Pos

rumah kitab

Merebut Tafsir: Menghapus Bosan di Bulan ke Sembilan

Oleh Lies Marcoes
.
Jika dihitung dari Maret, saat ini kita telah masuk ke bulan ke sembilan menghadapi virus corona. Selama sembilan bulan ini kita telah melewati masa-masa yang mencemaskan: terkaget-kaget dengan pembiasaan mengikuti protokol cegah covid-19, khawatir yang amat sangat karena korban berjatuhan, bingung menghadapi kebijakan yang cenderung “eker-ekeran” dalam menimbang antara mengekang dan membiarkan masyarakat beraktivitas, sedih dengan berita duka dan nelangsa karena segala rencana tak bisa terlaksana. Di bulan ini saya sendiri sampai ke lorong rasa bosan yang tak terperikan. Saya bosan dengan rutinitas yang intinya menghindari pertemuan-pertemuan fisik dan bosan dengan kekangan-kekangan akibat musuh yang tak jelas rupa.
.
Nampaknya ini pula yang dihadapi mereka yang kemudian terpapar dan sakit. Sebagiannya terpapar karena tak ada pilihan. Mereka harus keluar rumah untk mencari nafkah atau memenuhi kewajiban sosial dan profesi. Sebagian lainnya menerabas resiko terpapar saking tidak tahannya menghadapi kebosanan mengurung diri berbulan-bulan. Di antara dua situasi itu tak sediki yang terpapar bukan karena menerabas resiko tetapi karena peran sosialnya yang tak memungkinkan terus menghindar dari masyarakat. Ini antara lain dialami para pengasuh pondok pesantren yang tak mungkin mengusir orang tua murid yang sowan dan bersalaman cium bolak balik telapak dan punggung tangan, atau tak bertemu dengan para jamaahnya yang ingin bersilaturahmi atau mengadakan pengajian. Inilah sebabnya, dalam satu bulan-bulan terakhir saya mendengar kabar bertubi-tubi korban yang berjatuhan di lingkungan pesantren terutama Ibu Nyai dan para Kyai pengasuh pondok yang berdiri paling depan menghadapi jamaah dan orang tua santri yang datang dari segala penjuru.
.
Saya sendiri lumayan beruntung. Meskipun pekerjaan saya menuntut adanya perjumpaan -perjumpaan: loncat sana loncat sini untuk menghadiri rapat, seminar, penelitian atau sekedar bertemu untuk ngobrol sambil ngopi atau terbang ke banyak tempat, sebagian besar pekerjaan itu bisa diakali melalui sarana media virtual atau melakukannya secara soliter terutama dalam menulis laporan-laporan penelitian atau menulis artikel tematik, atau mengedit pekerjaan peneliti di lembaga kecil yang saya pimpin. Sejumlah kegiatan rutin pun segera tercipta; mendaras Al Qur’an setiap hari subuh dan petang (Alhamdulillah sudah mau kataman kedua), olahraga terutama jalan kaki minimal 30 menit, memberi pakan burung gereja yang kini setiap rombongan bisa puluhan ekor, berkebun kecil-kecilan dan cenderung tak berhasil, dan hobi baru menonton wayang kulit Ki Seno Nugroho (alm). Toleransi pada guyonan khas dalang yang kadang vulgar saya terima karena percakapan Punakawannya memang seru, dalam dan ger-geran.
.
Sejak bulan ke delapan, perjumpaan dengan anak, mantu, cucu juga menjadi lebih rutin karena mereka cukup sadar diri dan waspada, apakah perlu isolasi karena habis bertemu orang, atau cukup aman untuk berkumpul karena tak berjumpa dengan siapapun. Namun begitu, di bulan ke sembilan ini muncul rasa bosan yang sulit dipupus. Ini bisa ditandai dengan pendeknya jarak antara rasa nyaman dan tidak nyaman, antara asyik dan bosan antara sedih dan gembira. Atau ini yang paling gampang dijadikan bukti, gagasan-gagasan yang lahir dari pikiran tak lagi gampang diturunkan menjadi tulisan seperti biasanya ketika saya menulis rubrik” Merebut Tafsir”. Setelah lek-lekan lima hari lima malam menanti dengan cemas kemenangan Kamala Harris, kurang bahan apa untuk menulis sebuah rubrik. Namun itu pun gagal.
.
Atas situasi itu saya kemudian mengirim “WA” kepada beberapa teman dan sahabat. Antara lain saya kirim ke ke Ibu Saparinah Sadli tempat biasanya bercakap-cakap secara virual.
.
Demikian keluh saya, “Apa Kabar Ibu? Saya kok merasa kehilangan minat, gairah hidup ya Bu. Otak makin terasa tumpul karena tak bertemu orang. Saya baru menyadari, rangsangan berpikir saya bukan hanya dari bacaan tapi karena banyak pergi ke lapangan dan bertemu dengan banyak orang. Di sana saya bisa bertemu orang baru, mendengarkan macam-macam cerita, mencatatnya, lalu merenungkannya dan menuangkannya dalam tulisan atau laporan. Namun sejak delapan bulan lalu rangsangan-rangsangan itu seperti terkikis. Terutama setelah penelitian fundamentalisme dan kekerasan gender yang sangat menyerap tenaga dan pikiran rampung. Rasa bosan ini sulit diabaikan. Saya bukan orang yang dapat membangun hobi baru seperti masak, berkebun atau nyanyi karaoke. Tiba-tiba saya merasa sangat tua dan lebih pesimis. Maaf Bu pagi-pagi sudah berbagi keluh kesah”.
.
Tak selang berapa lama, WA dari Ibu Sap masuk, “Ungkapan Lies yang merasa kehilangan gairah, minat, otak semakin tumpul itu semula saya lebih kaitkan dengan mereka yang lansia dan ditetapkan untuk stay home seperti saya. Kebetulan tadi pagi saya baca kembali tulisan Lies tanggal 28 Oktober tentang Covid di bulan ke 8. Tulisan itu, sangat jernih menjelaskan tentang dampak corona kepada banyak orang karena dipaksa harus mengubah kebiasaan dan perilaku. Saya kagum kepada cara Lies dalam menuangkan pemikiran dan saya berpikir mudah-mudahan suatu hari kita bisa bertemu untuk membahasnya. Karena sebagai lansia oldest old, saya merasa banyak hal yang perlu saya tanyakan tentang apa yang Lies tulis dan saya baca.
.
Formulasi Lies tentang bagaimana covid-19 selama 8 bulan ini berpengaruh kepada perempuan adalah ungkapan yang secara lamban tetapi semakin nyata dirasakan oleh banyak kaum lansia yang selama ini disuruh Stay Home. Kemudian mereka diperketat oleh anak-anaknya based upon their love pada ibunya (orang tuanya). Lies telah menuangkan secara sangat rinci apa yag menjadi perasaan banyak lansia. Memang ada yang membangun hobi baru tetapi tidak banyak. Saya diantaranya. Sebagai lansia mau beres-beres lemari baju saja merasa malas. Tetapi menurut saya, kita jangan dikalahkan oleh covid yang tidak akan pergi on the near future. Tidak ada resep tunggal untuk mengatasinya. That all I can say. Sebagai orang yang pernah belajar psikologi, saya mengikuti pandangan bahwa yang ditiadakan oleh covid adalah kebutuhan dasar manusia untuk berinteraksi sosial secara fisik. Bertemu dan tatap muka. Sehingga alat komunikasi yang sekarang menjadi andalan bagi kaum muda tidak menggantikan kebutuhan tersebut. Membantu ya, tetapi tidak menggantikannya. Maaf saya bicara panjang lebar. Karena ungkapan Lies telah melukiskan secara nyata apa yang tadinya banyak dialami para lainsia (my present interest) sekarang menghinggapi banyak kalangan seperti di usia Lies yang jauh lebih muda dari saya dan sangat aktif. Lies mungkin harus memikirkan hal lain yang dapat merangsang pikiran dalam hal-hal yang masih ditekuni Lies, sebagaimana yang dituangkan dalam tulisan 28 Oktober. Itu justru menunjukkan bagaimana Lies mampu tetap aktif berpikir kritis. Hugs. SAP”.
.
Membaca bagaimana cara Ibu SAP menghibur, dan mendengar sejumlah teman terpaksa masuk rumah sakit karena terpapar, tak bisa lain melahirkan renungan. Lha iya, di bulan ke sembilan dengan keadaan masih tetap sehat, masih bisa memikirkan menu hari ini dan besok, ada Asri, ART yang siap 24 jam menemani saya, ada Mang Aman tukang kebun yang tetap bersih-bersih rumah, masih makan buah pepaya tiap pagi dan perasan jeruk nipis, ada anak-anak menantu, serta cucu yang hampir setiap hari mengajak saya bernyanyi, bercakap dengan burung gereja yang setiap jam 6 menagih saweran beras, sinar matahari pagi yang menemani saya keliling 4000 langkah, lalu mandi air hangat dan kembali ke laptop. Rasa bosan itu sebetulnya terlalu kecil untuk jutaan nikmat yang tak terdustakan. Mari bersyukur, dan tetap semangaaat!
.
Lies Marcoes, 20 November 2020.

Pernikahan Anak dan Perdagangan Manusia di Kamp Pengungsian Rohingya Meningkat Selama Pandemi

PBB merilis studi pada Kamis (17/09) yang menunjukkan tren pernikahan anak dan perdagangan manusia di kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh meningkat. Dihentikannya akses pelayanan anak jadi salah satu faktor penyebab.

Menurut sebuah studi yang dirilis PBB pada Kamis (17/09) menunjukkan tren pernikahan anak dan perdagangan manusia di kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh mengami peningkatan setiap harinya.

Bangladesh mengurangi aktivitas bagi kaum muda di kamp-kamp pengungsian semenjak April dan memfokuskan pada pelayanan kesehatan darutat dan penyediaan makanan sebagai upaya mencegah penyebaran virus korona. Para aktivitas relawan pun juga dibatasi.

Akibatnya banyak pelayanan untuk anak-anak terhenti dan membuat mereka semakin sulit mendapatkan bantuan.

Penelitian dilakukan pada bulan Mei dan pejabat PBB mengatakan hal tersebut masih berlangsung hingga kini.

“Sebelum COVID-19 melanda ada aktivitas kemanusiaan yang lebih besar dan … ruang yang ramah. Anak-anak dapat berbicara dengan fasilitator dan berbagi keresahan mereka dengan teman-teman. Pelayanan tersebut tidak tersedia kepada banyak orang sekarang,” kata Kristen Hayes, koordinator sektor Perlindungan Anak yang bekerja di bawah naungan PBB.

“Perkawinan anak meningkat karena tidak adanya tindakan pencegahan,” katanya. “Langkah-langkah (pencegahan) juga disiapkan untuk kasus perdagangan manusia.“

Anak-anak yang jadi korban

Berdasarkan data PBB, dari sekitar 700.000 pengungsi Rohingya yang tiba di Bangladesh pada tahun 2017, lebih dari setengahnya merupakan anak-anak. Mereka melakukan eksodus massal dari Myanmar.

Lebih dari 350 kasus perdagangan manusia Rohingya teridentifikasi tahun lalu, di mana sekitar 15% melibatkan anak-anak.

Bahkan awal bulan ini hampir 300 pengungsi Rohingya dilaporkan tiba di Pantai Ujong Blang, Aceh setelah enam bulan terombang-ambing di atas laut.

Pengungsi Rohingya terdampar di Aceh (Reuters/Antara Foto/Rahmad)

POTRET WARGA ROHINGYA RELA BERTARUH NYAWA DI LAUTAN HINGGA TERDAMPAR DI ACEH

Terombang-ambing di lautan

Sebanyak 99 pengungsi Rohingya ditemukan terombang-ambing di atas sebuah kapal di perairan Aceh Utara, Rabu (24/06). Mereka ditemukan oleh nelayan sekitar yang kebetulan sedang melintas di sekitar lokasi. Ini bukan kali pertama sebuah kapal motor bermuatan puluhan bahkan ratusan pengungsi Rohingya terdampar di perairan Aceh Utara.

 

“Tidak seorang pun dapat mengharapkan adanya kinerja (layanan) normal selama COVID,” ujar Mahbub Alam Talukder, Komisioner Bantuan dan Pemulangan Pengungsi tentang penjelasan pengurangan layanan.

“Tindakan ini membantu kami mengendalikan virus dan menekan angka kematian. Kondisinya saat ini baik. Sekarang kami akan melanjutkan aktivitas normal, dengan protokol kesehatan. ”

Studi ini memicu sejumlah LSM menyerukan akses yang lebih besar terkait perlindungan anak di kamp-kamp pengungsian.

BRAC, sebuah LSM Bangladesh yang beroperasi di kamp, ​​mengatakan bahwa mereka menemukan banyak kasus pernikahan di bawah umur, kekerasan terhadap anak, dan KDRT.

“Untuk saat ini, kami mencoba mengatasi masalah ini melalui konseling online perorangan dengan relawan kami,” papar  juru bicara BRAC, Hasina Akhter.

rap/vlz (Reuters)

Sumber: https://www.dw.com/id/perdagangan-manusia-di-kamp-rohingya-meningkat-saat-pandemi/a-54972098

Dampak Sosial Pandemi Corona, Pernikahan Gadis di Bawah Umur di Asia Meningkat

Akibat pandemi corona, puluhan ribu gadis di Asia diyakini terpaksa melakukan pernikahan di bawah umur. Kemiskinan, PHK, dan berhenti sekolah selama penguncian dan pembatasan sosial jadi faktor utama yang mendorong.

 

Puluhan ribu anak perempuan di bawah umur di Asia dilaporkan dipaksa menikah oleh keluarganya yang putus asa karena jatuh miskin akibat pandemi corona. Isu pernikahan anak sebenarnya telah lama ditentang oleh para aktivis, tetapi hingga kini praktik tersebut masih marak terjadi.

Pernikahan anak telah menjadi hal yang umum dijumpai di masyarakat tradisional di negara-negara Asia seperti India, Pakistan, Vietnam, dan Indonesia. Tetapi hal tersebut perlahan mulai dapat ditekan seiring upaya-upaya yang dilakukan pemerintah ataupun LSM yang mendorong akses pendidikan dan layanan kesehatan untuk perempuan.

Namun, upaya ini tampaknya terhalang dengan adanya pandemi corona. Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan para orang tua putus asa untuk menafkahi anak-anaknya.

“Semua kemajuan yang yang kami peroleh dalam satu dekade terakhir benar-benar mengalami kemunduran,” ujar Shipra Jha, Kepala Penasihat untuk Asia dari LSM Girls Not Brides.

Kemiskinan, minim edukasi, rentan akan keamanan, mendorong terjadinya pernikahan anak, dan krisis saat ini makin memperparah kondisi yang ada, ungkap Jha.

Berdasarkan data PBB, diperkirakan terdapat 12 juta anak perempuan di seluruh dunia menikah sebelum umur 18 tahun setiap tahunnya. PBB pun memperingatkan dampak ekonomi dan sosial yang bisa ditimbulkan akibat pandemi corona saat ini, karena dikhawatirkan angka tersebut dapat meningkat 13 juta dalam dekade berikutnya.

Meningkat selama lockdown

Di Asia sendiri, angka pernikahan anak diyakini meningkat bak bola salju oleh sejumlah LSM.

“Telah terjadi peningkatan pernikahan anak selama periode lockdown. Pengangguran merajalela, PHK dimana-mana. Banyak keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka, jadi mereka pikir menikahkan anak perempuan mereka adalah pilihan terbaik,” ujar Rolee Singh yang terkenal aktif mengkampanyekan “1 Step 2 Stop Child Marriage” di India.

Singh melihat bahwa keluarga menganggap pernikahan anak sebagai solusi masalah keuangan mereka tanpa peduli dampakya terhadap sang anak.

“Kami juga melihat anak-anak menikah karena pihak lain menawarkan uang atau semacam bantuan sebagai imbalan. Keluarga—keluarga ini tidak paham konsep perdagangan anak,” tuturnya.

Seperti yang dialami Muskaan (15), ia mengaku dipaksa ibu dan ayahnya untuk menikahi tetangganya yang berusia berusia 21 tahun. Ibu dan ayah Muskaan merupakan pembersih jalan di kota Varanasi, India, yang memilki enam orang anak untuk diberi makan.

“Orang tua saya miskin, apa lagi yang bisa mereka lakukan? Saya berjuang untuk menolaknya tapi pada akhirnya saya harus menyerah,” tutur Muskaan sambil menangis.

Senada dengan Singh, Jha khawatir kebijakan lockdown yang menyebabkan anak-anak tidak bersekolah dan tidak memilki aktivitas akhirnya terjerumus ke perbuatan zina.

“Ketakutan terbesar yang dimiliki keluarga adalah gadis remaja mungkin mejadi dekat dengan anak laki-laki, dan mengeksploitasi kegiatan seksual, dan akhirnya hamil,” jelas Jha.

Pendidikan jadi tameng utama

Di saat pendidikan dinilai menjadi tameng utama dalam melawan isu pernikahan anak, penguncian telah memaksa ratusan juta anak di dunia tidak sekolah. Para aktivis pun memperingatkan bahwa anak-anak perempuan miskin menjadi pihak yang paling terpukul.

Sebelumnya, pada pertengahan bulan Agustus sebanyak 275 mantan pemimpin dunia, pakar pendidikan, dan ekonom, menyerukan agar pemerintah dan organisasi global seperti Bank Dunia memastikan agar pandemi corona tidak melahirkan “Generasi COVID…yang kehilangan pendidikan dan kesempatan yang adil dalam hidup.”

“Banyak dari anak-anak ini adalah perempuan yang bersekolah, yang menjadi pertahanan terbaik melawan pernikahan anak dan harapan terbaik untuk kehidupan dan kesempatan yang lebih luas,” begitu kata surat terbuka yang ditandatangani mantan Sekjen PBB Ban Ki-Moon, mantan dirjen UNICEF Carol Bellamy, dan mantan PM seperti Shaukat Aziz, Gordon Brown, hingga Tony Blair.

Bagaimana di Indonesia?

Di Indonesia, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah memperingatkan adanya potensi lonjakan kelahiran bayi (baby boom) pada awal tahun depan sebagai imbas dari pandemi corona di negeri berpenduduk 270 juta jiwa ini.

Lia (nama samaran) yang masih berusia 18 tahun, mengaku telah menikah dua kali. Pernikahan pertamanya terjadi karena dia terpergok tengah berduaan dengan seorang pria yang bukan keluarganya, sesuatu hal yang dianggap tabu di tempat tinggalnya, Sulawesi Barat. Mereka berdua pun dipaksa menikah meski sang pria berusia 30 tahun lebih tua dibanding Lia.

Setelah berpisah, Lia akhirnya menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang masih berusia 21 tahun. Namun, Lia harus menghadapi fakta bahwa dia hamil di luar nikah di tengah masa PSBB. Keluarganya pun memaksanya untuk menikahi ayah sang cabang bayi.

“Saya bercita-cita menjadi pramugari,“ kenang Lia.

“Tapi dia gagal dan kini kerja di dapur,“ ujar suami Lia kini, Randi, yang memotong cepat kalimat sang istri.

UNICEF menyebut bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di dunia. Indonesia tahun lalu telah merevisi Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan batas minimal usia nikah perempuan menjadi 19 tahun dari yang sebelumnya 16 tahun.

Namun, masih terdapat celah soal kebijakan tersebut. Pasalnya, pengadilan agama bisa memberikan dispensasi perkawinan dengan syarat-syarat tertentu. Menurut Kementerian Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah pengajuan dispensasi kawin selama pandemi corona tercatat mengalami peningkatan mencapai 24 ribu.

‘Tidak memikirkan masa depan’

Di Vietnam, batas minimal usia nikah adalah 18 tahun. Tetapi UNICEF meyatakan satu dari 10 anak perempuan di sana menikah sebelum usia tersebut. LSM lokal Blue Dragon mengungkap menemukan banyak kasus pernikahan anak perempuan yang masih berusia 14 tahun di tengah pandemi saat ini.

Mei (15), yang berasal dari suku pegunungan Hmong utara, terpaksa menikahi kekasihnya yang berusia 25 tahun pada Juni lalu karena kedapatan hamil. Orang tua Mei mengaku tidak sanggup membiayai kebutuhan Mei, akhirnya Mei kini tinggal bersama keluarga suaminya.

“Orang tua saya petani, dan penghasilan mereka tidak cukup untuk kami,” tutur Mei. Dia sekarang tidak sekolah dan mengerjakan pekerjaan dapur dan membantu memanen sawah.

“Saya tidak memikirkan masa depan saya,” pungkasnya.

rap/hp (AFP)

Sumber: https://www.dw.com/id/pandemi-corona-memaksa-gadis-di-asia-menikah-di-bawah-umur/a-54780124?fbclid=IwAR2fxnimouOcNZA4eCB2pm0THoyXmCYw1-Bd8uZu0518VaGBwydR5hAnCDU

BAHAGIA KALA CORONA

Oleh Zainul Maarif

Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta

zainul.maarif@paramadina.ac.id

 

Pada tataran tertentu, pandemi Corona ini memang menyulitkan. Di ranah pendidikan, misalnya, pertemuan langsung sempat diliburkan. Proses pembelajaran diselenggarakan secara daring. Tak semua orang memilki ponsel pintar dan internet lancar. Beberapa orang perlu merogoh saku lebih dalam demi memenuhi kebutuhan yang sebelum ini bukan primer, tapi kini mendekati kebutuhan pokok, yaitu kuota internet. Hal tersebut menyulitkan.

 

Saat pertemuan langsung hendak dilakukan kembali, berbagai prosedur baru diselenggarakan. Lembaga pendidikan diharuskan mengurangi separuh jumlah peserta didik dalam satu kelas l. Tempat duduk antar siswa diberi jarak, bahkan pada beberapa sekolah dibuat aklirik di setiap meja siswa. Guru dan murid harus menggunakan masker bahkan mika pelindung wajah. Di pesantren, santri diharuskan melakukan test kesehatan sebelum masuk. Tak semua anak mau ditusuk jarum, dan tak semua test kesehatan gratis. Selain perlu peralatan tambahan dalam belajar, seperti masker dan mika penjaga wajah, perlu juga suplemen makanan penjaga imun. Semua itu hal yang merepotkan dan menelan biaya tambahan.

 

Di ranah peribadatan, tempat ibadah seperti masjid dan mushalla sempat diliburkan berbulan-bulan. Tak ada shalat jamaah rawatib, shalat jumat, shalat tarawih dan shalat id. Semua muslim diminta shalat di rumah masing-masing. Setelah kondisi dinyatakan new normal, shalat-shalat tersebut kembali diselenggarakan dengan cara baru. Biasanya tak ada jarak antarmakmum. Kini, jarak itu ditetapkan. Tak ada lagi salaman pasca shalat. Sebelum shalat pun, beberapa masjid besar mengetest suhu badan para jamaah. Itu semua merepotkan.

 

Kerepotan juga menjalar ke ranah sosial-ekonomi. Interaksi antar manusia kini dibatasi. Beberapa tempat belanja sempat tutup, bahkan gulung tikar, karena minim pengunjung dan transaksi. Hingga kini beberapa kawasan perdagangan masih menerapkan sistem ganjil genap dalam hal buka tutup toko. Semua itu mengurangi pemasukan, dan pada tataran tertentu memicu amarah atau kesedihan.

 

DAMAI

 

Pandemi ini memang menghadirkan suasana gelap. Tapi haruskah kita sama-sama mengutuk gelap dan membiarkan diri di dalamnya? Tak seharusnya kegelapan kondisi diiringi dengan kegelapan diri. Justru sebaliknya, dalam kondisi gelap sekalipun, diri harus bercahaya bahkan  berupaya menyinari kegelapan yang ada.

 

Jika kegelapan kondisi diiringi kegelapan diri, maka yang terjadi adalah kegelapan yang memekat. Dalam pandemi Corona ini, kegelapan berlipat itu adalah jiwa pengeluh atau pemarah di saat kondisi serba sulit. Hal ihwal di sekitar diri saat ini memang tak menyenangkan. Bila kondisi itu disikapi dengan kemarahan atau kesedihan, maka kesulitan akan terasa berlipat ganda.

 

Sebaliknya, keadaan menyebalkan yang disikapi dengan tenang akan terasa tawar. Tak ada amarah atau sedih yang muncul merefleksikannya. Ketenangan yang membuat tawar kondisi yang sulit sekalipun justru dapat menimbulkan pendar cahaya pada diri dan sekitar. Hal itulah yang diperlukan saat ini.

 

Dalam kondisi pandemi ini, yang pertama-tama diperlukan adalah kedamaian diri. Tak perlu terlalu takut pada penyakit, tapi juga tak perlu terlalu gegabah untuk mengabaikannya. Efek yang ditimbulkan pandemi ini diterima saja dengan lapang dada. Penerimaan semacam itu merupakan cahaya diri di masa pandemi. Filsafat menyebut penerimaan itu sebagai amor fati, sedangkan agama Islam menyebutnya ikhlas. Amor fati atau ikhlas adalah cahaya diri berupa rasa damai.

 

POSITIF DAN KREATIF

 

Pasca damai terasa, pandangan positif seyogianya senantiasa mengemuka. Islam mengajarkan bahwa setiap kesulitan selalu diiringi oleh kemudahan. “Inna ma`a al-`usri yusran”. (QS. Al-Syarh: 6) Sesungguhnya kesulitan “bersama” kemudahan. Kemudahan dinyatakan hadir “bersama” kesulitan, bukan “setelah”nya. Motivasi itu seyogianya mendorong kita untuk mencari kemudahan macam apa yang menemani kesulitan yang ada? Apa sisi positif di balik sisi negatif pandemi corona?

 

Saat semua orang disuruh untuk di rumah saja, orang-orang menjadi lebih dekat dengan keluarga. Orang yang tadinya jarang masak menjadi rajin masak. Masakannya pun tak monoton, melainkan variatif. Rumah dibersihkan, tanaman dirawat. Semua itu positivitas yang muncul dari program di rumah saja saat pandemi Corona.

 

Saat batasan diberlakukan di mana-mana, kreativitas juga bisa muncul pada orang yang damai dan positif. Karena masyarakat membutuhkan masker, kini beragam motif masker dibuat. Bisnis online pun lebih bergeliat. Para pemikir giat menulis dan berbicara via online. Seminar via internet diberlangsungkan dengan narasumber dari berbagai tempat. Para teknisi membuat berbagai alat yang cocok dengan kondisi masa kini, seperti tempat cuci tangan dengan sistem injak. Para ilmuwan berusaha keras untuk menemukan obat mengatasi corona. Semua itu menyelarasi kaidah ushul fikih “Al-Amr idza dhaqat ittasa`at”. Sesuatu yang dipersempit niscaya meluas.

 

Orang yang bisa berdamai dengan kondisi pandemi, bahkan senantiasa berpikiran positif sampai batas menghasilkan kreativitas bisa dipastikan berbahagia. Apa yang dicari manusia selain bahagia? Bila bahagia saat Corona bisa dibayangkan dan direalisasikan, haruskah Corona dihadapi dengan amarah atau duka?[]

 

Rabu, 22 Juli 2020

rumah kitab

Merebut Tafsir: Covid-19 – Mengambil Jarak “Yes”, Mengucilkan “No”

Oleh Lies Marcoes

Kompas TV memberitakan, ratusan warga mencegat ambulans bahkan dengan ancaman hendak membakarnya dan mengeluarkan paksa jenazah warga yang wafat terpapar covid-19. ( Kompas TV, 17 Juni 2020). Rupanya mereka tak menghendaki warga mereka yang wafat itu dikuburkan dengan prosedur sebagai jenazah covid- 19. Mereka telah melihat dan menerka-nerka betapa berat risiko yang akan dialami warga jika prosesi penguburan dilakukan dengan prosedur covid-19. Mereka akan terus diawasi petugas kesehatan dan gugus tugas covid-19, dan kampung mereka mungkin akan di-lockdown. Akibatnya mereka akan dilarang ke luar rumah/kampung. Mereka merasa mungkin akan dijauhi warga kampung lain bahkan tidak diberi akses melintasi jalan kampung-kampung lain. Bukan hanya akan mengalami pengucilan, pengakuan akan adanya warga yang wafat akibat covid-19 akan berdampak pada terbatasnya akses mereka untuk beraktivitas secara wajar termasuk dalam mencari nafkah.

Di tempat lain, dalam berita yang berbeda, satu keluarga dan para kerabatnya membawa pulang paksa jenazah covid-19 dari sebuah rumah sakit dan dipulasara ulang sesuai keyakinan agamanya. Mereka khawatir pemulasaraan jenazah di rumah sakit itu tak sesuai dengan tata cara agama yang mereka anut mengingat ketika pemulasaraan tak disaksikan pihak keluarga. Mereka juga tak terima jenazah dimasukkan ke dalam peti sesuai yang diasosiasikan dengan tata cara pemulasaraan agama lain. Keluarga itu khawatir mereka akan dikucilkan akibat pemulasaraan jenazah yang tidak sesuai dengan tata cara agama yang diyakini.

Dua peristiwa itu menurut saya membutuhkan solusi. Sebab “pengambil alihan” jenazah serupa itu sangat berisiko. Dikabarkan, 15 orang yang terlibat dalam proses memandikan dan mengkafani jenazah itu kemudian dinyatakan positif covid-19 dan kampung tempat mereka tinggal menjadi klaster yang diawasi.

Ketika kuliah di Medical Anthropology di Amsterdam kami membahas tema-tema serupa ini dalam pelajaran epidemiologi yang dilihat dalam isu kebudayaan. “Sakit” ternyata tak sekadar keadaan fisik seseorang yang tidak sehat, tetapi di dalamnya terdapat nilai-nilai tradisi, adat, budaya, dan cara pikir yang menyebabkan penyakit itu melahirkan persoalan lain, antara lain prasangka dan stigma.

Stigma paling tua dialami oleh penderita kusta atau lepra. Dalam sejarahnya, penyakit kusta atau lepra di Eropa, Timur Tengah, Afrika dan India dan kemudian menyebar di banyak negara tak terkecuali Indonesia. Penyakit ini muncul bersamaan dengan era kolonialisme di abad ke 19. Bakterinya pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Swedia tahun 1837. Lalu lintas orang antar benua dalam kerangka kolonialisme telah pula membawa ragam penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti lepra. Pada kenyataannya ini bukan sekadar penanganan penyakit yang disebabkan oleh bakteri “leprae” itu tetapi menghadapi bencana lain yang disebabkan oleh stigma dan ketakutan. Guna mengatasi penyebaran serta sebaliknya menghentikan “perburuan” kepada penderita lepra, upaya pengendaliannya dilakukan pemerintahan kolonial dengan membangun rumah sakit khusus lepra. Ini merupakan sebuah model yang meniru penanganan lepra oleh sebuah ordo dalam agama Katolik yang membangun koloni-koloni Rumah Kusta di pulau-pulau terpencil. Untuk mengurangi stigma dan pengucilan kadang-kadang rumah khusus lepra ini disebut “Rumah Lazar”, mengambil nama Santo Lazarus yang diyakini sebagai pelindung bagi para penderita lepra.

Melampaui isu penyakit, lepra kemudian menjadi sebuah istilah untuk menggambarkan watak kebencian rasial. Lepra digunakan sebagai metafora yang menggambarkan alasan untuk membenarkan pelenyapkan pisik atau politik kelompok lain yang dianggap “liyan” dengan basis ras, etnis, atau pembeda-pembeda lainnya. Meskipun penyakit lepra kini telah dapat dikendalikan dengan pengobatan dan karantina, tetapi metafora kebencian dengan menggunakan istilah lepra terus dipakai sebagai alasan untuk melenyapkan pihak lain.

Dalam sejarah penyakit-penyakit menular, stigma seringkali muncul lebih ganas dari penyakitnya itu sendiri. Hal ini terjadi pada orang dengan HIV misalnya. Freddie Mercury penyanyi legendaris itu harus menyembunyikan penyakitnya hingga hari-hari menjelang kematiannya. Meskipun stigma pada orang dengan HIV tak sekuat pada orang dengan penyakit lepra, tetapi orang harus berpikir beribu kali untuk menyatakan secara publik bahwa seseorang mengidap HIV atau bahkan penyakit yang dianggap biasa saja seperti TBC. Prosedur inform concern kemudian diberlakukan untuk menjaga kerahasiaan seseorang dengan penyakit yang disandangnya.

Stigma lahir bersama mitos dan prasangka. Begitu kuatnya stigma sehingga pihak keluarga pun kerap ikut termakan oleh stigma itu. Mereka melakukan penyangkalan-penyangkalan atau menutup-nutupi jika di dalam suatu keluarga terdapat orang sakit dengan jenis penyakit yang gampang kena stigma. Pengalaman mengajarkan, dampak dari stigma lebih berat dari penyakit itu. Mereka akan dikucilkan, dijauhi dan dimusuhi bahkan dalam waktu yang lama. Sebaliknya pihak keluarga juga menderit rasa malu atau wirang baik oleh asal usul penyakit atau penyebabnya. Kebiasaan memasung orang dengan gangguan kejiwaan merupakan salah satu bentuk untuk menutupi wirang itu. Begitu juga dengan menyembunyikan anggota keluarga yang mengalami disabilitas fisik atau mental.

Perasaan wirang dalam kaitannya dengan penyakit adalah sebuah prilaku wajar jika mengingat tekanan-tekanan sosial yang dialami meskipun tidak dapat dibenarkan. Sering juga rasa itu merupakan bentuk dari sikap pengecut pada orang sehat di sekitar orang yang sakit. Mereka agaknya tak membayangkan akibatnya yang berlapis-lapis yang akan mereka hadapi jika mereka tak menutupinya.

Saya ingat waktu kecil di kampung, kami dibuat gempar oleh kematian seseorang yang tinggal di gubuk penyimpanan kayu bakar di tengah ladang. Pihak keluarga rupanya menyembunyikan lelaki tua yang merupakan kerabat yang numpang di keluarga itu karena ia menderita TBC akut. Keluarga itu sangat takut tak dapat menggunakan sumur warga. Lebih dari itu mereka malu bahwa dalam keluarga itu ada yang sakit TBC, penyakit orang miskin. Adik kelas saya waktu SMP, meninggal akibat pendarahan dalam upaya orang tuanya menggugurkan kandungan dari hubungan di luar perkawinan. Ia baru 13 tahun ketika itu. Pihak keluarganya telah menyembunyikannya tanpa membawanya ke dokter ketika ia mengalami pendarahan hebat dengan alasan malu.

Perasaan malu, atau takut akan stigma serta dampaknya berupa pengucilan yang disebabkan suatu penyakit ternyata tak hanya dialami oleh sebuah keluarga tempat penderita berasal. Dalam kasus covid-19, perasaan takut diasingkan, berdampak luas kepada warga yang kemudian melahirkan penyangkalan-penyangkalan kolektif. Dalam situasi yang berbeda, hal serupa dilakukan oleh penguasa atas nama stabilitas politik dan ekonomi

Dalam situasi ini, penanganan covid-19 membutuhkan bukan hanya informasi bagaimana penyakit bisa menular dilawan dan diatasi, tetapi juga kejujuran.

Diperlukan penerangan-penerangan yang dapat mengubah cara pandang orang terhadap covid-19 agar tak melahirkan stigma dan pengucilan. Dalam makna ini, penanganan covid-19 jelas tak hanya oleh Kementerian Kesehatan, melainkan oleh para pihak yang terhubung langsung dengan masyarakat seperti Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama. Di sini pula efektivitas cara kerja LSM yang bekerja dalam isu penanggulangan diskriminasi dan ujaran kebencian dapat dibuktikan. Demikian halnya para ahli kebudayaan harus ikut rawe-rawe rantas! Mengambi jarak “yes”, mengucilkan “no”!

Lies Marcoes, 18 Juni 2020.

.

Catatan Analisis Nurhady Sirimorok: PERCAYA

Oleh Nurhady Sirimorok

Kalau cuma mencari ‘siapa’ para ‘provokator’ atau penyebar informasi keliru tentang tes Covid-19 di tengah luasnya penolakan, itu sangat tidak memadai. Apalagi sampai murka melihat warga menolak tes.

Yang kita butuhkan sekarang ialah menunda judgment, menahan penghakiman kita terhadap saudara sendiri. Kita perlu berhenti sejenak untuk berpikir: ‘apa’ yang menyebabkan banyak orang tidak percaya? Mengapa sebagian saja yang percaya pada informasi yang beredar tentang tes Covid-19?

Penyebabnya bisa macam-macam.

Pertama, penolakan bisa terjadi karena sebagian mereka pernah mendengar atau mengalami sendiri perlakuan buruk layanan kesehatan publik.

Misalnya begini: saya menerima lemparan (broadcast) informasi bahwa, konon, petugas tidak menukar kaus tangan setiap kali habis memeriksa satu orang.

Nah, sekarang bayangkanlah orang-orang yang menerima informasi itu punya pengalaman terlunta lama di UGD sebelum dirawat, atau mereka dengan kerabat yang pernah mengalami malpraktik. Informasi di atas akan segera membunyikan bel yang membangkitkan ingatan masa lalu. Cerita tentang buruknya pelayanan kesehatan sebelum dan selama masa Covid-19, terlepas dari benar tidaknya, tentu punya andil mengurangi keyakinan mereka.

Tentu saja, tidak semua orang punya pengalaman buruk dengan layanan kesehatan. Masalahnya, cerita semacam itu terlanjur beredar luas. Gejala semacam ini, misalnya, bisa kita baca di buku penelitian etnografis Roanne van Voort di satu kawasan kumuh Jakarta. Di sana terlanjur beredar informasi bahwa berurusan dengan dokter bisa merugikanmu.

Kita bisa membayangkan, butuh waktu untuk memulihkan keyakinan yang terlanjur kuat itu di satu komunitas, dengan deretan pengalaman baru yang bisa menganulir cerita-cerita atau pengalaman buruk yang membentuk keyakinan itu.

Kedua, bisa jadi pelibatan warga dalam penyebaran informasi ini terlampau sedikit sehingga mengurangi peluang bagi warga untuk percaya terhadapnya. Harus diakui, oleh proses-proses historis yang unik, sebagian warga masih menganut cara berpikir patrimonial, dengan kebenaran mengalir bukan dari institusi resmi, tetapi individu-individu yang dipercaya (patron). Individu-individu ini dan warga yang mempercayai mereka berada dalam satu lingkaran yang disebut ‘pranata informal’ (informal institution). Ini satu wilayah dengan aturan pranata informal lebih punya legitimasi daripada yang dikeluarkan lembaga resmi, demikian tulis Helmke dan Levitsiky. Di sini, yang informal lebih dipercaya daripada yang formal.

Informasi yang disebar secara formal melalui WAG perumahan atau petugas kelurahan beserta perangkatnya, bisa dianggap tidak legitimate oleh warga karena ini. Gejala ini bisa terjadi bila individu yang menyebar informasi kebetulan bukan sosok yang dipercaya warga, tidak mendapat dukungan atau malah bertentangan dengan informasi yang berasal dari tokoh yang mereka percaya.

Untuk meyakini kebenaran informasi yang mereka terima dari tokoh mereka, informasi itu tidak harus berupa teori konspirasi.

Bayangkan bila penyebaran informasi resmi tentang tes Covid-19 melibatkan ‘tokoh-tokoh masyarakat’ ini dengan satu atau lain cara.

Ketiga, kemungkinan yang menyedihkan sebenarnya, bila pemerintah sebagai institusi memang sudah tidak dipercayai warga yang menolak. Ini mirip dengan penyebab sebelumnya, tapi di sini lebih berupa ketidakpercayaan warga terhadap kinerja institusi, dan kepercayaan terhadap pikiran sendiri ketimbang sabda para patron.

Bayangkanlah orang-orang yang sudah kenyang membaca tentang penggusuran yang secara terang-terangan atau diam-diam disokong negara, tentang penegakan hukum yang timpang, tentang korupsi berjamaah atau individu oleh pejabat negara sendiri, dan seterusnya. Bagi mereka, pemerintah sebagai institusi berulang-ulang melanggar komitmen menjamin kesejahteraan dan keselamatan warga. Ketakpercayaan sudah terbangun lama sebelum program tes Covid-19 itu sendiri dimulai.

Bayangkanlah mereka menerima informasi, sebagaimana yang saya juga terima, bahwa konon alat yang digunakan tidak bermutu, murahan, dan sebagainya. Sementara itu terjadi, mereka pun melihat banyak kelompok warga lain juga menolak.

Keempat, yang jauh lebih menyedihkan, bila semua penyebab di atas bergabung.

Jadi, ada banyak cara, dan prasyarat (yang belum kita diskusikan), untuk sebagian warga tidak percaya pada program pemerintah. Kita butuh mempelajarinya dulu sebelum mengajukan tuduhan, yang hanya akan berbalas tuduhan balik, terus begitu sampai kiamat datang.

CORONA DAN MUSLIM PEMBANGKANG

Oleh Zainul Maarif

Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina

 

Perubahan besar sedang terjadi di dunia. Pada awalnya, penyakit pernapasan akut muncul di Wuhan, Hubei, China. Penyebabnya varian baru dari virus corona. Karena mengada di bulan Desember 2019, maka Novel Coronavirus Pneumonia itu disebut dengan Coronavirus 2019, selanjutnya disingkat dengan sebutan Covid-19, selain disebut sebagai Corona saja.

Akibat globalisasi, bersama perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain, virus itu menjalar ke beberapa negara. Pada 30 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengidentifikasi penyebarannya sebagai darurat kesehatan publik yang diperhatikan secara internasional. Karena ekspansinya hingga ke ratusan negara dengan korban jiwa ribuan manusia, maka pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menyatakan bahwa Covid-19 merupakan pandemi dunia.

Pihak medis mengidentifikasi virus itu bisa menular melalui kontak dengan pengidapnya. Seseorang bisa tertular virus Corona bila orang itu terkena tetesan mulut penderita, baik tetesan itu mengenainya langsung atau pun tidak. Tetesan air yang mengandung virus itu mungkin menempel di benda. Ketika benda itu disentuh oleh seseorang yang awalnya sehat lalu orang itu menyentuh lubang-lubang wajah (mulut, hidung dan mata), maka orang itu bisa tertular Corona.

Hingga saat ini belum ada vaksin untuk mengobati penderita Covid-19. Pihak medis di seluruh dunia hanya mampu mengisolasi dan merawat pasien Corona sambil mengobati gejala-gejalanya, seperti demam, batuk, kelelahan, sesak napas, dan kehilangan bau dan rasa.

Seraya terus mencari obat bagi pandemi itu, pihak medis menyarankan beberapa tindakan untuk mengatasi penyebaran virus itu, antara lain: sering mencuci tangan, menutupi batuk, menjaga tangan yang tidak dicuci menjauh dari wajah, menggunakan masker, dan menjaga jarak fisik dari orang lain, terutama dari orang yang memiliki gejala tertimpa virus itu.

Saran terakhir itu, pada tataran lebih lanjut menjadi kebijakan publik. Beberapa negara menutup akses keluar masuknya orang. Ada negara yang mewajibkan warganya di rumah saja, sedangkan negara lain hanya menganjurkannya. Namun, kerumunan orang dilarang di banyak daerah. Sebagai akibatnya, mall dan restoran ditutup, tempat nongkrong dan tempat hiburan gulung tikar, tempat belajar dan kantor diliburkan, tempat ibadah dikosongkan,

Efek kebijakan social/physical distancing (menjaga jarak fisik/sosial) itu menimpa umat Islam juga. Masjid tidak diperkenankan lagi untuk melaksanakan shalat jamaah dan shalat jumat. Umrah ditiadakan. Haji tahun 2020 pun potensial tidak ada. Masjid Haram tidak lagi dipenuhi oleh orang-orang yang bertawaf dan bersa’i. Tempat ziarah, termasuk Masjid Nabawi, sepi. Shalat Tarawih di masjid dan mushalah di bulan Ramadan serta Shalat Id di masjid dan tanah lapang di hari Lebaran juga tidak boleh diselenggarakan. Silaturahim sambil pulang kampung yang menjadi tradisi di hari Raya juga dilarang.

Respon umat Islam  beragam. Sebagian umat Islam menuruti kebijakan itu demi kemaslahan bersama. Namun sebagian lain marah terhadap kebijakan tersebut, sambil menghadirkan argumen dan tindakan berlawanan.

Muslim pembangkang kebijakan social/physical distancing ingin tetap melakukan shalat jamaah dan shalat Jumat di masjid, serta pulang kampung untuk silaturahmi idul fitri. Mereka memiliki beberapa dalih untuk tetap shalat jamaah dan Jumat, antara lain: (1) ancaman bagi muslim (pria) yang tidak jumatan, (2) anjuran untuk shalat jamaah (shalat bersama-sama) dan memakmurkan masjid, dan (3) takdir.

 

Argumen Pembangkang

 

Dalam kondisi dunia diliputi Corona, ada beberapa orang Islam memaksakan diri untuk melakukan Shalat Jumat di zona merah corona. Mereka berpegang pada dalil yang mewajibkan Shalat Jumat dan ancaman bagi yang tidak melakukannya.

Di Al-Quran, Allah swt. berfirman: “Yâ ayyuhâ al-ladzî âmanû idzâ nûdiya li al-shalâti min yaum al-jum`ah fas`au ilâ dzikr allâh wa dzarû al-bai`” (Wahai orang beriman, bila diseru shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah menuju dzikrullah [shalat jumat] dan tinggalkanlah jual beli). (QS. Al-Jumu`ah: 9) Ayat itu mengandung perintah melaksanakan Shalat Jumat, sehingga Shalat Jumat pun dinyatakan sebagai kewajiban bagi orang beriman.

Rasulullah saw. diriwayatkan bersabda: “Man taraka tsalâtsa jumu`ât min ghairi `udzrin kutiba min al-munâfiqîn” (Orang yang meninggalkan tiga kali Shalat Jumat tanpa uzur, maka ia dicatat sebagai orang munafik). (HR. Thabarani) Hadis itu membuat orang-orang Islam tersebut enggan untuk meninggalkan Shalat Jumat.

Mereka juga berpegangan pada beberapa dalil yang mendorong umat Islam Shalat Jamaah. Al-Quran menyebutkan bahwa Allah berfirman: “Wa idza kunta fîhim fa aqamta lahum al-shalât faltaqum thâifatun minhum ma`ak walya’khudzû aslihatahum fa idzâ sajadû falyakûnû min warâikum walta’ti thâifatun ukhrâ lam yushallû falyushallû ma`ak” (Jika kamu bersama mereka, dan mendirikan shalat bersama mereka, maka sekelompok dari mereka mereka shalat bersamamu, mereka mengambil senjata mereka. Apabila mereka sujud, mereka beraa di belakangmu, lalu datang sekelompok lain yang belum shalat dan shalat bersamamu). (QS. Al-Nisâ’: 102) Ayat itu membahas shalat jamaah dalam kondisi perang. Jika kondisi perang saja shalat jamaah dilakukan, apalagi di kondisi damai.

Nabi Muhammad saw. diriwayatkan bersabda: “Shalat al-jamâ`ah afdhalu min shalât al-fadz bi sab` wa `isyrîn darajah” (Shalat Jamaah itu lebih utama daripada Shalat Sendirian dua puluh tujuh derajat). (HR. Bukhari-Muslim). Hadits itu merupakan pemicu lebih lanjut untuk melakukan shalat jamaah terutama di masjid. Lagi pula, terdapat suatu riwayat dari Abu Dawud dan Ibn Majah  tentang orang buta yang meminta izin untuk tidak shalat jamaah di masjid. Namun Rasulullah menyuruhnya tetap shalat jamaah di masjid, karena dia masih bisa mendengar suara azan masjid dari rumahnya. Dalil-dalil tersebut memperkuat mereka untuk bersikeras melakukan shalat jamaah di masjid zona merah covid sekalipun, baik untuk shalat fardlu lima waktu maupun shalat Jumat.

Saat idul fitri pun, mereka ingin tetap pulang kampung untuk silaturahmi dengan  sanak famili. Mereka berpegangan pada dalil-dalil yang merekomendasikan silaturahmi, misalnya “Man ahabba an yubsatha lahu fî rizqihi wa yunsa`a lahu fî atsarihi fal-yushil rahimah” (Barang siapa ingin diluaskan rejekinya dan diperpanjang umurnya, maka silaturahimlah!). Silaturahim adalah menyambung tali kasih antar sesama manusia. Rasulullah menganjurkan tindakan itu sebagaimana tertera di sabdanya, “shil man qatha`ak wa ahsin man asâ’a ilaik” (Sambunglah hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu dan berbuat baiklah kepada orang yang berbuat buruk padamu!).

Mereka bersikukuh untuk bersilaturahim dan melakukan shalat jamaah termasuk shalat jumat di masjid, karena percaya pada takdir. Bagi mereka, hidup mati seseorang ditentukan oleh Allah. Allah swt. berfirman: “Inna al-maut al-ladzî tafirrûna minhu fa innahû mulâqîkum” (Sesungguhnya kematian yang kalian jauhi akan mendatangi kalian)” (QS. Al-Jumu`ah: 8). Allah juga berfirman: “Ainamâ takûnû yudrikkum al-maut wa law kuntum fî burûj musyayyadah” (Di mana pun keberadaan kalian, kematian akan menemui kalian walau pun kalian di benteng kokoh). (QS. Al-Nisâ’: 78). Karena itu, mereka tidak takut Covid-19, dan tetap ingin shalat jamaah, shalat jumat dan bersilaturahim.   

 

Meninjau Argumen Pembangkang

 

            Pernyataan mereka tersebut memang punya dasar yang kuat di dalam teks-teks agama. Shalat jumat memang wajib dilakukan bagi pria muslim. Tak sepatutnya pria muslim meninggalkan shalat jumat tiga kali berturut-turut. Shalat jamaah juga sangat dianjurkan, hingga tetap dilakukan di saat perang dan ditekankan pada siapaun yang masih mendengar suara azan masjid. Silaturahim juga ajaran utama Islam yang notabene agama perdamaian, di mana Islam seakar kata dengan salâm yang berarti damai, dan silaturahim adalah upaya mendamaikan segala persoalan antar manusia.

Tapi, Islam bukan agama kaku, justru sebaliknya senantiasa memberi kelonggaran dalam kondisi tertentu. Misalnya, Rasulullah saw. bersabda, “man sami`a al-munâdî wa lam yamna`hu min itbâ`ihi `udzrun, qalû: wa mâ al-`udzr? Qâla: khaufun aw maradh, lam yuqbal minhu al-shalât al-latî shalla” (“Orang yang mendengarkan suara azan dan tidak terhalang oleh uzur untuk mengikutinya”, para sahabat bertanya: apa uzur itu? Rasulullah bersabda: “rasa takut dan sakit, maka shalatnya tidak diterima). (HR. Abu Dawud) Islam memang mendorong umatnya melakukan shalat jumat dan shalat jamaah di masjid, tapi memberi keringatan bagi orang  dalam kondisi tidak aman (ketakutan) atau sakit.

Orang Islam memang hanya patut takut kepada Tuhan semata. Namun virus corona mengancam kesehatan orang yang berkerumun. Ketika salah satu di antara orang dalam kerumunan itu terjangkit Covid-19, maka dia sangat potensial membiakkan virus itu ke orang lain dalam kerumunan itu. Shalat jumat dan shalat jamaah adalah kegiatan yang terjadi dalam kerumunan. Penyebaran virus corona sangat mungkin terjadi di dalamnya.

Setiap orang ingin hidup berkecukupan dalam waktu panjang. Silaturahim yang senafas dengan kedamaian Islam memang dapat membuka peluang rezeki, sementara kesejahteraan yang damai memungkinkan seseorang berumur panjang. Namun di masa pandemi corona itu, silaturahim justru bisa memperpendek umur ketimbang memperpanjangnya. Silaturahim mempertemukan dua orang atau lebih yang belum tentu terbebas dari virus corona. Ketika pertemuan itu terjadi bersama persentuhan dan percikan cairan dari pengidap corona virus, maka silaturahim (menyambung kasih) menjadi silatul’adza (menyambung penyakit).

Silaturahim seorang dari suatu zona teridap Covid-19 ke zona tak teridap, atau sebaliknya, juga bertentangan dengan perintah Nabi. Mengenai wabah, Rasulullah bersabda: “Idzâ sami`tum bihî bi ardhin falâ taqdamû `alaihi wa idzâ waqa`a bi ardhin wa antum bihâ falâ takhrujû firâran minhu” (jika kalian mendengar suatu wabah terjadi di suatu tempat, maka janganlah memasukinya. Jika wabah itu terjadi di tempat di mana kalian berada, maka janganlah keluar untuk lari darinya!”). (HR. Bukhari-Muslim). Sabda Nabi itu terkait dengan upaya pencegahan penularan penyakit, yang dalam kondisi saat ini, bisa terjadi melalui kegiatan silaturahim melalui pulang kampung.

Shalat dan silaturahim memang bagian dari syariat Islam. Namun yang perlu disadari adalah bahwa bagian itu mengacu kepada inti syariat Islam, yang disebut sebagai maqashid al-syari`ah. Salah satu inti syariat Islam yang harus diindahkan dalam kondisi sekarang adalah

hifzhu al-nafs: menjaga kesinambungan jiwa manusia.

Islam tidak membenarkan seseorang membunuh dirinya sendiri dan orang lain. Dalam Al-Quran disebutkan: “Man qatala nafsan bi ghairi nafsin aw fasâdin fî al-ardhi fa kaannamâ qatala al-nâs jamî`an” (Barang siapa membunuh seseorang atau merusak di bumi, maka dia seperti pembunuh seluruh manusia). Mendatangi kerumunan, termasuk di dalamnya shalat jamaah/jumat, dan mengunjungi seseorang, tanpa masker dan tubuh serta pakaian steril, sama dengan bunuh diri atau membunuh orang lain secara pelan-pelan, karena dalam hal itu penularan Corona yang mematikan itu bisa terjadi.

Shalat jamaah, shalat jumat dan silaturahim memang menghadirkan ganjaran berlipat, baik di hari ini maupun di esok hari. Namun, bahaya mengancam di hadapan tindakan tersebut. Penularan virus bisa terjadi akibat kegiatan bernuansa agamis itu. Kaidah hukum Islam menyatakan: “dharar wa lâ dhirâr” (tak ada bahaya dan hal yang membahayakan). Kaidah lain menyebutkan: “dar’u al-mafâsid muqaddamun `ala al-jalb al-mashâlih” (mencegah kerusakan didahulukan daripada meraih kemaslahatan).

Beribadah haruslah didasarkan pada pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud tidak sekadar berkenaan dengan ibadah itu sendiri, tapi juga terkait dengan hal ihwal di seputar ibadah itu. Bila hal ihwal di seputar ibadah membahayakan pihak yang beribadah, maka ibadah itu perlu dihentikan dan diganti dengan cara lain.

Dalam hal ini, shalat jumat/jamaah di masjid yang potensial menyebarkan virus corona bisa dihentikan dan diganti dengan shalat di rumah saja. Hal itu telah dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabatNya. Ketika hujan sangat lebat, Abdullah Ibn Abbas menyuruh muadzin (orang yang mengumandangkan azan) untuk mengganti kalimat “hayya `alâ al-shalâh” (mari kita shalat!) menjadi “shallû fî buyûtikum” (shalatlah di rumah kalian!). Menurut Abdullah Ibn Abbas “fa`alahu man huwa khairun minnî (hal itu telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku, yaitu Rasulullah saw.). (HR. Bukhari dan Muslim). Jika hujan lebat—yang memang bisa mengacaukan segala sesuatu di padang pasir—saja dapat meliburkan shalat jumat, maka pandemi corona jauh lebih pantas dijadikan sebagai alasan meniadakan shalat jumat yang kemudian diganti shalat zhuhur di rumah, karena corona lebih mematikan daripada sekadar hujan.

Beragama memang harus disertai dengan akal yang jernih, bukan sekadar dengan emosi. Lâ dîna liman lâ `aqla lahû (tak ada agama bagi orang yang tak berakal). Beragama secara emosial sama dengan beragama tanpa akal. Beragama sedemikian rupa adalah kesia-siaan yang pada tataran tertentu membahayakan.

Di masa Covid-19 ini, sebagian umat Islam beragama secara emosial, tidak dengan akal dan pengetahuan yang cukup. Mereka menganggap social/Physical Distancing yang berimbas pada larangan shalat jumat, shalat jamaah di masjid, pengajian dan silaturahim sebagai larangan terhadap perintah agama. Maka, mereka menentang kebijakan itu dengan tetap melakukan shalat jumat, shalat jamaah dan pengajian/silaturahim di zona merah covid-19 sekalipun. Akibatnya, sebagian dari mereka menularkan dan/atau menulari covid 19.

Tindakan sebagian umat Islam tersebut merusak diri sendiri dan orang lain. Padahal Allah swt. berfirman: “wa lâ tulqû bi aidîkum ila al-tahlukah” (jangan kalian jatuhkan tangan kalian dalam kerusakan). (QS. Al-Baqarah: 195). Tuhan menyuruh manusia untuk tidak mengakibatkan kerusakan, baik kerusakan itu berakibat pada diri sendiri maupun orang lain. Misalnya, secara tidak sengaja, menularkan/ditulari virus corona hanya karena bandel untuk mengikuti protocol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Kebandelan yang didasari dalil-dalil pembangkang di atas sekalipun tetap merupakan kekeliruan. Bagaimana pun juga “fas’alû ahla al-dzikri in kuntum la ta`lamûn(bertanyalah kepada orang yang ingat  jika kalian tidak tahu). (QS. Al-Nahl: 43). Yang dimaksud dengan  ahlu dzikr (orang yang ingat) adalah orang yang berilmu. Ahlu dzikr di bidang  virus corona adalah pihak medis. Adapun ahlu dzikr di bidang keagamaan adalah para agamawan otoritatif. Di ranah agama Islam, Al-Azhar Mesir merupakan lembaga yang sangat otoritatif di tingkat dunia. MUI, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan lembaga agama Islam yang otoritatif di kancah nasional.

Pihak medis merekomendasikan social/physical distancing untuk mencegah penyebaran virus corona, sementara lembaga-lembaga Islam tersebut merespon dengan menetapkan beberapa fatwa keagamaan yang mendukung rekomendasi pihak medis tersebut. Lembaga-lembaga Islam tersebut menfatwakan peniadaan shalat jumat, shalat jamaah 5 waktu di masjid-masjid di zona merah pandemi covid-19. Menjelang bulan Ramadan dan hari Idul Fitri, lembaga-lembaga Islam itu pun memutuskan untuk meniadakan shalat tarawih, shalat idul fitri dan silaturahim berbentuk pulang kampung. Semua itu diselenggarakan demi kemaslahatan bersama.

Jika Anda Muslim, dan bangga sebagai orang Islam, maka Anda seharusnya ingin orang Islam tetap ada, termasuk Anda, dalam kondisi sehat. Ketika Anda memaksakan diri berkerumun demi beribadah, namun bisa tertular atau menularkan penyakit corona, maka Anda sedang menghancurkan umat Islam secara berlahan-lahan, termasuk diri Anda sendiri. Membunuh diri sendiri adalah tindakan pengecut, sedangkan membunuh orang lain adalah tindakan dzalim. Semoga kita terlindung dari sifat dan golongan yang dzalim serupa itu[]

 

9 Mei 2020

Rumah KitaB Luncurkan Buku Fikih Wabah

Jakarta, NU Online

Rumah Kita Bersama atau Rumah KitaB meluncurkan sekaligus membedah buku Fikih Wabah: Panduan Keagamaan di Masa Pandemi, Selasa (12/5) secara daring. Buku Fikih Wabah ini ditulis oleh Achmat Hilmi, Jamaluddin Muhammad, dan Muhammad Fayyaz. Direktur Rumah KitaB Lies Marcoes menyatakan, buku ini disusun dengan sebuah metodologi yang konsisten digunakan Rumah KitaB, yakni maqasid syariah. “(Buku ini) berdasarkan apa sih tujuan beragama dan implikasinya dalam situasi seperti ini yang tiba-tiba gak boleh ke masjid, gak boleh berjamaah dan lain sebagainya,” kata Lies.

 

Pada buku ini, Rumah KitaB juga disebut Lies berusaha menghadirkan perspektif keadilan gender sesuai dengan kebutuhan masyarakat supaya dapat melihat konsekuensi dari adanya pandemi Covid-19. “Virusnya tidak berjenis kelamin saya kira, tetapi berdampak beda kepada laki-laki dan perempuan. Berdampak beda kepada lelaki tua dan perempuan tua, berdampak beda kepada anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki,” katanya. Ia mengemukakan laporan dari Lombok yang menunjukkan tingkat kekerasan pada anak perempuan menjadi besar karena anak perempuan menjadi pekerja substitute dari orang tuannya. “Jadi perspektif gender menurut saya sangat penting, dan ini dihadirkan dalam buku ini,” ucapnya.

 

Penulis buku Fikih Wabah Jamaluddin Muhammad mengemukakan, buku fikih wabah ini merupakan panduan bagi umat Islam mulai dari bagaimana sikap yang harus diambil dalam merespons pandemi Covid-19 sampai tuntunan menjalani ritual keagamaan dengan prinsip maqasid syariah. “Karena semangat yang ingin disampaikan dalam buku ini sebetulnya satu, yaitu dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih. Jadi bagaimana menghindari mudarat, menghindari mafasid, kerusakan sebagai prinsip utama dalam menjalankan ritual keagamaan,” kata Jamal.

 

Penulis lainnya, Achmat Hilmi menyatakan bahwa buku yang ditulisnya bukan buku panduan keagamaan pertama dalam merespons pandemi Covid. Namun, kata Hilmi, bukunya memiliki metodologi yang berbeda dengan buku fikih wabah yang lain yang sudah ada. “Di sini penggunaan perspektif gender, terutama pembahasan soal anak dengan disabilitas itu sangat kentara. Misalnya di bab Ramadhan dan zakat, lalu pembahasan yang terkait sekali dengan pendekatan perempuan juga sangat kental di beberapa bab di buku ini,” kata Hilmi.

 

Buku ini pun dibedah dengan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sri Mulyati, Pengampu Pengajian Ihya Ulumiddin KH Ulil Absar Abdalla, Ketua LBM PWNU Jakarta, dan Ketua PEKKA Nani Zulminarni.

 

Download buku disini

Pewarta: Husni Sahal

Editor: Abdullah Alawi

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/119963/rumah-kitab-luncurkan-buku-fikih-wabah

Covid-19 dan Pendisiplinan Tubuh

Oleh Jamaluddin Mohammad

Dunia masih tampak murung. Serangan Covid-19 menghancurkan seluruh bangunan sosial, politik, maupun ekonomi hampir semua negara. Setiap orang disergap ketakutan, dihantui kematian, dan dihinggapi rasa was-was juga ketidakpastian menghadapi masa depan.

Bagaimana memahami fenomena global ini? Ada wacana tunggal dalam memahami dan menghadapi pandemi Covid-19, yaitu dominasi wacana medis modern yang berpusat pada tubuh. Sejumlah istilah penting yang populer di masa pendemi ini, seperti “lockdown“; “social/physical distancing“; “PSBB”; “WFH”; dll adalah istilah-istilah yang muncul dari cara pandang (pengetahuan) medis dalam memahami fenomena sakit dan sehat.

Menurut penjelasan medis modern, wabah penyakit ini disebabkan oleh virus yang diberi nama Corona. Virus ini menyebabkan gejala fisik seperti demam, pilek, sesak nafas, hingga kematian.

Virus yang ditemukan akhir 2019 ini dapat menular melalui orang per orang atau lewat media lain. Sampai saat ini belum ditemukan antivirusnya (vaksin) sehingga hanya bisa dilakukan langkah-langkah tertentu yang berpusat pada tubuh. Tubuh harus didisiplinkan, dipantau dan diawasi aktivitas dan pergerakannya.

Dari sini lahir perilaku massal dan seragam yang dilakukan penduduk dunia di hampir semua negara: manusia-manusia yang dikurung di dalam rumah (self isolation), kota-kota yang diisolasi (lockdown/PSBB), aktivitas manusia yang saling berjauhan (social distancing), dll.

Inilah yang oleh Foucault disebut sebagai cara kerja pengetahuan dalam menguasai dan mendisiplinkan tubuh manusia. “Jika Anda ingin memahami perilaku manusia pada tempat dan waktu tertentu, temukanlah wacana yang mendominasi di situ,” kata Foucault.

Di masa pandemi ini wacana paling dominan mengatur sikap dan perilaku orang adalah wacana medis modern. Yang lain mengabdi dan mengikuti, baik politik, ekonomi, maupun agama. Semua kebijakan politik maupun ekonomi hari ini berangkat dari cara pandang medis. Tak terkecuali wacana keagamaan.

Seluruh kegiataan apapun yang bersifat massal harus dihentikan. Semua orang tak boleh beraktivitas kecuali di dalam rumah, termasuk kegiatan keagamaan. Titik tolak dan tujuannya satu: menghindari virus yang mencoba bersarang di tubuh manusia.

Salah satu ciri medis modern adalah memusatkan perhatian pada pembasmian penyakit yang terdapat dalam tubuh ketimbang mencari sumber eksternalnya yang bersifat sosial, mental, atau emosional. Sumber eksternal yang diakui dalam medis modern hanya gejala fisik berupa virus, bakteri atau racun.

Karena itu, dalam pengobatan modern, tidak mengenal terapi musik seperti yang dilakukan al-Kindi atau al-Farabi. Juga pengobatan melalui media wifik (rajah) seperti yang dilakukan dokter-dokter muslim Abad Pertengahan.

Yang penting menghindari virus. Tak peduli mereka harus stres tinggal di rumah, tak dapat kerja, atau karena lingkungan sosial berubah yang bisa jadi akan menimbulkan penyakit lain.

Wacana medis modern telah dipengaruhi cara pandang positivistik, sehingga membuang hal-hal yang bersifat metafisik atau adikodrati. Juga terpengaruh badai sekularisasi Barat. Wacana medis modern yang positivistik itu sekarang ini tampil dalam bentuk narasi tunggal dan mendominasi setiap aspek kehidupan.

Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini saya mengharapkan tampil model dan pendekatan non-medis modern, semisal dukun, yang bisa mengakhiri bencana global ini. Sayangnya wacana medis modern masih tetap tak terkalahkan.

Sebetulnya, di negeri ini perlawanan terhadap dominasi wacana medis modern sudah dilakukan oleh sejumlah kecil agamawan yang menggunakan argumentasi keagamaan. Hanya, sangat disayangkan, semangat perlawanan mereka seperti perlawanan Gereja terhadap sains sebagaimana terjadi di Eropa Abad Pertengahan, bukan mengambil inspirasi dari ilmuan dan ulama muslim abad keemasan Islam yang tak mengenal sekularisasi. Sekularisasi hari ini adalah hasil dari proses sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di Barat yang terputus sama sekali dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.

Perkembangan ilmu pengetahuan hari ini seolah absen dari iman (agama). Padahal keduanya tak perlu dipertentangkan bahkan saling mendukung dan menguatkan. Saya menemukan penjelasan ini dalam kitab Tauhid yang dijarkan di pesantren, yaitu “Husun al-Hamidiyyah”.

Kitab yang ditulis Sayid Husaen Affandi ini di dalamnya memuat satu bab khusus bagaimana cara mendamaikan wacana keagamaan dan temuan ilmu pengetahuan. Penjelasan ini tentu saja akibat pengaruh sekularisasi itu. Prinsip utamanya bahwa kepercayaan agama harus didukung dalil naqli (teks) dan diperkuat dalil aqli (akal). Jika teks bertentangan dengan akal maka harus di takwil. Dengan ini wacana kegamaan bisa bersinergi dengan temuan ilmu pengetahuan.

Jika mengikuti alur sejarah perkembangan ilmu pengetahuan islam, sesungguhnya islamisasi ilmu pengetahuan tak perlu dilakukan, karena segala jenis riset pengetahuan berangkat dari terang iman dan tak lepas dari bimbingan agama. Wallau ‘alam

Salam,
Jamaluddin Mohammad

rumah kitab

Merebut Tafsir: Ikhtiar setelah Isolasi Mandiri 14 hari

Menjelang sahur hari kedua, sebaris pesan dari asisten program officer (APO) program pencegahan kawin anak di daerah X masuk. “Bu, Pak A positif kena covid 19″. Tentu berita itu mengagetkan. Pak A punya posisi penting dalam advokasi kami. Ia memiliki jabatan strategis, berpendidikan bagus, pintar dan terbuka, dan punya kehendak untuk perubahan di wilayahnya. Dengan posisi yang dimilikinya niscaya dia cukup mendapatkan informasi bagaimana cegah tangkal covid 19.

Berita WA itu berlanjut setelah saya menyatakan keterkejutan. ” Padahal beliau sudah menjalani isolasi mandiri 14 hari” balas sang APO. “Lalu? ” tanya saya. ” Iya Bu setelah itu beliau ngantor seperti biasa, kondangan karena mau puasa banyak yang hajatan, Jumatan, dan pertemuan-pertemuan lain seperti biasa”. “Lha ini”…seru saya.

Saya kira, warga banyak yang patuh mengikuti anjuran pemerintah untuk isolasi mandiri 14 hari, namun banyak yang tak paham artinya “isolasi mandiri 14 hari”. Disangkanya seperti habis puasa menahan diri 14 hari setelah itu Lebaran, bebas makan/keluar semaunya.

Saya menulis pesan panjang soal inti kegunaan isolasi mandiri 14 hari kepada sang APO untuk disampaikan ke jaringan pencegahan perkawinan anak di daerahnya.

Setelah 14 hari melakukan isolasi mandiri, dan ternyata TAK TAMPAK GEJALA, maka artinya orang yang menjalani isolasi itu KEMUNGKINAN sehat dari covid 19. Perjuangan selanjutnya justru itu yang paling penting. IKHTIAR UNTUK TETAP DALAM STATUS SEHAT setelah 14 hari isolasi.

Jangka waktu 14 hari seharusnya dipahami sebagai cara sederhana mengecek sendiri apakah ada gejala infeksi atau tidak: batuk, demam, sakit tenggorokan, sesak dan seterusnya.

Jika ternyata tak ada gejala, maka berikutnya adalah IKHTIAR untuk tetap menjaga untuk tetap SEHAT. Caranya telah berulang kali dijelaskan oleh pemerintah dan banyak pihak : jaga jarak dari orang/tidak bersentuhan atau disentuh seperti salaman,cipika cipiki, selalu cuci tangan pakai sabun di bawah air yang mengalir minimal selama 20 detik, selalu memastikan barang yang telah/bekas dipegang orang lain (kunci, pulpen, berkas surat, dokumen, kantong plasik, bungkusan, apapun) senantiasa diseka dengan lap/tisu disinfektan sebelum dipegang, atau sebaliknya segera cuci tangan setelah memegang benda-benda yang disentuh orang lain. Istiqomah pakai masker setiap waktu jika terpaksa harus bertemu orang atau datang ke kerumunan, banyak minum dengan ketentuan tempat minumnya tak berbagi (ibu/bapak dengan anak atau sebaliknya), tidak menyentuh muka, mata, mulut, hidung langsung dengan tangan, jika perlu gunakan alat (garpu steril/yang sering dilap alkohol/disinfektan).

Setelah 14 hari isolasi, disitulah sebetulnya jihad kita. Seperti orang habis puasa, menahan diri yang paling penting justru setelah lebaran. Setelah 14 hari isolasi itu perjuangan keras melawan covid 19 bagi setiap orang harus berlangsung. Terus waspada untuk tak memindahkan virus itu melalui media perantara baik langsung (bersin batuk,meludah, buang ingus dll) yang cairannya menerpa ke muka. Atau melalui perantara benda yang sudah dihinggapi covid 19.

Perjuangan atau jihad ini yang harus dilakukan TERUS MENERUS sepanjang waktu sampai pemerintah sebagai lembaga yang memiliki seperangkat instrumen untuk membuktikan virus telah hilang, kita baru Lebaran bebas covid 19, bebas dari puasa isolasi lanjutan.

Jadi jihad melawan covid 19 yang lebih berat dan karenanya harus sabar dan waspada adalah justru SETELAH ISOLASI MANDIRI 14 HARI lulus.

 

Lies Marcoes, 25 April 2020.