Asghar Ali Engineer: Insinyur Sipil Menjelma Intelektual Muslim Progresif
Asghar Ali Engineer (1939-2013) lahir di Salumbar, Rajasthan, India, dari keluarga Dawoodi Bohra, sebuah komunitas Syiah Ismailiyah. Sebagai anak dari seorang ulama lokal, ia sejak kecil sudah akrab dengan tradisi keagamaan. Namun, jalur akademisnya justru berbeda: ia menempuh pendidikan teknik sipil di Universitas Vikram, Ujjain, dan sempat berkarier sebagai insinyur di Bombay Municipal Corporation.[1]
Di titik inilah keunikan Engineer muncul. Ia bukan produk madrasah atau fakultas syariah, melainkan seorang insinyur sipil yang kemudian banting setir menjadi pemikir Muslim progresif. Keputusannya meninggalkan dunia teknik bukan karena gagal, tetapi karena gelisah. Ia melihat langsung ketidakadilan, konflik antaragama, diskriminasi perempuan, dan kemiskinan di India. Maka, baginya membangun jalan dan jembatan saja tidak cukup, ada bangunan sosial yang lebih rapuh, yakni struktur keadilan.
Disiplin Teknik, Logika Sosial
Sebagai seorang insinyur, Engineer terbiasa berpikir secara sistematis, analitis, dan berorientasi pada pemecahan masalah nyata. Dalam dunia teknik sipil, sebuah rancangan tidak cukup hanya indah di atas kertas, tetapi juga harus terbukti kokoh saat diuji di lapangan. Pola pikir inilah yang kemudian ia bawa ke dalam wacana keagamaan.
Bagi Engineer, teks agama tidak bisa diperlakukan sebagai kumpulan dogma yang beku, melainkan sebagai “peta” yang senantiasa terbuka untuk diuji ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Sebagaimana seorang insinyur menakar kekuatan fondasi sebelum membangun jembatan, ia pun menimbang ayat, tafsir, atau tradisi: apakah benar-benar mampu menopang nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan.
Dalam buku “Islam dan Teologi Pembebasan”, Engineer menulis: “Rasionalitas adalah kebutuhan mutlak untuk menafsirkan agama agar tetap relevan dengan zaman, bukan untuk merusaknya, melainkan untuk membebaskannya dari belenggu mitos yang membeku”.[2]
Sikap kritis ini mencerminkan nalar teknokrat yang terbiasa mengukur dan menguji kekuatan struktur sebelum berdiri kokoh. Dari pola pikir seperti itu lahirlah keberanian Engineer untuk melihat agama bukan sebagai benda mati, melainkan konstruksi hidup yang terus dirawat, diperkuat, serta disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Teologi Pembebasan: Membaca Agama untuk Kehidupan
Gagasan utama yang membuat Engineer dikenal luas adalah Islamic Liberation Theology atau teologi pembebasan Islam. Istilah ini memang memiliki persinggungan dengan teologi pembebasan Amerika Latin (Gustavo Gutierrez dan Leonardo Boff), terutama dalam hal keberpihakan pada kaum miskin, kritik terhadap struktur ketidakadilan, dan pembacaan agama yang berorientasi praksis.
Namun, Engineer tidak sekadar menyalin gagasan tersebut. Ia mengembangkan corak yang khas Islami, dengan bertolak dari Al-Qur’an, sejarah Nabi saw., serta tradisi intelektual Islam.
Bagi Engineer, inti Islam adalah pembebasan. Tauhid bukan hanya konsep teologis, tetapi fondasi sosial. “Tauhid tidak hanya menolak politeisme, tetapi juga menolak segala bentuk eksploitasi manusia atas manusia. Tauhid berarti pembebasan dari segala bentuk dominasi”.[3]
Dari konsep itu lahir sejumlah agenda: pertama, keadilan sosial, Islam harus membela kaum miskin dan tertindas; kedua, kesetaraan gender, tidak ada superioritas laki-laki atas perempuan dalam Al-Qur’an, dan patriarki hanyalah hasil tafsir bias budaya;[4] ketiga, pluralisme, Islam harus hidup berdampingan dengan agama lain dalam dialog dan solidaritas; dan keempat, kritik tradisi, tafsir lama yang membekukan agama perlu direkonstruksi agar tetap segar dan relevan.
Melawan Fundamentalisme dan Dogmatisme
Engineer berulang kali berhadapan dengan kelompok konservatif yang merasa terusik oleh gagasan-gagasannya. Di lingkungan internal komunitas Dawoodi Bohra, ia bahkan dikucilkan karena dengan tegas menentang praktik otoritarianisme keagamaan yang menurutnya telah mengekang kebebasan berpikir dan mematikan dinamika umat.
Sementara itu, dalam lingkup yang lebih luas, ia sering mendapat serangan verbal dan tuduhan ideologis, dicap sebagai pemikir “liberal” atau “barat” yang dianggap merusak kemurnian ajaran Islam. Namun, segala bentuk resistensi itu tidak membuatnya surut. Engineer tetap konsisten pada pandangannya.
Dalam buku “Islam Masa Kini”, ia menulis: “Fundamentalisme pada dasarnya adalah upaya melarikan diri dari kenyataan modernitas. Ia berusaha menciptakan kepastian semu, padahal dunia justru bergerak ke arah kompleksitas”.[5] Kritiknya memang tajam, tetapi tujuannya jelas: mengembalikan agama pada fungsinya sebagai sumber etika dan energi pembebasan, bukan sebagai alat legitimasi politik identitas.
Relevansi di Indonesia
Buku-buku karya Engineer telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi rujukan penting di berbagai kampus Islam, baik dalam kajian teologi, studi gender, maupun wacana pluralisme. Kehadiran pemikirannya memberi ruang baru bagi diskursus akademik di Indonesia yang selama ini kerap terimpit antara tradisi konservatif dan tuntutan modernitas.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, gagasan-gagasannya terasa semakin relevan. Engineer mengingatkan kita bahwa Islam seharusnya tampil sebagai kekuatan yang membebaskan manusia dari belenggu diskriminasi dan ketidakadilan, bukan sebagai instrumen yang mengekang kebebasan berpikir dan berekspresi.
Di tengah meningkatnya arus konservatisme keagamaan, pemikiran Engineer tentang keadilan gender, pluralisme, dan dialog antaragama hadir laksana energi segar yang membuka cakrawala baru. Ia membuktikan bahwa agama tidak harus diposisikan berlawanan dengan demokrasi, feminisme, dan modernitas. Sebaliknya, agama dapat berdialog secara kritis dengan ketiganya, tanpa kehilangan ruh spiritualnya. Dengan demikian, Islam tampil bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai etika hidup yang dinamis, inklusif, dan relevan bagi zaman.
Warisan dan Tantangan
Engineer wafat pada tahun 2013, namun gagasan-gagasannya tetap hidup dan terasa aktual hingga kini. Ia meninggalkan jejak penting yang tidak hanya tercatat dalam literatur akademik, tetapi juga dalam tradisi panjang pergulatan intelektual Islam modern. Dari seorang insinyur sipil ia menjelma menjadi seorang teolog progresif, dan dari seorang teknokrat ia bertransformasi menjadi pejuang pembebasan. Ia membuka jalan bagi pembacaan Islam yang berpihak pada keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan.
Namun, warisannya juga menghadapi tantangan. Pertama, resistensi dari kelompok konservatif yang menolak reinterpretasi. Kedua, risiko “akademisasi” pemikirannya yang berhenti di ruang diskusi tanpa praksis sosial. Dan ketiga, bagaimana gagasan pembebasan bisa membumi di masyarakat yang kompleks seperti Indonesia, di mana agama sering terjebak dalam politik identitas.
Penutup
Asghar Ali Engineer adalah contoh nyata bahwa intelektualitas sejati tidak semata-mata lahir dari gelar akademik atau legitimasi institusi, melainkan dari keberanian menyeberangi batas-batas disiplin dan tradisi. Dari seorang insinyur sipil, ia menjelma menjadi arsitek wacana Islam progresif yang kokoh berdiri di atas fondasi rasionalitas dan keberpihakan pada kaum tertindas.
Dari dunia teknik ia belajar logika, ketelitian, dan konsistensi; dari realitas sosial ia menyerap empati serta kepekaan terhadap penderitaan manusia; dan dari agama ia menemukan sumber keberanian untuk menentang ketidakadilan serta membela nilai-nilai kemanusiaan universal.
Engineer mengingatkan kita bahwa agama tidak boleh hanya dipeluk, tetapi harus diperjuangkan sebagai energi pembebasan. Dalam konteks hari ini, ketika agama kerap dijadikan alat politik dan sumber perpecahan, suara Engineer terasa semakin relevan: Islam harus hadir sebagai kekuatan pembebasan, bukan beban bagi kemanusiaan.
[1] Asghar Ali Engineer, The Qur’an Women, and Modern Society, alih bahasa Akhmad Affandi & Muh. Ihsan, Tafsir Perempuan; Wacana Perjumpaan Al-Qur’an, Perempuan, dan Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2022) hlm. 324.
[2] Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology; Essay on Liberative Elements in Islam, alih bahasa Agung Prihantoro, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021), hlm. 32.
[3] Ibid., hlm. 11-12.
[4] Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, alih bahasa Farid Wajidi & Cici Farkha Asseqaf, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: LSPPA, 2000), hlm. 112.
[5] Asghar Ali Engineer, Islam and Its Relevance to Our Age, alih bahasa Tim Forstudia, Islam Masa Kini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 89.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!