LEBARAN (boleh) DITENTUKAN OLEH PEREMPUAN dan TRANSGENDER (?)

Achmat Hilmi, Lc., MA.  Divisi Kajian dan Advokasi Rumah KitaB

 

Lebaran akan segera tiba. Sebagaimana tradisi setiap tahunnya, kita akan melihat pertemuan para ulama dari berbagai daerah yang ahli dalam melihat hilal (rukyatu al-hilâl), bertemu dan mendiskusikan hasil pengamatannya pada tanggal 29 Ramadhan, dan biasanya dimediasi oleh Kementerian Agama. 

 

Pertemuan ini sangat penting bagi umat Islam, karena tidak saja menjadi ruang diskusi atau sharing hasil laporan pengamatan hilal, tetapi pertemuan ini memiliki nilai sakralitas yang luhur, yaitu menentukan akhir bulan suci Ramadhan, sekaligus menentukan hari Raya Idul Fitri, pada tanggal 1 Syawwal. Idul Fitri merupakan hari raya besar umat Islam, tidak hanya terdapat dalam risalahnya Nabi Muhammad tapi juga terdapat dalam risalah para Nabi sebelumnya. 

 

Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada jumlah hari yang pasti di bulan Ramadhan, bisa berjumlah 29 hari atau 30 hari, begitu juga di bulan-bulan selanjutnya dalam sistem penanggalan hijriyyah. Karena itu penentuan bulan baru dalam hijriyah sangat bergantung pada dua sistem perhitungan yaitu ilmu hisab atau ilmu rukyat. Ilmu hisab mengandalkan rumus baku dalam tradisi astronomi Arab (falakiyah). Sementara rukyat merupakan ilmu tentang metode pengamatan langsung terhadap hilal pada hari ke-29. Hilal adalah penampakan bulan Sabit yang tampak pertama kali setelah terjadinya konjungsi (ijtima’). Popularitas metode ini karena dalilnya di dalam Al-Quran dan Sunnah.

 فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ

 

Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,” (QS. Al-Baqarah, 2:185)

 

Begitu pentingnya pengamatan hilal ini, sehingga para tokoh yang menjadi saksi dalam pengamatan hilal (rukyatu al-hilâl) atau mereka yang mengoperasionalkan ilmu hisab juga tidak kalah sakralnya.

 

Selama ini kita hanya melihat para ulama laki-laki yang memutuskan momen penting ini, lalu pertanyaannya, apakah perempuan juga diperkenankan terlibat sebagai saksi ahli dalam prosesi sakral ini?, Apakah perempuan yang terlanjur memiliki kapasitas keulamaan dan keahlian dalam rukyat dan hisab juga diperkenankan ikut serta dalam momen religius ini?, Apakah orang dengan disabilitas atau seorang transgender juga diperkenankan berpartisipasi dalam momen terpenting dalam agama ini, sebagai saksi yang melihat langsung hilal itu?, Apakah kesaksian mereka diterima? Apakah agama mengkategorikan saksi berdasarkan jenis kelaminnya atau orientasi seksualnya? Atau sebaliknya, agama secara objektif memperkenankan siapapun yang memiliki kapasitas keilmuan rukyat, dan memiliki kejujuran sebagai saksi tanpa mengkategorikan saksi berdasarkan jenis kelamin atau orientasi seksual tertentu?

 

Kesaksian Perempuan 

 

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita bisa mengamati secara cermat Al-Baqarah ayat 185 di atas dan juga hadits berikut;

 

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ ِشَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا

Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah (berlebaranlah) kalian karena melihat hilal, apabila terhalang (oleh awan) maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari”, (HR. Bukhari, Hadits No. 1909)

 

Berdasarkan hadits di atas, Badruddin Abi Al-Fadl Mohammed bin Abi Bakar Al-Asadi, berpandangan bahwa saksi yang diterima itu adalah saksi yanga adil (cakap dan berintegritas), artinya orang yang memiliki kapasitas dan tidak berkhianat atas kesaksiannya. 

 

وَثُبُوْتُ رُؤْيَتِهِ بِعَدْلٍ

dan ketetapan persaksian hilal itu sebab adil”. [Bidâyatu al-Muhtâj, 1/553)]

 

Lalu Wahbah Az-Zuhaili mengutip pandangan mazhab Hanafi, begini, 

 

فَيَكْتَفي الإمَامُ فِي رُؤْيَةِ الْهِلَالِ بِشَهَادَة مُسْلِمٍ وَاحِدٍ عَدْلٍ عَاقِلٍ بَالِغٍ, (والعدلُ : هو الذي غَلَبَتْ حسناتُه سيئاتَه )أَوْ مسطُوْر الحال في الصحيح, رجُلاً كان أو إمرأةً, حُرًّا أمْ غَيْرَهُ لأنَّهُ أمرٌ دينيٌّ

 

“Maka cukup seorang imam dalam penentuan rukyatul hilal berdasarkan kesaksian seorang muslim yang adil, intelektual/kapasistas keilmuan, baligh, (sementara yang dimaksud orang yang adil di sini adalah dia yang perbuatan baiknya lebih banyak ketimbang perbuatan buruknya), baik itu laki-laki, perempuan, merdeka atau dia yang tertindas, karena sesungguhnya ini adalah perkara agama”.[ al-Fiqhu al-Islâmi wa adillatuhu, 2/528]

 

Pernyataan kedua ini lebih menegaskan jawaban atas pertanyaan di atas, bahwa kesaksian perempuan diterima, kesaksian mereka disejajarkan dengan laki-laki, karena yang dilihat adalah kapastitas, integritas, jujur, setia pada fakta berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan, karena siapapun memiliki hak berpartisipasi dalam keagamaan. Layak atau tidaknya saksi tidak dilihat berdasarkan perbedaan jenis kelamin atau orientasi seksual. 

 

و شرط الواحد : صفة العدول في الأصح

 

“Syaratnya satu saja (saksi itu) yaitu memiliki sifat adil, menurut pendapat yang paling benar”. 

 

Sementara yang dimaksud adil di sini menurut kitab Bidâyatu al-Muhtâj fî Syarhi al-Minhâj adalah mereka yang tidak pernah mengerjakan dosa besar, artinya mereka yang memiliki hati yang bersih, berakhlak/beretika. [Bidâyatu al-Muhtâj, 1/553)]

 

Sekalipun terdapat pandangan popular di kalangan mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali, bahwa kesaksian perempuan tidak diterima, namun pandangan itu sangat terkait dengan realitas pada abad ke 2-3 hijriyah di tempatnya Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Hambali, di mana laki-laki yang mendominasi pengetahuan, sementara dalam tradisi masyarakat di tempatnya  Imam Hanafi, di Irak dan sekitarnya, mirip dengan realitas masa kini di mana perempuan memiliki kesempatan yang sama sebagai saksi, dan juga pengalaman Abu Hanifah yang luas dalam berguru dengan ribuan ulama, sehingga memiliki pandangan yang lebih terbuka.

 

Terkait jumlah saksi, khusus dalam perkara ibadah, satu orang yang adil sudah cukup menentukan awal bulan hijriyah. Sementara dalam perkara pidana, jumlah saksi minimum dua orang. 

 

(و إذا صمنا بعدل و لم نرى الهلال بعد ثلاثين … أفضرنا في الأصح …) لإكمال العدد, كما لو صمنا بعدلين

(Dan bila kita berpuasa sebab kesaksian seorang adil, kemudian berikutnya kita tidak dapat melihat hilal, maka genapkan bilangan bulan sebanyak 30 hari, kita boleh berbuka/lebaran menurut pendapat yang paling benar) karena menyempurnakan bulanan bulan hijriyah, sebagaimana bila kita berpuasa sebab kesaksian dua orang adil”. [Bidâyatu al-Muhtâj fî Syarhi al-Minhâj, 1/553]

 

Kesimpulan

 

Kesaksian perempuan dan transgender dapat diterima, meskipun hanya seorang (saksi), sepanjang dia juga memiliki kapasitas dan integritas, setia pada pengetahuan dan fakta di lapangan dalam pengamatan hilal.[]

 

Referensi :

  1. Badruddin Abi Al-Fadl Mohammed bin Abi Bakar Al-Asadi Al-Syafi’I, Bidâyatu al-Muhtâj fî Syarhi al-Minhâj, Dar Al-Minhaj, Beirut – Lebanon, Cet. I, 2011, Juz. 1, Bab Puasa
  2. Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islâmi wa adillatuhu, Dar Al-Fikr, Beirut-lebanon, 1431H/2010M, Juz 2, Bab Puasa
  3. Usman bin Ali Al-Zaila’I dan Ahmad Syalabi Syihabuddin, Tabyîn al-Haqâiq, Syarh Kanzu Al-Daqâiq wa bi hâmisyihi hâsyiyati al-syalabi, Cet. I. 2015, Pakistan, Juz 1, Bab Puasa

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.