Pembebasan Perempuan dari Stigma Kepemimpinan Patriarkis melalui Drama Korea “Queen Woo”
Rumah KitaB– Budaya patriarkis mengonstruksikan relasi laki-laki dan perempuan dalam hubungan superior-inferior. Di tengah keperkasaan dan kegagahan laki-laki sebagai pemimpin atau penguasa, perempuan hadir sebagai pendamping yang harus dilengkapi dengan kecantikan, kelemahlembutan, serta sikap yang patuh dan taat pada suaminya (Wiyatmi, Sari, & Liliani, 2020). Tidak sedikit pula yang terus mengagungkan dominasi logika pada laki-laki sebagai legitimasi bagi kelayakannya menjadi seorang pemimpin. Pada saat yang sama, dominasi intuisi daripada logika membuat perempuan dianggap sebagai tembok tinggi yang membuat perempuan tidak layak menjadi seorang pemimpin. Laki-laki menyikapi sesuatu melalui logika, sedangkan perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya. Hal ini membuat pembicaraan perempuan banyak yang tidak bermutu (Kuntjara, 2003, pp. 21–22).
Akan tetapi, kacamata maupun stigma patriarkis di atas mulai disadari kekeliruannya. Pandangan tersebut sarat akan diskriminasi terhadap perempuan. Kondisi ini direspons dengan munculnya gerakan feminis. Gerakan feminis hadir untuk membongkar berbagai stigma dan warisan dari patriarkis yang mendiskriminasi perempuan (Amin, 2015, pp. 75–79). Berbagai terobosan dilakukan gerakan feminis untuk menyuarakan kepentingan perempuan, salah satunya melalui budaya populer seperti novel, film, ataupun serial drama. Upaya ini juga diungkapkan dalam serial drama Korea yang berjudul “Queen Woo”.
Serial ini mengisahkan kepemimpinan ratu kerajaan Goguryeo, Woo Hee, ketika suaminya, Raja Go Nam-moo, meninggal. Di tengah desakan dari lima suku yang menginginkan takhta, serta para pangeran (saudara-saudara Go Nam-moo) yang juga menginginkan takhta raja, Ratu Woo dapat bertahan dari berbagai tekanan. Sikap dan keberanian Ratu Woo dalam drama ini menjadi sebuah bentuk perlawanan terhadap stigma bahwa perempuan adalah sosok yang lemah, inferior, dan harus selalu taat pada laki-laki (Se-Kyo, 2024).
Stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut dan inferior dibantah oleh Ratu Woo dengan memperlihatkan dirinya sebagai sosok yang kuat dan berani. Sejak muda, Ratu Woo telah mahir bela diri dan bermain catur. Kemampuan bela dirinya membuat ratu mampu melakukan perlawanan terhadap ancaman yang dialaminya selama berupaya mencari solusi melindungi takhta raja. Beberapa kali Ratu Woo harus melindungi diri dengan menghunuskan pedangnya. Kemampuannya bermain catur juga membentuk dirinya menjadi pengatur strategi yang andal (Se-Kyo, 2024).
Perlawanan Ratu Woo terhadap stigma inferioritas perempuan diperlihatkan dalam penolakannya menikahi Pangeran Go Bal-gi melalui pernikahan levirat. Keluarga ratu dan perdana menteri sempat memberi saran agar ratu menikahi Pangeran Go Bal-gi, karena Go Bal-gi adalah pewaris takhta yang paling potensial setelah Raja Go Nam-moo. Akan tetapi, ratu menolak pernikahan tersebut dan memilih menikahi pangeran Go Yeon Woo. Go Bal-gi dikenal sangat kejam pada rakyatnya, sehingga ratu menolak melakukan pernikahan levirat dengannya (Se-Kyo, 2024).
Keputusan ratu menolak Go Bal-gi makin memperjelas superioritas dan kemampuannya sebagai pemimpin. Ratu mendapat bujukan dan desakan dari pendukungnya untuk mengubah sikap karena tindakannya dapat memicu perang. Selain itu, ratu dan pelayannya harus berhadapan dengan pemburu “Macan Putih” yang dikirim oleh Go Bal-gi. Tekanan dari dua pihak tidak lantas melemahkan pendirian Ratu Woo. Ratu tetap bersikukuh dengan pendiriannya dan tidak gentar menghadapi konsekuensi dari pilihannya. Ratu tidak menyerah meyakinkan keraguan pengikut dan keluarganya, sekaligus menghadapi ancaman Go Bal-gi dengan keberanian (Se-Kyo, 2024).
Selain menunjukkan superioritas dan keberanian dalam diri perempuan, tindakan Ratu Woo juga memperlihatkan sikap visionernya. Ratu menolak jika orang kejam seperti Go Bal-gi menjadi raja, karena tentu akan menyengsarakan rakyat Goguryeo. Ratu berupaya melindungi Goguryeo dari penindasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, Ratu tidak memberi tempat untuk memimpin bagi penindas seperti Go-Bal-gi. Tindakan Ratu Woo mengindikasikan bahwa perempuan juga mampu mengambil kebijakan yang tidak sekadar menyelesaikan kebutuhan hari ini, tetapi juga kebutuhan yang berkelanjutan, jangka panjang, dan memikirkan kesejahteraan orang banyak (Se-Kyo, 2024).
Puncak dari kemampuan Ratu Woo menjadi pemimpin adalah keputusannya menjadi pemimpin perang dalam melawan pemberontakan Go Bal-gi yang menyerang istana Goguryeo. Setelah sampai di istana Goguryeo, Ratu Woo mengambil kepemimpinan dalam kerajaan Goguryeo, dan memimpin semua prajurit istana dan sekutunya untuk berperang menghadapi Go Bal-gi dan sekutunya (Se-Kyo, 2024).
Sepak terjang Ratu Woo dalam drama “Queen Woo” tidak sekadar kisah perjuangan seorang ratu dalam mempertahankan takhta kerajaan Goguryeo. Lebih dari itu, Ratu Woo secara aktif melakukan penyerangan terhadap stigma patriarkis yang mendiskriminasi perempuan dalam takhta kepemimpinan. Ratu Woo menunjukkan semua kriteria pemimpin dalam sikap dan tindakannya. Keberanian, tekad, kebijaksanaan, karakter visioner, bahkan kepiawaiannya mengatur siasat, mengindikasikan bahwa perempuan tidak kalah superior dari laki-laki. Perempuan juga bisa menjadi sosok yang tangguh di atas kursi kepemimpinan. Bahkan, perempuan menjadi sosok yang bijaksana dan visioner layaknya laki-laki. Patriarkis telah keliru mendefinisikan perempuan.
Belajar dari kisah Ratu Woo, saya merekomendasikan agar stigma bahwa perempuan tidak bisa memimpin segera ditinggalkan. Perempuan juga punya potensi untuk menjadi pemimpin, memiliki keberanian, menjadi superior, bahkan menjadi pemimpin yang visioner dan mampu memikirkan kesejahteraan semua orang. Oleh karena itu, perempuan dan laki-laki seharusnya didudukkan setara dalam akses terhadap posisi menjadi pemimpin.
Masalah yang kemudian tidak kalah urgen dalam upaya mewujudkan kesetaraan akses perempuan dan laki-laki menjadi pemimpin adalah pembebasan perempuan dari lingkungan yang memproteksi dan membatasi kemampuannya. Patriarkis mengidentikkan perempuan dengan lingkungan domestik, jauh dari gejolak sosial, tidak memiliki akses di ruang publik, bahkan tidak memiliki akses pendidikan yang layak. Perempuan juga perlu dibebaskan dari lingkungan yang protektif seperti ini. Sejak muda, Woo Hee telah membekali dirinya dengan ilmu bela diri, kecerdasan dalam permainan catur, serta keberanian. Keberanian Woo Hee menempatkan diri di luar lingkungan protektif inilah yang juga membuat dirinya mampu berdiri dan layak menjadi pemimpin.
Melalui kisah hidup Ratu Woo dalam drama “Queen Woo”, saya menarik sebuah kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama layak untuk duduk menjadi pemimpin. Hanya saja kesetaraan ini perlu diwujudkan secara komprehensif. Selain membuka pintu bagi perempuan untuk menaiki kursi kepemimpinan, perempuan juga perlu dibebaskan terlebih dahulu dari ruang-ruang protektif yang akan menghalangi pembentukan dirinya menjadi seorang pemimpin. Upaya inilah yang diharapkan akan mendobrak warisan dan stigma dari patriarkis, sehingga perempuan dapat berdiri sebagai pemimpin, setara dengan laki-laki.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!