Pos

Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Pemulihan di Wilayah Pascakonflik

Meski kejadiannya terkadang tidak begitu lama, konflik meninggalkan beban, bekas, dan luka yang perlu dipulihkan. Korban-korban konflik bukan hanya korban langsung, melainkan juga termasuk anak dan keluarga korban, anak dan keluarga pelaku, masyarakat sekitar, maupun masyarakat yang letaknya jauh.

Saya tertarik membahas tentang kepemimpinan perempuan ini setelah mengunjungi Pameran Biennale Jogja 2023. Lian Gogali dan Institut Mosintuwu di Poso menjadi salah satu yang karya-karyanya dipajang. Mengangkat topik pemulihan dan penguatan pascakonflik dalam ruang seni sangat penting agar masyarakat lebih bisa belajar, supaya konflik serupa tidak terjadi kembali. Pameran tersebut berisi arsip-arsip Institut Mosintuwu berupa cerita perempuan yang berdaya, advokasi korban kekerasan dan tantangannya, puisi, koleksi foto, hingga arsip-arsip berupa catatan pelatihan kepenulisan, gender, agama, potensi budaya, dan kemanusiaan.

Berawal dari rasa keprihatinan atas tragedi yang mengatasnamakan agama, yang sejatinya adalah konflik kepentingan, Lian Gogali mendirikan Institut Mosintuwu pada tahun 2009 di Poso, Sulawesi Tengah. Lian Gogali memiliki cita-cita untuk membuat perempuan-perempuan akar rumput di sekitar Poso bisa berdaya untuk dirinya sendiri dan orang lain.

Institut Mosintuwu merupakan organisasi masyarakat akar rumput yang anggotanya terdiri dari para penyintas konflik Poso beberapa tahun silam yang berasal dari beragam latar belakang suku dan agama di Poso dan sekitarnya. ‘Mosintuwu’ diambil dari bahasa Pamona yang berarti ‘Bekerja bersama-sama’. Kemudian ditambah dengan kata ‘Institut’ yang menggambarkan semangat Mosintuwu sebagai ruang kritis dalam menanggapi berbagai fenomena sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan di Poso.

Perempuan lintas agama dan kepercayaan diajarkan mengenai toleransi, menulis, membaca, berbicara di depan umum, membuat kerajinan, berorganisasi, dan menjadi pemimpin. Institut Mosintuwu memiliki website (mosintuwu.com), radio, dan podcast (siniar). Metode pembelajarannya yaitu dengan diskusi kelompok, ceramah, membuat atau diskusi mengenai film, menyanyi, menari, bahkan debat.

Hal-hal yang dipelajari oleh perempuan-perempuan tersebut meliputi agama, toleransi, perdamaian, gender, perempuan dan budaya Poso, kesehatan dan hak reproduksi, keterampilan berbicara dan bernalar, hak layanan masyarakat, hak ekonomi, sosial, budaya, dan sipil, politik, ekonomi, dan komunitas.

Para perempuan yang belajar di Institut Mosintuwu menjadi lebih berdaya, bisa menjadi pemimpin, memiliki toleransi yang tinggi, serta dapat menyuarakan apa yang dirasakan. Kearifan lokal, perspektif gender, dan agama adalah kunci pengajaran toleransi di Institut Mosintuwu.

Lian Gogali percaya bahwa penguatan kualitas diri bagi perempuan akar rumput merupakan hal yang mendesak. Para perempuan dari Institut Mosintuwu menjadi berdaya, berani, dan terlibat aktif dalam mengelola desa. Perempuan menjadi lebih peka terhadap sekitar dan membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan perempuan. Inisiatif Konferensi Perempuan Poso dan Sekolah Pembaharu Desa yang berangkat dari realitas di sekitar ini mampu berperan mengadvokasi masalah-masalah kekerasan, diskriminasi gender, dan lingkungan. Gerakan Institut Mosintuwu tumbuh secara organik berkat dorongan semangat dan antusiasme masyarakat sekitar.

Kepemimpinan perempuan dan regenerasinya merupakan hal yang sangat penting. Kebutuhan perempuan harus bisa disuarakan, didengar, dan dicukupi, misalnya tentang fasilitas kesehatan reproduksi, konseling, dan pemulihan. Suara perempuan yang berpihak kepada kelompok rentan dan berisi kejujuran merupakan hal yang perlu terus direproduksi dan dikuatkan. Perempuan pun perlu mencengkeram dan terlibat politik di tingkat desa agar kebijakan yang dikeluarkan bisa sesuai dengan kebutuhan perempuan dan anak. Suara perempuan jangan sampai malah berpihak kepada pemilik kapital, dan hanya dijadikan simbol, tidak mewakili kelompok rentan (tokenisme).

Sekarang, kita mengerti bahwa peran kepemimpinan perempuan dalam pemulihan di wilayah pascakonflik adalah memberikan rasa aman, percaya, kasih sayang, dan pendidikan supaya masyarakat bisa berdaya bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain, bisa melanjutkan kehidupan, dan menginspirasi masyarakat sekitar maupun masyarakat di luar.

Saya dan kawan-kawan mahasiswa berkesempatan untuk mengunjungi Dodoha Mosintuwu di Tentena, Poso pada penghujung September 2019. Malam itu, kala hujan lebat mengguyur, kami bertemu dengan Lian Gogali. Kami disuguhi beragam makanan, seperti ikan dan sambal dabu-dabu, menonton video dokumenter, dan berbincang-bincang. Ada pula peneliti dari luar negeri yang sedang melakukan penelitian di Poso.

Pertemuan secara langsung dengan pemimpin perempuan yang berperspektif feminis merupakan hal yang sangat saya syukuri dan sampai sekarang menginspirasi saya untuk memaksimalkan potensi dalam bidang perdamaian.

Pembebasan Perempuan dari Stigma Kepemimpinan Patriarkis melalui Drama Korea “Queen Woo”

Rumah KitaB– Budaya patriarkis mengonstruksikan relasi laki-laki dan perempuan dalam hubungan superior-inferior. Di tengah keperkasaan dan kegagahan laki-laki sebagai pemimpin atau penguasa, perempuan hadir sebagai pendamping yang harus dilengkapi dengan kecantikan, kelemahlembutan, serta sikap yang patuh dan taat pada suaminya (Wiyatmi, Sari, & Liliani, 2020). Tidak sedikit pula yang terus mengagungkan dominasi logika pada laki-laki sebagai legitimasi bagi kelayakannya menjadi seorang pemimpin. Pada saat yang sama, dominasi intuisi daripada logika membuat perempuan dianggap sebagai tembok tinggi yang membuat perempuan tidak layak menjadi seorang pemimpin. Laki-laki menyikapi sesuatu melalui logika, sedangkan perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya. Hal ini membuat pembicaraan perempuan banyak yang tidak bermutu (Kuntjara, 2003, pp. 21–22).

Akan tetapi, kacamata maupun stigma patriarkis di atas mulai disadari kekeliruannya. Pandangan tersebut sarat akan diskriminasi terhadap perempuan. Kondisi ini direspons dengan munculnya gerakan feminis. Gerakan feminis hadir untuk membongkar berbagai stigma dan warisan dari patriarkis yang mendiskriminasi perempuan (Amin, 2015, pp. 75–79). Berbagai terobosan dilakukan gerakan feminis untuk menyuarakan kepentingan perempuan, salah satunya melalui budaya populer seperti novel, film, ataupun serial drama. Upaya ini juga diungkapkan dalam serial drama Korea yang berjudul “Queen Woo”.

Serial ini mengisahkan kepemimpinan ratu kerajaan Goguryeo, Woo Hee, ketika suaminya, Raja Go Nam-moo, meninggal. Di tengah desakan dari lima suku yang menginginkan takhta, serta para pangeran (saudara-saudara Go Nam-moo) yang juga menginginkan takhta raja, Ratu Woo dapat bertahan dari berbagai tekanan. Sikap dan keberanian Ratu Woo dalam drama ini menjadi sebuah bentuk perlawanan terhadap stigma bahwa perempuan adalah sosok yang lemah, inferior, dan harus selalu taat pada laki-laki (Se-Kyo, 2024).

Stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut dan inferior dibantah oleh Ratu Woo dengan memperlihatkan dirinya sebagai sosok yang kuat dan berani. Sejak muda, Ratu Woo telah mahir bela diri dan bermain catur. Kemampuan bela dirinya membuat ratu mampu melakukan perlawanan terhadap ancaman yang dialaminya selama berupaya mencari solusi melindungi takhta raja. Beberapa kali Ratu Woo harus melindungi diri dengan menghunuskan pedangnya. Kemampuannya bermain catur juga membentuk dirinya menjadi pengatur strategi yang andal (Se-Kyo, 2024).

Perlawanan Ratu Woo terhadap stigma inferioritas perempuan diperlihatkan dalam penolakannya menikahi Pangeran Go Bal-gi melalui pernikahan levirat. Keluarga ratu dan perdana menteri sempat memberi saran agar ratu menikahi Pangeran Go Bal-gi, karena Go Bal-gi adalah pewaris takhta yang paling potensial setelah Raja Go Nam-moo. Akan tetapi, ratu menolak pernikahan tersebut dan memilih menikahi pangeran Go Yeon Woo. Go Bal-gi dikenal sangat kejam pada rakyatnya, sehingga ratu menolak melakukan pernikahan levirat dengannya (Se-Kyo, 2024).

Keputusan ratu menolak Go Bal-gi makin memperjelas superioritas dan kemampuannya sebagai pemimpin. Ratu mendapat bujukan dan desakan dari pendukungnya untuk mengubah sikap karena tindakannya dapat memicu perang. Selain itu, ratu dan pelayannya harus berhadapan dengan pemburu “Macan Putih” yang dikirim oleh Go Bal-gi. Tekanan dari dua pihak tidak lantas melemahkan pendirian Ratu Woo. Ratu tetap bersikukuh dengan pendiriannya dan tidak gentar menghadapi konsekuensi dari pilihannya. Ratu tidak menyerah meyakinkan keraguan pengikut dan keluarganya, sekaligus menghadapi ancaman Go Bal-gi dengan keberanian (Se-Kyo, 2024).

Selain menunjukkan superioritas dan keberanian dalam diri perempuan, tindakan Ratu Woo juga memperlihatkan sikap visionernya. Ratu menolak jika orang kejam seperti Go Bal-gi menjadi raja, karena tentu akan menyengsarakan rakyat Goguryeo. Ratu berupaya melindungi Goguryeo dari penindasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, Ratu tidak memberi tempat untuk memimpin bagi penindas seperti Go-Bal-gi. Tindakan Ratu Woo mengindikasikan bahwa perempuan juga mampu mengambil kebijakan yang tidak sekadar menyelesaikan kebutuhan hari ini, tetapi juga kebutuhan yang berkelanjutan, jangka panjang, dan memikirkan kesejahteraan orang banyak (Se-Kyo, 2024).

Puncak dari kemampuan Ratu Woo menjadi pemimpin adalah keputusannya menjadi pemimpin perang dalam melawan pemberontakan Go Bal-gi yang menyerang istana Goguryeo. Setelah sampai di istana Goguryeo, Ratu Woo mengambil kepemimpinan dalam kerajaan Goguryeo, dan memimpin semua prajurit istana dan sekutunya untuk berperang menghadapi Go Bal-gi dan sekutunya (Se-Kyo, 2024).

Sepak terjang Ratu Woo dalam drama “Queen Woo” tidak sekadar kisah perjuangan seorang ratu dalam mempertahankan takhta kerajaan Goguryeo. Lebih dari itu, Ratu Woo secara aktif melakukan penyerangan terhadap stigma patriarkis yang mendiskriminasi perempuan dalam takhta kepemimpinan. Ratu Woo menunjukkan semua kriteria pemimpin dalam sikap dan tindakannya. Keberanian, tekad, kebijaksanaan, karakter visioner, bahkan kepiawaiannya mengatur siasat, mengindikasikan bahwa perempuan tidak kalah superior dari laki-laki. Perempuan juga bisa menjadi sosok yang tangguh di atas kursi kepemimpinan. Bahkan, perempuan menjadi sosok yang bijaksana dan visioner layaknya laki-laki. Patriarkis telah keliru mendefinisikan perempuan.

Belajar dari kisah Ratu Woo, saya merekomendasikan agar stigma bahwa perempuan tidak bisa memimpin segera ditinggalkan. Perempuan juga punya potensi untuk menjadi pemimpin, memiliki keberanian, menjadi superior, bahkan menjadi pemimpin yang visioner dan mampu memikirkan kesejahteraan semua orang. Oleh karena itu, perempuan dan laki-laki seharusnya didudukkan setara dalam akses terhadap posisi menjadi pemimpin.

Masalah yang kemudian tidak kalah urgen dalam upaya mewujudkan kesetaraan akses perempuan dan laki-laki menjadi pemimpin adalah pembebasan perempuan dari lingkungan yang memproteksi dan membatasi kemampuannya. Patriarkis mengidentikkan perempuan dengan lingkungan domestik, jauh dari gejolak sosial, tidak memiliki akses di ruang publik, bahkan tidak memiliki akses pendidikan yang layak. Perempuan juga perlu dibebaskan dari lingkungan yang protektif seperti ini. Sejak muda, Woo Hee telah membekali dirinya dengan ilmu bela diri, kecerdasan dalam permainan catur, serta keberanian. Keberanian Woo Hee menempatkan diri di luar lingkungan protektif inilah yang juga membuat dirinya mampu berdiri dan layak menjadi pemimpin.

Melalui kisah hidup Ratu Woo dalam drama “Queen Woo”, saya menarik sebuah kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama layak untuk duduk menjadi pemimpin. Hanya saja kesetaraan ini perlu diwujudkan secara komprehensif. Selain membuka pintu bagi perempuan untuk menaiki kursi kepemimpinan, perempuan juga perlu dibebaskan terlebih dahulu dari ruang-ruang protektif yang akan menghalangi pembentukan dirinya menjadi seorang pemimpin. Upaya inilah yang diharapkan akan mendobrak warisan dan stigma dari patriarkis, sehingga perempuan dapat berdiri sebagai pemimpin, setara dengan laki-laki.

Peran Kemitraan Pencari Nafkah untuk Kesejahteraan Keluarga


Transformasi Peran Pencari Nafkah

Di era modern yang ditandai dengan kemajuan teknologi, perubahan sosial, dan meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender, peran pencari nafkah dalam keluarga telah mengalami transformasi signifikan.

Dahulu, norma sosial tradisional menempatkan laki-laki sebagai satu-satunya pencari nafkah, sementara perempuan diharapkan mengurus rumah tangga dan anak-anak. Peran ini membatasi perempuan di ruang domestik dan menghambat mereka untuk berpartisipasi penuh dalam dunia kerja.

Namun, paradigma ini telah berubah. Kini, baik laki-laki maupun perempuan memiliki peluang dan kemampuan yang sama untuk berkontribusi terhadap kesejahteraan finansial keluarga.

Faktor Pendorong Kesetaraan

1. Kemajuan Teknologi

Teknologi telah menciptakan berbagai profesi baru yang lebih fleksibel, memungkinkan kedua gender untuk bekerja dari rumah atau dengan jam kerja yang bervariasi. Teknologi juga memberikan perempuan akses lebih luas terhadap informasi, pendidikan, dan kesempatan karier yang sebelumnya terbatas.

Sebagai contoh, internet dan media sosial memungkinkan perempuan menjalankan bisnis online atau bekerja secara freelance tanpa harus meninggalkan rumah. Dengan cara ini, mereka tetap dapat menjalankan peran domestik sambil berkontribusi secara finansial.

2. Perubahan Sosial dan Kebijakan Inklusif

Kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender telah meningkat, baik melalui gerakan feminisme maupun advokasi kebijakan yang lebih mendukung perempuan. Beberapa negara bahkan menerapkan kebijakan seperti cuti melahirkan yang setara bagi ibu dan ayah serta undang-undang kesetaraan upah.

Perubahan ini membuka peluang bagi perempuan untuk lebih aktif di dunia kerja dan bagi laki-laki untuk lebih terlibat dalam urusan rumah tangga. Hubungan suami-istri pun menjadi lebih seimbang.

Manfaat Kesetaraan dalam Kontribusi Finansial

1. Mengurangi Beban Finansial

Ketika suami dan istri sama-sama berkontribusi secara finansial, beban ekonomi keluarga menjadi lebih ringan. Hal ini sangat penting mengingat kenaikan biaya hidup, pendidikan anak, dan kebutuhan kesehatan yang semakin kompleks.

Kesetaraan juga memberikan dukungan emosional yang lebih besar bagi pasangan. Suami tidak lagi merasa harus menjadi satu-satunya pencari nafkah, sementara istri tidak terbebani dengan tugas domestik sepenuhnya.

2. Meningkatkan Hubungan Keluarga

Keseimbangan peran dalam keluarga dapat memperkuat hubungan antar anggota. Anak-anak belajar tentang kerja sama, kesetaraan, dan rasa saling menghormati. Selain itu, pasangan suami-istri dapat membangun kehidupan yang lebih stabil dan bahagia karena saling mendukung dalam meraih potensi masing-masing.

3. Manfaat bagi Masyarakat

Ketika perempuan dan laki-laki diberi kesempatan yang sama dalam berkontribusi pada ekonomi, masyarakat secara keseluruhan mendapat manfaat dari keragaman keterampilan dan perspektif. Hal ini mendorong terciptanya lingkungan kerja yang inklusif serta pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Tantangan dalam Mencapai Kesetaraan

Meski kemajuan telah terjadi, masih ada tantangan yang perlu diatasi:

1. Stigma Sosial

Banyak masyarakat yang masih memandang perempuan sebagai pihak yang seharusnya mengurus rumah tangga, sementara laki-laki diharapkan menjadi pencari nafkah utama. Stigma ini menghambat perempuan untuk mencapai potensi penuh mereka sekaligus menambah tekanan pada laki-laki.

2. Kesenjangan Upah

Diskriminasi dalam pembagian upah masih terjadi. Laki-laki sering mendapat upah lebih tinggi dibanding perempuan meski berada di level pekerjaan yang sama. Hal ini berakar dari anggapan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, sedangkan perempuan hanya berkontribusi tambahan.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan perubahan dalam sistem ekonomi, kebijakan pemerintah, serta pola pikir individu dalam keluarga. Pendidikan dan dialog yang terbuka menjadi kunci untuk mempromosikan pemahaman akan pentingnya kesetaraan dalam keluarga.

Menuju Masa Depan yang Setara

Kesetaraan dalam peran pencari nafkah adalah langkah besar menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Dengan meruntuhkan stereotip gender dan memberikan akses yang sama terhadap peluang ekonomi, keluarga dapat menjadi lebih stabil, bahagia, dan sejahtera.

Meskipun tantangan masih ada, kesadaran yang terus meningkat serta dukungan dari berbagai pihak akan membawa kita lebih dekat pada dunia di mana kontribusi finansial tidak lagi ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh kemampuan dan komitmen untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Perempuan dan Politik: Narasi Sejarah, Fikih, dan Lanskap Politik Umat

Perempuan dalam Politik

Perempuan dan politik seakan tak pernah habis diperbincangkan. Setiap perhelatan politik, termasuk Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) kali ini, perempuan terus menjadi topik pembicaraan, bahkan hingga menjadi variabel penentu kemenangan. Pemilihan Gubernur Surabaya, misalnya, diikuti oleh tiga perempuan. Menariknya, narasi Islam turut berkelindan dalam pembahasan ini.

Di tengah gegap gempita kampanye, kita masih menjumpai “serangan” terhadap calon-calon perempuan, mulai dari dalil agama hingga tudingan inkompetensi dalam memimpin daerah. Di sisi lain, sebagian calon perempuan melawan dengan menggunakan otoritas agama guna mengubah persepsi negatif atas kepemimpinan perempuan yang terlanjur terbangun dan bertahan hingga hari ini.

Padahal, di tengah kemajuan teknologi internet, kepemimpinan perempuan semakin luas diperbincangkan, dari siniar di YouTube hingga unggahan di Instagram. Buku-buku pun turut membahasnya. Oleh sebab itu, sebenarnya kita tidak lagi perlu mempermasalahkan isu ini.

Literasi Terkait Perempuan dan Politik

Baru-baru ini, Rumah KitaB (Yayasan Rumah Kita Bersama) menerbitkan buku berjudul Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan. Literasi terkait perempuan dan politik pun turut bertambah. Data-data sejarah yang disuguhkan dalam buku ini tidak sekadar asumsi atau tafsiran belaka. Keterlibatan perempuan dalam berbagai fase sejarah umat Islam dihadirkan dengan jelas.

Buku ini ditulis oleh Jamaluddin Mohammad, Roland Gunawan, Achmat Hilmi, dan Nur Hayati Aida. Mereka menyajikan kajian mendalam terkait perempuan dan politik yang diulas dari sisi sejarah, hukum Islam, dan persoalan sosial yang terkait. Yuk, kita ulas sekilas buku ini.

Sejarah Perempuan dalam Islam

Secara isi, buku ini terasa padat, namun ditulis dengan bahasa yang renyah sehingga pembaca tidak akan merasa bosan. Buku ini menghadirkan banyak kisah yang terjadi sepanjang sejarah umat Islam, khususnya terkait perempuan, ruang publik, dan politik. Menariknya, kita akan menemukan banyak fakta sejarah yang selama ini mungkin jarang kita temui.

Kehadiran perempuan di ruang publik secara aktif telah dijumpai dalam beragam peran. Mungkin selama ini kita hanya mengenal nama-nama perempuan agung seperti Khadijah al-Kubra dan Fathimah binti Nabi yang aktif dalam banyak urusan umat Islam. Namun, buku ini juga memperkenalkan kita pada nama-nama perempuan muslim lainnya, seperti Al-Syifa’ binti Abdillah al-Qurasyiyah, Fathimah binti Ali bin Abdullah ibn Abbas, dan Ummu Ja’far ibn Yahya al-Barmaki, yang memiliki peran besar dalam sejarah Islam.

Buku setebal lebih dari 140 halaman ini mengulas perempuan dari sisi normativitas hingga sosio-politik di sepanjang sejarah umat Islam. Ulasan fikih yang sering kali njelimet dan kompleks terkait perempuan, ditulis dalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami.

Analisis Gender dan Fikih

Ulasan fikih dalam buku ini mengingatkan saya pada buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih. Dalam buku tersebut, Fakih mengusulkan tiga agenda strategis dalam penafsiran agama yang perlu ditinjau dan dikaji ulang, yaitu subordinasi perempuan, persoalan waris dan saksi perempuan, serta hak produksi dan reproduksi perempuan.

Fakih mengusulkan penggunaan analisis gender dalam melihat produk hukum Islam yang kurang ramah terhadap perempuan. Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan ini mengangkat tema yang mirip, membahas dinamika sosial yang terjadi dalam umat Islam, terutama di Indonesia. Mohammad dan timnya mengulas dengan sangat elok tentang perkembangan gerakan perempuan, khususnya di Indonesia.

Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia

Sejarah gerakan perempuan di Indonesia telah mengakar lama, dengan cita-cita partisipasi dan representasi perempuan dalam politik Indonesia yang terus berkembang hingga hari ini. Sejarah pengetahuan umat Islam juga terjalin erat dengan perkembangan feminisme di Indonesia.

Islam dan feminisme berkembang bersama dalam menghadapi persoalan perempuan yang semakin kompleks. Buku ini mengulas bagaimana feminisme muslim mencoba menjadikan agama tidak hanya sebagai sumber nilai dan norma, tetapi juga sebagai alat transformasi sosial. Di titik ini, semangat yang telah dibangun oleh Fakih berkelindan dengan isi buku ini.

Kompleksitas Keterwakilan Perempuan di Politik

Pada bagian akhir buku ini, kita dihadapkan pada kompleksitas kehadiran dan keterwakilan perempuan di ranah politik, yang masih problematik dan penuh tantangan. Politisi kita masih belum memiliki komitmen yang kuat dalam memperjuangkan posisi perempuan di ruang-ruang politik. Perlindungan hak-hak perempuan pun masih sangat lemah, bahkan bisa dikatakan rentan.

Banyak regulasi dan produk hukum yang melindungi perempuan masih sulit dilahirkan oleh pemangku kebijakan. Kalaupun ada, penerapannya seringkali problematik. Perempuan semakin sulit mendapatkan hak dan perlindungan yang seharusnya mereka terima.

Perempuan Sebagai Individu dan Bagian dari Sosial

Bagian paling menarik dari buku ini, menurut saya, adalah ulasan mengenai perempuan yang mengalami penindasan dari dua sisi sekaligus, yakni sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Perempuan diulas sebagai tubuh individual dan tubuh politik. Problematika representasi perempuan di ruang publik selalu terkait dengan dua aspek ini.

Sejarah, hukum Islam, dinamika sosial, dan politik terus membatasi perempuan, baik sebagai individu maupun secara sosial. Perempuan terus didefinisikan oleh pihak luar, baik tubuh individual maupun tubuh politiknya. Oleh karena itu, buku ini bisa dikatakan progresif dalam menggambarkan posisi dan representasi perempuan di ruang publik, menggunakan legitimasi fakta sejarah, ulasan hukum yang berpihak, hingga perlawanan atas dinamika sosial yang timpang dan menindas.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin. 

Kepemimpinan Feminis dalam Menghadirkan Lingkungan Kerja Sehat

Pernah mendengar istilah quiet quitting atau “berhenti diam-diam”? Istilah ini populer seiring dengan pandemi COVID-19 dan merujuk pada karyawan yang bekerja dalam batas minimum dan menolak tugas di luar jam kerja mereka. Fenomena ini muncul setelah banyak pekerja di seluruh dunia merasa kurang mendapatkan penghargaan dari atasan, sehingga mudah merasa lelah secara batin dan fisik.
Tidak kalah populernya adalah istilah burnout yang merujuk pada kondisi seorang karyawan yang merasa kewalahan dalam bekerja. Karena besarnya beban kerja, mereka merasakan stres berkepanjangan hingga membutuhkan cuti khusus, bahkan harus mengundurkan diri. Motivasi bekerja hilang, yang bisa menyebabkan gangguan kesehatan jiwa.

Banyak yang menunjuk faktor beban kerja yang terlalu tinggi sebagai penyebabnya. Jam kerja berkepanjangan, apalagi tanpa uang lembur, menjadi salah satu penyebab lainnya. Tetapi, akarnya sebenarnya adalah pola kepemimpinan yang buruk di kantor. Pola kepemimpinan ini tidak selalu terkotak pada jenis kelamin. Misalnya, anggapan bahwa laki-laki memimpin lebih baik dari perempuan, atau sebaliknya, tidaklah selalu benar. Kita perlu menelaah kembali sifat-sifat kepemimpinan negatif yang sudah mendarah daging dan menyebabkan lingkungan kerja tidak lagi mendukung kesehatan jiwa.

Contoh Sifat Kepemimpinan yang Salah
Kepemimpinan sejatinya harus menempatkan pemimpin sebagai mitra kerja, bukan semata bos atau orang yang hanya memberi perintah. Sayangnya, masih banyak atasan yang egois, memandang karyawan sebagai bawahan yang bisa mereka suruh seenaknya. Pola pikir ini, yang sayangnya sudah lumrah, merembet ke dampak negatif lainnya, seperti menguras tenaga karyawan dan enggan mencari tenaga tambahan.
Kondisi ini diperparah dengan efek negatif kapitalisme yang menempatkan pemilik modal sebagai pemegang kendali penuh atas bisnisnya. Pemimpin seperti ini berpikir bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) bukanlah aset, melainkan alat, sehingga tidak terpikirkan bagaimana caranya menjaga kesehatan jiwa mereka agar betah. Karyawan diperlakukan seperti robot, yang dituntut mencapai target tertentu dengan mengabaikan jam kerja, hingga kondisi kesehatan fisik mereka. Karyawan pun terpaksa mengikuti ritme kerja demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Mengapa Kepemimpinan Feminis Menjadi Jawabannya
Kepemimpinan feminis bukanlah tipe kepemimpinan yang eksklusif untuk perempuan. Laki-laki pun dapat menerapkan pola ini, sebab kepemimpinan feminis secara umum merujuk pada sifat-sifat yang menjadi ciri khasnya. Sebagaimana disebutkan oleh ActionAid.org, beberapa ciri utama tipe ini adalah pola saling berbagi, inklusivitas, dan transparansi.
Saling berbagi berakar dari sifat alami perempuan yang memiliki empati dan kepedulian tinggi terhadap sesama. Pola kepemimpinan feminis mempromosikan gaya di mana seorang atasan harus peduli kepada karyawannya. Tugasnya bukan sekadar memberi pekerjaan dan menagihnya saat tenggat waktu tanpa mempedulikan kondisi karyawan, melainkan juga memantau kondisi fisik dan psikis staf. Jika mereka sedang sakit, pemimpin harus segera mencari solusi agar pekerjaan bisa tetap selesai tanpa memaksa karyawan tersebut. Ia bisa mendelegasikannya kepada karyawan lain, atau jika perlu, mempekerjakan orang baru.

Prinsip inklusivitas merujuk pada kesetaraan meski berbeda peran. Setiap karyawan berhak mendapat perlakuan yang baik dan penghargaan. Kepemimpinan feminis menjunjung tinggi sikap ini sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Tidak ada karyawan yang merasa hak mereka terabaikan hanya karena perbedaan gaji atau status di tempat kerja. Diskriminasi berdasarkan gender, ras, atau pendapatan tidak dikenal dalam tipe ini.

Berkat inklusivitas pula tercipta transparansi bersama. Sebagai contoh, pemimpin akan memberikan penilaian yang jelas mengenai mutu pekerjaan, yang berujung pada kenaikan gaji atau jabatan. Dengan transparansi seperti ini, tidak ada karyawan yang merasa tidak layak. Mereka mengetahui kemampuan mereka sekaligus menghindarkan lingkungan kerja dari rasa cemburu dan iri. Keterbukaan ini adalah kunci agar karyawan merasa memiliki perusahaan tersebut. Mereka akan merasa lebih dihargai dan bertahan meski perusahaan menghadapi masa sulit.

Setiap jenis pekerjaan tentunya memiliki target untuk meraih keuntungan materi. Di zaman seperti sekarang, kecenderungan memperlakukan karyawan semata sebagai alat semakin kentara. Padahal, tidak semua hal bisa dinilai berdasarkan materi, seperti gaji atau posisi yang ditawarkan.

Kepemimpinan feminis menawarkan solusi sederhana dengan mengajak kembali meneladani perempuan dengan segala fitrahnya yang lembut, namun kuat menghadapi segala tantangan.

Aroma Perempuan yang Hilang di Balik Sebatang Rokok

Aroma tembakau yang berubah warna menjadi cokelat kehitaman menguar ke udara. Padahal, matahari lebih terik dari biasanya. Namun, perempuan-perempuan ini seolah tak peduli. Mereka bergegas memungut daun demi daun, seolah-olah Malaikat Israfil tengah mengintai langit dan akan menurunkan hujan.

Saya tersenyum melihat para buruh tembakau perempuan ini saling bersahutan. Ada saja bahan candaan untuk mengurangi rasa lelah saat terus-menerus merunduk. Dalam ruang ingatan saya, tanah lapang ini memang selalu beralih fungsi menjadi tempat penjemuran saat musim tembakau tiba. Jadi, mereka yang biasanya berlatih sepak bola harus mengalah dan mencari tempat lain.

Saya masih ingat betul masa itu, ketika teknologi belum menyentuh kami di sini. “Tivi hitam putih” menjadi pajangan mewah di ruang tamu. Saat itu, di seberang tanah lapang ini, di tepi jalan provinsi Jember-Banyuwangi, tiap petang bus pariwisata yang membawa wisatawan asing sering berhenti. Mereka adalah turis yang akan menyeberang ke Bali menggunakan jalur darat. Saat melintasi desa kami, pemandu wisata menawarkan kepada mereka kesempatan untuk melihat proses penjemuran tembakau sebelum akhirnya dijual ke gudang dan diolah menjadi rokok kretek.

Turis-turis ini, seperti biasa, cekatan mengeluarkan kamera dari ransel mereka untuk memotret para petani dan buruh tembakau perempuan di tanah lapang. Sementara itu, anak-anak kecil seusia saya berebut mendekati bus, mengulurkan tangan. Lucunya, ibu-ibu pun tak mau kalah. Mereka yang berbadan besar maju ke kerumunan, berebut pemberian dari turis. Entah permen, sabun, sampo hotel, atau apa pun, asal pemberian turis, pasti membuat mereka melonjak kegirangan.

Saya yang bertubuh kurus ceking punya cara lain. Alih-alih berebut, saya memilih mendekati turis yang turun ke lapangan. Pada mereka, saya melontarkan pertanyaan bahasa Inggris yang sudah saya hafal sebelumnya. Bagi saya, musim tembakau adalah kesempatan untuk praktik bahasa Inggris. Saya yang tidak terlalu menyukai hafalan rumus tenses akan mendatangi guru di kelas untuk meminta bantuan menyusun kalimat bahasa Inggris untuk menyapa turis. Kalimat-kalimat itulah yang saya hafalkan. Meski sering kali saya tidak memahami jawaban mereka, saya tetap meneruskan percakapan dengan kalimat-kalimat hafalan saya. Tak heran, tetangga mengira saya fasih berbahasa Inggris, padahal percakapan kami seperti dua jalan yang tak bertemu.

Ah, tapi itu dulu. Itu kenangan masa kecil yang sekarang tak lagi bisa saya temui. Wisatawan mancanegara tidak lagi melewati jalur darat ini. Satu-satunya yang masih saya saksikan adalah bagaimana petani dan buruh tembakau silih berganti memenuhi tanah lapang tiap tahunnya.

Saya tak menampik bahwa Jember menjadikan tembakau sebagai ciri utama. Ada sejarah panjang yang membuat daun satta ini begitu melekat di kalangan petani. Sejarah itu bermula pada masa Hindia Belanda, ketika Jember masih bagian dari Afdeeling Bondowoso. Pemerintah Hindia Belanda yang gencar membudidayakan berbagai jenis tanaman mencoba peruntungan dengan menanam tembakau.

Meski saat itu Jember belum banyak berpenduduk, para kompeni tak menyerah. Mereka mendatangkan penduduk dari Madura untuk mendiami wilayah Jember utara dan timur, sementara penduduk dari Nganjuk, Blitar, dan wilayah Jawa Mataraman ditempatkan di Jember selatan.

Pembagian ini secara tidak langsung berpengaruh pada jenis tembakau yang ditanam. Mereka yang berkultur Madura menanam tembakau jenis Voor-oogst yang digunakan untuk rokok kretek. Sedangkan mereka yang berkultur Jawa menanam tembakau jenis Na-oogst yang merupakan bahan utama cerutu. Hingga saat ini, cerutu buatan Jember terkenal di mancanegara, bahkan pernah menduduki peringkat kedua dunia setelah Kuba.

Dengan sejarah panjang ini, tak heran jika tembakau menjadi urat nadi petani. Menanam tembakau menjadi candu tahunan. Meski rugi ratusan juta tahun ini, mereka tetap akan menanam lagi tahun depan. Tembakau dan petani bagaikan dua sisi koin yang tak terpisahkan.

Namun sayangnya, tembakau kerap diidentikkan dengan maskulinitas. Rokok yang berasal dari tembakau sering diasosiasikan dengan laki-laki. Iklan-iklan rokok di televisi menampilkan sosok lelaki gagah. Saya tidak hendak mengkritik hal ini. Saya hanya ingin menyuguhkan cerita lain—bagaimana sebatang rokok yang dicecap para lelaki di angkringan atau tepi jalan, sesungguhnya berasal dari keringat perempuan yang berjuang keras dengan air mata.

Jika tak percaya, mari kita bergeser sebentar dari tanah lapang. Di sebelah barat lapangan, terdapat tiga gudang tembakau penyortiran. Ratusan buruh perempuan berpakaian putih berebut keluar dari gudang. Wajah mereka kusut masai, peluh mengucur deras. Ketika petang tiba, jalanan semakin padat, kendaraan bergerak perlahan. Tak sedikit dari mereka yang bergegas menaiki kendaraan tumpangan—entah itu pick-up terbuka, angkot langganan, atau menuju suami yang menunggu di tepi jalan.

Pemandangan ini menyayat hati. Di tengah kemarau yang kering kerontang, banyak dari perempuan ini bangun pukul tiga pagi. Mereka mencuci baju, membersihkan badan, menyiapkan sarapan, lalu berangkat ke gudang untuk bekerja dari pagi hingga petang menyortir tembakau. Sepulangnya, pekerjaan rumah sudah menanti—mencuci piring atau menyapu rumah. Meski lelah, mereka melakukannya dengan ikhlas karena ada utang yang harus dibayar dan dapur yang harus tetap mengepul.

Melihat para buruh perempuan ini, saya kerap bertanya, “Seandainya tidak ada lagi tembakau, bagaimana nasib mereka?” Pertanyaan ini bukan sekadar kata-kata. Perlahan, sawah-sawah di Jember makin menyusut, disulap menjadi perumahan atau pabrik industri. Akibatnya, makin sedikit petani yang menanam tembakau, dan sayangnya, perempuanlah yang merasakan dampaknya paling kuat.

Peluang kerja sebagai buruh tembakau semakin kecil, pendapatan menurun, dan hal ini sering memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selain itu, krisis air semakin memburuk. Jember yang sebenarnya memiliki banyak gumuk—bukit-bukit yang berfungsi sebagai serapan air—telah banyak dikeruk, menyebabkan jumlahnya berkurang drastis.

Entah sampai kapan tembakau di Jember akan bertahan, saya tak bisa memastikan. Namun, satu hal yang pasti—ada aroma perempuan dalam setiap batang rokok yang dicecap para lelaki, meski hal ini tak pernah diakui. Tidak pernah.[]

Talibanisasi dan Kontestasi Perempuan

Oleh Lies Marcoes

Dikuasainya Kabul oleh Taliban meninggalkan kecemasan. Bukan hanya dunia, juga negara-negara berpenduduk Islam. Taliban, bagaimanapun, suatu kelompok radikal fundamentalis berbasis pandangan politik keagamaan.

Suatu kelompok radikal, seperti Taliban, lahir dan berkembang dalam konteks politik dan momentumnya sendiri. Karena itu, tak begitu saja bisa ditiru dan muncul di waktu dan tempat lain. Namun, sebagai gerakan yang didasari ideologi, dengan mudah gagasannya menyebar. Apalagi di era media sosial yang tanpa batas.

Watak ideologi apa pun tak terikat oleh konteks, sejarah, dan waktu. Salah satu warisan Taliban untuk dunia adalah ”talibanisasi perempuan”, yakni suatu upaya merumahkan perempuan dengan dasar pandangan keagamaan, bahwa perempuan sumber fitnah, sumber persoalan sosial dan moral di ruang publik.

Karena itu, gagasan talibanisasi perempuan adalah merumahkan atau membatasi ruang gerak perempuan melalui simbol seperti burqa atau dengan ideologi moral yang meyakini perempuan jadi penyebab kekacauan di keluarga dan masyarakat karena mereka masuk ke ruang publik dengan peran-peran nontradisional mereka dalam gagasan relasi yang subordinatif. Solusi ideologis mereka adalah memperbaiki persoalan moral masyarakat dengan mengatur bagaimana seharusnya perempuan bertingkah laku di ruang publik.

Gagal paham

Namun, bacaan atas situasi itu sering luput. Kegagalan dalam memahami isu jender dan radikalisme seperti dianut kelompok Taliban adalah, pertama, kuatnya anggapan bahwa ancaman paling besar dari gerakan radikal adalah terorisme. Terorisme merupakan suatu aksi mengancam kedaulatan negara dengan cara kekerasan.

Dalam konteks sekarang, ancaman ini bisa berupa haluan yang mengusung ideologi jihadis model Taliban. Dalam aksi mereka, perempuan biasanya tak dihitung. Paling jauh dianggap sebagai sistem pendukung kerja teroris yang bergerak di bawah tanah. Keterlibatan perempuan biasanya untuk menormalkan kehidupan sang teroris dengan status sebagai istri.

Kekeliruan kedua, stereotipe jender. Dalam konsep itu mereka menganggap mustahil perempuan jadi radikalis, apalagi teroris, kalau tak terbawa-bawa kaum lelaki. Perempuan dianggap tak punya ideologi, tetapi hanya diajak-ajak.

Analisis lainnya dengan pendekatan esensialis. Karena perempuan punya rahim, otomatis akan menjiwai perannya sebagai pelanjut dan perawat kehidupan melalui kehamilannya. Karena dari rahimnya lahir kehidupan baru, maka dalam pandangan esensialis itu, mustahil perempuan secara alamiah atau naluriah punya pikiran buruk jadi radikal atau teroris. Jika pun terjadi, itu karena indoktrinasi.

Sebagian besar analisis ahli teroris ketika menghadapi peristiwa bom Makassar dan Mabes Polri yang melibatkan perempuan cenderung menggunakan pendekatan esensialis atau ilmu psikologi klasik soal peran ”nature” perempuan. Masuk dalam peran nature itu adalah instabilitas emosi perempuan, kelemahan pikiran mereka, ketergantungan mereka pada lelaki sehingga keterlibatannya hanya terbawa-bawa. Sementara yang punya agenda atau otak di balik perempuan pelaku bom bunuh diri itu adalah lelaki.

Berdasarkan penelitian Rumah Kitab sejak 2016 tentang perempuan dan fundamentalisme, kami mengamati ada tiga tipologi analisis terhadap keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal, baik yang kemudian masuk ke dalam aksi terorisme maupun yang hanya tataran ideologis fundamentalisme/konservativisme ideologis.

Tipe pertama, menganggap kelompok radikal, baik yang pro maupun menolak kekerasan, seperti terorisme, sepenuhnya urusan dan dunia lelaki, cita-cita yang diperjuangkan juga sepenuhnya impian kaum lelaki.

Dalam pandangan tipe satu ini inti perjuangannya adalah mewujudkan tertib dunia dengan cara-cara maskulin. Sebagai jantan, mereka berperang untuk menyelamatkan keluarga dari ancaman dunia yang akan menghancurkan keluarga Islami melalui proyek modernisasi.

Tipe kedua, maskulinisasi lelaki atau perempuan yang tertarik menjadi bagian dari gerakan radikal atau teroris. Alasannya sangat khas, yaitu agar mereka direkognisi kehadirannya. Dalam tatanan masyarakat atau kelompok patriarki, apalagi dalam kelompok radikal berbasis keagamaan, orang muda (lelaki) atau perempuan tak dapat tempat terhormat di tengah orang dewasa maskulin.

Posisi mereka senantiasa disubordinasikan. Karena itu, masuk akal jika lelaki muda atau perempuan dalam kelompok itu melakukan metamorfosis menjadi bagian dari pemain inti, tetapi dengan mengubah diri menjadi maskulin. Salah satu tanda dari maskulinitasnya adalah keberaniannya mengambil risiko paling mematikan, seperti menjadi pembawa bom.

Dalam sistem yang telah mereka bangun, fungsi mereka adalah sekrup dari sebuah mesin yang sudah jadi (ideologi maskulin jihadis, misalnya). Dalam sistem itu, orang muda dan perempuan akan menjalankan peran berbeda-beda; bisa sebagai penunjang atau instrumen/ jantungnya, tergantung seberapa dalam penghayatan dan proses ideologisasinya. Namun, secara keseluruhan, agenda ideologisnya bukan agenda kaum muda atau kaum perempuan.

Feminisasi gerakan radikal

Tipe ketiga, feminisasi gerakan radikal. Secara umum polanya dibalik. Bukan ideologi maskulin memengaruhi perempuan, melainkan gerakan dan ideologi radikal diberi daya dan aksen oleh kaum perempuan.

Kaum perempuan itu terus- menerus menghadapi kehidupan yang kompleks, tetapi tak mendapatkan bantuan analisis dalam memahami kompleksitas persoalan itu.

Sebaliknya melalui media sosial, sinetron, atau pengajian yang tak jelas latar belakang kualitas ustaznya, mereka dapat kesimpulan bahwa krisis dalam kehidupan sehari-hari (kemiskinan, kenakalan remaja, perselingkuhan, utang, dan lain-lain) disebabkan oleh rusaknya tatanan keluarga Islami akibat kelalaian perempuan itu sendiri.

Dalam tipe ketiga ini perempuan langsung jadi agensi aktif untuk menyemai gagasan tentang tatanan keluarga Islami yang memercayai peran tradisional perempuan sebagai fitrahnya. Perempuanlah, bukan lelaki, yang jadi motor pembentukan keluarga melalui jihad harian mereka, seperti dalam cara mengasuh anak, berpakaian, bergaul, berkeluarga, belajar, dan memilih lingkungan.

Intinya menciptakan eksklusivisme keluarga Islami. Aturannya sangat jelas: cara bergaul dan bertingkah laku, larangan bergaul dengan orang beda keyakinan, cara membangun tatanan keluarga dari pacaran hingga beranak dan bertetangga.

Di sini ancaman terbesarnya bukan bom, melainkan kesadaran tentang peran perempuan sebagai penjaga moral sebab mereka ditaklukkan oleh ideologi tanpa batas, yaitu ideologi yang meyakini bahwa basis tatanan ideal masyarakat Islam adalah keluarga di mana lelaki sepenuhnya sebagai pemimpin keluarga, istri merupakan pendamping suami yang memastikan anak-anaknya menjalankan tatanan keluarga yang sesuai pandangan tradisional itu.

Dalam tipe ketiga ini agensi perempuan menjadi besar sekali meskipun pandangan-pandangannya tak selalu diproduksi oleh mereka. Namun, agendanya jelas, menguatkan perempuan untuk aktif menjalankan peran tradisional jendernya agar terbentuk tatanan keluarga harmonis yang sesuai dengan ideologi itu.

Mereka menerima peran subordinasi demi sebuah tatanan harmonis di dunia dan akan menerima imbalannya di akhirat kelak. Dalam pandangan itu konsep ketertindasan jender sama sekali tak dipandang sebagai persoalan sebab itu adalah jihad amaliah perempuan.

Tipe ketiga ini ancamannya masif, berlangsung setiap hari dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan ditaklukkan kebebasannya dalam berpikir dengan diyakinkan sebagai penyebar fitnah di ruang publik, dan sekaligus diglorifikasi sebagai benteng kehidupan keluarga. Di sinilah sesungguhnya arena kontestasi dalam memperebutkan perempuan di era talibanisasi ini.

Lies Marcoes
Peneliti Rumah Kitab

Gerakan Feminisme Era Orde Baru dan Reformasi: Sebuah Catatan Reflektif

Oleh Kamala Chandrakirana

Feminis Pegiat HAM; Sekjen Komnas Perempuan (1998-2003); Ketua Komnas Perempuan (2003-2009); Pelapor Khusus Dewan HAM PBB (2011-2017); Co-Founder Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa); Co-Founder Musawah

Pengantar Redaksi

Pada Sabtu, 6 Maret 2021, LETSS Talk mengadakan sebuah forum spesial dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional. Forum tersebut diberi tema “A Day of Appreciation: Gerakan Feminisme Era Orde Baru dan Reformasi.” Tujuan utama forum ini memang sebagai apresiasi pada para tokoh gerakan feminisme di periode Orde Baru yang opresif dan kontribusi mereka pada proses demokratisasi dan reformasi. Forum yang berlangsung non-stop sepanjang 8 jam 20 menit melalui Zoom ini bagaikan “buku bicara” (audio book) karena berisi informasi dan catatan sangat penting berbagai isu yang menjadi bahan perjuangan gerakan feminisme era Orde Baru hingga Reformasi, salah satu generasi emas gerakan sosial-politik di Indonesia pasca-kolonial.

Dibuka dengan sebuah prolog oleh Ita Fatia Nadia tentang Perlawanan atas Politik Gender Orde Baru: Framework Gerakan, lalu berurutan 15 figur penting gerakan feminisme masa Orde Baru dan Reformasi berbagi informasi tentang isu-isu yang menjadi tema kunci feminisme yang berkembang pada periode tersebut. Tema-tema tersebut adalah 1) Training Gender: Dari Sensitivitas Gender ke Kesadaran Politik Feminis (Myra Diarsi), 2) Politik Kesehatan Reproduksi (Ninuk Widyantoro), 3) Politik Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan (Elli Nur Hayati), 4) Dari Pemberdayaan Ekonomi ke Perempuan Kepala Rumah Tangga (Nani Zulminarni), 5) Perempuan, Konflik, dan Perdamaian (Samsidar), 6) Gerakan Perempuan Lokal/Adat (Arimbi Heroepoetri), 7) Reformasi Hukum: Menuju Hukum Berkeadilan Gender (Rita Serena Kalibonso), 8) Gerakan Feminisme dan Perlawanan Politik Ibuisme Negara (Julia Suryakusuma), 9} Gerakan Perempuan dan Kebebasan Berbicara dan Berekspresi (Debra H Yatim), 10) Kritik Developmentalisme: Kemiskinan dan Pemiskinan Perempuan (Ratna Saptari), 11) Gerakan Perempuan, Reformasi dan Demokratisasi (Sita Aripurnami), 12) Pengorganisasian Perempuan: Konsolidasi Gerakan Politik (Nursyahbani Katjasungkana), 13) Tantangan Konservatisme, Tradisionalisme dan Fundamentalisme Agama: Konteks Islam (Lies Marcoes-Natsir) 14) Tantangan Konservatisme, Tradisionalisme dan Fundamentalisme Agama: Konteks Kristen (Sylvana Apituley) 15) Keragaman Seksual dan Gender: Menentang Heteronormativisme Negara (Dede Oetomo). Terakhir, “buku bicara” ini ditutup dengan sebuah epilog oleh Kamala Chandrakirana, yang akrab disapa mba Nana, berisi catatan kritis-reflektif tentang gerakan feminisme sejak Orde Baru dan masa depan gerakan feminisme kita.

Silahkan klik link berikut untuk mendengarkan rekaman forum tersebut: 

Tulisan yang berjudul “Gerakan Feminisme Era Orde Baru dan Reformasi: Sebuah Catatan Reflektif” ini merupakan epilog yang disampaikan mbak Nana pada forum yang diadakan LETSS Talk tersebut. Karena memuat pikiran-pikiran sangat penting tentang kondisi gerakan feminisme yang berkembang pada Indonesia kontemporer, berisi pikiran-pikiran visioner dan futuristik untuk menguatkan gerakan feminisme di Indonesia masa depan, LETSS Talk berinisiatif mentranskrip epilog ini. Terima kasih kepada Apri Iriani (salah satu relawan LETSS Talk) dan Diah Irawaty (redaksi LETSS Talk) yang telah secara sukarela melakukan proses transkripsi ini. Transkrip dilakukan secara verbatim dengan beberapa editing yang dilakukan oleh tim redaksi LETSS Talk agar lebih sesuai dengan bahasa tulis. Kami berharap, dengan transkripsi ini, informasi dan pengetahuan yang disampaikan secara verbal bisa terdokumentasi lebih baik dan bisa lebih mudah untuk diakses kalangan lebih luas. Kami juga berharap, suatu saat, bisa melakukan transkrip terhadap kesuluruhan presentasi dalam forum tersebut. Kami berambisi melakukan pendokumentasian semua pengalaman berharga gerakan feminisme era Orde Baru dan Reformasi ini.

Selamat membaca catatan penting ini, dan semoga bermanfaat.

Salam Redaksi…

***

Rasanya memang generasi penerus, seperti Tim LETSS Talk, yang bisa memanggil kita semua, para feminis dari masa Orde Baru, untuk berkumpul bersama seperti dalam satu forum seperti ini. Ini refleksi personal yang tentu tidak lengkap menggambarkan perspektif dalam perjalanan saya secara spesifik. Inti pertama yang mau saya sampaikan adalah bahwa setiap era punya dinamika dan mungkin juga logikanya sendiri. Dan itu akan berdampak pula pada wajah feminisme kita karena bagaimanapun juga feminisme adalah konstruksi sosial politik, seperti disampaikan Julia Suryakusuma dalam presentasinya di forum ini. Saya sendiri bukan atau tidak termasuk di dalam barisan kawan-kawan satu generasi dengan saya yang tumbuh melalui gerakan mahasiswa dan lalu membangun LSM-LSM perempuan pada masa Orde Baru. Pengalaman atau kesadaran politik saya sebenarnya lebih muncul dari perjalanan hidup keluarga dan juga tentu lebih tersistematisir melalui ruang kerja saya, yaitu ruang gerak saat di Komnas Perempuan; saya aktif di lembaga ini selama 11 tahun pertama, sejak awal didirikan. Setelah purna dari Komnas Perempuan, selama 7 tahun, saya tidak terlalu banyak berinteraksi di Indonesia karena saya lebih banyak memainkan peran di level internasional di Dewan HAM PBB sebagai Special Rapporteur. Baru kemudian sekitar 3-4 tahun terakhir saya kembali ke Indonesia dan berusaha berproses bersama kawan-kawan.

Ketika saya diminta untuk memberikan catatan refleksi tentang gerakan feminisme, pertanyaan sebenarnya yang saya pikirkan adalah di mana letak ketersambungan antara Orde Baru dengan Reformasi, berbagai kontradiksi atau anomali di dalamnya, adakah keterputusan sejarah antara keduanya, dan adakah titik-titik senjang? Inilah pertanyaan- pertanyaan yang muncul di benak saya, dan pada kesempatan merefleksikan pertanyaan tersebut, saya menangkap pergeseran-pergeseran yang terjadi, yang sebenarnya, menurut saya, menggambarkan betapa gerakan itu merupakan sebuah organisme. Organisasi-organisasi yang kita dirikan adalah sarana, tapi gerakan itu adalah sebuah organisme yang terus menerus berubah, hidup, berubah wujud, bentuk, dan sebagainya.

Sebelum lebih lanjut menyampaikan catatan refleksi ini, saya ingin mengatakan, bahwa periodisasi yang saya gunakan di sini tidak sekedar Orde Baru dan Orde Reformasi. Dalam refleksi saya, Era Reformasi ini perlu kita bagi dalam dua dekade; antara dekade pertama dan dekade kedua mempunyai karakter yang sangat berbeda, dan di dalam perspektif saya, pada hari ini, sesungguhnya kita tidak lagi berada dalam Era Reformasi; saat ini adalah masa pasca- Reformasi yang masih belum memiliki nama atau belum ada yang memberinya nama. Sangat mungkin, point of view ini merupakan refleksi kebingungan saya dalam melihat berbagai fenomena yang ada akhir-akhir ini. Ada 7 hal yang menjadi poin refleksi saya tentang gerakan feminisme.

Poin pertama yang menurut saya sangat penting adalah soal analisis kita tentang negara. Analisis gerakan tentang negara ini menjadi sesuatu yang ikut menentukan bentuk dari gerakan kita. Pada masa Orde Baru, sepanjang forum ini, kita sudah mendengar cerita-cerita yang begitu banyak, bahwa posisi gerakan adalah jelas-jelas sebagai oposisi yang kemudian berkembang menjadi gerakan pro-demokrasi. Kita masuk ke fokus isu termasuk kekerasan negara di mana militerisme, narasi dan analisis tentang ibuisme –seperti disampaikan oleh Julia Suryakusuma, Ita Fatia Nadia, Myra Diarsi, dan lain-lain dalam presentasi mereka di forum ini. Di masa Reformasi dekade yang pertama, negara menjadi satu institusi yang terbuka sehingga agenda kita adalah agenda partisipasi yang muncul dalam beragam bentuk inisiatif untuk masuk ke dalam institusi-institusi politik melalui gagasan representasi perempuan, baik itu pemilu, partai politik, dan kemudian di parlemen. Melalui partisipasi dalam institusi-institusi politik, kita masuk dalam ruang-ruang negara dengan mekanisme independen yang diciptakan oleh negara telah berubah menjadi lebih demokratis. Dalam mekanisme independen ini, Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi satu agenda dan tujuan penting untuk diupayakan dan diklaim agar lebih bermakna bagi gerakan feminisme.

Pada dekade kedua Reformasi, menurut saya, hasil dari analisis tentang negara yang terbuka, kita bisa melihat bagaimana terjadi perebutan yang cukup intens terhadap institusi negara. Sekarang, kita melakukan analisis negara dan menemukan kenyataan negara yang sudah bersifat oligarkis; otoritarianisme mulai muncul kembali; militerisme ternyata tidak pernah hilang, bahkan lebih tanpa malu-malu berada di tengah-tengah kita. Sementara itu, kerangka gerakan feminsime lebih mendorong tanggung jawab negara, hingga muncul berbagai upaya di mana negara seakan-akan mengambil alih kerja-kerja gerakan termasuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dengan pembuatan UU. Dalam situasi ini, hal-hal seperti gender mainstreaming kemudian menjadi suatu kerja negara. Inilah salah satu perkembangan yang terjadi saat ini. Pada dasarnya, dalam konteks ini, hak-hak perempuan bersifat instrumentalis.

Poin refleksi penting lain adalah soal cara pandang gerakan kita tentang perubahan, memahami bagaimana perubahan itu terjadi. Cara pandang dan pemahaman tentang perubahan akan memberikan berbagai informasi yang berkontribusi pada pilihan strategi. Jika di masa Orde Baru penyadaran kritis menjadi wujud strategi dari cara pandang kita tentang perubahan yang terjadi saat itu –melalui training dan diskusi-diskusi regular dan kelompok-kelompok diskusi menjadi sarana yang sangat penting dalam proses penyadaran kritis ini. Pemberdayaan dan pengorganisasian perempuan secara eksklusif juga menjadi pilihan strategis pada saat itu karena soal pemihakan pada keberdayaan perempuan. Di dekade pertama Reformasi, selain pemberdayaan yang merupakan salah satu bentuk ketersambungan dengan gerakan era Orde Baru, hal baru yang muncul adalah ketika negara menjadi lebih terbuka lalu menghadirkan cara pandang law as an instrument of change, yang dibangun bersama dalam gerakan feminis global. Di sini, hukum dan kebijakan menjadi alat perubahan. Dalam hal ini, kita melakukan investasi yang cukup besar dalam reformasi hukum dan kebijakan termasuk melalui penguatan partisipasi di lembaga-lembaga politik negara. Dalam cara pandang ini, kriminalisasi pelaku yang diatur melalui instrumen hukum menjadi salah satu cara menangani pelaku kekerasan seksual. Startegi reformasi hukum ini menjadi strategi utama gerakan feminisme, di dalam framework feminist legal thinking yang berproses terus menerus, termasuk di kawasan Asia Pasifik.

Pada Reformasi dekade kedua sejak tahun 2009 sampai 2019, kita sebenarnya menghadapi realitas di mana upaya untuk mengubah hukum dan kebijakan dan keberhasilan kita mengubah hukum dan kebijakan mengalami backlash. Setelah berhasil mendorong pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), hasil dari Reformasi dekade pertama, lalu muncul backlash dengan disahkannya UU Anti-Pornografi hingga upaya pengesahan UU Ketahanan Keluarga yang masih berlansgung hingga saat ini. Sementara itu, implementasi UU PKDRT masih sangat bermasalah sehingga membuat “keraguan” pada upaya perubahan hukum dan kebijakan. Di sisi lain, kita sudah harus menghadapi produk-produk hukum yang justru bertentangan dengan agenda gerakan dan agenda yang sedang kita perjuangkan. Di sinilah pentingnya analisis dan cara pandang tentang tentang perubahan, tentang reformasi itu sendiri. Perubahan apakah yang sedang terjadi?

Dari segi narasi dominan, di masa Orde Baru, saya mencatat beberapa, yaitu relasi gender, kritik terhadap pembangunan, invisibility perempuan, dan the personal is political. Di masa Reformasi dekade pertama, narasi dominan yang berkembang adalah representasi politik perempuan, meskipun kita mulai melihat resikonya karena institusi partai politik, parlemen, dan electro democracy sebenarnya institusi-institusi maskulin yang sangat patriarkis. Pada Reformasi dekade pertama ini, hak asasi manusia perempuan (HAM perempuan) juga merupakan narasi dominan; kita berusaha mereformasi HAM yang sangat maskulin dan kemudian mengintegrasikan perspektif gender dan feminis di institusi dan instrumen HAM. Pada Reformasi dekade pertama ini, analisa terhadap kekerasan juga sangat sentral; kita semua fokus pada soal kekerasan, menuntut pengakuan kasus-kasus kekerasan dan pertanggungjawaban hukum lewat litigasi maupun pemulihan. Yang menjadi pertanyaan, sejauhmana narasi yang violence-centric tersebut sekarang masih menjadi sesuatu yang produktif?

Pada dekade kedua Reformasi, yang menarik, feminisme mencul sebagai salah satu narasi dominan, hanya kehadirannya lebih karena suara-suara kontra; ada gerakan anti-feminisme. Pro dan kontra feminisme muncul tidak lepas dari kehadiran generasi muda dalam gerakan feminisme atau para feminis muda serta dipengaruhi dinamika sosial-politik di luar Indonesia. Narasi lain dalam gerakan di era ini adalah soal keberagaman, salah satunya yang sangat penting adalah keberagaman dalam konteks seksualitas. Bagaimana keragaman seksual masuk dalam narasi publik? Banyak kawan gerakan memilih cara lewat bahasa keberagaman sebagai upaya negosiasi atas eskalasi politik identitas yang menguat pada Reformasi dekade kedua ini.

Poin refleksi keempat adalah terkait fokus perlawanan kita. Di masa Orde baru, fokus perlawanan gerakan sangat jelas dan tunggal, yaitu perlawanan terhadap negara. Julia Suryakusuma dan Myra Diarsi sudah memberi gambaran jelas secara sederhana tentang keberadaan negara sebagai fokus perlawanan. Di Reformasi dekade pertama, kita mulai menyadari munculnya non state actors yang menjadi tantangan gerakan, yang menuntut kita untuk mempunyai pemahaman dan strategi tentang aktor-aktor non negara yang berpengaruh besar terhadap peluang dan keberhasilan perjuangan gerakan. Di masa ini, kita mendapati beberapa isu penting yaitu terkait politik identitas, gerakan-gerakan yang menuntut formalisasi Islam termasuk pembentukan negara Islam, yang menyadarkan kita tentang keberadaan aktor-aktor non negara. Kita dituntut untuk mempunyai suatu strategi berhadapan dengan aktor non negara. Pada saat itu, kita mulai dihadapkan dengan wacana tentang kebangsaan Indonesia. Di masa Indonesia Orde Baru, gerakan kita fokus pada negara, memberi perhatian pada kekerasan negara, militerisme, dan lain sebagainya; Pada dekade pertama Reformasi, kita dituntut untuk memikirkan, mendefinsikan dan memaknai kembali Indonesia; isu kebangsaan menjadi sangat penting yang diikuti isu tentang Islam sebagai satu kosmologi, termasuk terkait wacana hak- hak perempuan dalam konteks keagamaan. Dalam konteks Kristen dan Katolik, Sylavana Apituley sudah menyampaikan beberapa informasi sangat penting dalam presentasinya di forum LETSS Talk ini.

Di dekade kedua dari Reformasi, yang terjadi adalah gerakan-gerakan yang dibangun di dalam konteks keagamaan dan menjadikan otoritas keagamaan sebagai fokus perlawanannya — ini merupakan sebuah gerakan yang cukup sistematis dan sangat politik. Salah satu pijakan yang menandakan gerakan yang berhadapan dengan otoritas keagamaan adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang merupakan hasil dari gerakan-gerakan yang sudah mulai muncul sejak awal Reformasi dengan kehadiran Rahima, Fahmina, dan Alimat yang terbangun bersama Komnas Perempuan. Satu fokus perlawanan dan kontestasi lain adalah perlawanan terhadap otoritas budaya yang lebih banyak terjadi di tingkat lokal. Mungkin di level nasional, narasi perlawanan terhadap otoritas budaya tidak terlalu terdengar dengan baik, tapi itu sebenarnya terjadi. PR kita adalah memahami secara lebih baik upaya-upaya men-challenge power dalam hirarki budaya dalam komunitas adat.

Poin kelima dari refleksi saya adalah soal infrastruktur gerakan kita dan relasi gerakan kita dengan gerakan sosial lainnya. Pada saat Orde Baru, infrastruktur kelembagaan kita memang LSM, yang sudah banyak diceritakan dalam presentasi tadi, bukan karena pilihan tapi hanya itu yang memungkinkan dalam konteks Orde Baru. Pada masa itu, gerakan perempuan dan gerakan feminis melakukan semacam penggugatan terhadap gerakan pro demokrasi yang sangat maskulin dan tidak memberikan tempat pada dan bersikap diskriminatif terhadap perempuan dan isu-isu perempuan. Mungkin salah satu contohnya, seperti yang disampaikan ceritanya oleh Nursyahbani Katjasungkana dan Ratna Saptari, tentang Fauzi Abdullah yang mengatakan pada aktivis perempuan untuk membuat kelompok diskusinya sendiri; ada semacam unsur separatisme dalam gerakan sosial.

Pada masa Reformasi dekade yang pertama, 1998-2008, yang terjadi adalah peragaman, diversifikasi bentuk-bentuk kelembagaan kita dan kita melakukan eksperimentasi yang luar biasa melalui Ormas, membuat lembaga layanan, hingga Komnas Perempuan, dan sebagainya. Periode ini adalah masa eksperimentasi yang dibarengi dengan upaya menciptakan prasarana untuk konsolidasi – yang keberhasilannya, salah satunya, ditandai dengan pengesahan UU PKDRT sebagai produk hukum yang didorong oleh gerakan-gerakan sosial. Meskipun tidak 100% sempurna, UU PKDRT merupakan hasil yang paling dekat dengan agenda yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan, di mana hal ini juga menjadi pertanda bahwa konsolidasi dalam gerakan kita masih mempunyai mekanisme. Pada dekade pertama Reformasi, saya juga mencatat tentang elemen-elemen gerakan feminis yang berjalan dengan sunyi yang sesungguhnya mereka menunjukkan tantangan dari dalam kepada gerakan feminis itu sendiri, yaitu, gerakan feminis di lingkungan buruh, termasuk pekerja rumah tangga, perempuan adat, perempuan perdesaan, dan lain-lain. Semua gerakan ini sebenarnya mengajukan tantangan internal di dalam gerakan feminis yang menyisakan PR untuk kita semua. Arimbi Heroepoetri sangat jelas menjelaskan konteks gerakan perempuan adat yang menggugat gerakan feminisme yang tidak menyentuh persolan perempuan dalam komunitas adat ini.

Pada dekade kedua Reformasi yang baru berakhir ini, keberagaman gerakan beresiko menghadirkan fragmentasi, membuat kita “disibukkan” oleh persoalan-persoalan internal. Yang dikhawatirkan, ketika fragmentasi ini muncul dari atau dalam cara berpikir, mempengaruhi cara berpikir dan cara menganalisa masalah. Dalam situasi tersebut, kita perlu memikirkan bersama upaya-upaya membangun ekosistem, bukan untuk menjadikan kita semua satu atau seragam, tetapi membangun sebuah ekosistem gerakan yang lebih solid. Meskipun terjadi fragmentasi, gerakan feminis masih mempunyai nyawa karena ia terus melahirkan; birthing process terus berjalan, yang di antaranya dipengaruhi oleh berkembangnya soal ruang virtual yang sangat penting khususnya bagi gerakan LBT.

Poin keenam yang menjadi refleksi saya terhadap gerakan feminisme adalah soal posisi gerakan feminis dalam gerakan perlawanan yang diperjuangkannya. Di masa Orde Baru, kita melihat gerakan feminis berada dalam posisi subversive. Selama 10 tahun, pengalaman yang diceritakan Ratna Saptari, gerakan feminis melakukan gerakan subversive, gerakan bawah tanah. Di Reformasi dekade pertama, 1998-2008, perlawanan kita lebih bersifat offensive dengan penuh keyakinan dalam suatu gerakan yang solid karena berbagai teroboson dalam aspek kebijakan dan perundangan-undangan. Di Reformasi dekade kedua, 2009-2019, menurut saya, kita mulai berubah dalam posisi defensive. Kita melihat terjadi perubahan posisi dari subversiveoffensive, lalu menjadi defensive. Gerakan anti feminis yang disebut di atas merupakan salah satu perwujudan dari resistensi dan serangan yang terus menguat terhadap gerakan feminisme.  Dinamika ini juga terjadi dengan amat sangat kuat di tengah negara yang oligarkis dan otoritarian. Kondisi yang menuntut gerakan feminisme dalam posisi defensive ini memang sangat mengkhawatirkan; kita harus menganalisa dan memahami berbagai persoalan di dalamnya secara lebih komprehensif. Poin utama terkait dari semua posisi perlawanan ini adalah bahwa progress tidaklah linear. Kemajuan tidak selalu dalam proses dari kecil menjadi medium, dan lalu menjadi besar atau dari lemah menjadi kuat dan menjadi makin kuat. Sangat mungkin terjadi situasi maju-mundur atau bolak-balik bolak-balik yang tidak linear. Forum merefleksikan gerakan feminisme seperti yang digagas LETSS Talk ini merupakan upaya sangat penting, bisa menjadi momentum sangat menentukan untuk memikirkan lagi arah dan agenda gerakan.

Poin refleksi terakhir adalah terkait geopolik dunia dan gerakan feminis global. Di awal forum diskusi ini, Ita Fatia Nadia sudah menjelaskan betapa sebenarnya sejak tahun 20-an, kita sesungguhnya tidak pernah lepas dari gerakan dunia; kita tidak pernah berdiri sendiri, dan karenanya, kita berharap untuk bisa ikut membentuk gerakan global ini. Di masa Orde Baru, keterlibatan kita dalam gerakan global ditandai dengan partisipasi dalam Konferensi Beijing dan Konferensi Kairo; keduanya menjadi sarana bagaimana kita menjadi bagian dari gerakan internasional. Pada saat itu, masih sangat mungkin mengadakan global meeting berskala besar dan mahal. Pada saat Reformasi dekade pertama, menurut saya, dalam konteks global sedang terjadi zaman emas berkaitan dengan human rights, demokrasi, dan gender equality. Saat ini, zaman keemasan itu sudah berakhir, meski kita mendapatkan banyak keuntungan dari masa emas itu. Kita terbantu dengan pembuatan berbagai framework bagi isu-isu yang menjadi fokus gerakan. Komunitas internasional melalui United Nations menciptakan berbagai instrumen multilateral termasuk instrumen HAM seperti ICPD dan sebagainya, yang bisa digunakan saat kita mengalami hambatan di tingkat nasional. Di tingkat internasional, kita memiliki forum untuk menyuarakan agenda.

Satu keuntungan dengan konsolidasi gerakan feminisme internasional adalah terkait pendanaan. Setelah Konferensi Beijing tahun 1995, dunia internasional membuat semacam konsensus untuk melakukan investasi yang cukup besar dalam gender equality yang memungkinkan kita melakukan berbagai eskperimentasi dalam gerakan feminis di Indonesia, membangun berbagai macam bentuk organisasi dengan isu-isu yang beragam. Situasi ini tidak terlepas dari konsolidasi dan konsensus di tingkat global untuk mendukung secara finansial gerakan-gerakan feminsime di berbagai pelosok dunia.

Pada hari ini, Reformasi dekade kedua (2009-2019), tatanan politik-ekonomi dunia dalam keadaan krisis. Negara-negara dunia menghadapi otoritarianisme yang semakin menguat, baik di Eropa Timur, Asia Tenggara, Amerika Latin, bahkan Amerika Serikat. Perkembangan politik ini berimplikasi pada penggerogotan konsensus dan instrumen institusional di tingkat internasional termasuk terkait isu climate change yang menjadi sumber perdebatan baru di tingkat global. Dalam konteks ini, resistensi terhadap sistem dan tatanan global, terhadap insitutusi UN dan sistem HAM bukan terjadi secara kebetulan tapi dibangun berdasarkan kekuatan sistematis oleh kekuatan-kekuatan otoritarian yang saat ini juga mempunyai sumber ekonomi yang sangat besar. Sementara, negara-negara Eropa dan negara-nagara yang selama ini menjadi pendukung dan investor bagi proses demokratisasi di dunia sedang mengalami krisis internal. Kita mengalami kemacetan finansial untuk mendanai gerakan. Kita dalam kondisi di mana kita tidak mempunyai penopang di tingkat internasional; penopang, baik itu penopang politik maupun penopang finansial, yang membuat situasi kita semakin rentan.

Terkait ketersambungan dan kontradiksi, keterputusan dan titik titik senjang, saya melihat beberapa poin. Ketersambungan antar era bisa dilihat pada aspek pengorganisasian. Gerakan feminis dengan segala keberagamannya masih bisa melakukan pengorganisasian secara berkesinambungan, meskipun pengorganisasian membutuhkan biayanya yang besar. Kita tidak lagi mempunyai privilege seperti pada era-era sebelum ini: bahwa kita dapat dana dari luar. Ini merupakan sebuah persoalan yang menuntut kita untuk memikirkan instrumen digital untuk diterapkan dalam pengorganisasian. Ketersambungan lain bisa ditemukan dalam aspek negara, terkait sikap negara yang instrumentalis terhadap hak-hak perempuan yang konsisten hingga saat ini dan kita belum bisa mengubah itu. Satu lagi soal ketersambungan, seperti disampaikan Nursyahbani Katjasungkana di forum ini, cap Gerwani masih diterapkan sebagai sarana pembungkaman terhadap aktivis perempuan, sesuatu yang masih terjadi sampai sekarang, terutama di tingkat lokal, di tingkat desa, dan di tingkat komunitas.

Dalam hal kontradiksi, menurut saya, setiap era mempunyai kontradiksinya sendiri, internal contradiction-nya sendiri. Misalnya di masa Orde Baru, negara sangat represif tapi juga di sisi lain memastikan kita bisa meratifikasi CEDAW yang sampai sekarang menjadi pegangan kita; kita punya Undang Undang Perkawinan 1974 yang tidak ideal tapi merupakan satu pijakan yang penting di dalam perjalanan kita mengintervensi berbagai persoalan perkawinan. Dede Oetomo dalam presentasinya juga bicara tentang Himpunan Wadam Indonesia yang “dilindungi” negara pada masa Orde Baru.

Di masa Reformasi, yang muncul adalah Undang Undang Pornografi dan Rancangan Undang Undang Ketahanan Keluarga, yang menjadi kontradiksi atau anomali. Kontradiksi lain adalah soal dukungan internasional, saat kita menjadi bagian dari gerakan feminis global. Di satu pihak, dunia internasional memberikan dukungan yang sangat penting, baik politis maupun finansial, tapi di pihak lain, ia menciptakan ketergantungan dalam segi dana. Persoalan ini terus kita hadapi sampai hari ini, yakni bagaimana kita membangun atau merekonstruksi basis material bagi gerakan feminisme kita.

Terkait dengan keterputusan atau diskontinuitas, saya mencatat dalam refleksi ini adalah dalam soal pendekatan yang kasuistik atau case by case versus pendekatan yang sistemik. Menurut saya, ada sebuah gap atau satu disconnection yang perlu diatasi. Ita Fatia Nadia terus menerus bicara tentang kesadaran sejarah, terutama saat sekarang kita sudah punya generasi baru yang sangat penting untuk memahami perjalanan jejak gerakannya sendiri. Satu lagi soal keterputusan adalah pada saat Orde Baru, kita mendengar, betapa pentingnya ruang internal gerakan untuk melakukan analisa bersama, dan itu adalah ruang yang sunyi, diam, tidak keluar, ruang internal, tempat belajar dan membangun pengetahuan. Di masa Reformasi di mana kita sibuk dengan advokasi, ruang ini tidak kita rawat dan mungkin kita lupa caranya, untuk sekedar berdiskusi, membangun analisis, dan tidak langsung membuat statement ataupun untuk membuat kertas posisi tanpa membangun analisa mendalam.

Soal titik-titik senjang atau gap, saya mencatat beberapa hal. Salah satunya pada aspek litigasi strategis; litigasi case by case banyak kita lakukan, bagaimana dengan litigasi strategis? Gap lain tadi adalah, seperti disinggung Sylvana Apituley, berkaitan dengan situasi Papua dan rasisme di sana. Respon terhadap tragedi Mei 1998, kita mulai membuat satu narasi tentang seksisme dan rasisme yang sayangnya proses pembangunan narasi ini tidak berkelanjutan. Sekarang ini, persoalan rasisme sudah sangat sangat urgent untuk diintervensi. Bentuk gap terakhir adalah soal keluarga dan budaya. Maksud saya, gerakan feminis pada satu titik harus meninggalkan institusi keluarga dan budaya karena di situlah lokus dari penundukan dan penindasan perempuan; keluar dari institusi keluarga dan budaya menjadi salah satu upaya pembebasan; kita harus menemukan cara atau strategi untuk membangun gerakan yang fokusnya adalah keluarga dan budaya.

Paling terakhir adalah soal tuntutan zaman. Pada hari ini, kita berada dalam situasi pandemi dan climate change, yang menyadarkan kita bagaimana sistem pangan, sistem produksi, dan seluruh sistem ekonomi kita merupakan sistem yang salah. Kita juga menemukan fenomena menguatnya otoritarianisme dan krisis institusi-institusi politik formal; anggota parlemen yang jontok-jontokan dan saling jegal terjadi di mana mana, bukan hanya di Indonesia. Tatanan internasional antarnegara juga sudah rapuh bahkan krisis. Dalam konteks ini, menurut saya, memenuhi tuntutan zaman, adalah pada level peradaban, bukan lagi di level nation state. Bagaimana kita membayangkan gerakan dalam konteks peradaban?

Di tengah segala yang negatif tadi, kita juga melihat gerakan-gerakan sosial baru. Kita menjumpai gerakan offlineonline, dan anak-anak muda perempuan Myanmar berada dalam barisan depan melawan kekerasan negara. Di Thailand, perempuan muda juga berada pada posisi di depan. Di Polandia, isu aborsi digunakan sebagai isu untuk menentang seluruh bangunan otoritarianisme. Tidak bisa diabaikan juga gerakan Black Lives Matter, dan gerakan baru lainnya. Kita mengahdapi permasalahan yang sangat besar, tapi kita juga melihat benih-benih kebaruan. Dalam konteks ini, menurut saya, momen kita adalah momen transformatif. Jika pada era sebeumnya kita mengalami posisi subversive, offensive, dan defensive, sekarang kita harus berada dalam posisi transformative. Untuk itu, isu ekonomi, menata ulang seluruh sistem ekonomi harus menjadi isu feminis. Kita membutuhkan pemikiran dan upaya untuk menjadikan soal ekonomi dan soal alam sebagai isu feminis.

Satu lagi adalah soal kewilayahan gerakan menyangkut kewilayahan ekohistoris, dalam arti, jika memang kita ingin meletakkan dalam level peradaban, bagian dari sejarah peradaban, maka kita sudah tidak bisa lagi mengikuti pembatasan-pembatasan administratif kenegaraan, termasuk, misalnya, Indonesia Timur. Gerakan feminis Indonesia Timur harusnya mempunyai aliansi kuat dengan gerakan perempuan di Pasifik karena di sana terdapat banyak aspek kesejarahan dan dinamika yang sama. Seperti disampaikan Ita Fatia Nadia, kita sudah lama menjadi bagian dari gerakan-gerakan Asia melalui pertemuan Sri Lanka, dan tempat lain. Kita perlu lebih sistematis untuk bisa membayangkan ulang (reimagining) gerakan ini dengan menegaskan posisi sebagai gerakan transformatif. Demikian beberapa catatan reflektif saya tentang gerakan feminisme kita.

 

Sumber: https://letss-talk.com/gerakan-feminisme-era-orde-baru-dan-reformasi-sebuah-catatan-reflektif/

Perempuan dalam Kontestasi Narasi Keagamaan

Oleh NINUK M PAMBUDY

Narasi bersifat konservatif mendominasi media sosial di Indonesia. Peran perempuan paling banyak dibicarakan dan cenderung menyubordinasi.

Pandemi Covid-19 memberi dampak lebih besar terhadap perempuan dibandingkan terhadap laki-laki. Dari sisi ekonomi, lebih banyak perempuan berada di bidang pekerjaan yang langsung terpengaruh pandemi, seperti jasa pariwisata, rumah makan,  serta jasa perdagangan eceran mikro dan kecil.

Keharusan tinggal di rumah bagi semua orang membuat beban perempuan bertambah. Perempuan harus melakukan pekerjaan rumah tangga, mengurus anggota keluarga, sekaligus mengerjakan pekerjaan bernilai ekonomi, seperti menyelesaikan tugas kantor, berdagang, atau kegiatan wirausaha.

 

Laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women) menunjukkan beban ganda perempuan meningkat, begitu pula kekerasan dalam rumah tangga. Laporan Komnas Perempuan dan LBH Apik memperlihatkan kecenderungan yang sama di Indonesia. Pembatasan sosial menyebabkan layanan bagi perempuan korban kekerasan terbatas dan kesulitan mengakses layanan tersebut.

Di tengah tekanan pandemi, media sosial menjadi salah satu sumber informasi utama. Karena itu, penting mengetahui pembicaraan yang beredar di media sosial.

Media sosial yang membicarakan pandangan keagamaan di Indonesia didominasi pandangan bersifat konservatif.

Hasil penelitian Media and Religious Trend, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang dipublikasi bulan lalu memperlihatkan, media sosial yang membicarakan pandangan keagamaan di Indonesia didominasi pandangan bersifat konservatif.

Penelitian tidak mengambil data saat pandemi Covid-19, tetapi mahadata (bigdata) dari tahun 2009-2019. Menurut peneliti utama, Iim Halimatusa’diyah dan Taufik Edy Sutanto, data kuantitatif berasal dari Twitter dan Youtube. Data kualitatif berdasarkan wawancara dengan 13 narasumber. Meski demikian, kecenderungan yang terjadi masih bisa dirasakan hingga tahun 2020.

Perempuan dalam Kontestasi Narasi Keagamaan

Temuan utama penelitian ini adalah percakapan paham keagamaan didominasi tuturan bersifat konservatif. Dengung percakapan konservatisme menguasai perbincangan dengan 67,2 persen, moderat 22,2 persen, liberal 6,1 persen, dan yang Islamis 4,5 persen.

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan paham keagamaan konservatif adalah menolak modernisme, liberalisme, atau progresivitas dalam menjelaskan ajaran agama; mematuhi ajaran atau doktrin dan tatanan sosial seperti pada masa awal turunnya ajaran  tanpa perlu ada konteks dengan masa kini; menolak pendekatan hermenetik modern terhadap kitab suci; menyanggah tradisi lokal; dan menolak ide kesetaraan jender.

Subordinasi

Di dalam narasi konservatif tersebut, yang banyak muncul adalah isu mengenai perempuan, hubungan negara, warga negara dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, serta terkait amalan baik dan buruk.

Dalam isu tematik mengenai perempuan dan jender, paham konservatif digunakan untuk membangun pandangan yang menyubordinasi perempuan, membatasi gerak perempuan pada ranah domestik.

Perempuan buruh  dari berbagai kelompok menggelar aksi memperingati Hari Perempuan Internasional di Taman Aspirasi, seberang Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (8/3/2020). Dalam aksinya mereka menyuarakan sejumlah hal terkait penyetaraan hak perempuan.

Perempuan buruh  dari berbagai kelompok menggelar aksi memperingati Hari Perempuan Internasional di Taman Aspirasi, seberang Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (8/3/2020). Dalam aksinya mereka menyuarakan sejumlah hal terkait penyetaraan hak perempuan.

 

Temuan penelitian UIN Jakarta tersebut sejalan dengan temuan Rumah Kitab, sebuah lembaga kajian. Kajian kualitatif konten bernada keagamaan dengan menggunakan pencarian tanda pagar #perempuanbekerja selama November 2020 menemukan larangan perempuan bekerja di luar rumah. Alasannya, fitrah perempuan adalah berada di rumah. Perempuan dapat bekerja di luar rumah dengan banyak syarat, di antaranya mengatur pakaian dan dandanan.

Direktur Eksekutif Rumah KitaB Lies Marcoes menyebut, tidak satu pun narasi itu menyebutkan dasar hukum agama yang sahih. Percakapan itu seolah-olah melindungi perempuan dengan mengembalikan perempuan ke dalam rumah, tetapi tidak satu pun membahas isu kesehatan reproduksi atau kekerasan yang dialami perempuan di dalam rumah,  dan beban ganda yang semakin berat akibat pandemi Covid-19.

Kontestasi wacana

Apabila mengikuti percakapan di media sosial, termasuk di dalam Whatsapp sebagai media komunikasi digital personal maupun di tingkat komunitas yang sangat populer, tampak kontestasi dalam merebut wacana peran jender dan perempuan.

Perempuan dalam Kontestasi Narasi Keagamaan

Webinar bertema jender, perempuan, dan feminisme diisi wacana yang mendukung kesetaraan dan keadilan jender maupun wacana konservatif dan bahkan bersifat fundamentalis yang menyubordinasi dan mendomestikasi perempuan.

Kontestasi terbuka secara digital ini menarik karena memberi ruang bagi berbagai aspirasi untuk muncul ke permukaan dan bertemu dalam argumentasi yang mewakili pandangan berbagai kelompok di masyarakat. Wacana tandingan juga dapat dimunculkan dan dibicarakan terbuka, memberi masyarakat pilihan pandangan yang paling mewakili kepentingannya.

Hal menarik lain adalah munculnya narasi tandingan dari perempuan sendiri yang menolak pandangan konservatif, terutama domestikasi perempuan. Analisis media maupun penelitian kualitatif lapangan Rumah Kitab akhir tahun lalu hingga pertengahan 2020 menemukan penolakan perempuan terhadap narasi perempuan tidak boleh beraktivitas di luar rumah untuk bekerja atau berkegiatan sosial.

Narasi yang mendomestikasi perempuan mengabaikan fakta perempuan memiliki sumbangan besar pada kelangsungan keluarga melalui peran ekonomi bernilai pasar. Data Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, sebuah organisasi nonpemerintah, jumlah rumah tangga dikepalai perempuan sebesar 14,7-25 persen dari total rumah tangga. Perempuan kepala keluarga adalah pencari nafkah, pengelola rumah tangga, menjaga keberlangsungan kehidupan keluarga, dan pengambil keputusan dalam keluarga. Sementara data Badan Pusat Statistik ada 15,46 persen rumah tangga dikepalai perempuan pada 2019.

Perempuan yang bekerja dan berpenghasilan memiliki kemampuan agensi lebih besar.

Ekonom Amartya Sen di dalam bukunya, Development as Freedom (1999), melihat perempuan yang bekerja dan berpenghasilan memiliki kemampuan agensi lebih besar. Suaranya lebih dihargai di dalam rumah tangga dan komunitasnya karena sumbangan ekonominya. Apabila sesuatu tak diinginkan terjadi di rumah tangga, dia memiliki peluang sintas lebih besar. Bergaul di luar rumah juga meningkatkan kapasitas pengetahuannya yang berguna bagi anggota rumah tangga.

Banyak penelitian Bank Dunia menunjukkan, perempuan yang bekerja dan memiliki penghasilan sendiri menggunakan pendapatannya untuk makanan keluarga dan kesehatan yang lebih baik serta membiayai sekolah anak-anaknya, atau memenuhi kebutuhan anggota keluarga.

Isu perempuan dan jender ke depan masih akan terus menjadi kontestasi karena tubuh perempuan dianggap sebagai simbol penguasaan dan dominasi suatu kelompok dan narasi atas yang lain. Membangun agensi perempuan menjadi penting untuk dapat menjawab pemenuhan kebutuhan strategis dan praktis perempuan.

Sumber: https://bebas.kompas.id/baca/dikbud/2020/12/09/perempuan-dalam-kontestasi-narasi-keagamaan/

rumah kitab

Merebut Tafsir: Karena Teks Bukan Tuhan ( Membaca Rachel Rinaldo: Mobilizing Piety)

Oleh Lies Marcoes

Rabu petang, 27 Oktober 2020, sejumlah aktivis perempuan dari berbagai LSM dan Ormas keagamaan serta peneliti bertemu dengan seru. Kami membahas konsep dan praktik agensi organisasi perempuan berbasis Islam dalam kiprah mereka di ruang publik. Saya dan Prof. Nina Nurmila – purna bakti komisioner Komnas Perempuan dan dosen pada UIN Bandung memantik diskusi. Percakapan ini dipicu oleh dua hal: penelitian Rumah KitaB tentang kecenderungan menguat dan melebarnya aktivitas perempuan dalam jaringan Islam fundamentalis; kedua, bagaimana membedakan agensi feminis muslim dengan fundamentalis. Faktanya keduanya sama-sama “bergerak”menunjukkan keagenan mereka sebagai perempuan.

Melalui karya disertasi Rachel Rinaldo (2013), Mobilizing Piety: Islam and Feminism in Indonesia, New York: Oxford University Press, dapat ditelusuri debat, perjumpaan, perpisahan/tolak belakang antara teori feminis liberal dengan feminis Muslim dalam konsep agensi pun tentang agensi perempuan fundamentalis/konservatif tekstualis. Lumayan seru diskusinya! Melalui karya Rinaldo kita dapat membedah kekayaan khasanah pemikiran feminis karya para sarjana yang melakukan kajian tentang kesalehan (piety) dan agensi (agency).

Boleh jadi Rinaldo tak sepopuler Saba Mahmood Piety of Politics di Mesir. Namun Rachel Rinaldo adalah sarjana Barat sangat penting dalam kajiannya tentang Islam dan Feminisme di Indonesia. Sebagai intelektual, peran Rinaldo sangat signifikan dalam menyuarakan bahwa menjadi feminis sekaligus muslim(ah) bukanlah hal ganjil. Sebaliknya Islam disumbang oleh pengayaan dan terobosan feminisme atas kemandekan konsep tentang peran perempuan yang terkunci di abad 13. Rinaldo adalah intelektual yang sangat produktif. Sebagian besar karya akademisnya membahas isu feminisme dan Islam di Indonesia.

Titik berangkat Rinaldo adalah kritik atas pandangan feminis liberal tentang agensi. Padangannya merupakan kelanjutan dari kajian Saba Mahmood tentang kesalehan yang tampaknya meninggalkan celah kritik terutama tentang batas otonomi dan dominasi. Pertanyaan kritisnya kira-kira dimanakah letak batas kesalehan sebagai agensi dan sebagai bentuk kepasrahan pada dominasi patriarkhi.

Dalam diskursus feminis liberal agensi merupakan tindakan resistensi terhadap struktur atau kultur dominan, termasuk, tentu saja pandangan agama. Itu sama sekali tak keliru jika melihat watak dominasi agama-agama langit atas perempuan. Sementara bagi Saba Mahmood agensi adalah ketundukan pada norma kultur atau nilai religiusitas demi kesalehan pribadi. Rachel Rinaldo, di lain pihak menawarkan konsep multiple agency, suatu varian agensi yang merupakan kombinasi antara kesalehan aktif dan interpretasi kritis atas sumber-sumber doktrinal.(Muhammad Ansor, Agensi Perempuan Kristen di Ruang Publik,2019).

Bagi kalangan feminis liberal, agensi artinya penguasaan seseorang atas otonomi tubuh mereka sendiri. Karenanya, bagi mereka alangkah anehnya suatu agensi muncul dari kesalehan. Sebab bukankah kesalehan itu tidak netral gender dan tidak netral relasi kuasa. Bagaimana otonomi tubuh dapat dikuasainya jika seluruh bangunan kesalehan demi ketundukan kepada norma patriarki. Dalam kerangka itu muncul istilah “paradoks relasi gender”. Sebab, meskipun religiusitas dalam bentuk ketundukan kepada ritual agama dan tradisi konservatif itu sebuah pilihan pribadi, namun ketundukan tak lebih dari wujud pelestarian subordinasi, pembakuan stereotype peranan sosial, dan menerima segregasi bertingkat antara lelaki dan perempuan di ruang publik pun domestik. Dalam ketundukan itu, di mananpun ruangnya, lelaki adalah sang patron. Agensi dalam religiusitas, jikapun mau diwujudkan, harusnya mensubversi norma sosial dan menolak dominasi pandangan keagamaan yang jelas-jelas mensubordinasikan perempuan.

Namun, sejumlah literatur baru memperlihatkan ragam agensi berbasis kesalehan dalam bentuk praktik sosial. Ambil contoh, praktik santunan yatim piatu dan lansia, pengumpulan dan pembagian zakat, sedekah, dan amaliah sejenisnya. Apalagi jika ada bencana. Perempuan seringkali yang paling awas dalam memperhatikan kebutuhan perempuan dan anak-anak meskpun terkadang sangat bias dalam memposisikan perempuan.

Penelitian Saba Mahmood tentang agensi perempuan Islam dalam kelompok “majelis taklim” di Kairo, Mesir menunjukkan bahwa ketundukkan pada tradisi dan ajaran kesalehan yang disangkakan telah menciptakan subordinasi itu bukanlah hal yang penting bagi mereka. Sebab tujuannya adalah mewujudkan cita-cita berupa kesalehan, hasrat untuk berbuat baik, membentuk keikhlasan, membangun kekuatan untuk mendisiplinkan diri tanpa takut pada pengawasan orang lain (sebagaimana diteorikan Michel Foucault tentang panopticon). Ketundukan pada praktik keagamaan dan tradisi melalui ritual dan pendisiplinan itu bukanlah bentuk ketundukan kepada patriarki melainkan pendisipinan demi meraih kesalehan dengan tujuan yang mereka tentukan sendiri. Jadi dalam konteks itu, bagi Saba Mahmood, kepatuhan pada norma dan tradisi adalah sebentuk agensi!

Melalui etnografinya, Mahmood menguraikan secara detail situasi moral kultural agensi yang di(salah) pahami kalangan feminis liberal sebagai “ selalu berada dalam pengawasan dan tekanan tradisi”. Bagi Mahmood, agensi adalah merawat ketaatan kesalehan ketundukan kepada otoritas ajaran agama sebagai bentuk pelatihan moral positif untuk menempa kekuatan diri.
Meskipun gagasan Mahmood cukup solid, namun dalam beberapa hal menciptakan celah kritik. Dimanakah titik batas kesalehan berbasis agama itu tidak mengekspolitasi perempuan padahal dalam struktur “kelasnya” mereka adalah subordinat atas lelaki atau masyarakat lelaki (patriakh).

Dalam hal ini Rinaldo tampil dengan gagasannya tentang agensi ketundukan kritis sebagai varian dari konsep multiple agency. Melalui penelitiannya tentang empat organisasi perempuan dan LSM perempuan di Indonesia (tiga berbasis agama- Rahima, Fatayat, perempuan PKS, dan satu feminis sekuler, Solidaritas Perempuan), ia melihat bahwa perempuan Muslim baik dalam organisasi berbendera Islam maupun sekuler berusaha mensintesakan antara perlawanan dan ketundukan. Melalui disertasinya ia mendiskusikan dinamika diskursus agensi religius pada perempuan yang pada kenyataanya tidak tunggal.

Rinaldo melihat agama sebagai skema kultural yang heterogen. Skema itu membentuk varian agensi dalam dinamika masyarakat yang demokratis. Ia kemudian membagi agensi ke dalam tiga varian yaitu agensi feminis inklusif (seperti SP), agensi kesalehan aktif (seperti perempuan PKS), dan agensi kesalehan kritis (Fatayat dan Rahima).

AGENSI KESALEHAN KRITIS sebagaimana dikemukakan Rachel Rinaldo adalah sebuah kapasitas yang memampukan perempuan melihat teks secara kritis dan bersifat publik! Karenanya agensi kesalehan kritis bergerak dengan terlebih dahulu memeriksa teks dengan kacamata keadilan gender agar selaras dengan tujuan Islam sebagai agama keadilan. Dan cara ini ini membedakan secara tegas dengan agensi kesalehan AKTIF seperti perempuan PKS yang melihat teks secara literalis, dan dalam aktivitasnya tunduk kepada patron yang konservatif dalam memposisikan perempuan.

Ciri paling penting dan menjadi pembeda paling nyata adalah cara menyikapi teks. Dengan kemampuan nalar dan metodologi dalam cara membaca teks, pada kelompok kesalehan kritis terdapat kesanggupan untuk kritis terhadap teks doktrinal. Agensi kesalehan kritis, menempatkan upaya individu untuk hidup dalam norma religius sebagai bentuk agensi namun ketundukkan itu dicerna dan ditimbang oleh pengetahuan dan pengalaman mereka sebagai perempuan yang kritis dalam melihat teks. Kapasitas itu memampukan mereka untuk menentukan di titik mana ajaran itu menindas dan di titik mana dapat membebaskan dan karenanya harus diperjuangkan!

Rinaldo menerang-jelaskan di mana batas antara kesadaran semu dan kesadaran kritis di antara perempuan-perempuan itu: yaitu ketika seorang perempuan berdaya untuk melakukan aksinya bukan dengan pasrah bongkokan kepada teks melainkan dengan melakukan penafsirannya secara kritis atas teks. Secara lebih konkrit misalnya ditunjukkan dalam cara menerima dan menolak poligami, atau kepemimpinan perempuan. Sebab bagi para pelaku kesalehan kritis, teks (agama) bukanlah Tuhan melainkan petunjuk (hudan) bagi orang yang taqwa untuk menuju Tuhan #Lies Marcoes 28 Oktober 2020