Wah, Kawin Siri dan Poligami Ternyata Makin Membudaya. Pegawai Diusulkan Sanksi Ekonomi Dipreteli

SOSIALISASI UU- Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama Jakarta, Lies Marchoes saat memberikan paparan dalam Sosialisasi UU Terkait Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak yang digelar Anggota Komisi VIII DPR RI Gerindra, Rahayu Saraswati dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan di Sragen, Rabu (18/10/2017). Joglosemar/Wardoyo

SRAGEN– Fenomena kawin siri dan poligami dinilai menunjukkan tren peningkatan signifikan. Pemerintah pun diminta lebih tegas menerapkan aturan untuk menghindari adanya banyak istri yang menjadi korban kekerasan karena suaminya poligami atau nikah siri.

Hal itu disampaikan Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama Jakarta, Lies Marchoes yang dihadirkan dalam agenda Sosialisasi UU Terkait Masalah Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak yang digelar Anggota Komisi VIII DPR RI Gerindra, Rahayu Saraswati dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan di Sragen, Rabu (18/10/2017).

Lies menyampaikan saat ini kawin siri dan poligami tak hanya kalangan pejabat atau birokrat, perilaku kawin siri dan poligami itu juga mulai merambah kalangan ekonomi bawah seperti tukang becak. Menurutnya, hal itu memang seolah menjadi tren baru lelaki di Indonesia.

“Kalau secara data kami tidak bisa sampaikan. Namun melihat fenomenanya, memang terus tinggi. Karena nggak semua istri mau melapor. Bagi kami, satu kasus nikah siri dan poligami itu sudah bentuk kekerasan terhadap perempuan,” paparnya di hadapan puluhan ibu-ibu yang hadir.

Menurutnya poligami seharusnya memang tegas dilarang seperti zaman orde baru. Kala itu semua PNS dan angkatan akan dijatuhi sanksi dan ekonomi dipreteli untuk istri muda, istri tua dan anak-anaknya jika ketahuan melakukan dua hal itu.

Sebab dalam konteks istri tua, poligami adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan baik kekerasan psikis, ekonomi maupun terjadi pemaksaan istri pertamanya untuk menerima istri muda.

“Realitanya banyak istri ternyata tak punya cukup daya untuk melawan. Pemerintah juga harus tegas karena selama ini terjadi dualism hukum. Satu sisi UU negara yang kedua ada hukum lain entah adat atau agama yang diperlakukan sama,” tegasnya didampingi Staff DPP Gerindra, Elizabeth.

Lewat sosialisasi UU, diharapkan perempuan bisa memiliki pemahaman dan
keberanian untuk melapor atau melawan jika mendapat kekerasan dari suaminya dalam bentuk apapun.

Sementara, Perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan Deputi Bidang partisipasi Masyarakat, Fajar Surya menyampaikan sosialisasi itu juga bagian untuk merumuskan konsep sinergitas antara semua elemen untuk meminimalisir kekerasan terhadap perempuan.

Dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga berupaya memberikan pemberdayaan terhadap perempuan melalui pelibatan dunia usaha, dan ormas lainnya. (Wardoyo)

 

Sumber: https://joglosemar.co/2017/10/wah-kawin-siri-dan-poligami-ternyata-makin-membudaya-pegawai-diusulkan-sanksi-ekonomi-dipreteli.html

UNICEF Ikut Tekan Pernikahan Dini di Probolinggo

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Badan PBB untuk urusan anak-anak, Unicef berkunjung ke Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Selasa (4/4/2017). Kunjungan dilakukan terkait Program Pencegahan Pernikahan Dini di Kecamatan Krucil dan Paiton.

Kedatangan tim Unicef yang terdiri dari Unicef Jakarta, yang diwakili Felice Baker; dan Unicef Surabaya yang diwakili Naning Puji Yulianingsih, serta Perhimpunan Rahima dan Yayasan Rumah Kita Bersama, sebagai mitra kerja Unicef disambut Wakil Bupati Timbul Prihanjoko di rumah dinas, Selasa (4/4/2017).

Hadir juga Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta segenap pejabat Satuan Organisasi Perangkat Daerah (SOPD) terkait di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Probolinggo.

Kabupaten Probolinggo mendapat program Unicef atas rekomendasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (PPPA), dan juga Komitmen Bupati Probolinggo, P. Tantriana Sari. Tujuan besarnya, supaya dapat mengangkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan menjadikan Kabupaten Probolinggo wilayah ramah anak.

Felice Baker mengatakan, program kerja ini dilaksanakan selama 14 bulan. Kegiatannya meliputi pemetaan, peran pencegahan, penyusun data, modul-modul untuk mengambil keputusan, dan melatih aktor yang berperan untuk perlindungan anak.

Terkait program tersebut, Wabup Timbul Prihanjoko, berterima kasih kepada Unicef. Ia berharap program berjalam baik dan selesai secara tuntas.

“Pemerintah daerah memberikan suport pada Unicef yang telah membantu supaya Kabupaten Probolinggo semakin baik dan  dapat meningkatkan kesadaran masyarakat maupun dapat meningkatkan IPM,” ujarnya. (*)

https://www.timesindonesia.co.id/read/145522/20170404/152149/unicef-ikut-tekan-pernikahan-dini-di-probolinggo/

Kecamatan Panakkukang Kedatangan Tamu Dari Australia

MAKASSAR, KORANMAKASSARNEWS.COM — Tidak biasanya kantor kecamatan yang ada di Kota Makassar yang berjumlah 15 ini termasuk Kecamatan Panakkukang, yang dulu hanya menerima tamu dari dari daerah atau kota/kabupaten luar. Namun, kali ini kecamatan Panakkukang Kota Makassar kedatangan tamu dari luar negeri yakni Dr. Sharman Stone, Duta Besar (Dubes) Australia untuk Perempuan dan Anak.

Kedatangan Dubes Dr. Sharman Stone di Kantor Kecamatan Panakkukang disambut hangat oleh warga yang hadir. Adapun maksud kedatangan Dr. Sharman ialah melakukan dialog bersama warga Kecamatan Panakkukang dengan tema “Upaya Pencegahan Kawin Anak di Kecamatan Panakkukang”.

Turut hadir dalam dialog tersebut Wakil Ketua TP PKK Provinsi Sulawesi Selatan Dr. Ir. Hj. A. Majdah M. Zain, M.Si, Ketua TP PKK Kota Makassar Hj. Indira Jusuf Ismail, Kepala Dinas Perlindungan Anak dan Perempuan Kota Makassar, Tenri Palallo serta selaku tuan rumah Camat Panakkukang Muh. Thahir Rasyid.

Sekilas tentang, Dr. Sharman Stone adalah pejuang dan pembela keadilan dan kesetaraan gender baik di Australia maupun di dunia internasional. Beliau juga mantan politisi Australia yang aktif didunia politik sejak tahun 1996 sampai 2016.

Dialog bersama warga ini merupakan juga merupakan kerjasama Rumah Kitab (Rumah Kita Bersama) dengan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2). Dengan isu perkawinan anak yang sangat kompleks, menunjukkan pentingnya memperhatikan masalah perkawinan anak di wilayah urban dengan fokus pada peran kelembagaan formal dan non formal.

Rumah Kitab mengembangkan program “Pencegahan Perkawinan Anak Melalui Revitalisasi Lembaga Formal/Non Formal dan Pemberdayaan Peran Tokoh Masyarakat serta Keluarga dan remaja di Kawasan Perkotaan”.

Dengan itu maka diselenggarakanlah dialog tentang upaya pencegahan kawin anak bersama warga Kecamatan Panakkukang. Selain itu Camat Panakkukang Muh. Thahir Rasyid selaku tuan rumah mengatakan pemerintah sangat mendukung dengan adanya kegiatan tersebut dan berharap dapat bermanfaat banyak bagi warga. (**)

 

Sumber: http://koranmakassarnews.com/2017/11/01/hebat-kecamatan-panakkukang-kedatangan-tamu-dari-australia/

Pelatihan Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Pada semester kedua tahun 2017, Rumah Kita Bersama menyelenggarakan kegiatan pelatihan “Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” di pesantren Darus Sunnah.

Setelah berkoordinasi 2 bulan sebelumnya dengan pesantren-pesantren yang akan diikut sertakan pada kegiatan pelatihan pendidikan karakter, akhirnya, terselenggaralah kegiatan pelatihan pendidikan karakter yang melibatkan puluhan guru dan pelajar dari berbagai pesantren yang menjadi jaringan pesantren di wilayah Tangerang.

Kegiatan pelatihan di Tangerang diadakan di Darus Sunnah pada 27 Oktober 2017. Pesantren ini dikenal sebagai satu-satunya pesantren yang berfokus pada pengajaran ilmu hadits namun berfaham moderat dan progressif. Kegiatan pelatihan “Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” di pesantren ini juga melibatkan para guru dan santri, perempuan dan laki-laki, yang asal dari berbagai pesantren yang berlokasi di wilayah Tangerang dan sekitarnya, di antaranya pesantren Nurul Hikmah, Pesantren Darus Sa’adah, Madrasah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah, Pesantren Daar el-Qolam, Pesantren Putri Al-Hasanah Darunnajah, Pesantren Subulussalam, serta beberapa mahasiswi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, dan Institute Ilmu Al-Qur’an (IIQ).

Rumah Kita Bersama menggunakan dua metode pelatihan berbeda di setiap kegiatan karena perbedaan kelompok peserta, yaitu kelompok guru dan kelompok pelajar (santri). Pertama, Untuk kelompok guru, metode yang digunakan berupa diskusi aktif peserta dengan menerapkan metodologi pengajaran pendidikan, sesuai dengan tipe kebutuhan di lingkungan pendidikan masing-masing. Nilai-nilai yang dibahas di dalam kelompok diskusi para guru ini di antaranya Cinta Tanah Air, Toleransi, Kesetaraan, Kejujuran, Tanggung Jawab, Kerjasama, dan Kepedulian. Diskusi ini juga menganalisis sandaran teologis dan analisis komparatif antar mazhab pemikiran dan aliran, melalui studi kasus yang tengah terjadi di lapangan, sehingga para guru diharapkan dapat menjadi penengah saat menghadapi perbedaan dan pertentangan yang terjadi di Lembaga pendidikan.

 

Kedua, untuk kelompok pelajar menggunakan metode pelatihan berupa active learning dengan diskusi aktif para peserta yang dibagi ke dalam beberapa kelompok belajar, setiap kelompok mendiskusikan nilai-nilai seperti toleransi, kasih sayang, kesetaraan, kerjasama, kepedulian, cinta tanah air, kejujuran dan rendah hati. Diskusi kelompok juga membahas metode penerapan nilai dalam kehidupan sehari-hari.

 

Internalisasi nilai dalam puisi, lagu, dan nyanyian, dikhususkan untuk pelajar, disesuaikan dengan spirit nilai yang dibahas di dalam kelompoknya. Sementara internalisasi nilai untuk para guru menitik beratkan pada membangun kesadaran pentingnya metode pendidikan karakter diterapkan melalui nonton film-film kisah nyata pentingnya pendidikan karakter.

Komposisi peserta yang hadir di kedua lokasi pelatihan itu sangat beragam, jumlah laki-laki dan perempuan pun hampir berimbang. Tingkat partisipasi peserta di dalam pelatihan ini sangat tinggi, karena para peserta menyadari bahwa lembaga pendidikan tempat mereka bernaung itu dikepung oleh situasi dan kondisi yang sangat mempengaruhi tumbuhnya dekadensi moral di kalangan remaja, tawuran antar pelajar dan cengkeraman jaringan narkoba, serta kondisi wilayah yang juga dipenuhi oleh para aktivis jihadis yang mempengaruhi pola pemikiran remaja terhadap ketertarikan remaja pada aksi kekerasan atas nama agama. Tangerang merupakan lokasi yang subur bagi tumbuhnya dakwah salafi-jihadi. Hizbut Tahrir banyak mendapat simpatisan dari wilayah Tangerang dengan pengajian-pengajiannya yang mengajarkan pelajar menjadi pelaku kekerasan, mengkafirkan sesama teman yang terjadi di kalangan remaja baik di ruang kelas maupun di media sosial.

Merebut Tafsir: Keberpihakan

SEBAGAIMANA sejarah, tafsir atas teks suci adalah milik kaum pemenang. Karenanya tafsir tak (mungkin) relatif. Ia, bersama rezim penafsir yang bekuasa, untuk kepentingannya, untuk legitimasinya senantiasa berpihak kepada kepentingan mereka.

Di masa kerasulannya, Nabi Muhammad meletakan dasar keberpihakannya kepada mereka yang dizhalimi dalam struktur masyarakat dengan karakteristik feodal, rasis berbasis warna kulit, patriakh, anti perempuan, anti kaum miskin, anti anak yatim, anti minoritas agama, dan anti monogami. Bacaan Nabi atas realitas itu, bersama wahyu yang diterimanya, melahirkan ajaran yang mendobrak dan menjungkirbalikkan struktur-struktur kuasa yang seolah sudah menjadi kebenaran. Dengan legitimasinya seluruh ketimpangan sosial diperbaiki dengan prinsip-prinsip nilai dan contoh praktisnya. Misalnya, meletakkan secara setara semua manusia karena yang dinilai oleh Allah adalah amalnya. Itu merupakan prinsip Tauhid. Sementara untuk praktisnya, nilai itu ditunjukkan dengan ibadah haji yang semuanya sama ditunjukkan dalam tata cara bepakaian seperti kain ihram. Rasisme diatasi dengan mengawini perempuan hitam Koptik dari Mesir dan mengangkat Bilal- budak hitam menjadi muazzin. Mereka diberi kelas/kedudukan sosial di hadapan kelas menengah para feodal Makkah-Madinah; perempuan yang dihinakan dalam stuktur patriakh feodal, diposisikan setara secara sosial dengan lelaki dengan cara pemberian warisan yang setara, larangan mengawini budak-budak, dan didengar pendapatnya serta direstui cara berpikir mereka dalam menolak kekerasan; anak yatim dan budak dijadikan sarana penebusan kesalahan sosial dan agama–kalau batal puasa–kasih makan anak yatim, kalau berzina tebus budak, kalau membunuh tebus budak lebih banyak.

Sepeninggal Nabi, penerusnya paham betul bahwa tak ada yang punya kuasa atas ajaran agama kecuali melalui tafsir. Padahal melalui dan dalam agama ada magma kuasa. Di sini tafsir lalu diperebutkan dan dibeli. Karenanya sang pemenang niscaya kaum penguasa.

Kalangan feminis Muslim, dalam catatan Ziba Mir Hossaini, terus-menerus mencoba memperlakukan tafsir sebagaimana kaum patriakh memperlakukan teks. Membaca teks sesuai tafsir dan kepentingannya. Namun menafsirkan dengan cara itu hanya menjadi tafsir pinggiran meskin secara subtansi telah berupaya mengembalikan ayat pada fungsinya sebagaimana dilakukan Nabi. Dalam kesadaran kaum feminis Muslim, rupanya tafsir tak bisa menjadi pandangan mainstream tanpa menggunakan kekuasaan politik. Dan mana ada kekuasaan yang memihak pada tafsir kaum feminis sedang mereka menikmati kejayaannya dengan menindas kaum perempuan. Berdasakan itu, menurut Ziba, cara untuk mengembalikan penafsiran pada jalannya yang benar adalah mengkontraskan teks dengan realitas, di sini realitas ketertindasan manusia harus dijadikan konteks yang menantang teks. Ketertindasan setiap entitas harus dihadirkan, dan sebagaimana Nabi, dengan agama yang dibawanya Nabi membebaskan mereka yang dilemahkan dalam struktur-struktur kelas sosial, gender, umur, posisi sosial ekonomi dan politik. Dalam makna itu, untuk membebaskan tafsir dari kungkungan rezim pemenang, maka kiblat atau pedoman untuk penafsiran haruslah jelas yaitu semangat pembebasan bagi mereka yang dizhalimi secara stuktur dan kelas. Jadi siapa yang hendak Anda bela dengan tafsir Anda?[]

 

Ayu Juwita dari Sumut Jadi Menteri Sehari di Kementerian PPPA

Analisadaily (Jakarta) – Plan International Indonesia kembali menggelar event ‘Sehari Jadi Menteri’, di mana seorang remaja perempuan terpilih, Ayu Juwita dari Sumatera Utara menggantikan posisi Yohana Yambise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA). Acara ini merupakan rangkaian kegiatan untuk memperingati Hari Anak Perempuan Internasional (International Day of the Girls), yang jatuh setiap tanggal 11 Oktober.

“Hari Anak Perempuan Internasional bisa dijadikan momentum bagi semua pihak untuk memperkuat upaya pemberdayaan dan perlindungan anak perempuan, terutama dalam mendukung pencegahan perkawinan anak. Hal ini juga merupakan bentuk dukungan kami untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDGs) poin ke-5,” kata Country Director Plan International Indonesia, Myrna Remata-Evora, ditulis Analisadaily.com, Kamis (11/10).

Melalui kegiatan ini, Plan International Indonesia memberikan kesempatan bagi anak Indonesia khususnya anak perempuan untuk belajar jadi pemimpin. Hal ini sesuai dengan komitmen Plan International, untuk memastikan anak perempuan di seluruh dunia dapat belajar (learn), memimpin (lead), memutuskan (decide) dan berkembang dengan baik (thrive).

Acara ‘Sehari Jadi Menteri’ ini diikuti oleh 21 anak dan kaum muda terpilih, dari berbagai wilayah Indonesia. Mereka terpilih setelah mengikuti proses seleksi, yang melibatkan Kementerian PPPA, dan didukung oleh UNICEF dan Aliansi AKSI. Pada event ini, ke-21 anak muda itu berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan, terutama menyangkut hal yang berdampak pada kehidupan anak perempuan. Berkantor di KPPPA, Ayu Juwita menjadi Menteri dan memimpin rapat pimpinan bersama Sekretaris Menteri, Deputi dan Asisten Deputi, yang juga diisi oleh anak muda.

“Kaum muda adalah pemimpin masa depan. Salah satu masalah yang paling mendesak yang dialami banyak kaum muda di Indonesia saat ini adalah perkawinan usia anak. Fenomena perkawinan usia anak berpotensi mengakhiri pendidikan anak perempuan, merusak kesehatannya dan membuat mereka menghadapi risiko kekerasan yang lebih tinggi,” kata Perwakilan UNICEF Indonesia, Lauren Rumble.

Lies Marcoes, dari Aliansi AKSI mengatakan, Rumah Kitab sebagai lembaga riset advokasi pencegahan perkawinan anak sangat mengapresiasi kegiatan Hari Anak Perempuan Internasional, di mana tema tahun ini sangat relevan dengan kerja-kerja Rumah Kitab. Demikian juga 31 anggota jaringan Aksi Remaja Perempuan Indonesia (AKSI) yang dalam tahun ini memberi perhatian pada upaya pencegahan perkawinan usia anak.

“AKSI melihat dampak buruk perkawinan usia anak seharusnya dapat dicegah dengan pemberian informasi yang tepat bagi remaja dalam mencegah kawin anak,” tambah Ibu Lies Marcoes, Perkawilan dari Aliansi AKSI.

Dari 1.800 kandidat, terpilih 50 finalis yang ikut dalam kompetisi video blog, berdurasi 90 detik untuk menyuarakan pendapatnya jika menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menghentikan praktik perkawinan usia anak di Indonesia.

Kemudian Plan International Indonesia bersama dengan Aliansi AKSI dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memilih 11 video blog terbaik, serta 10 video blog yang terpilih dengan jalur khusus untuk memastikan bahwa penyelenggara mendorong partisipasi aktif anak dan kaum muda yang tidak memiliki akses karena kondisi tertentu seperti tinggal di tempat yang terpencil.

Sebelum menjalankan peran “Sehari Jadi Menteri”, mereka telah mendapatkan pelatihan dasar kepemimpinan selama tiga hari dari tanggal 7-9 Oktober di Leadership Camp. Mereka belajar mengenai berbagai keterampilan kepemimpinan. Mereka juga diberikan pembekalan mengenai organisasi di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta isu-isu hak anak dan kesetaraan gender, terutama isu yg berkaitan dengan pencegahan perkawinan usia anak.

“Kami berharap setelah menjalani kegiatan “Sehari Jadi Menteri”, anak muda dapat menjadi agen perubahan (agent of change) di daerahnya untuk mendukung pencegahan perkawinan usia anak. Perkawinan usia anak membuat anak perempuan menanggung banyak risiko yang dapat mempengaruhi hidupnya, mulai dari putus sekolah, gangguan kesehatan reproduksi seperti komplikasi pada saat melahirkan hingga kekerasan dalam rumah tangga.”

“Kemiskinan juga cenderung berulang dari generasi ke generasi akibat perkawinan usia anak. Karena itu, sebagai organisasi yang peduli terhadap hak-hak anak, kami ingin masyarakat Indonesia sadar tentang hak-hak anak perempuan termasuk haknya untuk tidak menikah pada saat mereka masih usia anak,” tutup Program Manager Plan International Indonesia Wahyu Kuncoro.

(rel/rzp)

Sumber: http://news.analisadaily.com/read/ayu-juwita-dari-sumut-jadi-menteri-sehari-di-kementerian-pppa/431433/2017/10/12

Diskusi dengan ibu-ibu Kalibaru, Cilincing

Diskusi dengan ibu-ibu muda Kalibaru, Cilincing

Dukun Beranak di Kalibaru, Cilincing

Kalibaru, Cilincing