berkontribusi mendukung implementasi 3 dari 5 pilar utama Stranas, yakni Pilar 1: optimalisasi kapasitas anak melalui tindak lanjut regenerasi dan penguatan kapasitas anak. Pilar 2: memastikan terciptanya lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak, dan Pilar 3: terkait aksesibilitas dan perluasan layanan, melalui penguatan dan mendorong adanya lembaga perlindungan anak sebagai lembaga layanan yang efektif dan mudah diakses oleh masyarakat serta mendukung pemerintah daerah mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak.

Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas RI Woro Srihastuti Sulistyaningrum menyampaikan komitmen pemerintah dalam upaya pencegahan perkawinan anak yang tertuang  dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Rencana Kerja Pemerintah 2022, dan Sustainable Development Goals (SDGs). Ia menegaskan, “Sebagaimana tertulis dalam dokumen RPJMN, pemerintah sudah menyiapkan satu strategi untuk menurunkan angka perkawinan anak. Yaitu penguatan koordinasi dan sinergi upaya pencegahan perkawinan anak dengan melibatkan berbagai pihak.”

Menurutnya, ada lima strategi pencegahan perkawinan anak dalam Stranas PPA. Pertama, optimalisasi kapasitas anak penguatan regulasi dan kelembagaan penguatan koordinasi pemangku kepentingan memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan. Kedua, lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak membangun nilai dan norma yang mencegah perkawinan anak. Ketiga, aksesibilitas dan perluasan layanan menjamin anak mendapat layanan dasar komprehensif untuk kesejahteraan anak. Keempat, penguatan regulasi dan kelembagaan penguatan koordinasi pemangku kepentingan memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan menjamin pelaksanaan dan penegakan regulasi terkait pencegahan perkawinan anak serta meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan. Kelima, penguatan koordinasi pemangku kepentingan memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan menjamin pelaksanaan dan penegakan regulasi terkait pencegahan perkawinan anak serta meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan meningkatkan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak.

Sementara itu, Menteri KPPPA, I Gusti Bintang Darmawati, dalam pidato kuncinya menyatakan bahwa perkawinan anak adalah praktik yang dapat mencoreng seluruh hak anak. “Perkawinan anak merupakan salah satu tindak kekerasan terhadap anak dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Resiko perkawinan anak pada perempuan jauh lebih tinggi daripada perkawinan anak pada laki-laki,” sambungnya.

Ibu Menteri meminta perkawinan anak harus menjadi perhatian semua pihak karena dampaknya yang begitu masif. Anak yang menikah memiliki kerentanan dalam mengakses pendidikan (putus sekolah), kesehatan (angka kematian ibu, angka kematian anak, stunting, dan lainnya), ekonomi (pekerja anak, upah rendah, kemiskinan), dan lainnya (KDRT, identitas anak, dan lainnya). Terlebih saat ini Indonesia dan bahkan dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19.

Ia menyebutkan hasil studi United Nations Population Fund (UNFPA) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) yang menunjukkan, resiko anak perempuan untuk dinikahkan semakin tinggi dalam situasi pandemi Covid-19. Bahkan, menurutnya, UNFPA memprediksi akan terjadi sekitar 13 juta perkawinan anak pada rentang waktu 2020-2030, termasuk di Indonesia akibat masa bencana pandemi ini.

KPPPA dan Bappenas RI dengan dukungan dari berbagai lembaga terkait, lanjutnya, telah menerbitkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) di awal 2020 lalu. Gerakan bersama pencegahan perkawinan anak juga telah diluncurkan kembali pada 31 Januari 2020 dengan melibatkan 17 kementerian/lembaga, pemerintah daerah, lembaga masyarakat, dunia usaha, media, dan tokoh agama. Program ini sejalan dengan studi terakhir Rumah KitaB yang mengatakan bahwa upaya penurunan perkawinan anak membutuhkan daya dukung dan partisipasi warga, serta kelompok berkepentingan strategis yang berbekal kemampuan lengkap. Untuk menciptakan sistem perlindungan yang holistik dibutuhkan pelibatan anak-anak, remaja, dan kaum muda sendiri. Berpartisipasi dalam pembangunan merupakan salah satu hak dasar anak. Selain itu, untuk tercapainya pembangunan yang berkelanjutan maka tidak boleh ada satu pihak pun yang ditinggalkan pendapatnya. Melibatkan anak dalam upaya penghapusan perkawinan anak adalah hal yang krusial.[]

Tokoh Agama

Tokoh Agama dan Tantangan Perlindungan Anak di Kalibaru Jakarta Utara

Oleh: T.G.M. Ahmad Hilmi, Lc., MA.

 

RUMAH KitaB atas dukungan AIPJ (Australia Indonesia Partnership for Justice) 2 telah menjalankan program perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak di wilayah Jakarta Utara sejak tahun 2017 hingga 2022. Program ini dibagi dalam dua periode, periode Berdaya I tahun 2017 – 2019, dan periode Berdaya II tahun 2020 – 2022.

Kelurahan Kalibaru termasuk pilot project dari Program Berdaya I dan II. Dipilihnya Kelurahan Kalibaru karena beberapa hal. Pertama, dalam 25 tahun terakhir, Kalibaru dikenal sebagai kelurahan terpadat untuk tingkat kelurahan/desa) di provinsi Jakarta, bahkan Indonesia. Dengan luas hanya 2.467 km2 dan dihuni sebanyak 84.491 jiwa—berdasarkan data tertulis di BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2018—Kalibaru dianggap sebagai “Kelurahan Sempit”. Sekitar 70 persen wilayahnya merupakan wilayah industri bukan pemukiman. Artinya, kurang dari 30 persen wilayahnya digunakan untuk pemukinan dan dipaksa menampung populasi sebanyak itu.

Kedua, praktik perkawinan anak yang tinggi. Data statistik BPS menyebutkan bahwa permohonan dispensasi kawin mengalami kenaikan dalam 5 tahun terakhir di Kalibaru. Sementara berdasarkan hasil asesmen Rumah KitaB tahun 2017, praktik perkawinan siri atau perkawinan yang melibatkan anak-anak menjadi fenomena yang dipandang biasa oleh masyarakat setempat.

Tahun 2020 Rumah KitaB kembali melakukan asesmen di Kalibaru, dan ditemukan bahwa praktik perkawinan anak masih kerap terjadi. Bedanya, terjadinya perkawinan anak di Kalibaru tahun 2017 lebih banyak dilatarbelakangi dorongan orangtua, tradisi bawaan dari kampung halaman sebelumnya, dan mulai banyaknya kasus kehamilan yang tak dikehendaki (KTD).

Sementara tahun 2020 – 2021 praktik perkawinan anak di Kalibaru dilatari kekerasan seksual yang dialami anak perempuan oleh para pelaku yang merupakan keluarga sedarah, tetangga, dan pacar korban. Hal ini kerap terjadi selama pandemi saat diberlakukannya pembelajaran jarak jauh (PJJ), di mana anak tidak lagi memiliki aktivitas pendidikan dan tidak memiliki lingkungan pendidikan yang diperlukan.

Di pihak lain, orangtua tidak memiliki pengetahuan yang adil gender, tidak memiliki kapasitas parenting yang memadai, bahkan kebanyakan mereka tertekan secara psikologis akibat penurunan penghasilan dan melemahnya daya beli terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok yang disebabkan pemutusan hubungan kerja dan hilangnya sebagian kesempatan usaha kecil dan menengah akibat daya beli masyarakat yang juga menurun drastis hingga 60 persen lebih. Sedangkan pihak sekolah menuntut dan memaksa para orang tua untuk menggantikan sebagian besar fungsi dan tugas guru di dalam rumah, sesuatu yang tidak benar-benar mereka kuasai.

Kondisi itu telah menghasilkan ragam kekerasan yang menimpa anak-anak perempuan yang dilakukan oleh sebagian orang tua dan keluarga dekat, yang sebagiannya adalah praktik kekerasan seksual yang mengakibatkan terjadinya pemaksaan perkawinan terhadap anak-anak perempuan demi menyelamatkan aib keluarga.

Dan fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah keterlibatan tokoh-tokoh agama dalam angka praktik perkawinan siri yang melibatkan anak-anak. Tahun 2018, para tokoh agama yang terlibat dalam praktik perkawinan siri adalah mereka yang berdomisili di Kelurahan Kalibaru dan sekitarnya. Adapun tahun 2020, praktik perkawinan siri lebih banyak dilakukan oleh para tokoh agama dari luar Kelurahan Kalibaru. Beberapa kasus perkawinan anak ditemukan di luar Kelurahan Kalibaru, meskipun anak-anak yang dikawinkan merupakan warga Kelurahan Kalibaru.

Program pencegahan perkawinan anak tanpa melibatkan pandangan keagamaan alternatif yang mendukung, hampir mustahil dapat dilakukan dan tidak membawa pengaruh apapun bagi perubahan. Karena itu, Rumah KitaB selalu mensosialisasikan pandangan keagamaan alternatif dengan pendekatan maqâshid al-syarî’ah li al-nisâ` (tujuan universal syariat untuk perempuan), yaitu pandangan keagamaan yang berpihak kepada perempuan dan anak perempuan dengan landasan keadilan gender. Sosialisasi ini dilakukan di berbagai kesempatan, seperti pelatihan para tokoh formal dan tokoh non formal, orangtua, hingga remaja.

Di ketiga komunitas ini, agama dan budaya selalu menjadi latar utama yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak. Dalam hal ini, pendekatan dan komunikasi personal perlu dilakukan terhadap para tokoh agama yang berpengaruh di Kelurahan Kalibaru, misalnya para sesepuh NU Jakarta Utara, sesepuh MUI Kecamatan Cilincing, dan lain sebagainya untuk mendiskusikan pandangan keagamaan alternatif terkait pencegahan perkawinan anak.

Pendekatan serupa itu meniscayakan dukungan dari para tokoh agama. Sebut, misalnya, dari K.H. Fatoni, sesepuh NU Jakarta Utara, yang mulanya tidak mengetahui bahwa perkawinan anak mengandung madharat, namun kini ia sangat aktif mendakwahkan pentingnya pendewasaan usia perkawinan dalam perspektif Islam kepada para jamaahnya di Kalibaru. Selain Kiyai Fatoni, ada juga beberapa tokoh NU di Jakarta Utara yang memberikan dukungan. Demikian juga para sesepuh Muhammadiyah dan MUI Kecamatan Cilincing, seperti Ustadz H. Muhammad Nur, K.H. Nursaya, Ust. M. Sito Anang, M.Kom., yang sebelumnya tidak mengerti kemadharatan perkawinan anak, kini berbalik mendukung pencegahan perkawinan anak.

Para tokoh agama yang aktif dalam struktur DKM di beberapa masjid seperti Ustadz Baginda Hambali Siregar, M.Pd. (DKM masjid Baitul Mukminin, RW. 006 Kelurahan Kalibaru), Ustadz Mohammad Ishaq Al-Hafidz (DKM Masjid Al-Mu’tamar Al-Islamiyyah, RW. 003 Kelurahan Kalibaru), Ustadz Syafi’i (Pesantren al-Qur`an Kebantenan), dan yang lainnya juga mendukung pencegahan perkawinan anak. Bahkan perwakilan dari mereka, Ustadz Baginda Hambali Siregar, menjadi salah satu pengurus PATBM (Perlindungan Anak Terpadu berbasis Masyarakat) Kelurahan Kalibaru. Ustadz Hambali sangat aktif memberikan penyuluhan dan sosialisasi bersama pengurus PATBM Kelurahan Kalibaru terkait perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak.

Masih terjadinya praktik perkawinan siri hingga kini di Kalibaru tentu menjadi tantangan dalam upaya perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak. Karena itu, sosialisasi dengan melibatkan para tokoh agama lokal, baik itu pengurus ormas keagamaan, pengurus majelis taklim dan DKM masjid/mushall, hingga pengurus lembaga-lembaga pendidikan agama di wilayah Kalibaru dan sekitarnya, juga para penyuluh agama Kementerian Agama Jakarta Utara, perlu terus digalakkan agar program perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak dapat dilakukan secara efektif.[AH]

 

Yuniar Kailani

Yuniar Kailani, Kakak bagi Forum Anak Desa Songgom

YUNIAR merupakan anak pertama dari 9 keluarga. Sebagai anak perempuan paling besar, ia merasa memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan contoh untuk dirinya dan adik-adiknya, karena lingkungannya cenderung rawan bila mereka terbawa arus. Itulah sebabnya ia sangat tertarik mengikuti kegiatan pemberdayaan anak, remaja dan kaum muda.

Saat di bangku SMP ia aktif sebagai pengurus organisasi intra sekolah dan menjadi relawan tangguh bencana. Ia menilai orang-orang di lingkungannya memiliki sikap masing-masing, sehingga baik orang tua, saudara maupun antar remaja bisa tergelincir ke hal-hal yang tak diinginkan. Bahkan di keluarganya sendiri perkawinan anak masih terjadi. Ia sedih melihat orang di sekelilingnya yang melakukan perkawinan anak cenderung tertutup kepada temannya tidak mau bergaul.

Menurut Yuniar selama ini tidak ada yang mengajaknya berkegiatan di isu pemberdayaan, dan kini menjadi saat yang tepat untuk mengajak anak, remaja dan kaum muda lainnya agar lebih aktif dan melakukan kegiatan positif. Ia sangat bersyukur bisa bergabung dalam kegiatan yang digagas Rumah KitaB karena bisa menyalurkan keresahan dengan sosialisasi tidak hanya melalui event besar, tetapi juga bersama rekan-rekannya melalui Whatsapp guna membahas dan mendiskusikan pencegahan perkawinan anak ini.

Sebagaimana layaknya di dalam keluarga, di Forum Anak Desa Songgom ia sangat pandai mengajak dan mengarahkan anak, remaja dan kaum muda untuk berkumpul. Perannya sebagai Wakil Ketua Forum Anak Desa Songgom mendorongnya untuk terus aktif mengkampanyekan pencegahan perkawinan anak di media sosial Forum Anak dan PATBM.

Bagi Yuniar kegiatan yang dilakukan Rumah KitaB selama ini telah membuka pintu kebaikan bagi remaja, yang tadinya bergerak sendiri-sendiri sekarang mulai bekerja bersama dan belajar berbagai hal termasuk public speaking. Modul yang diberikan, yang mudah dipahami dan dibaca ulang di waktu-waktu luang, memberikan banyak informasi yang sebelumnya tidak diketahui dan dipahami.

Yuniar berpesan kepada seluruh anak, remaja, dan pemuda khususnya di Desa Songgom, “Gunakan masa muda bukan hanya untuk berpacaran, tetapi untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Jika di antara keluarga ada yang menyuruh melakukan perkawinan anak, maka harus berani melapor ke RT/RW, Forum Anak Desa, PATBM Desa atau lainnya untuk mendapatkan pendampingan.”

Menjadi bagian dari Forum Anak Desa menjadi pembuka pintu untuk mengabdi kepada masyarakat terutama anak, remaja dan kaum muda. Selepas mendapatkan pendampingan dari Rumah KitaB Yuniar berkomitmen untuk terus terlibat aktif di Forum Anak, bahkan meski nanti sudah menjadi alumni. Ia berharap bisa tetap menjadi kakak yang mengayomi adik-adiknya untuk aktif mencegah perkawinan anak.[]

Gilang, Remaja Pelopor Gerakan Medsos Untuk Perlindungan Anak

GILANG Romadan, seorang remaja di Kelurahan Kalibaru, kelahiran 7 November 2003. Saat ini Gilang tercatat sebagai pelajar SMAN 13 Jakarta, Kelas 11 Semester 4. Gilang pernah bersekolah di SDN05 Kalibaru, dan SMP swasta di Dewaruci, yang masih termasuk dalam wilayah Kecamatan Cilincing Jakarta Utara.

Gilang merupakan anggota aktif pengurus PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) Kelurahan Kalibaru. Sebelumnya Gilang aktif di beberapa kegiatan ekstra kurikuler sekolah, namun minat besarnya dalam kegiatan sosial masyarakat, membuatnya aktif di beberapa kegiatan remaja di luar sekolah, seperti IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) Pengurus Cabang Jakarta Utara, Koordinator Posyandu Remaja RW. 006 Kelurahan Kalibaru, Gilang juga aktif di Karang Taruna RW. 006 Kelurahan Kalibaru.

Perkenalan Gilang dengan gerakan remaja perlindungan anak pertama kali saat pelatihan “Penguatan Kapasitas Remaja Pelopor dan Pelapor Perlindungan Anak” pada Oktober 2021 di Masjid Baitul Mukminin Kelurahan Kalibaru. Sebelum itu Gilang tidak pernah tahu kegiatan perlindungan anak, kecuali dari kelompok ITACI (Insani Teater anak Cilincing).

Gilang merupakan kader remaja dampingan Rumah KitaB dalam Program Berdaya II. Upayanya dalam membangun relasi yang baik dan harmonis antara remaja dengan orang dewasa sesama pengurus PATBM Kelurahan Kalibaru berjalan cukup baik. Berbekal komunikasi yang aktif antara remaja dan orang dewasa di PATBM Kelurahan Kalibaru, komunikasi remaja dapat terhubung dan berlangsung secara dua arah. Menurut Gilang, keberhasilan tersebut juga berkat upaya Ahmad Hilmi PO Berdaya Rumah KitaB yang mengkolaborasikan remaja dan orang dewasa dalam kepengurusan PATBM Kalibaru. Ahmad Hilmi berhasil meyakinkan para tokoh dewasa terkait pentingnya relasi tokoh remaja dan tokoh dewasa dalam program perlindungan anak PATBM Kelurahan Kalibaru.

Ketertarikan pada isu perlindungan anak paska pelatihan Rumah KitaB, membuat Gilang merasa optimis masa depan keterlibatan remaja di PATBM Kelurahan Kalibaru akan semakin luas. Bersama kawan-kawan remaja di Kelurahan Kalibaru saat ini ia sedang mengkampanyekan melalui media sosial dan jejaring grup WhatsApp guna memperluas keterhubungan dan keterlibatan remaja dalam program perlindungan anak PATBM Kelurahan Kalibaru.

Keterlibatan remaja dalam kepengurusan PATBM Kelurahan Kalibaru telah berhasil memperluas partisipasi PATBM Kelurahan Kalibaru ke wilayah virtual dan jejaring media sosial, sehingga kampanye perlindungan anak tidak saja diselenggarakan secara offline dengan pelibatan orang tua tetapi juga melibatkan jejaring virtual medos dengan perluasan partisipasi remaja.

Saat ini konten-konten di Instagram patbm.kalibaru semakin aktif meski baru diluncurkan pada 23 Desember 2021. Sebanyak 65 konten sudah diposting terkait kampanye perlindungan anak dan aktivitas PATBM Kelurahan Kalibaru.

Menurut Gilang, program dan rencana kerja PATBM Kalibaru untuk mengedukasi masyarakat sudah semakin maju, namun belum tersedianya infrastruktur untuk bermain anak masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti dikawal bersama-sama mendorong kementrian PUPR RI untuk segera mengimplementasikan rencananya untuk membangun Taman Maju Bersama/RPTRA dan Sarana Olah Raga di salah satu lokasi milik Kementerian PUPR di wilayah Kelurahan Kalibaru.

Selain itu, rencana pelibatan remaja di sekolah-sekolah untuk perlindungan anak juga akan dapat berkontribusi dalam meningkatkan motivasi remaja dalam memperpanjang usia pendidikan. Gilang mengritik sistem dan kurikulum pendidikan di sekolah yang selama ini hanya didesain untuk peningkatan prestasi nilai numerik untuk rapot dan kelulusan UN (Ujian Nasional) sehingga membuat remaja stres dan kurang dihargai karena hanya sebagai objek dari sistem pendidikan.

Sistem pendidikan yang dikritik Gilang tidak berkontribusi dalam peningkatan kualitas remaja sebagai pelajar/peserta didik yang aktif dalam melakukan perubahan sosial, khususnya meningkatkan edukasi dan memberi semangat kepada semua kawan-kawan pelajar untuk memperpanjang pendidikan.

Menurut Gilang sudah saatnya remaja menjadi subjek dari sistem pendidikan, bukan sebagai objek. Remaja harus terlibat aktif dalam perlindungan anak, mengingat banyak sekali potensi kekerasan di lingkungan sekolah, misalnya bulliying dan lainnya. Karena itu, salah satu impian remaja PATBM Kalibaru adalah melibatkan banyak remaja di berbagai sekolah dan remaja yang sudah terlanjur sebagai korban dari sistem pendidikan dan membuat mereka justru keluar dari partisipasi di dunia pendidikan, untuk berpartisipasi aktif dalam perlindungan anak, dengan harapan memotivasi banyak remaja untuk memperpanjang usia pendidikan dan memperluas jangkauan perlindungan anak, khususnya di Kelurahan Kalibaru.

Upaya yang sedang dilakukan Gilang dan kawan-kawan remaja dalam perlindungan anak juga secara positif akan berkontribusi dalam menghadirkan sekolah yang benar-benar layak anak, tidak hanya sebatas plang iklan “Sekolah Layak Anak”.[AH]

Peluncuran Buku Hak Anak dalam Islam

Rumah KitaB didukung Oslo Coalition meluncurkan draft buku “Hak Anak dalam Islam: Ikhtiar dari Hukum Positif, Fikih, Hadis dan Al-Quran”. Acara yang diikuti 74 peserta baik luring maupun daring ini diadakan di Hotel Aston, Bogor, pada 7 Februari 2022. Acara ini dibuka jam 13.00  dengan menghadirkan para pembicara, seperti Lies Marcoesm M.A dan Dr. Lena Larsen sebagai perwakilan Rumah KitaB dan Oslo Coalition, Dr. Faqih Abdul Kodir selaku koordinator peneliti dan penulis buku, serta sejumlah penanggap yaitu Rita Pranawati dari KPAI, Dr. Maria Ulfa Anshor perwakilan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), dan Kiai Ulil Abshar Abdalla M.A sebagai ahli dalam kajian teks  keagamaan klasik.

Acara ini juga menghadirkan para peneliti yang sekaligus kontributor penulis buku ini, yaitu Rifa Tsamrotus Sa’adah, Achmat Hilmi dan Jamaluddin Mohammad, sementara Fadilla Dwianti hadir melalui Zoom bersama sejumlah peserta lain mengingat pembatasan protokol kesehatan karena naiknya angka keterpaparan Covid-19.

Dalam sambutan pembuka acara ini, Direktur Rumah KitaB, Lies Marcoes Natsir memberikan konteks latar belakang dari kegiatan ini. “Sejak dua tahun lalu Oslo mendukung kami melakukan penelitian NDIT (New Directions in Islamic Thoughts) yang pada dasarnya sejalan dengan program yang sedang kami jalankan, yaitu mendorong perlindungan terhadap hak-hak anak,” ujarnya.

Lies juga menegaskan bahwa sudah delapan tahun Rumah KitaB bekerja untuk advokasi  Pencegahan Perkawinan Anak. Namun, kata Lies, sejauh ini isu Perkawinan anak masih terus berada di abu-abu alias kurang tegas. Padahal, berdasarkan riset yang di lakukan Rumah KitaB, sudah jelas dan tegas bahwa perkawinan anak adalah satu bentuk kekerasan dan dalam realitasnya lebih banyak memunculkan mafsadat.

“Karena itu, melalui buku ini, kami ingin membangun argumentasi bagaimana pencegahan perkawinan anak didukung baik dalam hukum positif maupun hukum Islam.  Buku yang kita launching hari ini adalah sebuah ikhtiar untuk mendukung dan menguatkan keinginan tersebut,” kata Lies.

Lies menambahkan bahwa dalam kaitannya dengan Islam orang menyangka ada dispute antara pandangan konservatif dan progresif dalam kaitan dengan perlindungan anak. Namun ketika riset ini dilakukan ternyata ada problem mendasar, yaitu  baik yang konservatif maupun progresif dalam kaitannya dengan perlindungan anak sama-sama dari subyek yang sama yaitu kepentingan orang dewasa, sementara hak-hak anak hanyalah menjadi lampiran. Di lain pihak pendekatan yang ditawarkan kelompok “sekuler” yang mengembangkan hak-hak anak, tak secara terbuka menimbang pandangan-pandang dari kelompok agama yang telah merasa bahwa hak-hak anak telah selesai di bawah daial diskursus keagamaan.

Hal ini diakui oleh Lena Larsen sebagaimana dikatakan dalam sambutannya sebagai direktur Oslo Coalition bahwa terjadi benturan keyakinan dan nilai-nilai yang dianut ketika melihat realitas perkembangan dan kebutuhan manusia modern. Menurutnya “tugas tokoh agama adalah menciptakan harmoni antara nilai-nilai agama  yang dianut dengan semangat perkembangan zaman yang menuntut kesetaraan, keadilan, dan pluralisme”.

Sebagai penulis buku ini,  Faqihuddin Abdul Kodir menawarkan sebuah konstruksi bagaimana menemukan dan menegaskan hal-hal yang bersifat prinsip dalam pemenuhan hak-hak anak, baik yang berasal norma-norma dalam hukum positif maupun norma-norma lain bersifat kultur berbasis hukum Islam. Ia menawarkan pendekatan refleksif kolaboratif dengan mengakui bahwa masing-masing norma memiliki modal untuk mengembangkan perlindungan dan hak-hak yang berpusat kepada anak.

Sebelumnya, kata Faqih, tidak bisa lain kita harus melakukan refleksi dan bersikap terbuka terhadap hal-hal yang selama ini menjadi kendala dan halangan dalam pemenuhan hak-hak anak, baik yang ditemukan dalam hukum positif maupun hukum Islam (fikih, al-Quran dan Hadis). Setelah itu, tahap berikutnya melakukan kolaborasi secara konstruktif seluruh norma-norma yang berlaku baik dalam hukum positif maupun agama dengan mendasarkan pada hal-hal yang prinsip, untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang ada dalam norma manapun, melalui inisiatif yang ada dari norma manapun, bagi ikhtiar komprehensif pemenuhan hak-hak anak.

Ibu Rita Pranawati dari KPAI mengapresiasi upaya yang dilakukan Rumah Kitab dan apa yang dipersoalkan dalam penelitian ini meru[akan juga persoalan yang dihadapi lembaga perlindungan anak ini. Menurutnya perlu ditambahkan pembahasan terkait beberapa topik terbaru yang tidak dibahas baik dalam hukum positif maupun oleh norma budaya dan agama.

Maria Ulfa Anshor selaku penanggap diskusi ini sangat mengapresiasi keseluruhan buku ini. Ia bersepakat bahwa hak-hak anak dalam Islam terlalu terfokus pada level mikro sebagaimana temuan penelitian Rumah KitaB.  Karenanya ia setuju kajiannya perlu diperluas lagi pada level meso dan makro. Sebagaimana disebut dalam teori ekosistem perlindungan anak yang dikemukakan Bronfenbrenner dalam The Ecological of Human Development,  perkembangan hidup/tumbuh-kembang anak terdiri dari mikro, meso dan makro.

Sementara menurut Ulil Abshar Abdalla kita harus bisa menempatkan positioning kita sebagai intelektual muslim ketika berhadapan dengan konvensi yang dibuat PBB. “Posisi kita sebagai intelektual muslim tidak sekadar mengonfirmasi konvensi yang dibuat PBB. Kita juga harus bisa melampaui dan memberikan penafsiran baru terhadap konvensi tersebut. Ketika kita menulis buku ini kita memiliki otonomi intelektual. Dalam hal ini pengalaman-pengalaman di luar negara maju juga memberikan sumbangan,” pungkasnya.

Sementara dari pihak pemerintah Ibu Rohika Kurniadi Sari dari Deputi Tumbuh Kembang Anak mengapresiasi dan menunggu hasil kajian ini untuk mengatasi problem perlindungan anak yang disebabkan oleh tidak memadainya kajian norma hukum dan norma agama atau budaya.

Seluruh peserta terlihat antusias dan setia mengikuti acara ini hingga berakhir pada pukul 15.30 WIB. [JM]

Refleksi Kawin Anak

Oleh Lies Marcoes

Akhir 2021, pemerhati isu perkawinan anak menutup kegiatan dengan webinar ”(Alasan) Islam Melarang kawin Anak”. Upaya pencegahan kawin anak di Indonesia telah berlangsung lebih dari 120 tahun dihitung dari tarikh surat protes Kartini atas perkawinan putri bupati Ciamis yang masih berumur 13 tahun di 1901. Namun, hingga kini kita masih menghadapi hal serupa.

Tulisan ini mengelaborasi upaya pencegahan kawin anak satu dekade terakhir dan tantangannya. Berdasarkan sejumlah data, angka perkawinan anak di Indonesia masih tertinggi kedua di ASEAN; satu dari sembilan anak kawin di bawah umur 18 tahun (GnB 2019), hanya sebagian kecil dari perkawinan itu bertahan, selebihnya cerai di bawah satu tahun dari umur perkawinan.

Data lain, hanya dua dari 10 yang kawin anak bisa balik ke sekolah. Itu pun berkat otoritas tokoh seperti pimpinan pesantren, kepala sekolah atau tokoh lokal karismatik. Meski tak ada regulasi resmi yang menghalangi mereka kembali ke sekolah, tak tersedia langkah afirmatif yang bisa jemput mereka kembali setelah pesta usai.

Fenomena kawin anak memang seperti isu colongan dalam pembangunan. Semula ini bukan tema krusial dibandingkan isu kependudukan seperti KB, kematian ibu dan anak. Tampaknya dunia begitu yakin, ketika pembangunan mengintroduksi tangga perubahan berbasis teknologi, praktik itu niscaya hilang dengan sendirinya.

Perubahan dari masyarakat agraris ke industri diandalkan jadi lantaran untuk hilangkan kebiasaan buruk itu. Hal serupa pernah terjadi misalnya dalam penghapusan perbudakan meski di sejumlah negara harus diperjuangkan berdarah-darah.

Ketika masyarakat masuk ke era transformasi informasi digital abad 21, secara logis seharusnya praktik irasional seperti kawin anak pupus. Anehnya, saat dunia memasuki era industri 5.0 yang mengharuskan keterlibatan “society” sebagai pengendali perkembangan teknologi, masyarakat justru kian kencang mencengkeram tradisi dan agama.

Argumen keagamaan

Praktik kawin anak bukan pengecualian. Dari alasan yang mengemuka, praktik itu begitu erat berkaitan dengan tradisi berbasis ketimpangan gender: demi menjaga martabat keluarga, untuk menutupi malu, hamil tak dikehendaki akibat tak dikuasainya teknologi pengaturan fertilitas, beban tanggung jawab moral yang sepenuhnya di pundak anak perempuan, kemiskinan akut akibat tak terhubungnya antara kemajuan industri dengan kesejahteraan.

Menyadari bahwa kawin anak terkait dengan tradisi dan pandangan keagamaan, membangun argumen keagamaan untuk menolak pandangan itu tentu menjadi penting. Karenanya pertanyaan “Mengapa Islam Menolak Kawin Anak” menurut Dr Nur Rofiah, salah satu pembicara dalam webinar ini menegaskan bahwa karena kawin anak lebih banyak menimbulkan mudarat daripada manfaat, maka harus ditolak.

Logika yang sama tampaknya juga digunakan kelembagaan terkait seperti KUA, peradilan agama bahkan Mahkamah Agung (MA). Pun sejumlah ormas sipil Islam seperti jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang mengeluarkan hasil musyawarah keagamaan yang menegaskan keharusan negara dan elemen masyarakat menghentikannya.

Dalam satu dekade terakhir, tercatat sejumlah ikhtiar serius dari pemerintah dalam mengagendakan langkah-langkah strategis pencegahan kawin anak. Antara lain terbitnya revisi UU Perkawinan No 16/2019 tentang kenaikan batas usia kawin dari 16 ke 19 tahun. Juga terbit Peraturan MA No 5/2019 tentang tata laksana pengaturan dispensasi nikah. Bappenas mencanangkan lima agenda strategi nasional yang secara komprehensif mengupayakan langkah konkret pencegahan perkawinan anak minimal guna memenuhi target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs).

Namun tampaknya titik tekan dalam penanggulangan kawin anak terlalu mengandalkan sektor hukum. Terbitnya regulasi nasional, peraturan gubernur, perda, peraturan bupati hingga peraturan desa jadi agenda prioritas. Padahal perkawinan anak efek domino dari persoalan yang lebih rumit dari sekadar persoalan rendahnya usia kawin.

Perubahan ekonomi seperti kepemilikan dan pemanfaatan lahan untuk industri melahirkan kesenjangan relasi gender di tingkat keluarga yang berujung pada kawin anak bahkan sebelum mereka menuntaskan wajib belajar 12 tahun.

Sebuah policy brief berbasis studi oleh Bank Dunia, Desember 2020 menegaskan, benar Indonesia dalam satu dekade terakhir telah mencapai kesetaraan antara lelaki dan perempuan. Misalnya dilihat dari meningkatnya literasi, angka partisipasi sekolah, dan ketenagakerjaan, dan kebijakan untuk mendorong terwujudnya masyarakat berkeadilan gender.

Namun terkait pendidikan, meski rata-rata nasional telah mengalami peningkatan, berbagai perbedaan signifikan terjadi di tingkat daerah, baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Di banyak daerah anak perempuan mengalami ketertinggalan. Di Probolinggo, misalnya, persentase anak laki-laki yang bersekolah di tingkat dasar 1,5 kali lebih banyak daripada anak perempuan terutama pasca-Covid-19 (Noah Yarrow).

Ditelikung regulasi

Telah cukup bukti berbasis riset yang menunjukkan besarnya mudarat daripada manfaat kawin anak. Namun, sampai sejauh ini upaya untuk mengatasinya berada di titik abu-abu. Ini misalnya terlihat dari masih diterimanya pengecualian berupa izin menikah melalui pemberian dispensasi. Tentu saja, dispensasi hanyalah pintu darurat yang meski tersedia, seharusnya tak perlu digunakan.

Masalahnya, dispensasi nikah justru jadi andalan menyelesaikan kedaruratan untuk setiap penyimpangan dari batas usia kawin. Karenanya penghentian praktik kawin anak di tingkat nasional sampai desa seperti ditelikung sendiri oleh regulasi pintu darurat itu.

Kawin anak butuh solusi lain di luar sektor hukum. Teratasinya problem kemiskinan, tersedianya informasi memadai tentang kesehatan reproduksi, ketegasan dalam menyatakan perkawinan anak adalah bentuk kekerasan, dan tersedianya program untuk menutup celah dari batas umur berhentinya sekolah setelah wajib belajar 12 tahun dengan masa menunggu kawin yang dilegalkan secara hukum di usia 19 tahun.

Ini antara lain bisa diatasi dengan tersedianya lapangan kerja permanen bukan musiman sampai tingkat desa. Kita juga butuh ketegasan sikap dengan cara menggeser sudut pandang abu-abu dalam melihat isu kawin anak yang seolah bisa dibenarkan sepanjang terpenuhi aspek legalitasnya, ke sikap yang lebih tegas bahwa ini bentuk kekekerasan terhadap anak yang dilegalkan.

Lies Marcoes
Peneliti Rumah Kitab

 

Sumber foto: freepik.com

Pengesahan PATBM Berdaya Desa Songgom

Yayasan Rumah Kita Bersama menyelenggarakan kegiatan “pengesahan PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat). Kegiatan ini dilakukan secara offline pada tanggal 11 November 2021 di Desa Songgom. Kegiatan ini dihadiri oleh Kepala Bidang DPPKBP3A Kab. Cianjur beserta tim, Kepala Desa Songgom, Bapak Camat Kecamatan Gekbrong, kelompok remaja dan masyarakat Desa Songgom. Kegiatan ini dibuka dan dipimpin (MC) oleh Bapak Sekretaris Desa Songgom yang merupakan pengurus PATBM juga. Para undangan lain yang hadir dari aparat desa RW dan RT serta BPD, KUA, tokoh masyarakat setempat, dan PKK Desa, semuanya hadir sekitar 40-50 orang.

Pembukaan acara pelantikan

Sambutan pertama oleh perwakilan Rumah KitaB Nurasiah Jamil, menjelaskan alasan pencegahan perkawinan anak perlu dilakukan di Cianjur karena dapat meningkatkan angka stunting anak dan dapat menyebabkan rendahnya indeks pembangunan manusia. Selain itu, hal ini juga didorong dengan adanya Undang-Undang yang mengharapkan setiap desa memiliki lembaga yang mengatasi masalah perlindungan anak. Di Cianjur sendiri, pencegahan ini akan dilakukan melalui PATBM dengan tujuan menjadi wadah masyarakat yang membutuhkan pertolongan. PATBM merupakan upaya untuk mewujudkan desa layak anak. Adapun tiga tugas dari PATBM, yaitu sosialisasi, advokasi, dan pendampingan. Partisipasi kelompok remaja dikatakan memiliki peranan penting karena mereka adalah agen perubahan yang menjadi sasaran program ini.

Kedua, Kepala Desa Songgom Ade Suryati, menyampaikan harapannya terhadap program PATBM. Melalui program ini diharapkan angka perkawinan anak menurun di desa Songgom. Kepala Desa menghimbau masyarakat tidak hanya melihat keberhasilan desa melalui pembangunan infrastruktur saja, tetapi juga non-infrastruktur seperti akhlak. Selain remaja, Kadus juga memiliki peran penting karena mereka yang paling mengerti tentang permasalahan lingkungannya.

Ketiga, Bapak Camat, Pujo Nugroho juga mengajak semua pihak berpartisipasi dalam program ini, tidak hanya dari instansi pemerintahan setempat, tetapi juga dari Lembaga Swadaya, donator hingga masyarakat setempat. Kemudian Bapak Camat juga mengajak masyarakat menyamakan visi dan misi dengan Lembaga terkait penyelenggara PATBM agar mendapatkan hasil yang sesuai rencana. Selain itu, dalam penyelenggaraan program PATBM diharapkan tetap memperhatikan kaidah-kaidah Islam. 

Keempat, terdapat masukan-masukan yang disampaikan oleh Kepala Bidang PPPA DPPKBP3A Kabupaten Cianjur. Hj. Tenty Maryanty Pertama, materi tentang perlindungan anak diharapkan tidak hanya disampaikan ketika sosialisasi ketika ada acara formal saja. Materi perlindungan anak dapat diselipkan juga ketika melakukan berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat. Kedua, terkait advokasi, kegiatan PATBM ini dapat diadvokasikan kepada para pengusaha untuk mendapatkan dukungan. kemudian, dukungan lainnya dapat didapatkan dari media sebagai publikasi. Ketiga, masyarakat diajak mengubah paradigma bahwa pelecehan bukanlah aib. Hal ini sesuai dengan tugas PATBM, yaitu Dare to Speak yang berarti korban diharapkan berani berbicara terkait kasus pelecehan agar pelaku mendapatkan hukumannya. Kabar baiknya, tahun depan akan dibentuk UPTD PPA di Kabupaten Cianjur sebagai wadah untuk melaporkan kasus tersebut.

Sesuai agenda kegiatan, acara selanjutnya yaitu pengesahan, penandatanganan, dan penyerahan SK oleh Pemerintah Desa Songgom, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur kepada ketua PATBM dan ketua forum anak Desa Songgom.

Sosialisasi PATBM 

Sosialisasi PATBM diawali dengan memperkenalkan kepengurusan PATBM. Selanjutnya penyampaian visi dan misi oleh ketua PATBM. Visi PATBM adalah untuk menjadikan lembaga yang terdepan dalam memperjuangkan perlindungan anak dan memastikan tetap sehat, cerdas, berakhlakul karimah, mandiri dan produktif. Kemudian misinya untuk memperkenalkan PATBM Desa Songgom sebagai lembaga rujukan perlindungan anak, memperkuat fungsi pelayanan penanganan kekerasan, dan meminimalisir penyalahgunaan wewenang orang tua terhadap pernikahan dini. Adapun rencana tindak lanjutnya akan dilakukan dengan memanfaatkan waktu dan fasilitas dari berbagai kegiatan pertemuan warga, seperti posyandu, majlis ta’lim, musyawarah desa, dan pertemuan lainnya. 

Terkait pertemuan warga, terdapat posyandu, pertemuan masyarakat, tokoh masyarakat, tenaga kesehatan yang dijadwalkan setiap bulan. Kegiatan ini dapat diatur oleh tenaga kesehatan, desa, maupun pengurus PATBM. Materi yang akan disampaikan berupa perkenalan PATBM kepada masyarakat, pendataan, dan sosialisasi dan edukasi tentang hak anak. Kemudian untuk pertemuan majlis ta’lim, peserta nya juga sama seperti sebelumnya, namun akan dilakukan setiap minggu dan diatur oleh masyarakat. Materi yang disampaikan pun tidak hanya edukasi hak anak, tetapi juga pencegahan perkawinan anak. Selanjutnya untuk pertemuan rutin Posyandu akan diatur oleh Kader yang akan dilaksanakan setiap bulan. Materi yang disampaikan pun sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya.  Terdapat pula posyandu remaja yang akan dihadiri oleh forum anak, remaja, dan pengurus PATBM yang akan dilakukan setiap bulan (conditional). Adapun materi yang diberikan adalah penyuluhan pencegahan kekerasan masa remaja dan penguatan nilai-nilai keagamaan. Sementara untuk musyawarah lainnya akan dihadiri oleh pemerintah desa, LKMD, DPD, pengurus PATBM yang berlangsung conditional. Materi yang akan disampaikan antara lain, sosialisasi hak anak, pencegahan perkawinan anak, dan perumusan kebijakan terkait perlindungan anak. 

Selain sosialisasi, PATBM juga hadir untuk mendampingi masyarakat yang menjadi korban kekerasan. Oleh karena itu, masyarakat dapat melaporkan masalahnya kepada PATBM.

Sosialisasi Kelompok Remaja

Sosialisasi ini dibuka dengan pengenalan pengurus Kelompok Remaja disampaikan oleh perwakilan kelompok remaja. Selanjutnya penyampaian visi misi oleh kelompok remaja. visinya adalah terwujudnya anak remaja yang berakhlakul karimah dalam mewujudkan generasi yang berkelanjutan, memberikan ruang bagi anak untuk berpartisipasi untuk mengembangkan bakat dan minat, dan meminimalisir pelanggaran hak anak.  

Adapun rencana kegiatan yang akan dilakukan kelompok remaja antara lain, sosialisasi hak anak, kampanye anti kekerasan terhadap anak termasuk pencegahan perkawinan anak, gerakan internet, sehari bersama anak. 

Setelah sosialisasi tersebut, acara selanjutnya yaitu sesi pemberian masukan dari peserta sosialisasi. Salah satu masukan yang didapatkan adalah kegiatan PATBM diharapkan dapat bekerjasama dengan PKK mengingat di daerah pelosok masih banyak orang tua yang menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Hal ini merupakan tantangan bagi semua pihak, tidak hanya PATBM, tetapi juga pemerintah setempat dan masyarakat. 

Kegiatan pengesahan pengurus Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan kelompok remaja untuk perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak di Desa Songgom ditutup dengan foto bersama.

Ummi dan Rahima, Cinta Kasih dalam Islam “Bukan Islam jika mendakwahkan agama dengan kebencian dan kemarahan”

Oleh Isti Sy
Mengikuti ceramah Prof. Nasaruddin Umar dalam kegiatan Diseminasi Publikasi Rumah Kitab: Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak melalui Zoom Meeting pada 21 Desember 2021 dalam kegiatan Rumah Kitab. Sangat terkesan dengan pemaparannya mengenai makna Ummi sampai pada pembahasan Islam adalah Rahima, Islam adalah Cinta. Ibu Lies Marcoes , ijin membagikan apa yang di sampaikan Prof Nasaruddin dalam kegiatan di Rumah Kitab tersebut 🙏. Berikut sebagian isi ceramahnya:
Ummi artinya ibu, dalam kamus ummi bukan asli dari bahasa Arab akan tetapi dari bahasa Hebrew, alif mim (ا م ) artinya cinta yang sangat tulus, pencinta suci. Kemudian dijadikan dalam Bahasa Arab untuk memberikan atribut terhadap seseorang yang melahirkan, itulah ibu disebut ummi. Um dari kata alif mim (ا م ) ini lahirlah kata amama yaitu progressiveness, visioner (keterdepanan, berkemajuan). Lahir kata imam : pemimpin yang berwibawa. Lahir kata ma’mum : rakyat/makmum yang santun. Lahir kata imamah : konsep kepemimpinan yang mengatur antara yang memimpin dan yang dipimpin. Totalitasnya komunitas itu disebut dengan Ummah, maka Ummah adalah suatu komunitas yang diikat oleh cinta yang sejati. Di dalam komunitas Ummah itu ada pemimpin yang berwibawa, rakyat yang santun, sistem yang mengatur secara konstitusional.
Tujuan Nabi adalah mentransformasikan masyarakat kabilah yang hanya diikat oleh ikatan primordial kepada msyarakat Ummah yang kosmopolit, global, universal tetapi dalam ketetapan (memiliki) kasih sayang dan cinta. Inilah makna Ibu, oleh karenanya bukanlah seorang Ibu jika dia tidak memiliki unsur Ummi (cinta yang sangat tulus).
Allah lebih menonjolkan diri sebagai Ummi (ا م ), pencinta. Ibu, perempuan lebih mengadopsi sifat-sifat dan nama Allah dari pada laki-laki. Dari 99 Asma Allah, 80 % itu nama feminin dan hanya 20 % nama maskulin dan itupun jarang terulang dalam al-Qur’an. Asma feminin seperti Rahim (Maha Penyayang) terulang sebanyak 114 kali dalam al-Qur’an, Ar Rahman (Maha Pengasih) terulang sebanyak 57 kali. Bahkan disebut sebagai Ummul Asma, Ummu as Sifat, adalah al- Rahmaan al Rahiim yang berasal dari satu akar kata Rahima.
Dalam Hadits Nabi : Kalau al-Qur’an itu dipadatkan, pemadatannya adalah surat al-Fatihah.
Kalau surat al-Qur’an dipadatkan maka pemadatannya adalah ayat pertama yaitu bismillahirrahmaanirrahiim.
Jika dipadatkan lagi adalah dua sifat utama Allah yang disebut Umuussifat atau Ummul Asma yaitu Ar Rahman dan Ar Rahiim. Jika dipadatkan lagi memang berasal dari satu akar kata yaitu Rahima.
Rahima artinya cinta.
6666 ayat dalam al-Qur’an jika dipadatkan menjadi satu kata, satu permata, permata itu adalah Cinta, Rahima.
Oleh karena itu jika ada yang memperjuangkan Islam tetapi dengan mengumbar kebencian, kemarahan maka itu bukan spirit Islam akan tetapi lawan dari Islam. Segala apapun yang dilakukan oleh muslim jika itu tidak menimbulkan cinta, jika itu menimbulkan kebencian, kegelisahan maka itu bukan Islam.

Reportase “Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Untuk Pencegahan Perkawinan Anak – Cianjur

Rumah Kita Bersama atas dukungan The Oslo Coalition on Freedom of Religion or Believe – University of Oslo Norwegia, pada hari Selasa 12 Oktober 2021 menyelenggarakan kegiatan “Sosialisasi Buku Fikih Perwalian dan Sosialisasi Revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, untuk Pencegahan Perkawinan Anak.”

Kegiatan ini diselenggarakan pada hari Selasa, 12 Oktober 2021, berlokasi di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Al-Khadijiyah, berlokasi di Kp. Kedudampit, RT01/RW09, Desa Rancagoong, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Tepatnya dari alun-alun Kabupaten Cianjur menuju lokasi hanya berjarak 3 km.  Jumlah santri yang menetap di pesantren tersebut sebanyak 600 santri, terdiri dari 300 santri perempuan dan 300 santri laki-laki. Kurikulum Pesantren ini menggunakan model pendidikan salaf, mengaji berbagai kitab-kitab kuning mu’tabarah (otoritatif), terutama karena para kyai dan ajengan yang mengasuh pondok pesantren ini merupakan santri-santri yang pernah bermukim di pesantren tradisional seperti Sidanglaut-Cirebon, Al-Anwar-Sarang, dan Banten.

Pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan pada pukul 09.30 dan berakhir pukul 13.30 WIB. Kesediaan peserta memang hanya bisa dilaksanakan pada jam 09.30 WIB, karena domisili peserta yang sangat jauh dari pesantren, dan mereka harus mengantar anak pergi ke sekolah terlebih dulu.

Kegiatan ini melibatkan 20 orang peserta, terdiri dari para ustaz muda dan ustazah muda yang aktif dalam kegiatan pesantren dan masyarakat di Cianjur yang berhadapan langsung dengan kasus-kasus perkawinan usia anak di tingkat desa. Termasuk juga para remaja/santri dan tokoh masyarakat yang aktif dalam upaya pencegahan perkawinan usia anak. Bahkan sebagian peserta berdomisili di desa-desa pelosok di Kabupaten Cianjur, mereka merupakan murid-murid Abah Kyai Deni, Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Hidayah Al-Khodijiyah.

Jaringan Pesantren Nurul Hidayah Al-Khodijiyah tersebar luas dari mulai Cianjur Utara hingga wilayah Cianjur Selatan. Melalui jaringan guru-murid ini menghadirkan para peserta (tokoh agama) yang telah lama memiliki akar yang kuat di masyarakat di berbagai wilayah pedesaan, mereka diundang secara khusus oleh Abah Kyai Deni sendiri melalui Gus Fikri yang mendistribusikan Undang-Undang tersebut.

Pentingnya pelibatan para tokoh agama yang berada di level desa, terutama di wilayah pelosok, menurut Abah Deni, karena banyak dari mereka belum memiliki pengetahuan baru terkait pandangan keagamaan yang memiliki keberpihakan terhadap anak.

Narasumber yang berpartisipasi dalam kegiatan ini  di antaranya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab. Cianjur Bidang Komisi Fatwa (Abah KH. Deni Ramdani), Peneliti Rumah KitaB wilayah Cianjur (Aminah Agustinah, M.Ant.), Pimpinan Pesantren dari kalangan perempuan di wilayah Cikalong Kulon-Cianjur yaitu ibu Nyai Neng, Pengkaji Teks Rumah KitaB (Gus Jamaluddin Mohammad), dan Wakil Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Cianjur yaitu Abdul Majid.

Kegiatan ini diselenggarakan dengan standar penyelenggaraan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Cirebon di masa pandemi covid, saat Cianjur berstatus PPKM level 2 (Oktober 2021).

Kegiatan ini merupakan bentuk dukungan Rumah KitaB terhadap implementasi Strategi Nasional (STRANAS) Pencegahan Perkawinan Anak yang telah diluncurkan oleh Kementerian PP/Bappenas RI tahun 2020 untuk percepatan penghapusan perkawinan anak. Melalui program Bahtsul Masail Plus ini, Rumah KitaB mendorong implementasi Strategi Nasional (stranas). Poin 1, yaitu optimalisasi kapasitas anak melalui tindak lanjut regenerasi dan penguatan kapasitas anak. Poin 2, lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak.

Isu yang diangkat

Terdapat beberapa tujuan utama yang terealisasi dari kegiatan ini; Pertama, tersosialisasinya pandangan keagamaan yang ramah terhadap hak-hak anak yang bebas dari perkawinan anak dan perkawinan paksa melalui bedah buku Fikih Perwalian. Gus Jamaluddin Mohammad telah secara rinci memaparkan pentingnya merekonstruksi Kembali pandangan keagamaan tentang konsep perwalian yang ramah terhadap anak dan berisi konter narasi terhadap pandangan-pandangan keagamaan yang memperkenankan perkawinan anak dan perkawinan paksa sebagaimana diyakini banyak masyarakat yang melegalkan perkawinan usia anak dan perkawinan paksa.

Tujuan kedua, yaitu tersosialisasinya revisi UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 dan PERMA No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Usia Kawin dalam Peradilan Agama dan Peradilan Umum, sebagai upaya pencegahan perkawinan anak melalui lembaga peradilan. Wakil ketua Pengadilan Agama Kabupaten Cianjur telah secara rinci juga memaparkan pentingnya sosialisasi revisi UU Perkawinan tersebut dan Perma nomor 5/2019.

Tujuan ketiga, terpetakannya problem-problem faktual terkait dampak peningkatan batas minimal umur perkawinan menjadi 19 tahun terhadap praktik kawin anak melalui upaya hukum dispensasi kawin atau perkawinan yang tidak dicatatkan (perkawinan siri).

Beberapa kasus yang muncul dalam diskusi tersebut, di antaranya pertama, menurut Wakil Ketua PA Cianjur, revisi UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 berdampak pada peningkatan permohonan dispensasi kawin. Sebelum adanya revisi undang-undang tersebut, masyarakat terbiasa mengawinkan anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Menurut Hilmi, pandangan diskriminatif tersebut dilatar belakangi pandangan keagamaan masyarakat yang timpang/tidak adil secara gender.

Kedua, menurut Aminah, Bu Nyai Neng, dan ajengan fikri perkawinan anak di Cianjur dilatar belakangi lemahnya kemampuan ekonomi orangtua. Ajengan Fikri menjelaskan lebih jauh, dan menjelaskan salah satu kasus soal hutang-piutang yang kemudian mengorbankan anak masuk terjebak dalam derita kawin anak. Dalam kasus tersebut, orangtua memiliki hutang besar kepada para cukong, yang kemudian menagih hak (utang) mereka, bila terdapat celah tidak adanya kemampuan orangtua dalam membayar hutang, biasanya para cukong itu akan memaksa anak gadisnya menikah dengan mereka sebagai isteri kedua atau ketiga. Beberapa kasus seperti itu terjadi di Cianjur.

Problem kemiskinan di Cianjur telah lama terjadi sebagai akibat dari perubahan ruang hidup dan hilangnya kesempatan ekonomi akibat gempuran industri pariwisata yang tidak berpihak pada pemberdayaan ekonomi lokal sejak 30 tahunan silam. Banyak masyarakat tergiur menjual tanahnya, dan kemudian kehilangan akses ekonomi agraris. Sementara gerakan kampanye perpanjangan pendidikan tidak begitu massif di tingkat para pemangku kebijakan, sehingga banyak anak-anak tidak memiliki keahlian dan kemampuan Pendidikan.

Ketiga, pandangan keagamaan yang tidak berpihak pada perempuan dan anak-anak masih menjadi pandangan dominan bagi sebagian masyarakat dan sebagian tokoh agama di Cianjur. Menurut Abah Kyai Deni, penting melaksanakan pendekatan kepada ajengan-ajengan terkait isu pencegahan perkawinan anak, banyak dari mereka belum terinformasikan terkait problematika, dan tantangan yang dihadapi oleh anak-anak di Cianjur, khususnya terkait perkawinan usia anak. Sementara pendekatan kepada ajengan-ajengan hanya bisa dilakukan oleh ajengan atau kyai/orang yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren juga atau para alumni kampus-kampus di Timur Tengah.

Keempat, beberapa peserta menuturkan bahwa salah satu penyebab terjadinya perkawinan anak yaitu tradisi masyarakat yang khawatir anaknya menjadi perawan tua bila terlambat dinikahkan.

Kelima, peserta lain menjelaskan, pergaulan yang tidak sehat dan menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan anak-anak perempuan. KTD menjadi salah satu kasus yang dominan dalam pengajuan permohonan dispensasi kawin di pengadilan agama kabupaten Cianjur dalam 2 tahun terakhir.

Menurut Abah Kyai Deni, kegiatan ini sangat penting, dan diharapkan dapat dilakukan kembali di wilayah Cianjur dengan keterlibatan peserta yang lebih luas, khususnya para ajengan dan kyai sepuh di berbagai pelosok desa di Cianjur, khususnya Cianjur Selatan. AH[]