Warga Miskin Bicara “Geser bukan Gusur”
Tulisan ini dimuat dalam buku, Menolak Tumbang : Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan, Insist, 2014
Lima belas Januari 2013 Jakarta diterjang banjir hebat. Selama seminggu Jakarta lumpuh total. Tak hanya Jakarta Timur yang memang langganan banjir, tetapi juga sepanjang jalan Thamrin—dari Bundaran HI hingga Istana Merdeka. Jalan berubah coklat pekat digelontor air Ciliwung yang jebol di tanggul Jalan Latuharhari. Dilaporkan 20 orang tewas, 23.000 mengungsi dan kerugian mencapai 20 triliun.[1]
Akhir Desember 2013, isu banjir kembali menjadi momok, mengiringi hujan akhir tahun. Namun bagi warga Waduk Pluit, ketegangan itu sebetulnya tak pernah reda sejak Januari. Tak hanya Desember, sepanjang tahun mereka terus berhadapan dengan isu penggusuran. Terutama setelah diputuskan oleh Pemda DKI bahwa normalisasi Waduk Pluit merupakan salah satu solusi mengatasi banjir.
Dalam upaya relokasi warga untuk berbagai alasan, pemerintah DKI di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), menawarkan solusi “geser bukan gusur”, yaitu menggeser warga dari tempat yang dianggap bermasalah tanpa melakukan penggusuran mereka. Cara ini diharapkan dapat memenuhi prinsip keadilan yang tak melanggar hak-hak warga. Banyak yang terpesona oleh pendekatan itu. Demikian halnya dengan cara “mendengarkan bukan memaksakan” yang dipegang sebagai prinsip bermusyawarah.
Dalam beberapa kasus, pendekatan itu memang terbukti sakti. Kita mencatat sejumlah capaian, seperti pembenahan Pasar Tanah Abang, penertiban waduk Ria-Rio, kelanjutan pembangunan kanal, serta normalisasi bantaran Sungai Ciliwung.
Saya terpana pada pendekatan itu. Mungkin lantara saya pernah gagal menjalankan salah satu langkah advokasi kepada penguasa yang sangat anti rakyat miskin di kota Bandung. Tahun 1985, dengan harapan dapat membantu warga miskin, saya dan Dr. Martin van Bruinessen, antropolog dari KITLV Universitas Leiden, menerbitkan hasil penelitian kami yang di dalamnya mengkritik cara kerja “Tibum” (sekarang satpol PP) dalam menggasak tukang becak dan pedagang kaki lima.[2]
Bukannya membantu, tulisan itu malah membuat sang walikota—seorang pensiunan tentara –murka. Caranya khas penguasa Orde Baru; gagal mengusut izin penelitian kami, ia menekan aparat dari kecamatan sampai ke RT tentang keberadaan kami. Untung ketika itu penelitian telah selesai. Dan daripada bersetuju dengan usulan untuk memberi ruang hidup bagi rakyat miskin, ia justru berencana menggusur warga miskin di daerah penelitian kami. Alasannya, ”mereka bukan warga saya, mereka jelema manuk (“manusia burung”/bukan penduduk tetap) yang tak punya KTP Bandung.”[3]
Dapat diduga, warga pun resah. Lokasi penelitian kami pernah mengalami kebakaran besar beberapa tahun sebelumnya. Desas-desus tentang rencana bumi hangus kembali berhembus. Sesama warga jadi mudah curiga. Pekerja seks, peminta-minta, tukang becak merasa paling dipojokkan karena dianggap biang masalah oleh warga yang lain. Untunglah walikota hanya main gertak sampai ia lengser. Namun, kejadian ini menjadi pelajaran penting: setiap langkah advokasi membutuhkan perencanaan strategis dan pengorganisasian warga, tak hanya pendataan dan penelitian. Dan itulah yang dilakukan Jaringan Urban Poor Consortium (UPC) dalam mendampingi kaum miskin untuk memperjuangkan hak mereka atas tempat tinggal dan pekerjaan.
Ketika penelitian untuk penulisan buku ini berlangsung (Desember 2013), pendekatan “geser bukan gusur” ini tampaknya sedang menghadapi ujian berat. Penertiban tahap pertama di Waduk Pluit dan Muara Baru–Penjaringan untuk mengatasi banjir Jakarta berbuntut sengketa. Setidaknya ini diindikasikan dengan adanya pengaduan warga gusuran Taman Burung Waduk Pluit ke Komnas HAM, sebagian mereka bertahan di mushala Waduk Pluit.[4]
Atas bantuan seorang relawan UPC, saya dipertemukan dengan sejumlah perempuan aktivis JRMK (Jaringan Rakyat Miskin Kota), anggota jaringan UPC yang tinggal di Muara Baru dan Waduk Pluit pada awal Desember 2013. Mereka adalah Ibu Kokom aktivis JRMK, Ibu Muharyati, ketua “kelompok sepuluh” atau kelompok ibu-ibu untuk tabungan di komunitas, dan Nenek Della, divisi advokasi UPC yang pada 28 Desember 2013 ia genap berumur 70 tahun (nama mereka tak saya samarkan atas izin mereka). Inilah suara mereka tentang bagaimana seharusnya penataan kampung dilakukan.
Menimbang Suara Perempuan Miskin
Berbicara dengan Ibu Kokom, Nenek Della, dan Ibu Muharyati, warga Waduk Pluit adalah bicara dengan orang lapangan penggerak masyarakat sekaligus pengamat komunitas kaum miskin.[5] Mereka bisa menjelaskan dengan sangat masuk akal bagaimana seharusnya daerah mereka ditata dan dikelola. Tentu saja usulan mereka bukan datang tanpa ditimbang. Ketiganya adalah warga belajar komunitas JRMK (Jaringan Rakyat Miskin Kota) yang merupakan anggota jaringan UPC di wilayah Muara Baru–Penjaringan. Mereka telah bekerja di daerah itu sejak awal Reformasi. Kesadaran kritis mereka telah terasah melalui pengalaman langsung berhadapan dengan ancaman penggusuran dan pendidikan kesadaran kritis yang diselenggarakan UPC.
Dimulai dari pembentukan kelompok menabung, aktivitas tentang kesadaran hukum diawali dengan upaya memperoleh Surat Kenal Lahir (Akte Kelahiran). Banyak anak-anak warga di Muara Baru atau Waduk Pluit tak beridentitas hukum seperti akte kelahiran. Bukan karena tak tahu, tetapi syarat-syarat lainnya seperti KTP dan KK tak selalu mereka miliki.
Berangkat dari hal yang konkrit seperti itu, mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan yang membangkitkan kesadaran kritis, termasuk hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan aman. Dengan cara itu, energi negatif warga yang pada dasarnya amat curiga pada langkah penguasa, dan karenanya setiap saat bisa berubah menjadi kerusuhan, dapat diubah menjadi energi postif yang percaya pada langkah-langkah advokasi yang terencana dan dijalankan dengan musyawarah tanpa kekerasan.
Menurut ketiganya, perjuangan itu tak melulu untuk anggota JRMK, tetapi bagi warga yang umumnya sangat rentan penggusuran. Kini di daerah Muara Baru (tempat Ibu Kokom tinggal) terdapat sedikitnya lima kampung padat. Mereka menempati tanah perusahaan PT GT. Sementara di sekeliling Waduk Pluit terdapat enam kampung, termasuk Kebon Tebu, tempat ibu Muharyati dan Nenek Della bermukim. Mereka menempati tanah milik negara atau dikenal dengan sebutan tanah PU.
Bagi mereka, hal yang harus disepakati bersama dalam pembenahan wilayah mereka adalah adanya pemahaman tentang hak warga atas tempat tinggal.
“Apapun rencananya harus disepakat dulu bahwa kami diakui sebagai manusia. Kami adalah warga negara yang punya hak yang sama untuk mendapatkan tempat tinggal sehingga bisa membesarkan anak-anak. Perkara status kami, itu urusan politik. Saya mau tanya, mana yang lebih dulu ada di daerah ini, orangtua kami yang tinggal di sini dari tahun 60an-70an atau kompleks mewah di sebelah (Pantai Mutiara tempat Ahok tinggal) yang baru dibangun belakangan. Tanah di RT 19 ini tanah darat, bukan urugan dan di atas waduk. Mengapa kami tak diberi sertifikat sementara di sana punya sertifikat. Mengapa kami ditarik bayaran listrik dan iuran warga oleh kelurahan kalau dianggap bukan warga? Di mana keadilan? Asal tahu saja, setiap penggusuran menyengsarakan kami perempuan dan anak-anak kami. Lelaki bisa pergi begitu saja, tapi kami dipaku oleh kewajiban ngurus hidup, ngurus anak-anak” (Ibu Muharyati, 27 November 2013).
Siang 27 Desember 2013, di bawah terik matahari di tanah kosong bekas gusuran Taman Burung di tepi Waduk Pluit, Nenek Della menyampaikan pemahamannya tentang dampak penggusuran yang seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah.
“Pemerintah pikir penggusuran itu hanya soal memindahkan orang. Mereka tak menimbang dampak penggusuran pada pecahnya hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat. Hubungan-hubungan sosial itu tidak bisa diganti dengan uang. Kalau sekadar memindahkan gubuk-gubuk ini mereka pasti sanggup, ada dana APBD dan uang macam-macam, tapi bagaimana cara mengganti kerusakan yang disebabkan oleh pecahnya hubungan-hubungan sosial kami? Selama ini pemerintah hanya mikir geser, pindah, rumah susun relokasi, tapi apa pemerintah berpikir rekondisinya? (Nenek Della, 27 Desember 2013).
Dengan sangat kritis ia juga menyoal pemaknaan “ gubuk liar” yang menurutnya digunakan sepihak oleh pemerintah. Makna “liar” menurutnya telah menyudutkan dan mendiskriminasikan mereka dan menafikan kenyataan bahwa masyarakat membangun rumah, membangun rumah tangga, merajut hubungan-hubungan sosial, membesarkan anak-anak, semuanya dengan keringat dan uang yang mereka kumpulkan sendiri. “Kami bangun ini dengan mengurangi makan, bukan hasil korupsi,” ujar Nenek Della. Jadi bukan hanya rumah yang dibangun, tetapi mereka merawat ikatan-ikatan antar warga sehingga bisa saling membantu, saling memberi dan menerima. Menurutnya mereka sama sekali bukan “warga liar” dan bukan menghuni” gubuk liar”.
“Kami warga negara, kami punya KTP, punya identitas. Dan jikapun tidak punya, bukan salah kami, tapi karena pemerintah tak mau mengakui kehadiran kami. Kalau alasannya kami tinggal di wilayah waduk dan karenanya dianggap illegal, lalu itu apartemen Laguna, lahan parkir berhektar-hektar yang letaknya persis bersebelahan dengan Taman Burung yang sama-sama di tepi waduk, mengapa mereka dianggap legal dan warga Taman Burung illegal? Semua tahu, penyebab banjir Jakarta bukan hanya kami, sungai-sungai dangkal, sejak dari hulu di Puncak, Bogor, banyak bangunan yang menyalahi tata kelola lingkungan. Jadi mengapa kami yang disalahkan? Jika tanah kami dianggap ilegal, justru tugas negaralah memberi perlindungan dan jaminan kepada kami agar kami tinggal secara legal ” (Nenek Della, 27 Desember 2013).
Sejak muncul gagasan relokasi oleh Pemda, anggota JRMK bermusyawarah dan memberikan usulan agar rancangan relokasi bisa diterima kedua belah pihak, Pemda DKI dan warga. Menurut mereka, dalam setiap upaya relokasi, hal yang harus dipikirkan adalah hak warga atas pekerjaan. Karenanya, pemindahan warga harus juga dengan memikirkan lapangan pekerjaan mereka.
Warga Waduk Pluit dan Muara Baru umumnya bekerja di wilayah gudang, pabrik pengolahan tangkapan laut, pelelangan ikan, dan atau pekerjaan penunjang lainnya yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Jadi pemindahan warga dari daerah itu ke rumah susun yang jauh seperti di Marunda mereka anggap tak menyelesaikan masalah. Apalagi memindahkan warga ke Rusunawa Pinus Elok di Cengkareng, Jakarta Timur. Menurut mereka cara seperti itu bukan solusi, melainkan mematikan rakyat miskin.
Mereka mengingatkan, pengalaman hidup yang pahit dan berat, karakteristik warga yang umumnya datang dari wilayah Banten, Bugis, dan Madura, bukanlah warga yang tak bisa diajak bicara. Tetapi mereka juga bukan warga yang gampang menyerah. Namun, ketiganya kini cukup optimis bahwa dengan Jokowi mereka punya peluang untuk bermusyawarah dan suara mereka bisa didengar.
“Setelah penggusuran di Taman Burung bulan Maret lalu dan warga dipindahkan ke tempat yang jauh di Marunda, kami melihat itu bukan solusi. Banyak warga akhirnya balik lagi dan masuk kemari. Kami datang ke Pak Jokowi. Pak Jokowi mengatakan, “Jangan hanya protes, kasih masukan”. Lalu kami kembali ke masyarakat, kami musyawarah. Kami lakukan pendataan warga berdasarkan status tanahnya. Kami lihat di dekat “Rusun Muara Baru” yang dibangun Foke 2010 ada tanah kosong, “tanah JSI”. Itu kami usulkan untuk dibeli Pemda dan dibangun rusun. UPC JRMK dan warga bermusyawarah dengan para arsitek dan pegiat tata lingkungan seperti dari UI, Arkom Yogya, dan RUJAK untuk membuat desain yang sesuai kebutuhan warga. Kami ingin anak-anak dan orangtua tetap bisa berinteraksi dan kami bisa mempertahankan kehidupan sosial kami. Pak Jokowi menyatakan jangan Rusunami, (Rumah Susun Sederhana Milik), nanti kami repot perawatannya. Kami setuju membangun Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) dengan sewa yang sesuai dengan kemampuan kami. Kami kini menanti janji Pak Jokowi (Muharyati, 27 November 2013).
Bukan tak paham bahwa di dalam setiap sengketa lahan ada pemain yang hendak mencari keuntungan. Menurut Kokom, karenanya sangat penting pemerintah memahami macam-macam penduduk yang tinggal di kampung mereka. Setidaknya mereka bisa dibedakan berdasarkan kepemilikan rumah: penyewa, pemilik dengan lahan sempit, dan pemilik yang memiliki lebih dari satu rumah yang kemudian disewakan atau dalam bahasa Pak Jokowi “para developer kecil-kecilan”. Keragaman ini menurut Kokom harus juga didekati secara berbeda. Para pemilik rumah banyak dan kontrakan umumnya yang berteriak kencang minta ganti rugi. Sementara warga kebanyakan meminta disediakan rumah susun yang layak bagi mereka.
“Sebagian besar warga yang kami dampingi hampir dipastikan tak meminta uang ganti rugi begitu saja. Uang itu sangat sensitif. Hal yang terpenting bagi kami adalah tersedianya rumah yang sesuai dengan konsep lingkungan yang kami tawarkan. Jadi pasti beda dengan rusun standar yang ada di Muara Baru atau di Bunda Suci Cengkareng atau daerah lain. Kami ingin warga dipindahkan sesuai dengan blok di mana sekarang kami tinggal karena kami ingin anak-anak tak kehilangan teman, kami tak kehilangan penghidupan dan persaudaran. Dan kami bersetuju dengan Pak Jokowi untuk membangun Rusunawa agar pemerintah juga bisa ikut menjaga dan memelihara. Mari bicara dengan kami, dan tolong dengar suara kami.” (Nenek Della, 27 Desember 2013)
Penggusuran adalah momok paling mengerikan bagi kaum miskin kota, tak terkecuali Jakarta. Dibutuhkan delapan bulan sampai satu tahun bagi korban untuk kembali hidup ‘normal’ dalam ketidaknormalannya.[6] Kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan adalah satu hal. Namun kehilangan lingkungan sosial, kekerabatan, daya dukung komunitas adalah hal lain yang dengan mudah bisa sampai pada kesimpulan bahwa penggusuran adalah cara melenyapkan kaum miskin yang paling tak berprikemanusiaan.
Dalam pendampingan masyarakat miskin kota, Wardah Hafidz, misalnya, menyaksikan penggusuran senantiasa meninggalkan trauma mental sosial yang luar biasa. Tingkat kekerasan rumah tangga naik, tingkat perceraian naik, tingkat putus sekolah anak naik, tingkat kesakitan warga naik. Dan yang paling menderita di antara mereka adalah perempuan dan anak-anak. Ini dikarenakan dalam stuktur masyarakat yang membebankan urusan rumah tangga dan keluarga ada pada perempuan, maka setiap perubahan dalam keluarga seperti pindah rumah, apalagi penggusuran, beban terberat akan ditanggung perempuan dan anak mereka. Hal semacam itu seharusnya menjadi pertimbangan dalam setiap upaya penggusuran.
“Geser bukan gusur” adalah prinsip sangat penting dalam upaya perbaikan kampung-kampung kaum miskin. Namun, menggusur cara pandang yang tidak adil terhadap mereka, terhadap kaum perempuan, jauh lebih perlu. Tanpa itu, prinsip kerja Jokowi dan Ahok “geser bukan gusur” kembali akan menjadi sampah slogan yang telah memadati jagad politik omong kosong di negeri ini. []
Catatan kaki
[1] Laporan BNPB sebagaimana dikutip TVOne dalam “Kaledoskop Peristiwa Penting”, 24 Desember 2013, pukul 07.00 WIB.
[2] Lihat “Kisah Rakyat yang Gagal” Tempo, 27 Oktober 1984.
[3] Sebagaimana disampaikan oleh Walikota kepada kami ketika kami menghadap untuk menyampaikan hasil laporan. Saya tidak ingat persis tanggal berapa kami menghadap, tapi saya ingat apa yang ia sampaikan. Beberapa sumber meski telah disamarkan merasa dikhianati karena kami menulis tentang mereka.
[4] Kompas, 17 Mei 2013, Liputan 6.com, 16 Desember 2013.
[5] Informasi dikumpulkan selama beberapa hari di wilayah Waduk Pluit dan wawancara dilakukan berulang kali dengan mereka dan Iwan, salah seorang aktivis UPC di Muara Baru dalam bulan November- Desember 2013.
[6]Wardah Hafidz, wawancara di Pamulang Tangerang Selatan, 27 November 2013.
734582 346960Its onerous to search out knowledgeable individuals on this topic, nonetheless you sound like you already know what you are talking about! Thanks 280184
729122 534680This internet internet site is often a walk-through for all of the expertise you wanted concerning this and didnt know who need to. Glimpse here, and you will totally discover it. 783409
192703 599397Hey there! This is my 1st comment here so I just wanted to give a quick shout out and say I truly enjoy reading your posts. Can you suggest any other blogs/websites/forums that deal with the same subjects? Thank you so much! 80521