Merebut Tafsir: Siapa Penjaga Nilai?

Seonggok buah pepaya mengkal di dalam plastik merah tertumpuk di tepi taman tempat orang lalu lalang di kompleks tempat kami tinggal. Dalam secarik kertas tertera tulisan ” Silahkan diambil”. Saya pun jadi terinspirasi untuk masak gulai pepaya serut seperti kuah lontong sayur atau lontong cap gomeh.
Sambil menyiapkan masakan, muncul pertanyaan etik, jika tak ada keterangan dalam kertas itu akankah orang mengambilnya? Atau orang tak berani karena takut milik orang yang tertinggal?
Tampaknya ada semacam pertempuran nilai di dalam batin, apakah kita akan mengambil barang tak bertuan serupa itu? atau kita tak akan mengambilnya karena itu milik orang dan kalau mengambilnya berarti kita mencuri.
Di waktu kecil, sumber nilai kami sangat terbatas. Selain orang tua dan guru kami dapat dari lingkungan. Kami tak menonton tivi, tak pernah mendengar ceramah agama selain dari guru Agama di sekolah dan tentu saja nilai yang diajarkan di Tajug, mesjid kecil yang dipimpin seorang kyai kampung.
Entah bagaimana prosesnya, kami anak-anak kemudian seperti punya nilai yang sama soal kepemilikan. Basisnya saya yakin dari ajaran tradisi orang Sunda dan dari fiqh. di tajuk kami mengenal nilai-nilai yang berlaku sama bagi semuan anak plus orang tua terkait kepemilikan.

Sebagai anak-anak pekerjaan kami blusukan. Kami mengambil buah-buahan dan atau ikan sepanjang itu milik umum (milik desa, atau dari sungai misalnya), Tapi kami tak pernah mengambil buah-buahan di kebun orang meskipun tak berpagar. Semua anak atau orang tua di kampungku mematuhi aturan itu. Ada aturan lain, jika ada pohon dan berbuah di tepian kebun seseorang, dan batangnya menyjuntai ke kebun yang lain, maka pemilik kebun yang lain itu boleh mengambil buahnya di batas batang pohon itu bergelaut ke arah kebunnya. Nilai yang lain yang paling disukai anak-anak adalah, buah yang jatuh dari kebun siapapun itu milik yang menemukannya. Karenanya jika sedang musim buah, terutama mangga, subuh-subuh anak-anak berlomba mencari buah jatuhan. Tak ada yang mengawasi, tapi tak ada yang berani memetik manggah yang bergelayut meskipun terjangkau tangan. Begitulah nilai kami jaga bersama.
Suatu hari kami kedatangan warga baru pindahan dari kota. Kami mengagumi keluarga baru itu. Pak Sersan, demikian kami memanggilnya. Anaknya lima, 2 perempuan yang besar dan tiga lelaki, salah satunya bernama Nandang.
Bersama dengan kekaguman itu, kami dibuat terkaget-kaget. Anak-anak pak Sersan sering ikut kami bermain. Tapi mereka membawa nilai yang lain. Anak yang laki-laki seenaknya memetik mangga atau jambu dan selalu mengatakan, “jangan bilang nanti ditembak bapakku”. Kami pun tutup mulut. Suatu hari dia memancing ikan di kolam bapakkku, dia dapat gurame besar. aku terkejut!. Di hari lain, dia buka cerobong air dari kolam besar milik pak kuwu jeneng (mantan lurah) dan bersama air yang mengalir dari kolam ke selokan terbawa pula puluhan ikan mas, mujair dan tawes. Kami anak-anak terkesima dan terkejut. Tapi semua teman-temanku diam. Tapi aku berpikir keras ini harus bagaimana. Ada pencurian dan kami diancam sekaligus dibuat heran atau mungkin takjub. Kok bisa?” Akhirnya aku mengadu kepada Bapakku setelah sekali lagi ia memancing ikan di kolam bapakku. Tapi Bapakku diam.

Tak lama kemudian dalam khutbah Jum’at konon Bapakku membuka isu ini tanpa menyebut nama- soal anak-anak yang belajar mencuri. Rupanya Pak Sersan tahu bahwa arah khubah itu kepadanya dan anak-anaknya yang suka mencuri.
Tak lama kemudian, ketika kami bermain di tempat jemuran kopra di pabrik Babah Owe, pengusaha yang berkongsi dengan Bapakku, Pak Sersan datang. Ia bawa popor. Kami semua terkejut. Dia bicara dengan suara berat tapi pelan, ia menanyakan siapa yang mengadu perihal anak-anaknya yang suka mencuri. Tak ada yang mengaku, kami ketakutan. Lalu dia panggil si Nandang. Dan dengan popornya dia sabet berulang ulang ” ngerakeun siah… ngerakeun aing, mantog siah” “Bikin malu kamu, sana minggat kamu”! Si Nandang pun lari (baru sorenya ia pulang). Kami semua terkejut sebab tak pernah menyaksikan orang tua yang menyiksa anaknya seperti itu. Namun sejak itu ada nilai yang berubah di dalam kosa kata dan pergaulan kami. Mencuri tak lagi mengejutkan! Dan rumah kami harus berkunci rapat karena sering ada yang kemalingan. Ke manakah gerangan nilai-nilai itu menguap? Ketika nilai-nilai yang bersumber dari adat istiadat, nilai agama pupus, mungkin di saat itulah dibutuhkan aturan hukum. (Lies Marcoes)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.