Pos

Kolonialisme Israel

Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan bahwa pendudukan Israel atas Palestina, khususnya di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, adalah ilegal (Kompas, 21/07). Israel harus menghentikan pembangunan pemukiman dan semua pemukim di wilayah tersebut harus dievakuasi. ICJ menyebut bahwa Israel telah melanggar hukum internasional dengan kekerasan dan menghalangi hak warga Palestina untuk menentukan nasib sendiri.

Pernyataan ini muncul setelah sebelumnya parlemen Israel meloloskan sebuah resolusi yang menolak pendirian negara Palestina (Kompas.com, 19/07). Sejak dulu Israel tidak hanya menolak solusi dua negara (two state solution), melainkan ingin menghapus peta Palestina.

Tahun 1948 PBB mengeluarkan resolusi membagi mandat kekuasaan Palestina-Israel. Resolusi MU PBB No. 181 itu lebih menguntungkan Israel dengan membagi: 56% untuk Yahudi, 42% Arab, dan sisanya Yerusalem sebagai wilayah internasional (corpus separatum). Padahal secara populasi penduduk berbanding terbalik. Yahudi 32%, sementara Arab 42%. Resolusi ini tak digubris Israel. Didukung AS dan sekutunya, Israel terus mencaplok tanah Palestina dan mengusir paksa penduduknya. Namun, perlawanan rakyat Palestina tak pernah surut, meskipun seiring waktu tanah mereka semakin menyusut.

Sementara itu, Israel terus memperluas pemukiman Yahudi di tanah-tanah milik warga Palestina. Menurut laporan Al Jazeera sebagaimana dikutip Kompas.com (4/07), hampir 10.000 unit yang dipromosikan atau sedang dibangun di Tepi Barat. Tujuannya tidak lain untuk mengusir sebanyak mungkin warga Palestina dan menggantinya dengan warga Israel. Pengusiran paksa ini jelas mendapat kecaman dunia, tapi Israel tak peduli dan selalu mendapat “kekebalan” sanksi hukum dari PBB. Apa pun tindakan Israel pasti akan dilindungi sekutu-sekutunya: AS dan NATO!

Serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober 2022 harus dipahami dalam konteks ini. Perlawanan rakyat Palestina dalam merebut tanah dan kemerdekaan butuh perhatian dan dukungan dunia internasional. Saya kira konteks geo-politik seperti inilah yang harus dipahami oleh lima aktivis dialog antar iman yang tempo hari melakukan kunjungan dan berfoto bersama Presiden Israel. Problem mendasar konflik Palestina-Israel bukanlah perang antar agama, melainkan kolonialisme Israel!

Palestina, Ekualisasi, dan “Defensive Colonialism”

Oleh: Ulil Abshar Abdalla
Ini adalah catatan kedua saya tentang isu Palestina, setelah catatan pertama dua hari lalu. Masih ada satu tulisan lagi yang saya rencanakan, dan setelah itu saya akan berhenti menulis tentang isu ini. Terlalu terfiksasi pada satu isu kadang kurang baik dan bisa juga membosankan. Yang ingin mengetahui pendapat saya lebih detil, meskipun agak sporadis, silahkan menengok lini waktu di akun Twitter saya: @ulil. Di sana, saya menyampaikan pendapat saya secara lebih blak-blakan dan cukup banyak mengenai Palestina.
Baru-baru ini, Ghassan Hage, seorang profesor antropologi dan teori sosial di University of Melbourne, Australia, menulis kolom menarik: “The Right to Defend Oneself: An Utterance with Bloody Colonial History.” Kolom ini dimuat di portal openDemocracy (opendemocracy.net).
Tulisan Hage menyoroti narasi “self-defence,” pertahanan diri, yang sering kali dipakai oleh penguasa-penguasa kolonial, baik di .asa lampau atau sekarang, untuk membenarkan tindakan kekerasan mereka terhadap penduduk pribumi yang mereka jajah. Setiap penguasa kolonial cenderung memakai narasi self-defence ini.
Ketika Spanyol mulai menguasasi dan merampas tanah-tanah penduduk setempat di Amerika pada 1492 (pada tahun-tahun inilah kira-kira tafsir Jalalain yang populer di pondok pesantren NU itu ditulis oleh Imam Jalaluddin al-Suyuti [w. 911 H/1505 M]); ya, ketika Spanyol mulai menduduki tanah-tanah di Amerika, penduduk pribumi di Kepulauan West Indies melakukan perlawanan. Mereka membunuhi para “conquestador,” para penakluk “dunia baru” itu. Sebagai balasan, orang-orang Spanyol melakukan pembunuhan balik orang pribumi dalam jumlah yang lebih banyak lagi. Alasannya? Pertahanan diri, self-defence.
Yang ironis adalah ini: Ketika sang pribumi terjajah melawan balik, ia dituduh “ekstremis,” radikal, dan lebih mengedepankan jalan kekerasan tinimbang perdamaian. Dengan kata lain, bahkan definisi “self-defence” pun ditentukan oleh pihak penjajah yang menang. Pihak yang dijajah tidak boleh melakukan pertahanan diri. Ini adalah kekalahan berlapis-lapis: sudah dijajah, membela diri pun tidak boleh!
Semua penguasa kolonial Eropa memakai alasan itu. Kolonialisme Inggris, Perancis, Belanda, Italia, dan Jerman yang menduduki tanah-tanah jajahan di hampir semua penjuru dunia pada abad ke-18,19 dan 20, menggunakan narasi “pertahanan diri” untuk membunuh ribuan, bahkan jutaan penduduk pribumi. Narasi ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang “self evident,” benar pada dirinya sendiri. Tak perlu dipersoalkan!
Inilah yang oleh Ghassan Hage disebut sebagai “defensive colonalism,” kolonialisme dengan alasan pertahanan diri. Dalam narasi semacam itu, dua kekerasan dianggap sama statusnya: kekerasan sang penjajah dan kekerasan bangsa yang dijajah. Sama-sama kekerasan kok! Ekualisasi, penyamaan antara dua jenis kekerasan ini jelas mengandung masalah besar, karena menyembunyikan fakta berikut: yang satu penjajah, yang satunya dijajah. Tak dibutuhkan kecerdasan kelas berat untuk memahami kekeliruan cara berpikir seperti ini.
Narasi “pertahanan diri” inilah, kata Ghassan Hage, yang dijual oleh pemerintah Israel dari dulu hingga sekarang. Tujuannya satu: membenarkan kejahatannya membunuhi penduduk Palestina di Gaza. Narasi Israel ini bukan barang baru. Ini adalah narasi kolonial penjajah Eropa yang sudah ada sejak abad ke-16. Narasi itu masih dipakai terus oleh pemerintah Barat untuk memberikan “permaafan” terhadap kejahatan-kejahatan pemerintah Israel terhadap warga Palestina. Presiden Joe Biden, dalam pernyataannya yang terakhir, juga memakai narasi penyamaan ini, membuat seorang anggota Kongres AS, Rashida Tlaib, marah dan dengan terbuka berkonfrontasi dengan Presiden Biden. Keduanya berasal dari partai yang sama: Partak Demokrat.
Yang menarik adalah: skala kekerasan yang dilakukan penjajah untuk membalas “kekerasan” si terjajah, selalu lebih besar. Serangan Israel atas Gaza dalam seminggu terakhir, menyebabkan lebih dari 212 penduduk sipil Palestina, termasuk 60 anak-anak, meninggal. Sementara, dipihak Israel, 10 orang meninggal karena roket Hamas (menurut laporan koran The New York Times per 17 Mei). Ini persis dengan apa yang dilakukan oleh penguasa-penguasa kolonial di masa lampau. Demi “membalas,” sang penjajah melakukan pembunuhan lebih banyak lagi.
Para pembela Israel akan selalu memproduksi narasi yang sama sejak dahulu: “self-defence,” pertahanan diri. Ini persis dengan pembelaan bangsa Eropa di masa lampau terhadap kekerasan yang dilakukan oleh penjajah kulit putih atas penduduk pribumi. Dan, sejujurnya, pendudukan Israel atas tanah Paletina saat ini adalah kelanjutan belaka dari kolonialisme Eropa pada lampau. “What Israel did and is doing, is just a last vestiges of Western colonialism.”
Dalam narasi pertahanan diri ini, ada kesalahan cara berpikir yang fatal: ekualisasi, penyamaan. Seolah-olah kekerasan yang dilakukan oleh Hamas sama dengan Israel, tanpa melihat konteks besar dan kecilnya. Konteks besar: Israel adalah penjajah, Palestina dijajah. Konteks kecil: kekerasan Hamas yang terakhir adalah reaksi atas penyerobotan Israel terhadap tanah warga Palestina di perkampungan Sheikh Jarrah, dan tindakan Israel yang menyerang jamaah yang sedang beribadah di Masjid al-Aqsa pada bulan puasa kemaren. Yang paling berhak menggunakan narasi “self-defence” mestinya rakyat Palestina, bukan Israel.
Persis sebagai protes terhadap “ekualisasi” inilah, muncul kehebohan di lingkungan sarjana antropologi di Amerika baru-baru ini. Dan ini akan menjadi topik pembahasan di bagian kedua tulisan saya di bawah.
***
Pada 19/5 (berarti baru kemaren), AAA (The American Anthropological Association), perkumpulan sarjana antropologi yang mungkin paling bergengsi di seluruh dunia saat ini, mengeluarkan statemen tentang konflik Palestina-Israel terakhir. Lembaga ini menyampaikan seruan ini (saya kutip secara harafiah):
“The American Anthropological Association calls on Israel and Hamas to de-escalate, cease fire, and find political solution to the current crisis. Too many innocent people on BOTH SIDES have been killed by these brutal hostilities already.” (Huruf besar dari saya, UAA).
Intinya, AAA menyeru agar kekerasan Israel dan Hamas segera dihentikan, karena sudah terlalu banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Narasi “di kedua belah pihak” ini menyembunyikan sejumlah fakta dan mengesankan seolah-olah kekerasan Israel dan Hamas memiliki status yang sama. Inilah cacat dalam ekualisasi atau penyamaan yang saya kira disadari penuh oleh penulis statemen AAA ini (tak mungkin mereka tidak menyadari; ini wadah yang isinya profesor semua), tetapi terpaksa mereka nyatakan karena ada desakan agar lembaga ini bersuara.
Mereka yang pernah belajar antropologi atau “humanities” (ilmu-ilmu humaniora) secara umum di Amerika saat ini, pasti tahu bahwa disiplin inilah yang sekarang paling bersemangat berbicara tentang apa yang disebut “de-kolonisasi” silabus dan pendekatan dalam ilmu-ilmu sosial; membuang bias cara pandang penjajah Eropa dan menggantinya dengan cara pandang lokal, non-Eropa. Tentu saja AAA merasa “malu” tidak bersuara apapun tentang Palestina, sementara para sarjana yang berkumpul di sana selalu bicara soal de-kolonisasi.
Tetapi, pernyataan AAA justru mengecewakan banyak para antropolog di Amerika, Kanada, Eropa dan Australia. Girish Daswani, seorang profesor antropologi di University of Toronto Scarborough mengemukakan kekecewaannya dalam akun Twitternya:
“When is enough enough? When do I stop believing that anthropology can truly mean something or do better? Then I read this statement by @AmericanAnthro on Israel/Palestine that pitches both sides as if they were EQUAL, commensurable, equivalent. Time to Boycott the 2021meeting.” (Huruf besar dari saya, UAA).
Seorang profesor lain dari University of Georgia, Wunpini F. Mohammed, menimpali komentar Daswani itu: “This is very disappointing. I was actually considering attending AAA this year. Looks like they deleted it. I hope they come out to apologize for this non-statement and unequivocally condemn Israel’s genocide on Palestine. Do better @AmericanAnthro!”
Pihak AAA memang akhirnya menghapus twitnya yang berisi statemen tersebut. Tidak jelas apakah lembaga itu mencabut pernyataan tersebut atau sekedar menghapus twit-nya saja. Yang jelas, pernyataan ini membuat marah sejumlah antropolog di Amerika dan sekumlah negeri lain. Tentu saja tidak semua antropolog berani menyatakan sikapnya ini secara terbuka. Sebagian besar, saya duga, diam saja, meskipun tidak setuju dengan statemen AAA itu. “Inkar bi-l-qalbi,” menolak dalam hati — jika memakai bahasa agama. Menyatakan dukungan kepada Palestina secara terbuka di universitas-universitas Barat, bisa mengandung resiko besar. Sejumlah profesor kehilangan pekerjaan. Kasus terakhir yang heboh menimpa Prof. Valentina Azarova di University of Toronto, Kanada.
Kenapa para antropolog ini marah? Alasannya jelas: ekualisasi, menyamakan antara dua tindakan kekerasan yang secara kategoris berbeda; yang satu kekerasan si penjajah, yang satunya kekerasan sang terjajah. Masak mau disamakan. Penyamaan ini sama saja dengan memberikan dukungan tersembunyi kepada pihak penjajah.
Sekian.
Catatan: Terima kasih kepada Mas Airlangga Pribadi yang menambahkan satu poin yang kemudian saya sisipkan dalam tulisan ini.

NU, PALESTINA, DAN YAMAN

NU lahir merespon sekurang-kurangnya atas tiga hal, yaitu: kolonialisme, gerakan puritanisme Wahabi yang akan meratakan makam Rasulullah dan situs-situs bersejarah, dan identitas keislaman dan keindonesiaan.

NU sebagai gerakan anti-kolonialisme, ditandai dengan sikap patriotisme para kiyai dan santri dalam menghadapi kolonialisme. Dan klimaksnya adalah dikeluarkannya “Resolusi Jihad” oleh Hadzratu Syekh Hasyim Asy’ari.

Di saat makam Rasulullah dan situs-situs Islam akan diratakan rezim Wahabi Saudi, NU mengutus Romo KH. A. Wahab Chasbullah ke Saudi menyampaikan protes keras atas rencana tersebut dan menuai hasil: sampai sekarang makam Rasulullah masih terjaga.

Dan bagaimana hubungan NU, Palestina, dan Yaman? Perlu dijelaskan satu persatu hubungan NU dengan Palestina dan NU dengan Yaman.

NU DAN PALESTINA
Sebagaimana pada umumnya umat Islam dari berbagai mazhab, NU sangat memuliakan Masjidil Aqsha Palestina. Kemuliaan Palestina berdasarkan keyakinan akan Kisah Isra-Mi’raj Rasulullah dari Masjidil Aqsha yang diimani, dan pada masa Islam awal umat Islam menghadap kiblatnya ke Masjidil Aqsha yg kemudian direvisi kiblatnya ke Masjidil Haram.

Pasca pendudukan Israel atas tanah Palestina, NU adalah ormas yang dengan lantang memprotes tindakan Israel dan menggalang solidritas untuk Palestina. Tepat pada 12-15 Juli 1938 M/13 Rabiuts Tsani 1357 H dalam Muktamar NU ke-13 di Menes-Pandeglang Banten, Romo KH. A. Wahab Chasbullah secara resmi menyampaikan sikap NU atas penderitaan Palestina dengan mengatakan, “Pertolongan-pertolongan yang telah diberikan oleh beberapa komite di tanah Indonesia ini berhubung dengan masalah Palestina, tidaklah begitu memuaskan adanya. Kemudian guna dapat mencukupi akan adanya beberapa keperluan yang tak mungkin tentu menjadi syarat yang akan dipakai untuk turut menyatakan merasakan duka cita, sebagi perhatin dari pihak umat Islam di tanah ini. Atas nasib orang malang yang diderita oleh umat Islam di Palestina itu, maka sebaiknyalah NU dijadikan Badan Perantara dan Penolong Kesengsaraan umat Islam di Palestina. Maka pengurus atau anggota NU seharusnyalah atas namanya sendiri-sendiri mengikhtiarkan pengumpulan uang yang pendapatannya itu terus diserahkan kepada NU untuk diurus dan dibereskan sebagaimana mestinya”.

Pada tahun 80-an, Gus Dur bersama Gus Mus dan para seniman/budayawan mengadakan pembacaan puisi Doa untuk Palestina, sebagai penggalangan solidaritas untuk Palestina melalui strategi kebudayaan dan kultural. Dan pada tahun ini, 2017, Gus Mus mengadakan acara yang sama berama budayawan Taufik Ismail, Sutarji, Habib Quraisy Shiab, Adul Abdul Hadi, KH. Ulil Abshar Abdalla, Fatin Hamama, dan lain lain., pada saat Palestina memanas.

Pada tahun 90-an, Gus Dur yang dipercaya sebagai presiden gama-agama dunia melakukan komunikasi dan pergaulan di tingkat internasional untuk perdamaian Palestina.

Pada tahun 2017, KH. Makruf Amin selaku RAIS AM PBNU, mengajak umat Islam untuk bersama sama menggalang solidaritas untuk Palestina.

Jadi NU dalam sejarah sangat peduli dengan nasib Palestina. Karena Palestina adalah saudara. Palestina terluka, kita pun merasakan sakit.

NU DAN YAMAN
Hubungan NU dan Yaman sudah berlangsung lama. Secara tradisi keberagamaan NU dan Yaman memiliki banyak kesamaan: sama-sama pecinta bid’ah hasanah. Belakangan, banyak kader pesantren NU yang dikirim belajar di pesantren yang da di Hadramaut-Yaman.

NU juga menjadikan kitab Bughyatul Mustaryidin, anggitan Syekh Abdurrahman Ba’alwi, Mufti Yaman Pada abad 19, sebagai kitab yang absah dirujuk/mu’tabarah. Dalam kitab itu ada fatwa bahwa ardhun Jawa (baca; Indonesia) adalah dar al-Islam. Dan di kitab itu juga terdapat konsep waliyul amri dharuri bisy syaukah–juga di kitab-kitab yang lain–dan konsep ini dijadikan argumentasi keagamaan NU untuk Presiden Soekarno pada Muktamar NU di Purwokerto 26-29 Maret 1946.

Saat ini Yaman sedang diserang Arab Saudi (AS) dan sekutunya. AS lahir karena mendapatan dukungan kolonial Inggris. Sudah besar menjadi negara kolonial dengan memberikan pangkalan militer USA, mendukung invansi USA pada Irak dengan dalih adanya Senjata Pemusnah Massal (yang ternyata yang ada pembohong massal) dan belakangan menyerang Yaman. Krisis Timur Tengah pun tak lepas dari peran AS.

NU lahir dan besar sebagai kekuatan anti-kolonialisme. Tentu saja tidak setuju dan bahkan mengutuk upaya penjajahan melalui kekerasan dan peperangan yang sedang dipertontonkan AS.

Penderitaan Yaman adalah derita kita. [Mukti Ali Qusyairi]

KEKHILAFAN ATAS KHILAFAH

Kata “Khilafah” di era modern merupakan sebuah kata yang pada kenyataanya mengalami perubahan makna berulang kali sesuai  konteks historisnya.  Kata itu semula disebut dalam teks sejarah sosial-keagamaan dalam mengkaji salah satu era dalam sejarah islam paska Nabi Muhammad. Namun kata itu  kini diposisikan sebagai ideologi dengan rumusan yang sama sekali berbeda dari asal usul sejarah kata itu.  Bahkan kini diimani sebagai kebenaran dan dianggap sebagai kekuatan Islam oleh sebagian muslim. Selain menjadi ideologi, khalifah pun hadir sebagai simbol keagamaan yang menjadi cita-cita utopis. “Khilafah Islamiyah” pun tidak lagi berbasis pada dimensi kemanusiaan sebagai tujuannya atau sebagai salah satu pilihan sistem dalam bernegara, melainkan menjadi gagasan yang disakralkan bahkan secara egois dimaknai sebagai pihak  yang paling Islami.

Secara historis, khilafah sebagai konsep gerakan politik muncul sebagai mimpi kaum tertindas di Palestina. Gagasan ini disuarakan oleh seorang hakim asal Haifa, Palestina, Taqiyuddin An-Nabhani tahun 1953. Ia memimpikan hadirnya khalifah, yang dianggap sebagai “Satrio Piningit”, meminjam istilah dalam ramalan Jayabaya dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pemasa. Khalifah diimpikan hadir untuk membebaskan dan menolong bangsa Palestina dari agresi bangsa asing.

Turki  Usmani atau dinasti Ottoman yang runtuh tahun 1924 dianggap oleh an-Nabhani sebagai wujud jati diri khilafah Islamiyah yang paling otoritatif. An-Nabhani menyayangkan kehancuran dunia Islam saat itu, karena Komunitas Muslim di Timur Tengah melepaskan sendiri nilai-nilai yang pernah ada di masa lampau dan hidup dalam permusuhan satu sama lain, terkotak-kotak dalam negara-negara kecil.

An-Nabhani memimpikan hadirnya kembali kekuasaan dunia Islam dengan terciptanya khilafah yang dapat menyatukan muslim dari berbagai belahan dunia. Untuk mewujudkannya dibutuhkan sebuah kendaraan politik yaitu Party of Liberty (Partai Pembebasan) dikenal dengan nama  Hizbut Tahrir. Partai universal ini dibentuk tahun 1953 di Yordania dan didaftarkan resmi sebagai sebuah partai politik kepada otoritas Yordania. Khilafah pun kemudian diperlakukan sebagai gagasan sistem politik, dan ini tentu  saja jauh dari khilafah sebagai nilai. Akibatnya, sebagai teori, khilafah pun dikecilkan ke dalam sistem politik tertentu yaitu sistem politik  yang dibangun oleh Hizbut Tahrir. Dengan sendirinya ini telah menghilangkan esensi nilai dalam hakikat makna khilafah itu sendiri.

Atas perkembangan ini, makna khilafah perlu dibedakan atas tiga hal. Pertama, Khilafah sebagai nilai, Kedua, Khilafah sebagai cerita dan kisah dalam sejarah, Ketiga, Khilafah sebagai ideologi politik. Pembedaan ketiga hal ini  perlu dipahami agar tidak terjebak dalam teori khilafah  model yang paling rendah yaitu sebagai ideologi politik sebagaimana ditawarkan kelompok Hizbut Tahrir dalam memahami khilafah.[1]

Kalau dikaji secara teologis, kata “khilafah” ini disebut sebelum penciptaan Adam,

 

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ

Artinya,

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana? sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?, Dia berfirman, “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 30)

 

Qurthubi dalam tafsirnya[2], Al-Jȃmi’ li ahkȃm al-Qur’ȃn wa al-Mubayyin Li Mȃ Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqȃn,  “Khalifah”; “annahu alladzȋ yufashshilu bayna al-nȃsi fȋ mȃ yaqa’u baynahum mina al-mazhȃlimi”[3], (orang yang menghindari kezhaliman yang terjadi di antara manusia dan menghindari mereka dari berbuat dosa). Khalifah dalam bayangan AL-Qurtubi yakni seorang yang bijaksana, dengan kebijaksanaannya mampu menghindari kelaliman dan membebaskan sesama dari ketertindasan, dan menghalangi orang untuk berbuat dosa. Dosa yang dimaksud disini yaitu dosa karena melukai orang lain atau menyakiti orang lain. Khalifah dalam definisi Qurthubi yaitu manusia ideal dengan pemahaman kemanusiaannya yang kaffah. Qurthubi juga mendefinisikan Khilafah, “Yakhlufu man kȃna qablahu mina al-Malȃikati fȋ al-ardhi”, (makhluk yang menggantikan peran makhluk sebelumnya, yakni Malaikat, di muka bumi. Kisah dialog dalam Surah Al-Baqarah di atas dalam pemahaman Qurthubi  adalah saat Tuhan hendak menciptakan manusia sebagai pengganti peran Malaikat  yang kemudian dipertanyakan oleh Malaikat, apakah ciptaan itu bisa lebih baik dari malaikat yang tidak pernah merusak bumi dan selalu menghiasi bumi dengan tasbih dan selalu mensucikan Tuhan.

Khalifah sebagai nilai, berarti sosok dengan segala sifat kebijaksanaannya, menciptakan kebajikan untuk dirinya, orang lain dan lingkungan, memelihara bumi dari kehancuran, melestarikan kedamaian antar sesama, bukan seorang raja yang memerintah mengatasnamakan agama untuk melanggengkan kekuasaannya.

Karenanya menganggap bahwa khalifah hanya berdimensi politik dan bersifat tunggal sebagai sistem politik merupakan sebuah kekeliruan. Cara itu telah menyeret makna khilafah sebagai nilai menjadi simbolitas politik dari sebuah ideologi tertentu itu.

Kembali kepada dimensi teologis dan sejarah Islam, khalifah itu bukan hanya menunjuk kepada Nabi Adam saja; khalifah itu juga bukan hanya terlahir pada saat Nabi Muhammad Saw mangkat, lalu dilanjutkan oleh khulafaurrasyidin, dinasti-dinasti Muawiyah, Abbasiyah dan lainnya.

Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib, keempatnya diakui sebagai khalifah namun memiliki model pengangkatan sebagai khalifah dan model pemerintahan yang berbeda-beda. Dalam buku Mausȗ’atu al-tȃrȋkh wa al-hadhȃrah al-Islȃmiyyah, karya Ahmad Shalabi, seorang pakar sejarah politik Islam Klasik,  Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin umat Islam berkat bai’at dari mayoritas para tokoh dan para kepala suku yang hadir di Balairung Tsaqifah di sebuah desa Bani Sa’idah, Madinah, setelah melalui perdebatan yang panjang. Umar ibn Khattab? Ia ditunjuk langsung oleh Abu Bakar sebagai pewaris kepemimpinannya kelak pasca wafatnya, pengangkatan itu menimbang situasi keamanan umat yang sedang darurat. Penunjukkan langsung ini disetujui oleh para tokoh saat itu setelah menggelar dialog warga di depan kediaman Abu Bakar. Utsman bin Affan? Beliau dipilih berdasarkan hasil musyawarah para pemuka sahabat yang berada di Madinah dilakukan selama 3 hari dengan arahan dan mekanisme yang diketahui Umar Ibn Khattab yang sedang dirawat di rumahnya pasca penikaman atas dirinya oleh Abu Lu’lu’ah. Lalu Ali bin Abu Thalib?  Beliau dibaiat oleh masyarakat dan para veteran perang Badar  pasca terbunuhnya Utsman ibn Affan di kediamannya, pada 19 Dzulhijjah tahun 35 H. Keempatnya, Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib, dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin (Pemimpin orang Mukmin), bukan khalifah dalam definisi fundamentalis sekarang, meski julukan mereka sebagai khalifat khalifat al-nabiy. Keempatnya pun tidak hanya sebagai pemimpin politik tapi juga berperan sebagai hakim agung sekaligus sosok yang dimintai fatwa oleh masyarakatnya.

Setelah itu, pemerintahan dunia Islam di pimpin oleh dinasti-dinasti dengan sistem pemerintahan klasik, kerajaan, tahta pemimpin politik diwariskan secara turun temurun, di mana dunia Islam menjadi milik keluarga dan keturunannya semata. Misalnya dinasti Umayyah berkuasa tahun 661-750 Masehi. Lalu Abbasiyah 750-1258 Masehi. Setelah itu, dinasti Turki Usmani, Dinasti Syavawi Persia, Dinasti Mughal di India, Dinasti Fatimiyah di Mesir, dan lain-lain. Kesemua dinasti itu murni menganut sistem politik kerajaaan di mana pemerintahannya diwariskan secara turun temurun, mereka bergelar sebagai raja dengan julukan khalifatullah fi al-ardhi.

Dari kajian ini jelas bahwa menunggalkan makna khilafah sebagai sistem perjuangan politik umat Islam semesta sebagaimana dimaknai ala Hizbut Tahrir atau kelompok lain yang mengklaim pelanjut khilafah Islamiyah adalah sebuah kekhilafan. Islam adalah ruh di berbagai sistem politik dengan ciri yang sangat tegas – senantiasa berpihak kepada keadilan dan kemanusiaan, bukan kekuasaan.[Achmat Hilmi]

 

[1] Lihat Abdel Qadim Zallum, Nizhȃm al-Hukmi fȋ al-Islȃm, Cet. Keenam, Manshȗrȃt Hizbi al-Tahrȋr  2002

[2] Imam Qurthubi bernama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Anshari al-Qurthubi, seorang ahli hadits, ahli fikih, ahli qira’at, dan ahli tafsir terkenal, lahir di Qurthuba (Cordova) Spanyol, dan wafat di Mesir tahun 671H.

[3] Imam Qurthubi, Al-Jȃmi’ li ahkȃm al-Qur’ȃn wa al-Mubayyin Li Mȃ Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqȃn, Jilid 1, hal

Abdullah Azzam: The Father of “Global Jihad”

Ditulis oleh Ulil Abshar Abdalla untuk Seri II Diskusi Kitab Terorisme dalam kitab Al-Tarbiyah Al-Jihadiyyah, diselenggarakan oleh  Rumah Kitab.

Dalam literatur Islam radikal-fundamentalis modern, gagasan tentang jihad menempati posisi yang sangat istimewa. Dengan caranya masing-masing kelompok-kelompok Islamis membuat pengertian baru tentang jihad dan nyaris seluruhnya sepakat bahwa ajaran ini telah dilupakan oleh umat dan karena itu harus dibangkitkan kembali dari timbunan buku-buku fikih yang berdebu. Jika kita memandang gerakan-gerakan Islam radikal Islam modern sebagai semacam “resistence movement” melawan hegemoni Barat, maka jihad adalah alat perjuangan yang paling penting. Kita bisa mengatakan bahwa perbedaan penting antara umat Islam arus utama yang sering disebut dengan “moderate Muslim” dengan kalangan Muslim Islamis-fundamentalis adalah persis pada wacana soal jihad ini. Jika kita telaah literatur Muslim moderat, maka gagasan tentang jihad ini memang sama sekali kurang menonjol, jika bukan malah absen sama sekali.

Sementara literatur yang ditulis oleh kalangan Islamis di belahan dunia Islam manapun penuh dengan pembahasan mengenai jihad. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa jihad adalah semacam “defining cultural marker” yang membedakan antara kaum Muslim fundamentalis vis-à-vis the rest. Kritik kalangan Muslim fundamentalis terhadap umat Islam pada umumnya persis ada di sini: absennya jihad dalam wacana Islam yang dominan, dan dengan demikian juga hilangnya etos perlawanan terhadap hegemoni dari dunia luar.

Sementara itu, corak wacana Islam yang dikembangkan oleh kalangan Islamis dan fundamentalis selalu dicirikan, antara lain, oleh kuatnya bahasa perlawanan dan ancaman. Kita masih ingat, misalnya, wacana al-ghazw al-fikri, atau perang pemikiran yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam untuk menanamkan keraguan dalam tubuh umat. Istilah “ghazw” atau perang di sini menandakan adanya perasaan yang mendalam mengenai ancaman yang datang dari luar. Apakah ancaman ini benar-benar real atau hanya fiktif, tentu tak terlalu penting. Dalam banyak kasus, “perceived threat” atau ancaman yang dibayangkan justru jauh lebih memiliki daya tarik dan cengkeram yang kuat ketimbang “the real threat”. Dalam ancaman yang nyata, bobot realitas masih memiliki pengaruh, sehingga fantasi tidak terlalu dibiarkan liar mempengaruhi citraan yang ada pada benak seseorang. Dalam ancaman yang dibayangkan, keadaanya justru sebaliknya: kenyataan tak terlalu penting. Yang lebih penting ialah gambaran-gambaran, sebahagian besar tentu tidah nyata, yang ada pada pikiran seseorang, dan bisa berkembang biak menjadi fantasi yang dari waktu ke waktu kian menebal, menakutkan, bahkan menimbulkan sejenis paranoia.

Alat yang paling efektif untuk menangkal serangan dan ancaman tentu bukanlah wacana keagamaan yang “nuchter”, dingin, rasional, melainkan wacana yang penuh dengan emosi dan membangkitkan “ghirah” atau semangat perlawanan. Di sinilah jihad menempati kedudukan yang sangat istimewa dalam seluru percakapan mengenai Islam fundamentalis.

Dua model jihad

Jika Sayyid Qutb dan Abul A’la Maududi bisa kita sebut sebagai peletak dasar Islamisme modern, yaitu suatu paham atau isme yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik yang setara dan mampu menyaingi isme-isme modern seperti kapitalisme dan sosialisme, maka tokoh yang satu ini boleh kita sebut sebagai peletak dasar ideologi dan sekaligus aksi “global jihad” di era modern. Tokoh itu ialah Abdullah Azzam.

Peran penting Qutb dan Maududi terletak pada usaha keduanya untuk membangun suatu kerangka ideologis yang meletakkan Islam bukan saja sebagai agama belaka, tetapi juga semacam paradigma untuk menganalisis, memahami, dan sekaligus mencari jalan keluar alternatif dari problem umat Islam. Qutb dan Maududi hendak membangun suatu ideologi Islam yang bisa bertanding secara setara, bahkan mengungguli ideologi-ideologi sekular modern. Itulah yang disebut sebagai Islamislme. Ada dua fondasi penting dalam Islamisme: pertama, keyakinan bahwa Islam bukan saja agama kesalehan tetapi juga sistem yang lengkap yang bisa menjadi landasan pengaturan bagi semua aspek kehidupan modern; dan kedua, keyakinan bahwa Islam dalam bentuk “isme” semacam ini hanya bisa diwujudkan dalam sebuah negara. Tanpa sebuah negara, Islam hanya berhenti sebagai ritual dan ajaran moral yang tak membentuk sebuah sistem sosial-politik-ekonomi yang superior.

Dalam kerangka Islamisme ini, ada sebuah doktrin penting yang bisa kita sebut sebagai ujung tombak dalam perjuangan untuk menegakkan kembali sistem politik atau negara Islam, yaitu jihad. Tak ada gagasan dalam Islamisme yang sepenting jihad. Karena itu, baik dalam pikiran Qutb maupun Maududi, doktrin jihad menempati kedudukan yang sangat penting, selain gagasan hakimiyyah yang sudah pernah saya bahas dalam pertemuan yang lalu. Baik Qutb dan Maududi menulis pasal yang khusus mengenai jihad, dan mengemukakan interpretasi mereka sendiri atas konsep Islam yang, dalam pandangan mereka, sudah lama dilupakan oleh umat Islam itu.

Dalam pandangan kaum Islamis, yaitu kalangan Islam yang meyakini Islam bukan saja sebagai agama tetapi juga ideologi politik, ajaran jihad dipandang sebagai, meminjam istilah yang dipakai oleh seorang jihadis Mesir Muhammad Abd al-Salam Faraj, “al-faridah al-ghaibah”, atau kewajiban yang dilupakan. Dalam pandangan mereka, submisivisme, ketundukan dan kelemahan dunia Islam di hadapan hegemoni Barat modern adalah, antara lain, disebabkan oleh merosotnya jihad sebagai ajaran dalam masyarakat modern. Umat, dalam waktu yang lama, melupakan doktrin ini, dan mereduksinya hanya menjadi “jihad spiritual” yang dianggap seolah-olah lebih tinggi (dan karena itu disebut sebagai “jihad akbar”) daripada jihad fisik dalam pengertian perang. Tugas kaum Islamis tentu saja adalah membangkitkan doktrin jihad ini dari “kubur”-nya, dan meletakkannya kembali ke tengah fokus perhatian umat Islam modern. Inilah yang menjelaskan kenapa dalam seluruh diskursus Islam fundamentalis, dengan keragaman yang ada pada mereka, jihad menempati kedudukan yang sangat penting.

Sebetulnya tidak benar manakala kita katakan bahwa jihad telah padam sepenuhnya dari tengah-tengah umat Islam. Selama era kolonialisme Barat, doktrin jihad adalah doktrin penting yang menginspirasikan perlawanan umat Islam di seluruh dunia atas kekuasaan kolonial Barat. Baik di Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah, Asia Selatan, hingga Asia Tenggara, doktrin jihad selalu hidup sebagai ilham utama bagi umat Islam di kawasan-kawasan tersebut untuk melawan penjajahan Barat. Hanya saja, ada perbedaan penting antara jihad di era kolonial dan paska-kolonial.

Jihad pada era kolonial tak terkait, atau paling kurang sangat lemah kaitannya dengan Islamisme sebagai ideologi. Jihad, para era itu, yakni pada Abad ke-19 hingga 20, jihad lebih dimaknai dan dimengerti sebagai “defensive jihad” melawan kekuasaan kolonial yang nyata-nyata telah melakukan pendudukan atas tanah umat Islam. Dalam era itu, ideologi Islamisme belumlah muncul. Bahkan, ada kecenderungan yang sangat menarik di mana jihad pada era kolonial ini berjalan secara berbarengan dengan konsep nasionalisme. Kasus Indonesia bisa menjadi contoh yang baik: Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh NU pada 22 Oktober 1945, dirumuskan dalam dua kerangka yang sangat unik, yaitu kerangka agama (yakni jihad) dan kerangka nasionalisme, yakni mempertahankan tanah air dari serangan penjajah Belanda. Agam dan gagasan tanah air tidak diperlawankan dalam konsep jihad di era kolonial ini. Oleh karena itu, tokoh-tokoh penting dalam perang kemerdekaan di duni Isalam adalah tokoh-tokoh Muslim dan sekaligus seorang nasionalis.

Ini berbeda dengan keadaan yang terjadi pada era pasca-kolonial. Pada era ini, muncul perkembangan baru yang menarik, yaitu jihad yang sudah mengalami dissosiasi atau penglepasan dari gagasan nasionalisme. Jihad pada era ini cenderung berhubungan dengan Islamisme sebagai ideologi. Karena itu, jihad bukan lagi alat perjuangan untuk mempertahankan tanah air, nation, melainkan justru sebagai antitesis dari gagasan itu. Jihad pada era pasca-kolonial adalah jihad yang anti-thetical terhadap nasionalisme. Fokus perjuangan jihad pada perkembangan baru ini adalah justru untuk menghancurkan negara nasional yang oleh kaum jihadis dianggap sebagai komprador dan antek dari hegemoni Barat. Mereka membawa konsep “polity” baru, yaitu negara khilafah. Dalam era pasca-kolonial ini, ada hubungan yang saling terkait antara tiga konsep berikut ini: Islamisme sebagai ideologi, khilafah sebagai new polity, dan jihad sebagai metode dan strategi.
Abdullah Azzam merupakan tokoh penting yang meletakkan landasan baru untuk kembalinya jihad sebagai tema besar dalam diskursus Islam modern. Keunikan Azzam bukan saja dalam usahanya membawa jihad ke tengah perhatian umat Islam, tetapi lebih dari itu dia juga berperan penting dalam memberikan contoh bagaimana jihad harus dilaksanakan dalam praksis nyata.

Sekelumit tentang Azzam

Abdullah Azzam adalah seorang aktivis Ikhwanul Muslimin dan sekaligus sarjana fikih. Dia lahir pada 1941 di Palestina, dan dalam umur yang masih muda telah bergabung dengan gerakan IKhwanul Muslimin cabang Palestina. Dia menempuh pendidikan under-graduate di bidang pertanian di Khaduri College yang tidak jauh dari tempat kelahirannya. Belakangan, dia meninggalkan minatnya di bidang pertanian, dan mempelajari ilmu-ilmu keislaman. Dia kemudian melanjutkan pendidikan pada level graduate di Universitas Damaskus. Dan menempuh pendidikan di bidang fikih di sana. Saat di Syria inilah di bertemu dengan seorang ideolog penting Ikhwanul Muslimin bernama Said Hawwa.

Dia kemudian melanjutkan pendidikan doktoral di bidang ushul fiqh (Islamic legal theory) di Universitas Al-Azhar dan menyelesaikannya pada 1973. Selama di Mesir, dia membangun hubungan yang baik dengan keluarga Sayyid Qutb dan mulai berkenalan dengan Ayman Al-Zawahiri dan Syekh Omar Abdurrahman. Lepas dari pendidikan doktoral, dia kemudian mengajar di Universitas Amman, Yordania. Tetapi dia tak bertahan lama di sana. Dia diusir dari universitas di mana ia mengajar karena mulai menampakkan kecenderungan yang radikal. Dia kemudian mendapatkan kesempatan mengajar di Universitas King Abdul Aziz di Jeddah, Saudi Arabia. Azzam berada di Saudi pada periode ketika negeri ini sedang memberikan “political asylum” kepada para aktivis Ikhwan yang ditindas di negeri-negeri Arab lain seperti Mesir, Syria, Yordania. Para aktivis Ikhwan memanfaatkan sambutan terbuka yang diberikan oleh pemerintah Saudi kala itu untuk menyebarkan Islamisme moderl Ikhwan ke generasi muda Saudi Arabia. Salah satu tokoh yang mendapat pengaruh ideologi ini tak lain adalah Usamah Bin Laden. Usamah sempat berhubungan dengan Abdullah Azzam dan membangun persahabatan yang erat dengan yang terakhir ini. Belakangan kita ketahui bahwa ternyata hubungan persahabatan ini berlangsung sangat panjang hingga keduanya pindah dan menjadi jihadis di Afghanistan.

Azzam pun tak lama berada di Saudi. Saat Uni Soviet melakukan invasi ke Afghanistan pada Desember 1979, Azzam mengeluarkan fatwa yang cukup terkenal dengan judul “al-Difa’ ‘an Aradli al-Muslimina Ahammu Furuld al-‘A’yan” (Mempertahankan Negeri Muslim adalah Fardlu ‘Ain yang Paling Tinggi). Pada pengamat terorisme di dunia Barat biasanya menyebutnya sebagai fatwa “Defence of the Muslim Lands”. Azzam menyodorkan fatwa ini kepada seorang mufti negara Saudi Arabia Syekh Abdul Aziz ibn Baz dan meminta persetujuan dari yang terakhir itu. Syekh Ibn Baz memberikan komentar: Innaha thayyibah (Fatwa yang sangat baik). Azzam tak bisa menahan hasratnya yang besar untuk segera pindah ke Afghanistan dan membangun perlawanan atas pendudukan Uni Soviet di sana. Dia kemudian mengajukan izin cuti untuk pindah mengajar di Pakistan agar lebih dekat dengan Afghanistan. Dia mengajar di Universitas Islam Internasional di Islamabad. Dari sana kemudian ia pindah ke Peshawar, kawasan perbatasan dengan Afghanistan. Di sanalah dia membangun sebuah misi yang sangat terkenal yang berpusat pada kantor yang dikenal dengan Maktab al-Khadamat. Melalui kantornya ini, Azzam menyerukan kepada pemudia Muslim di seluruh dunia untuk bergabung dengan para mujahidin di Afghanistan. Dia tidak hanya duduk pasif di Peshawar. Dia berkeliling ke berbagai negara untuk melakukan propaganda dan rekrutmen bagi jihad di Afghan. Dia sempat berkeliling dan memberikan ceramah di berbagai kota di Eropa dan Amerika Serikat. Di sana, dia berhasil menarik simpati kalangan muda Muslim bagi perlawanan kaum mujahidin di Afghanistan. Ini adalah tahun-tahun ketika negeri-negeri Barat, terutama Amerika Serikat, memberikan dukungan penuh bagi jihad di Afghanistan sebagai bagian dari strategi Amerika untuk memenangkan Perang Dingin melawan Blok Timur. Perjalanan Azzam mengunjungi kota-kota di Eropa dan Amerika tentu saja tak mendapatkan kesulitan sedikitpun, sebab ia bagian dari “rencana besar” negeri-negeri Barat dalam kerangka kepentingan memenangkan Perang Dingin tersebut. Kita bisa membayangkan jika perjalanan itu dilakukan oleh Azzam pada era “war on terror” sekarang ini: sudah tentu akan terjadi hal yang sebaliknya.

Azzam meninggal tragis pada 1989 bersama dua puteranya saat mobil yang ia kendarai meledak di Peshawar. Ia mati dalam umur yang masih cukup muda: 48 tahun. Hingga sekarang kita tidak pernah tahu siapa yang bertanggung-jawab atas pembunuhan ini. Selama bekerja di Peshawar itu, Azzam didampingi oleh murid dan sekaligus sahabatnya, yaitu Usamah Bin Laden. Sepeninggal Azzam, warisan perjuangan diteruskan oleh Usamah.

Azzam adalah sosok yang menakjubkan. Dia bukan saja seorang pejuang di lapangan, tetapi juga orator yang sangat memikat, dan penulis yang prolifik. Dia meninggalkan banyak sekali karya: baik berupa buku, pamflet, maupun fatwa. Ceramah-ceramahnya sangat banyak dan direkam dengan baik, lalu diedarkan oleh simpatisannya sebagai bahan pendidikan untuk rekrutmen kader jihad di mana-mana. Korpus yang ditinggalkan oleh Azzam mungkin merupakan literatur jihad paling kaya dan mendalam yang ditulis oleh penulis Mulsim modern. Jika kita hendak memahami pengertian jihad sebagaimana dimengerti kaum jihadis Muslim modern, maka korpus peninggalan Azzam adalah ladang penelitian yang sangat kaya dan menarik.

Pandangan Azzam tentang jihad

Bagaimana pandangan Azzam tentang jihad? Pandangan Azzam tentang jihad sebenarnya masih dalam kerangka pemahaman jihad sebagaimana yang kita jumpai dalam literatur fikih klasik. Dalam seluruh pembahasan Azzam tentang jihad, dia selalu merujuk kepada sumber-sumber otentik dalam Islam, baik Quran, sunnah, dan pendapat ulama klasik dalam sejarah pemikiran fikih Islam. Azzam bahkan mem-frame gagasannya tentang jihad dalam kerangka yang sebenarnya tak terlalu asing, yaitu jihad sebagai difa’ atau pertahanan diri karena ada serangan dari musuh-musuh non-Muslim. Yang unik pada Azzam adalah bukan pada pemahamannya mengenai jihad per se, melainkan pada gagasannya yang kemudian mengubah jihad yang semula terbatas sebagai praksis perlawanan dalam kerangka negara nasional menjadi jihad dalam bentuk baru: global jihad, jihad dengan skala global. Jihad, dalam pandangan Azzam, adalah kewajiban yang berlaku secara global, bukan hanya terbatas pada satu-dua negara saja.

Dalam bukunya yang berjudul al-Jihad: Fiqh wa Ijtihad, Azzam membuat suatu statement yang menarik. Pertama-tama, ia mengatakan bahwa jihad adalah “a’zam ‘ibadah”, ibadah yang paling mulia. Jika jihad dipandang sebagai kewajiban kolektif (fard jifayah), maka ia adalah kewajiban kolektif yang paling tinggi dan mulia di antara kewajiban sejenis yang lain. Sementara, jika jihad dipandang sebagai kewajiban individual (fard ‘ain), maka ia adalah kewajiban yang harus didahulukan atas semua bentuk kewajiban yang lain dalam agama selain salat.

Jika terjadi pertentangan antara keharusan jihad dan keharusan keagamaan yang lain, seperti haji dan puasa, maka kewajiban jihad mengungguli kesemuanya itu. Jihad harus didahulukan terhadap kewajiban-kewajiban keagaan yang lain. Tetapi, status jihad naik kepada tingkat yang demikian itu manakala ia sudah menjadi fard ‘ain, atau kewajiban individual. Menurut Azzam, jihad menjadi kewajiban individual yang harus dikerjakan oleh semua individu Muslim tanpa perkecualian makanala dua kondisi berikut ini terpenuhi: yang pertama adalah saat ada “military draft” atau seruan perang (al-nafir al-‘am) oleh kepala negara. Jika kepala negara menyatakan bahwa sebuah negara Islam berada dalam keadaan perang, maka seluruh individu Muslim harus terlibat dan ikut berjihad. Kondisi kedua adalah saat terjadi serangan musuh Islam terhadap negara Muslim. Dalam keadaan yang terakhir ini, tak ada alasan apapun bagi setiap individu Muslim untuk menghindar dari kewajiban jihad sebagai mekanisme pertahanan diri. Saat jihad telah naik statusnya menjadi kewajiban individual, karena terpenuhinya salah satu atau kedua kondisi di atas, maka jihad memiliki kedudukan yang setara bahkan dengan salat sekalipun. Bahkan, kata Azzam, jihad, dalam kondisi darurat seperti itu, lebih tinggi kedudukannnya dan harus didahulukan terhadap salat. Azzam mengutip sebuah kejadian pada saat Perang Khandaq (Perang Parit, pada 627 M) di mana Nabi tak sempat melaksanakan salat Asar hingga lewat waktu, karena sibuk dengan perang.

Yang lebih menarik ialah bagaimana Azzam mendefinisikan tentang kondisi di mana negeri dan tanah umat Islam diserang oleh musuh. Pertanyaan yang relevan di sini ialah: Pada saat apa dan dalam kondisi yang bagaimana kita bisa mengatakan bahwa negeri Muslim sedang diserang oleh musuh? Apakah serangan di sini dipahami dalam pengertian yang harafiah: yakni serangan langsung terhadap “tanah Islam” (ard al-Islam) seperti dalam kasus serangan Uni Soviet atas Afghanistan pada 1979 itu? Ataukah serangan di sini memiliki pengertian yang lebih luas? Di sini, Azzam mengeluarkan sebuah pendapat yang menarik. Dia mengatakan bahwa jihad menjadi kewajiban ‘ain atau individual sejak runtuhnya kekuasaan Islam di Andalusia pada 1492 M. Azzam, tampaknya, menandai kejadian sejarah ini sebagai titik balik penting dalam sejarah Islam. Itulah momen ketika kejayaan Islam pelan-pelan mulai runtuh, dan kekuatan Kristen secara gradual mengalami pasang naik yang tak bisa dihentikan hingga sekarang. Hegemoni Barat-Kristen terjadi secara pelan-pelan sejak keruntuhan Spanyol, dan tanah-tanah umat Islam dengan sedikit demi sedikit jatuh ke dalam kontrol kekuatan Kristen. Ini, tampaknya, di mata Azzam, dipandang sebagai kondisi yang mengharuskan semua individu Muslim untuk terlibat dalam jihad. Dengan kata lain, pengertian serangan terhadap tanah Islam dipahami oleh Azzam bukan sepenuhnya dalam makna yang harafiah, melainkan lebih luas sebagai kondisi di mana dunia Islam berada di bawah dominasi dunia non-Islam. Saya menduga, pada titik inilah gagasan “global jihad” bermula dalam pemikiran Azzam.

Azzam juga mendiskusikan apa yang ia sebut sebagai “marahil al-jihad” atau tahap-tahap yang dilalui oleh doktrin jihad dalam periode pewahyuan di era Nabi dahulu. Ada empat tahap. Yang pertama: tahap ketika jihad diharamkan karena umat Islam masih dalam kondisi yang lemah. Ini tergambar dalam QS 4:77. Tahap kedua: tahap ketika jihad mulai diizinkan sebagai sebuah metode dan strategi, meskipun belum menjadi keharusan, baik kolektif atau individual. Ini tergambar dala, QS 22:93. Tahap ketiga: tahap ketika jihad diharuskan dalam situasi tertentu, yaitu saat ada serangan dari luar, sebagaimana tergambar dalam QS 2:190. Tahap terakhir: tahap ketika jihad menjadi kewajiban yang berlaku umum dan kapanpun sebagaimana tergambar dalam QS 9:29.

Yang menarik adalah pandangan Azzam bahwa jihad pada tahap yang terakhir ini berlaku universal. Jihad adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap Muslim, dan hanya berhenti saat dunia non-Muslim tunduk di bawah kekuasaan Islam. Dengan kata lain, inilah jihad sebagai bentuk ideologi supremasisme dan triumfalisme.

Rumusan jihad ala Azzam semacam ini bukanah hal yang asing dalam tradisi Islam. Apa yang dikatakan oleh Azzam bukanlah “modern invention”. Jika kita baca literatur klasik dalam sejarah pemikiran Islam mengenai jihad, motif supremasisme semacam ini sudah ada. Yang unik pada Azzam adalah membangkitkan kembali pandangan lama ini dalam konteks modern, pada saat sebagian besar umat Islam justru sedang bergerak ke arah yang sebalinya: yakni, mereka sedang ingin membangun hubungan yang damai, on good term, dengan Barat dalam kerangka negara nasional yang memiliki kedudukan setara. Saat dunia Islam sedang membangun jembatan perdamaian, atau “hiwar al-hadarat” sebagaimana pernah dikemuakkan oleh Presiden Iran Mohammad Khatami dulu, sosok-sosok seperti Azzam justru membangun wacana sebaliknya dengan basis doktrin jihad ini, yakni wacana “shira’ al-hadarat” atau benturan peradaban. []