Pos

Pendidikan Seksualitas bagi Penyandang Disabilitas

Rana memiliki tetangga yang merupakan penyandang disabilitas. Ketika hari raya, tak sedikit orang yang kaget dan mengeluhkan karena dia mencoba untuk menarik dan berkomunikasi dengan lawan jenis. Dulu, Rana jadi ikut merasa was-was dan bertanya-tanya. Namun, setelah ia lebih dewasa, ia memilih untuk mengedukasi diri mengenai seksualitas dan disabilitas dengan membaca buku dan artikel.

Beberapa dari kita ada yang menganggap para penyandang disabilitas itu aseksual (tidak ada ketertarikan seksual terhadap orang lain, tidak ada keinginan untuk melakukan hubungan seksual), sifat mirip anak-anak, dan selalu bergantung pada orang lain. Anggapan yang mengkerdilkan kemampuan para penyandang disabilitas tersebut tidak bisa dibenarkan.

Para penyandang disabilitas sama-sama mengalami perubahan biologis dan mental dalam dirinya. Pendidikan seksualitas komprehensif kepada mereka dan para pendampingnya merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan. Sama halnya dengan non-penyandang disabilitas, mereka memiliki orientasi seksual tertentu.

Mereka yang berkebutuhan khusus perlu diajarkan dan dibantu untuk dapat mengenali dirinya, paham, mengelola perkembangan biologis pada diri, membantu mereka mengenali perilaku seks berisiko, menghargai orang lain, dan mengajarkan mereka untuk dapat menghindari perilaku kekerasan seksual. Mereka sangat rentan dimanipulasi dan menjadi korban kekerasan seksual, sehingga membutuhkan perhatian khusus dari komunitas dan para pihak.

Melansir dari komnasperempuan.go.id, perempuan berkebutuhan khusus lebih sering mengalami keterbatasan akses informasi tentang upaya mencegah kekerasan serta layanan penanganan kekerasan seksual. Kerentanan yang dialami mereka kondisinya bisa berlapis, khususnya mereka yang perempuan, masih anak-anak, dan lansia.

Mereka harus mampu berkata tidak ketika mendapatkan perlakuan yang tidak aman dan membuat tidak nyaman, seperti ancaman melakukan hubungan seksual berisiko. Pendidikan seksualitas harus mendapatkan perhatian dan kerja sama dari orang tua, pendidik, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya.

Pendidikan seksualitas komprehensif ini meliputi gender, kesehatan reproduksi, penyakit menular seksual, dan HAM, kepuasan, keragaman, dan hubungan antarmanusia.

Meskipun masih dianggap tabu, pendidikan seksualitas komprehensif perlu dimulai. Materi pun disesuaikan dengan kondisi fisik, psikologi, dan tingkat usia. Informasi yang komprehensif dan terbuka merupakan hak yang perlu diterima oleh penyandang disabilitas beserta pendampingnya.

Pendidikan seksualitas komprehensif penting bagi penyandang disabilitas agar mereka bisa menjaga organ reproduksi, menetapkan nilai-nilai, batasan, menghindari kekerasan seksual, bisa membuat keputusan secara mandiri.

Perlu media yang tepat sesuai dengan jenis disabilitasnya untuk pendidikan seksualitas. Misalnya, materi dalam bentuk braille, alat pembaca layar, closed caption, dan sebagainya. Selain itu, ada juga anggapan kalau orang disabilitas tidak bisa menyerap pengetahuan yang diberikan. Padahal, mereka bisa memahami dengan baik selama dibantu dengan media yang tepat.

Lingkungan yang menjadi tempat tinggal para penyandang disabilitas pun perlu diajarkan untuk mampu bersikap menghargai terhadap manusia lain, dan sensitif terhadap para penyandang disabilitas. Perundungan terhadap mereka yang dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak tidak bisa dibenarkan dan tidak seharusnya dinormalisasi.

Korban kekerasan seksual, baik dari kelompok perempuan dan penyandang disabilitas, juga masih diselimuti dilema untuk melapor karena risiko lebih banyak, seperti ancaman penyebaran konten intim, relasi kuasa, ancaman teror secara digital, minim privasi pelapor, ancaman penuntutan balik, aparat penegak hukum (APH) yang tidak berpihak kepada korban, seksisme kepada korban, dan sebagainya. Hal-hal tersebut membuat korban skeptis dan ragu untuk melapor karena ia menganggap akan lebih banyak ruginya daripada mendapatkan keadilan. Maka, korban lebih banyak bungkam. Pelaku pun bebas berkelana dan berpotensi menimbulkan korban lainnya.

Pendidikan seksualitas bagi penyandang disabilitas, kemudahan pelaporan kekerasan seksual yang dialami, pelatihan gender kepada penegak hukum perlu menjadi prioritas dan menjadi perhatian dan kolaboratif dari beragam komunitas, pendidik, orang tua, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, dan sebagainya.

Perlu program yang berkelanjutan dan pendampingan terhadap para penyandang disabilitas terutama mereka yang berada di kelompok perempuan dan anak-anak. Pelibatan kelompok penyandang disabilitas sangat penting untuk membuat rencana program pembelajaran yang tepat sasaran.

Pendidikan dan perlindungan anak dengan disabilitas adalah tanggung jawab bersama para pihak lintas stakeholders. Mereka juga membutuhkan kemudahan dalam mengakses kesehatan mental. Mari, pelan-pelan membuat lingkungan sekitar lebih inklusif.

Tunjangan Ibu Hamil

Kementerian Sosial  memasukkan perempuan hamil dan ibu dan balita sebagai  penerima dana Program Keluarga Harapan (PKH) 2016. Masing-masing  akan menerima Rp 1,2 juta melalui mekanisme pencairan berkala.  Bersama kelompok lain yang dianggap rentan, seperti orang dengan disabilitas berat dan manula,  perempuan hamil masuk ke dalam kategori keluarga PKH.

Tulisan ini mempersoalkan cara pikir di balik bantuan itu. Bahwa angka kematian ibu (AKI) merupakan momok pembangunan yang terus menghambat capaian MDG’s – sekarang SDG’s, kita sepakat; bahwa membantu perempuan hamil merupakan perbuatan baik, kita juga boleh sepaham. Namun cara pandang yang menempatkan perempuan hamil sebagai salah satu target PKH,  serta pemberian tunjangan uang dianggap sebagai  solusi  mengatasi AKI,  dibutuhkan pemikiran  yang dapat menyumbang efektivitas bantuan.

Pertama, kehamilan adalah kemampuan kodrati perempuan. Setiap perempuan yang telah matang secara reproduksi punya kemampuan hamil terlepas dari apapun suku, ras, agama, dan latar belakang sosialnya. Keadaan ini baru akan bermasalah dan karenanya berisiko pada AKI ketika perempuan mengalami diskriminasi, baik sebagai perempuan atau karena kehamilannya. Jadi akarnya adalah praktik diskriminasi dan bukan kehamilannya itu sendiri. Tak setiap perempuan hamil menghadapi diskriminasi, tapi begitu mengalami diskriminasi, perempuan manapun akan terhalang mendapatkan hak untuk aman dan selamat dalam kehamilannya. Bacaan atas tanda-tanda terjadinya diskriminasi membutuhkan pemahaman luas dan saksama. Misalnya, pemahaman bahwa  perempuan lebih dimiskinan dalam struktur pembangunan yang tak menimbang eksistensi mereka. Manifestasi dari diskriminasi itu berupa upah perempuan lebih rendah, dianggap sebagai pencarai nafkah tambahan, tersingkir dari sumber ekonomi akibat perubahan kepemilikan dan alih fungsi lahan–dari yang semula bisa diakses bebas–semisal sawah yang berubah menjadi tambang atau sawit, yang secara kejam memangkas jenis pekerjaan yang bisa diakses perempuan.

Hilangnya akses pada sumber ekonomi jelas meningkatkan ketergantungan mereka kepada pihak lain, dalam hal ini suami dan keluarga. Dalam waktu yang bersamaan, ketimpangan itu memperlebar kesenjangan relasi kuasa perempuan, bahkan kuasa atas tubuhnya sendiri. Ia makin  kehilangan kuasanya atas keputusan-keputusan terkait dirinya dan kehilangan kontrol atas kekuasaan yang dimilikinya.

Pemberian dana bantuan kepada mereka yang tak memiliki kuasa atas keputusannya hanya akan menjadikannya sebagai perantara saja dalam penerimaan uang bantuan itu, meskipun mekanisme bantuan “by name by address” diberlakukan. Siapa dapat menjamin bantuan itu digunakan untuk perbaikan asupan gizi, pengurangan beban kerja, pemeriksaan kehamilan, dan tabungan ongkos persalinan, sementara keputusan bukan berada di tangannya? Kenyataan sosial mencatat, uang  bantuan bagi perempuan kurang berdaya akan banyak digunakan untuk kebutuhan “orang lain” di sekitarnya–kebutuhan rumah tangga, rokok suami, iuran sosial, atau biaya-biaya lain yang pada intinya untuk membayar ongkos pengakuan sosial atas eksistensinya sebagai perempuan dengan status sebagai istri, ibu, anggota keluarga atau komunitas.

Kedua, kehamilan menjadi lebih berisiko pada mereka yang kehilangan aksesnya pada pengambilan keputusan keluarga. Dalam keluarga miskin, di mana perempuan tak bekerja, kehamilan seringkali disikapi sebagai “penyakit” yang membebani keluarga. Bantuan pendanaan akan melepaskan tanggung jawab keluarga dan mengembalikan tanggung jawab kehamilan itu pada perempuan itu sendiri. Namun dengan bantuan yang dicairkan secara berangsur, niscaya akan menyulitkan bagi mereka untuk menyimpannya sebagai bekal selama hamil dan di saat melahirkan.

Ketiga, Dalam masyarakat yang membebankan tanggung jawab urusan rumah tangga, jajan anak, biaya harian kepada perempuan, pemberian dana itu hanya akan mengurangi sisi tanggung jawab suami dengan mengalihkan beban itu kepada istri.

Keempat, meski kehamilan bersifat kodrati, dampak kehamilan bisa beda akibat praktik diskriminasi berbasis SARA atau jenis lainnya. Penerimaan sosial atas perempuan hamil bisa berbeda-beda tergantung jenis-jenis kehamilan itu. Kehamilan di luar nikah, kehamilan  pada remaja, kehamilan akibat perkawinan campuran, kehamilan pada perempuan dengan disabilitas, kehamilan pada perempuan terpapar HIV, atau pada perempuan dengan status janda, jelas berisiko berbeda dengan kehamilan biasa saja. Kerentanan pada mereka adalah karena status itu membatasi kediterimaannya secara sosial  yang kemudian berpengaruh pada akses layanan.

Menyadari bahwa kehamilan tak semata soal proses reproduksi biologis melainkan persoalan sosial budaya yang mengkonstruksikan nilai-nilai soal kehamilan, maka cara pandang soal bantuan dana kehamilan seharusnya berangkat dari penilain sejauhmana perempuan hamil mengalami diskriminasi. Penyebab AKI adalah buruknya akses pengambilan keputusan perempuan. Maka upaya mengatasinya harus berangkat dari upaya-upaya jitu mengatasi diskriminasi terlebih dahulu agar mereka memiliki akses pada pengambilan keputusan itu. Misalnya, inti perbaikannya harus menyasar pada peningkatan status sosial perempuan hamil. Akses kepada layanan tanpa diskriminasi harus menjadi prinsip. Akses pada pekerjaan layak merupakan manifestasi dari prinsip itu. Akan jauh lebih berguna jika negara memastikan setiap perempuan dalam status kehamilan akibat apapun mendapatkan pekerjaan layak. Dengan pekerjaan itu, status sosial serta penerimaan sosial akan meningkat. Dengan cara itu mereka tak mengalami subordinasi dan marginalisasi terkait statusnya sebagai perempuan hamil.

Dengan akses kepada pekerjaan  layak, perempuan hamil akan terhindar dari beban kerja rangkap. Pada kenyataannya, makin miskin perempuan, makin rendah status sosial mereka, maka biasanya akan makin berat beban kerja yang ditanggungnya, sebab secara resiprokal hanya dengan cara itu mereka bisa “menitipkan diri”. Adanya pekerjaan sedikit banyak dapat meningkatkan kemandirian mereka dan mengurangi beban kerja sosial.

Itu berati inti dari upaya pengatasi problem AKI bukan pada bantuan uang tunai, melainkan kepada sejauhmana negara dapat memastikan tercapainya kemandirian ekonomi, sosial, dan relasi gender perempuan. Semakin mandiri mereka, semakin besar kemungkinan jaminan keamananya selama hamil dan melahirkan. Pemanfaatan dana bantuan karenanya akan jauh lebih efektif  bila digunakan untuk memastikan bahwa setiap perempuan hamil, sebagaimana orang dengan disabilitas dan manula, mendapatkan akses pada pekerjaan layak agar mereka memiliki kemampuan dalam pengambilan keputusan.

Pernikahan Anak Dibiarkan: Tidak ada Kemauan Politik untuk Mencegahnya

Artikel ini dimuat di Harian Kompas edisi 25 April 2016.

JAKARTA, KOMPAS — Negara dinilai masih abai terhadap praktik pernikahan anak. Sejumlah riset dan advokasi telah dilakukan oleh para aktivis pemerhati anak dan perempuan, tetapi usaha itu buntu di tengah jalan. Tidak ada kemauan politik dari pemerintah dan DPR untuk mencegahnya.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartika Sari, Sabtu (23/4), mengatakan, Indonesia menempati peringkat kedua di Asia dan peringkat ke-10 di dunia dalam praktik perkawinan anak.

”Ini kondisi kritis. Risiko kematian ibu yang menikah pada usia dini empat kali lebih besar karena tulang panggul mereka belum sempurna. Mereka juga berisiko tinggi tertular penyakit menular seksual dan HIV/AIDS,” ucap Dian dalam seminar tentang peningkatan peran perempuan dan pencegahan perkawinan anak, di Gedung Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Jakarta.

Dian menilai, perkawinan anak adalah bentuk pemiskinan struktural karena rata-rata anak-anak yang menikah pada usia dini tidak lama kemudian bercerai, tidak mempunyai pendidikan layak, lalu bekerja serabutan, dan akhirnya jatuh dalam kemiskinan. ”Negara punya andil dalam kemiskinan struktural ini,” katanya.

Menurut penelusuran Kompas, Kamis (21/4)-Minggu (24/4), salah satu wilayah terdampak pernikahan dini adalah Nusa Tenggara Barat (NTB). Di provinsi ini tercatat Angka Kematian Ibu (AKI) 370 per 100.000 kelahiran.

Jumlah ini lebih tinggi daripada AKI nasional, yakni 359 per 100.000 kelahiran.

Salah satu faktornya adalah karena UU Perlindungan Anak belum disosialisasikan dengan maksimal sehingga aparat pemerintahan masih mengacu pada UU Perkawinan.

Pemalsuan umur

Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab) Lies Marcoes menyatakan, pihaknya menemukan praktik-praktik pemalsuan umur pada kartu tanda penduduk (KTP) anak-anak yang hendak menikah. ”Usia perkawinan yang paling rawan sekitar 14-15 tahun saat dorongan anak untuk bereksperimentasi sangat kuat, tetapi pemahaman jender mereka masih lemah,” ucapnya.

Hasil penelitian Rumah Kitab di sembilan daerah di Indonesia menunjukkan, satu dari lima perempuan Indonesia menikah di bawah umur. Sebanyak dua pertiga dari perkawinan anak tersebut akhirnya kandas di tengah jalan dengan tragedi perceraian.

Upaya judicial review Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) ke Mahkamah Konstitusi guna menaikkan batas usia pernikahan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, menurut Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy, telah dilakukan masyarakat sipil. Namun, MK menolaknya tahun lalu.

Ninuk yang saat itu tampil sebagai saksi ahli mengatakan, secara sosiologis, kesehatan, dan ekonomis, pernikahan anak sangat tidak menguntungkan. ”Namun, majelis hakim menolak judicial review dan lalu melimpahkannya ke DPR,” ujarnya.

Tahun lalu, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan, pihaknya tak bisa menetapkan batas usia kawin menjadi 18 tahun. Perubahan lebih tepat dilakukan melalui legislative review atau merevisi UU Perkawinan (Kompas, 20 Juni 2015). Dengan kata lain, MK mendorong DPR untuk merevisi undang-undang itu.

UU Perlindungan Anak

Praktik perkawinan anak, menurut Lies, juga jelas melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Maka, negara tidak bisa membiarkan ada peraturan perundang-undangan yang saling bertolak belakang. ”Yang harus dilakukan adalah kriminalisasi karena ini melanggar UU Perlindungan Anak. Pemalsu KTP anak bisa kena, pihak yang mengawinkannya juga bisa kena, karena mereka melanggar UU Perlindungan Anak,” paparnya.

Adapun peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama, Abdul Jamil Wahab, membantah praktik- praktik pernikahan anak masih tinggi di Indonesia. ”Pernikahan memang bisa dilakukan di bawah usia 16 tahun (untuk perempuan) dan 19 tahun (untuk laki-laki), tetapi harus ada dispensasi. Selama ini kami tidak pernah mendapat pengajuan dispensasi,” katanya. (ABK/DNE)

ICFP Youth Pre-Conference: Remaja dan Problematika Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Saya mendapatkan kehormatan menjadi delegasi International Conference on Family Planning (ICFP) yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, 25 – 28 Januari 2016.

ICFP adalah konferensi  tentang Keluarga Berencana terbesar yang diselenggarakan dua tahun sekali. Di tahun 2009, ICFP diselenggarakan di Uganda, tahun 2011 di Senegal, tahun 2013 di Ethiopia, dan sekarang di Bali Indonesia. ICFP tahun ini dinyatakan panitia sebagai konferensi terbesar dengan mengundang lebih dari 4.000 delegasi dari 114 negara, dan 200 di antaranya anak muda dan remaja yang terdiri dari usia sekolah menengah hingga akhir 20-an.

Salah satu rangkaian acara yang dianggap penting dalam ICFP adalah Youth Pre-Conference pada  24 – 25 Januari 2016. Para pesertanya  terdiri dari anak-anak muda dan remaja lelaki perempuan termasuk difable dari berbagai belahan dunia. Selama ini mereka terlibat dalam pendampingan, advokasi, dan kampanye isu-isu kesehatan reproduksi bagi anak muda dan remaja.

Dalam konferensi ini, diskusi terfokus pada informasi dan akses remaja terhadap pelayanan kesehatan reproduksi. Didalamnya mencakup tantangan, hambatan, kesempatan, dan kebutuhan yang diidentifikasi penting bagi mereka. Identifikasi awal mengenai tantangan dan hambatan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pemetaan perencanaan strategis.

Berdasarkan laporan V. Chandra Mouli dari WHO Internasional, situasi kesehatan seksual dan reproduksi (sexual and reproductive health – SRH) remaja saat ini sudah jauh lebih baik, terutama setelah adanya Convention on the Rights of the Child (CRC) di tahun 1989 dan International Conference on Population and Development (ICPD) di tahun 1994. Mouli menggarisbawahi beberapa hal yang menandakan kemajuan secara global; menurunnya angka kematian bayi, meningkatnya akses terhadap air bersih, dan penurunan secara signifikan angka kemiskinan. Namun, hal tersebut masih membutuhkan banyak upaya karena besarnya tantangan yang dihadapi.

Sebanyak 1.8 miliar atau setara dengan 28% populasi manusia di dunia (2010) adalah remaja dan anak muda. Oleh karena itu, layanan dan akses terhadap keluarga berencana maupun kesehatan reproduksi sangat dibutuhkan.  Remaja perempuan menghadapi hambatan dan persoalan lebih besar karena peran dan posisi mereka  di keluarga dan komunitas. Banyak pandangan bias atau stigma terkait dengan gender mereka sebaga remaja perempuan. Apalag jika mengalami persoalan dengan seksualitasnya. Selain akses dan layanan yang masih berkualitas rendah, para remaja juga tidak diimbangi dengan informasi dan pengetahuan yang memadai mengenai SRH. Misalnya saja dalam hal aborsi, tercatat 2,4 juta kasus aborsi di Indonesia di tahun 2014, dan 800.000 di antaranya dilakukan oleh remaja perempuan. Permasalah aborsi tidak hanya terletak pada prilaku seksual pra-nikah tanpa pengetahuan mengenai kontrasepsi, tetapi juga aborsi yang tidak aman, misalnya, dengan meminum jamu-jamuan atau obat pengguguran kandungan  tanpa resep dokter. Remaja perempuan di Indonesia yang melakukan aborsi kerap tanpa sepengetahuan orangtua sehingga mereka lebih rentan stres dan depresi.

Kehamilan pranikah adalah permasalahan yang sudah lama menjadi momok di Indonesia. Berdasarkan data BKKBN di tahun 2014, angka kehamilan remaja usia 15 – 19 tahun mencapai 48 di antara 1.000 kehamilan. Hal ini menunjukkan buruknya informasi mengenai SRH, termasuk informasi mengenai kontrasepsi, terhadap remaja. Remaja-remaja usia sekolah tidak mendapatkan pendidikan SRH yang memadai di sekolah dengan alasan bahwa mereka telah diajarkan melalui pelajaran Biologi—yang mana terbatas hanya pada nama-nama organ laki-laki dan perempuan.

Buruknya akses informasi remaja terhadap SRH semakin diperparah dengan pandangan miring masyarakat yang menganggap isu ini sebagai suatu hal yang dianggap tabu. Salah satu delegasi Youth Pre-Conference mengemukakan bahwa ketika dia mendapati ada sebuah benjolan di rahimnya, dia segera mendatangi seorang ginekolog. Namun, di ruang tunggu dokter, dia mendapatkan tatapan tidak mengenakkan dari pasien-pasien lainnya karena dianggap tidak “pantas” berada di sana. Kecurigaan-kecurigaan seperti ini yang akhirnya membuat remaja menjadi enggan untuk mendatangi dokter atau petugas pelayanan kesehatan reproduksi.

Permasalahan lainnya terletak pada program layanan kesehatan reproduksi yang berlangsung secara ad hoc dan tidak secara langsung bermanfaat bagi para remaja, salah satunya karena tidak mengikutersertakan remaja dalam perencanaan program, sehingga kebutuhan remaja dan pelayanan tidak saling terhubung. Oleh karena itu, salah satu solusi untuk menjawab hambatan tersebut adalah youth inclusiveness atau keterlibatan remaja dari awal perencanaan program hingga pelaksanaan agar tepat guna dan tepat sasaran. Menargetkan remaja yang termarginalisasi dan rentan juga merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan, seperti kelompok LGBT, yang semakin rentan karena orientasi seksualnya.

Secara catatan, konferensi ini tampaknya kurang meng-address isu diskriminasi dan ketimpangan gender sebagai salah satu indikator penting. Misalnya, keterbukaan dan hambatan akses terhadap layanan SRH antara remaja perempuan dan laki-laki yang mungkin berbeda satu sama lain. Atau dalam hubungan seksual remaja, apakah kedua belah pihak, khususnya remaja perempuan, memberikan consent-nya atau bersedia melakukan hubungan karena diancam. Ketimpangan-ketimpangan seperti ini juga perlu menjadi pertimbangan dalam pemberian akses dan layanan SRH pada remaja perempuan dan laki-laki. Petugas layanan SRH pada remaja haruslah gender sensitif dalam memberikan layanan.

Terkait dengan peran Rumah KitaB, konferensi-konferensi serupa untuk remaja menjadi penting untuk lebih mengenali dan menggali bagaimana pandangan keagamaan bekerja dalam isu kesehatan seksual dan reproduksi. Studi Rumah KitaB mengenai perkawinan anak (2015) menunjukkan bahwa remaja kerap tidak diberikan akses untuk turut menginterpretasikan isu seksualitas yang berangkat dari cara pandang mereka. Untuk kepentingan itu, Rumah KitaB sedang mempersiapkan sebuah program youth camp bagi remaja di lingkungan pesantren untuk mengenali problematika seksualitas dan kesehatan reproduksi mereka, termasuk akses pada informasi dan layanan air bersih di lingkungan pesantren. Mengingat pandangan keagamaan (Islam) memiliki pengaruh kuat di Indonesia, maka menggunakan interpretasi ajaran agama yang progresif dapat mendorong terciptanya layanan SRH yang dapat diterima oleh masyarakat.

Secara garis besar, Youth Pre-Conference ini menghasilkan beberapa rekomendasi yang dapat mendorong peningkatan layanan program kesehatan reproduksi bagi remaja, yaitu youth leadership, youth inclusiveness, akuntabilitas, eliminasi peraturan-peraturan yang kontradiktif, pengharmonisasian regulasi yang berpihak pada remaja, dan peningkatan dukungan komunitas. []