rumah kitab

Merebut Tafsir: Covid-19 – Mengambil Jarak “Yes”, Mengucilkan “No”

Oleh Lies Marcoes

Kompas TV memberitakan, ratusan warga mencegat ambulans bahkan dengan ancaman hendak membakarnya dan mengeluarkan paksa jenazah warga yang wafat terpapar covid-19. ( Kompas TV, 17 Juni 2020). Rupanya mereka tak menghendaki warga mereka yang wafat itu dikuburkan dengan prosedur sebagai jenazah covid- 19. Mereka telah melihat dan menerka-nerka betapa berat risiko yang akan dialami warga jika prosesi penguburan dilakukan dengan prosedur covid-19. Mereka akan terus diawasi petugas kesehatan dan gugus tugas covid-19, dan kampung mereka mungkin akan di-lockdown. Akibatnya mereka akan dilarang ke luar rumah/kampung. Mereka merasa mungkin akan dijauhi warga kampung lain bahkan tidak diberi akses melintasi jalan kampung-kampung lain. Bukan hanya akan mengalami pengucilan, pengakuan akan adanya warga yang wafat akibat covid-19 akan berdampak pada terbatasnya akses mereka untuk beraktivitas secara wajar termasuk dalam mencari nafkah.

Di tempat lain, dalam berita yang berbeda, satu keluarga dan para kerabatnya membawa pulang paksa jenazah covid-19 dari sebuah rumah sakit dan dipulasara ulang sesuai keyakinan agamanya. Mereka khawatir pemulasaraan jenazah di rumah sakit itu tak sesuai dengan tata cara agama yang mereka anut mengingat ketika pemulasaraan tak disaksikan pihak keluarga. Mereka juga tak terima jenazah dimasukkan ke dalam peti sesuai yang diasosiasikan dengan tata cara pemulasaraan agama lain. Keluarga itu khawatir mereka akan dikucilkan akibat pemulasaraan jenazah yang tidak sesuai dengan tata cara agama yang diyakini.

Dua peristiwa itu menurut saya membutuhkan solusi. Sebab “pengambil alihan” jenazah serupa itu sangat berisiko. Dikabarkan, 15 orang yang terlibat dalam proses memandikan dan mengkafani jenazah itu kemudian dinyatakan positif covid-19 dan kampung tempat mereka tinggal menjadi klaster yang diawasi.

Ketika kuliah di Medical Anthropology di Amsterdam kami membahas tema-tema serupa ini dalam pelajaran epidemiologi yang dilihat dalam isu kebudayaan. “Sakit” ternyata tak sekadar keadaan fisik seseorang yang tidak sehat, tetapi di dalamnya terdapat nilai-nilai tradisi, adat, budaya, dan cara pikir yang menyebabkan penyakit itu melahirkan persoalan lain, antara lain prasangka dan stigma.

Stigma paling tua dialami oleh penderita kusta atau lepra. Dalam sejarahnya, penyakit kusta atau lepra di Eropa, Timur Tengah, Afrika dan India dan kemudian menyebar di banyak negara tak terkecuali Indonesia. Penyakit ini muncul bersamaan dengan era kolonialisme di abad ke 19. Bakterinya pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Swedia tahun 1837. Lalu lintas orang antar benua dalam kerangka kolonialisme telah pula membawa ragam penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti lepra. Pada kenyataannya ini bukan sekadar penanganan penyakit yang disebabkan oleh bakteri “leprae” itu tetapi menghadapi bencana lain yang disebabkan oleh stigma dan ketakutan. Guna mengatasi penyebaran serta sebaliknya menghentikan “perburuan” kepada penderita lepra, upaya pengendaliannya dilakukan pemerintahan kolonial dengan membangun rumah sakit khusus lepra. Ini merupakan sebuah model yang meniru penanganan lepra oleh sebuah ordo dalam agama Katolik yang membangun koloni-koloni Rumah Kusta di pulau-pulau terpencil. Untuk mengurangi stigma dan pengucilan kadang-kadang rumah khusus lepra ini disebut “Rumah Lazar”, mengambil nama Santo Lazarus yang diyakini sebagai pelindung bagi para penderita lepra.

Melampaui isu penyakit, lepra kemudian menjadi sebuah istilah untuk menggambarkan watak kebencian rasial. Lepra digunakan sebagai metafora yang menggambarkan alasan untuk membenarkan pelenyapkan pisik atau politik kelompok lain yang dianggap “liyan” dengan basis ras, etnis, atau pembeda-pembeda lainnya. Meskipun penyakit lepra kini telah dapat dikendalikan dengan pengobatan dan karantina, tetapi metafora kebencian dengan menggunakan istilah lepra terus dipakai sebagai alasan untuk melenyapkan pihak lain.

Dalam sejarah penyakit-penyakit menular, stigma seringkali muncul lebih ganas dari penyakitnya itu sendiri. Hal ini terjadi pada orang dengan HIV misalnya. Freddie Mercury penyanyi legendaris itu harus menyembunyikan penyakitnya hingga hari-hari menjelang kematiannya. Meskipun stigma pada orang dengan HIV tak sekuat pada orang dengan penyakit lepra, tetapi orang harus berpikir beribu kali untuk menyatakan secara publik bahwa seseorang mengidap HIV atau bahkan penyakit yang dianggap biasa saja seperti TBC. Prosedur inform concern kemudian diberlakukan untuk menjaga kerahasiaan seseorang dengan penyakit yang disandangnya.

Stigma lahir bersama mitos dan prasangka. Begitu kuatnya stigma sehingga pihak keluarga pun kerap ikut termakan oleh stigma itu. Mereka melakukan penyangkalan-penyangkalan atau menutup-nutupi jika di dalam suatu keluarga terdapat orang sakit dengan jenis penyakit yang gampang kena stigma. Pengalaman mengajarkan, dampak dari stigma lebih berat dari penyakit itu. Mereka akan dikucilkan, dijauhi dan dimusuhi bahkan dalam waktu yang lama. Sebaliknya pihak keluarga juga menderit rasa malu atau wirang baik oleh asal usul penyakit atau penyebabnya. Kebiasaan memasung orang dengan gangguan kejiwaan merupakan salah satu bentuk untuk menutupi wirang itu. Begitu juga dengan menyembunyikan anggota keluarga yang mengalami disabilitas fisik atau mental.

Perasaan wirang dalam kaitannya dengan penyakit adalah sebuah prilaku wajar jika mengingat tekanan-tekanan sosial yang dialami meskipun tidak dapat dibenarkan. Sering juga rasa itu merupakan bentuk dari sikap pengecut pada orang sehat di sekitar orang yang sakit. Mereka agaknya tak membayangkan akibatnya yang berlapis-lapis yang akan mereka hadapi jika mereka tak menutupinya.

Saya ingat waktu kecil di kampung, kami dibuat gempar oleh kematian seseorang yang tinggal di gubuk penyimpanan kayu bakar di tengah ladang. Pihak keluarga rupanya menyembunyikan lelaki tua yang merupakan kerabat yang numpang di keluarga itu karena ia menderita TBC akut. Keluarga itu sangat takut tak dapat menggunakan sumur warga. Lebih dari itu mereka malu bahwa dalam keluarga itu ada yang sakit TBC, penyakit orang miskin. Adik kelas saya waktu SMP, meninggal akibat pendarahan dalam upaya orang tuanya menggugurkan kandungan dari hubungan di luar perkawinan. Ia baru 13 tahun ketika itu. Pihak keluarganya telah menyembunyikannya tanpa membawanya ke dokter ketika ia mengalami pendarahan hebat dengan alasan malu.

Perasaan malu, atau takut akan stigma serta dampaknya berupa pengucilan yang disebabkan suatu penyakit ternyata tak hanya dialami oleh sebuah keluarga tempat penderita berasal. Dalam kasus covid-19, perasaan takut diasingkan, berdampak luas kepada warga yang kemudian melahirkan penyangkalan-penyangkalan kolektif. Dalam situasi yang berbeda, hal serupa dilakukan oleh penguasa atas nama stabilitas politik dan ekonomi

Dalam situasi ini, penanganan covid-19 membutuhkan bukan hanya informasi bagaimana penyakit bisa menular dilawan dan diatasi, tetapi juga kejujuran.

Diperlukan penerangan-penerangan yang dapat mengubah cara pandang orang terhadap covid-19 agar tak melahirkan stigma dan pengucilan. Dalam makna ini, penanganan covid-19 jelas tak hanya oleh Kementerian Kesehatan, melainkan oleh para pihak yang terhubung langsung dengan masyarakat seperti Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama. Di sini pula efektivitas cara kerja LSM yang bekerja dalam isu penanggulangan diskriminasi dan ujaran kebencian dapat dibuktikan. Demikian halnya para ahli kebudayaan harus ikut rawe-rawe rantas! Mengambi jarak “yes”, mengucilkan “no”!

Lies Marcoes, 18 Juni 2020.

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.