Covid-19 dan Pendisiplinan Tubuh

Oleh Jamaluddin Mohammad

Dunia masih tampak murung. Serangan Covid-19 menghancurkan seluruh bangunan sosial, politik, maupun ekonomi hampir semua negara. Setiap orang disergap ketakutan, dihantui kematian, dan dihinggapi rasa was-was juga ketidakpastian menghadapi masa depan.

Bagaimana memahami fenomena global ini? Ada wacana tunggal dalam memahami dan menghadapi pandemi Covid-19, yaitu dominasi wacana medis modern yang berpusat pada tubuh. Sejumlah istilah penting yang populer di masa pendemi ini, seperti “lockdown“; “social/physical distancing“; “PSBB”; “WFH”; dll adalah istilah-istilah yang muncul dari cara pandang (pengetahuan) medis dalam memahami fenomena sakit dan sehat.

Menurut penjelasan medis modern, wabah penyakit ini disebabkan oleh virus yang diberi nama Corona. Virus ini menyebabkan gejala fisik seperti demam, pilek, sesak nafas, hingga kematian.

Virus yang ditemukan akhir 2019 ini dapat menular melalui orang per orang atau lewat media lain. Sampai saat ini belum ditemukan antivirusnya (vaksin) sehingga hanya bisa dilakukan langkah-langkah tertentu yang berpusat pada tubuh. Tubuh harus didisiplinkan, dipantau dan diawasi aktivitas dan pergerakannya.

Dari sini lahir perilaku massal dan seragam yang dilakukan penduduk dunia di hampir semua negara: manusia-manusia yang dikurung di dalam rumah (self isolation), kota-kota yang diisolasi (lockdown/PSBB), aktivitas manusia yang saling berjauhan (social distancing), dll.

Inilah yang oleh Foucault disebut sebagai cara kerja pengetahuan dalam menguasai dan mendisiplinkan tubuh manusia. “Jika Anda ingin memahami perilaku manusia pada tempat dan waktu tertentu, temukanlah wacana yang mendominasi di situ,” kata Foucault.

Di masa pandemi ini wacana paling dominan mengatur sikap dan perilaku orang adalah wacana medis modern. Yang lain mengabdi dan mengikuti, baik politik, ekonomi, maupun agama. Semua kebijakan politik maupun ekonomi hari ini berangkat dari cara pandang medis. Tak terkecuali wacana keagamaan.

Seluruh kegiataan apapun yang bersifat massal harus dihentikan. Semua orang tak boleh beraktivitas kecuali di dalam rumah, termasuk kegiatan keagamaan. Titik tolak dan tujuannya satu: menghindari virus yang mencoba bersarang di tubuh manusia.

Salah satu ciri medis modern adalah memusatkan perhatian pada pembasmian penyakit yang terdapat dalam tubuh ketimbang mencari sumber eksternalnya yang bersifat sosial, mental, atau emosional. Sumber eksternal yang diakui dalam medis modern hanya gejala fisik berupa virus, bakteri atau racun.

Karena itu, dalam pengobatan modern, tidak mengenal terapi musik seperti yang dilakukan al-Kindi atau al-Farabi. Juga pengobatan melalui media wifik (rajah) seperti yang dilakukan dokter-dokter muslim Abad Pertengahan.

Yang penting menghindari virus. Tak peduli mereka harus stres tinggal di rumah, tak dapat kerja, atau karena lingkungan sosial berubah yang bisa jadi akan menimbulkan penyakit lain.

Wacana medis modern telah dipengaruhi cara pandang positivistik, sehingga membuang hal-hal yang bersifat metafisik atau adikodrati. Juga terpengaruh badai sekularisasi Barat. Wacana medis modern yang positivistik itu sekarang ini tampil dalam bentuk narasi tunggal dan mendominasi setiap aspek kehidupan.

Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini saya mengharapkan tampil model dan pendekatan non-medis modern, semisal dukun, yang bisa mengakhiri bencana global ini. Sayangnya wacana medis modern masih tetap tak terkalahkan.

Sebetulnya, di negeri ini perlawanan terhadap dominasi wacana medis modern sudah dilakukan oleh sejumlah kecil agamawan yang menggunakan argumentasi keagamaan. Hanya, sangat disayangkan, semangat perlawanan mereka seperti perlawanan Gereja terhadap sains sebagaimana terjadi di Eropa Abad Pertengahan, bukan mengambil inspirasi dari ilmuan dan ulama muslim abad keemasan Islam yang tak mengenal sekularisasi. Sekularisasi hari ini adalah hasil dari proses sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di Barat yang terputus sama sekali dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.

Perkembangan ilmu pengetahuan hari ini seolah absen dari iman (agama). Padahal keduanya tak perlu dipertentangkan bahkan saling mendukung dan menguatkan. Saya menemukan penjelasan ini dalam kitab Tauhid yang dijarkan di pesantren, yaitu “Husun al-Hamidiyyah”.

Kitab yang ditulis Sayid Husaen Affandi ini di dalamnya memuat satu bab khusus bagaimana cara mendamaikan wacana keagamaan dan temuan ilmu pengetahuan. Penjelasan ini tentu saja akibat pengaruh sekularisasi itu. Prinsip utamanya bahwa kepercayaan agama harus didukung dalil naqli (teks) dan diperkuat dalil aqli (akal). Jika teks bertentangan dengan akal maka harus di takwil. Dengan ini wacana kegamaan bisa bersinergi dengan temuan ilmu pengetahuan.

Jika mengikuti alur sejarah perkembangan ilmu pengetahuan islam, sesungguhnya islamisasi ilmu pengetahuan tak perlu dilakukan, karena segala jenis riset pengetahuan berangkat dari terang iman dan tak lepas dari bimbingan agama. Wallau ‘alam

Salam,
Jamaluddin Mohammad

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses