Palestina, Ekualisasi, dan “Defensive Colonialism”
Oleh: Ulil Abshar Abdalla
Ini adalah catatan kedua saya tentang isu Palestina, setelah catatan pertama dua hari lalu. Masih ada satu tulisan lagi yang saya rencanakan, dan setelah itu saya akan berhenti menulis tentang isu ini. Terlalu terfiksasi pada satu isu kadang kurang baik dan bisa juga membosankan. Yang ingin mengetahui pendapat saya lebih detil, meskipun agak sporadis, silahkan menengok lini waktu di akun Twitter saya: @ulil. Di sana, saya menyampaikan pendapat saya secara lebih blak-blakan dan cukup banyak mengenai Palestina.
Baru-baru ini, Ghassan Hage, seorang profesor antropologi dan teori sosial di University of Melbourne, Australia, menulis kolom menarik: “The Right to Defend Oneself: An Utterance with Bloody Colonial History.” Kolom ini dimuat di portal openDemocracy (opendemocracy.net).
Tulisan Hage menyoroti narasi “self-defence,” pertahanan diri, yang sering kali dipakai oleh penguasa-penguasa kolonial, baik di .asa lampau atau sekarang, untuk membenarkan tindakan kekerasan mereka terhadap penduduk pribumi yang mereka jajah. Setiap penguasa kolonial cenderung memakai narasi self-defence ini.
Ketika Spanyol mulai menguasasi dan merampas tanah-tanah penduduk setempat di Amerika pada 1492 (pada tahun-tahun inilah kira-kira tafsir Jalalain yang populer di pondok pesantren NU itu ditulis oleh Imam Jalaluddin al-Suyuti [w. 911 H/1505 M]); ya, ketika Spanyol mulai menduduki tanah-tanah di Amerika, penduduk pribumi di Kepulauan West Indies melakukan perlawanan. Mereka membunuhi para “conquestador,” para penakluk “dunia baru” itu. Sebagai balasan, orang-orang Spanyol melakukan pembunuhan balik orang pribumi dalam jumlah yang lebih banyak lagi. Alasannya? Pertahanan diri, self-defence.
Yang ironis adalah ini: Ketika sang pribumi terjajah melawan balik, ia dituduh “ekstremis,” radikal, dan lebih mengedepankan jalan kekerasan tinimbang perdamaian. Dengan kata lain, bahkan definisi “self-defence” pun ditentukan oleh pihak penjajah yang menang. Pihak yang dijajah tidak boleh melakukan pertahanan diri. Ini adalah kekalahan berlapis-lapis: sudah dijajah, membela diri pun tidak boleh!
Semua penguasa kolonial Eropa memakai alasan itu. Kolonialisme Inggris, Perancis, Belanda, Italia, dan Jerman yang menduduki tanah-tanah jajahan di hampir semua penjuru dunia pada abad ke-18,19 dan 20, menggunakan narasi “pertahanan diri” untuk membunuh ribuan, bahkan jutaan penduduk pribumi. Narasi ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang “self evident,” benar pada dirinya sendiri. Tak perlu dipersoalkan!
Inilah yang oleh Ghassan Hage disebut sebagai “defensive colonalism,” kolonialisme dengan alasan pertahanan diri. Dalam narasi semacam itu, dua kekerasan dianggap sama statusnya: kekerasan sang penjajah dan kekerasan bangsa yang dijajah. Sama-sama kekerasan kok! Ekualisasi, penyamaan antara dua jenis kekerasan ini jelas mengandung masalah besar, karena menyembunyikan fakta berikut: yang satu penjajah, yang satunya dijajah. Tak dibutuhkan kecerdasan kelas berat untuk memahami kekeliruan cara berpikir seperti ini.
Narasi “pertahanan diri” inilah, kata Ghassan Hage, yang dijual oleh pemerintah Israel dari dulu hingga sekarang. Tujuannya satu: membenarkan kejahatannya membunuhi penduduk Palestina di Gaza. Narasi Israel ini bukan barang baru. Ini adalah narasi kolonial penjajah Eropa yang sudah ada sejak abad ke-16. Narasi itu masih dipakai terus oleh pemerintah Barat untuk memberikan “permaafan” terhadap kejahatan-kejahatan pemerintah Israel terhadap warga Palestina. Presiden Joe Biden, dalam pernyataannya yang terakhir, juga memakai narasi penyamaan ini, membuat seorang anggota Kongres AS, Rashida Tlaib, marah dan dengan terbuka berkonfrontasi dengan Presiden Biden. Keduanya berasal dari partai yang sama: Partak Demokrat.
Yang menarik adalah: skala kekerasan yang dilakukan penjajah untuk membalas “kekerasan” si terjajah, selalu lebih besar. Serangan Israel atas Gaza dalam seminggu terakhir, menyebabkan lebih dari 212 penduduk sipil Palestina, termasuk 60 anak-anak, meninggal. Sementara, dipihak Israel, 10 orang meninggal karena roket Hamas (menurut laporan koran The New York Times per 17 Mei). Ini persis dengan apa yang dilakukan oleh penguasa-penguasa kolonial di masa lampau. Demi “membalas,” sang penjajah melakukan pembunuhan lebih banyak lagi.
Para pembela Israel akan selalu memproduksi narasi yang sama sejak dahulu: “self-defence,” pertahanan diri. Ini persis dengan pembelaan bangsa Eropa di masa lampau terhadap kekerasan yang dilakukan oleh penjajah kulit putih atas penduduk pribumi. Dan, sejujurnya, pendudukan Israel atas tanah Paletina saat ini adalah kelanjutan belaka dari kolonialisme Eropa pada lampau. “What Israel did and is doing, is just a last vestiges of Western colonialism.”
Dalam narasi pertahanan diri ini, ada kesalahan cara berpikir yang fatal: ekualisasi, penyamaan. Seolah-olah kekerasan yang dilakukan oleh Hamas sama dengan Israel, tanpa melihat konteks besar dan kecilnya. Konteks besar: Israel adalah penjajah, Palestina dijajah. Konteks kecil: kekerasan Hamas yang terakhir adalah reaksi atas penyerobotan Israel terhadap tanah warga Palestina di perkampungan Sheikh Jarrah, dan tindakan Israel yang menyerang jamaah yang sedang beribadah di Masjid al-Aqsa pada bulan puasa kemaren. Yang paling berhak menggunakan narasi “self-defence” mestinya rakyat Palestina, bukan Israel.
Persis sebagai protes terhadap “ekualisasi” inilah, muncul kehebohan di lingkungan sarjana antropologi di Amerika baru-baru ini. Dan ini akan menjadi topik pembahasan di bagian kedua tulisan saya di bawah.
***
Pada 19/5 (berarti baru kemaren), AAA (The American Anthropological Association), perkumpulan sarjana antropologi yang mungkin paling bergengsi di seluruh dunia saat ini, mengeluarkan statemen tentang konflik Palestina-Israel terakhir. Lembaga ini menyampaikan seruan ini (saya kutip secara harafiah):
“The American Anthropological Association calls on Israel and Hamas to de-escalate, cease fire, and find political solution to the current crisis. Too many innocent people on BOTH SIDES have been killed by these brutal hostilities already.” (Huruf besar dari saya, UAA).
Intinya, AAA menyeru agar kekerasan Israel dan Hamas segera dihentikan, karena sudah terlalu banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Narasi “di kedua belah pihak” ini menyembunyikan sejumlah fakta dan mengesankan seolah-olah kekerasan Israel dan Hamas memiliki status yang sama. Inilah cacat dalam ekualisasi atau penyamaan yang saya kira disadari penuh oleh penulis statemen AAA ini (tak mungkin mereka tidak menyadari; ini wadah yang isinya profesor semua), tetapi terpaksa mereka nyatakan karena ada desakan agar lembaga ini bersuara.
Mereka yang pernah belajar antropologi atau “humanities” (ilmu-ilmu humaniora) secara umum di Amerika saat ini, pasti tahu bahwa disiplin inilah yang sekarang paling bersemangat berbicara tentang apa yang disebut “de-kolonisasi” silabus dan pendekatan dalam ilmu-ilmu sosial; membuang bias cara pandang penjajah Eropa dan menggantinya dengan cara pandang lokal, non-Eropa. Tentu saja AAA merasa “malu” tidak bersuara apapun tentang Palestina, sementara para sarjana yang berkumpul di sana selalu bicara soal de-kolonisasi.
Tetapi, pernyataan AAA justru mengecewakan banyak para antropolog di Amerika, Kanada, Eropa dan Australia. Girish Daswani, seorang profesor antropologi di University of Toronto Scarborough mengemukakan kekecewaannya dalam akun Twitternya:
“When is enough enough? When do I stop believing that anthropology can truly mean something or do better? Then I read this statement by @AmericanAnthro on Israel/Palestine that pitches both sides as if they were EQUAL, commensurable, equivalent. Time to Boycott the 2021meeting.” (Huruf besar dari saya, UAA).
Seorang profesor lain dari University of Georgia, Wunpini F. Mohammed, menimpali komentar Daswani itu: “This is very disappointing. I was actually considering attending AAA this year. Looks like they deleted it. I hope they come out to apologize for this non-statement and unequivocally condemn Israel’s genocide on Palestine. Do better @AmericanAnthro!”
Pihak AAA memang akhirnya menghapus twitnya yang berisi statemen tersebut. Tidak jelas apakah lembaga itu mencabut pernyataan tersebut atau sekedar menghapus twit-nya saja. Yang jelas, pernyataan ini membuat marah sejumlah antropolog di Amerika dan sekumlah negeri lain. Tentu saja tidak semua antropolog berani menyatakan sikapnya ini secara terbuka. Sebagian besar, saya duga, diam saja, meskipun tidak setuju dengan statemen AAA itu. “Inkar bi-l-qalbi,” menolak dalam hati — jika memakai bahasa agama. Menyatakan dukungan kepada Palestina secara terbuka di universitas-universitas Barat, bisa mengandung resiko besar. Sejumlah profesor kehilangan pekerjaan. Kasus terakhir yang heboh menimpa Prof. Valentina Azarova di University of Toronto, Kanada.
Kenapa para antropolog ini marah? Alasannya jelas: ekualisasi, menyamakan antara dua tindakan kekerasan yang secara kategoris berbeda; yang satu kekerasan si penjajah, yang satunya kekerasan sang terjajah. Masak mau disamakan. Penyamaan ini sama saja dengan memberikan dukungan tersembunyi kepada pihak penjajah.
Sekian.
—
Catatan: Terima kasih kepada Mas Airlangga Pribadi yang menambahkan satu poin yang kemudian saya sisipkan dalam tulisan ini.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!