Pos

Merebut Tafsir: Mudik di Era Normal Baru

Oleh: Lies Marcoes-Natsir, M.A.

 

TAK disangka, mudik untuk berlebaran di kampung sebagai ciri masyarakat Indonesia bisa terhenti serempak gara-gara pandemi Covid-19.

Syukurlah Lebaran tahun ini, virus mulai jinak. Sebagian warga kota, atas izin pemerintah, diperkirakan akan mudik Lebaran.

Penting untuk mengamati fenomena mudik pada masa normal baru (new normal) ini, baik bagi pemudik maupun situasi di udik, di kampung halaman. Apa yang masih tetap sama dan berubah setelah dua kali Lebaran desa tak dibanjiri para pemudik?

Meskipun orang yang tinggal di kota punya udik (kampung), sebetulnya tak setiap waktu mereka bisa pulang kampung. Karena itu, meski Covid-19 sudah berkurang, desa seperti memiliki pintu imajinatif yang tak begitu saja bisa buka tutup setiap waktu.

Pintu itu seperti punya jadwal kapan dibuka dan mempersilakan orang kota memasuki desa dengan sambutan bak tamu agung dan kapan tertutup sehingga orang hanya bisa masuk secara menyelinap. Mereka yang pulang di luar jadwal mungkin akan dianggap pulang tak diundang.

Untuk pulang kampung, orang butuh alasan: menengok orangtua jika dikabarkan sakit, membawa anak liburan, ada hajatan atau kumpul keluarga (belakangan disebut reuni), atau untuk mudik Lebaran.

Pintu rumah orangtua di kampung tentu selalu terbuka bagi anak cucu yang tinggal di kota untuk pulang di luar waktu-waktu yang telah dimaklumi. Namun, orangtua butuh alasan untuk tetangga dan kerabat jika ada anak-cucunya datang tiba-tiba di luar waktu yang biasanya atau tanpa faktor ”pemanggil”, seperti ada kerabat sakit atau meninggal.

 

Tetirah

Pulang tanpa alasan hanya akan membuat tetangga bertanya-tanya. Gerangan kabar baik apa yang dibawa dari kota? Naik pangkat? Mau mantu? Beli tanah? Mau naik haji? Atau adakah kabar penting lain? Untunglah dalam kosakata Indonesia, terutama Jawa/Sunda, ada satu istilah yang semua orang di kampung akan memaklumi, ”tetirah”.

Tetirah adalah istilah psikologis untuk istirahat pikiran. Kata itu tampaknya begitu sakti. Orangtua di kampung dan orang yang pulang tanpa alasan segera mendapatkan alasan mengapa seseorang pulang kampung di luar agenda.

Tanpa istilah itu, tatkala orang dari kota pulang bukan pada jadwalnya akan memunculkan tanda tanya atau bisik- bisik. Mengapa pulang? Ketidakjelasan alasan pulang itu membuat kedua pihak, orangtua dan anak yang pulang, merasa tak nyaman. Orang mungkin menerka-nerka apakah telah menjadi petarung yang kalah berjuang di kota?

Tetirah adalah sebuah istilah medis tradisional untuk menunjuk kepada situasi di mana orang membutuhkan waktu untuk istirahat lahir batin dengan cara mengungsi atau mengasingkan diri dari tempat biasanya seseorang itu tinggal. Dalam bahasa agama itu disebut uzlah atau hijrah. Tetirah biasanya disandangkan kepada orang yang sedang dalam proses penyembuhan, baik akibat sakit pisik, mental, maupun sakit pikiran/batin.

Mudik juga sering dijadikan alasan bagi orang kota untuk tetirah secara periodik. Orang menarasikan Idul Fitri sebagai momentum ”kembali ke titik nol”. Secara sosiologis, mudik juga kerap diartikan sebagai momentum memperlihatkan hasil kerja keras di rantau. Karena itu, ini momentum bagi dua pihak untuk ”pamer” tentang sukses di rantau.

Apa pun keadaan kehidupan di kota, orangtua di kampung harus siap menyambut mereka. Sebuah sikap yang harus menerima anak-anaknya pulang dari pertempuran di kota dengan menyediakan perbekalan lahir batin. Sebagian perantau di kota tentu ada yang tercatat sebagai orang sukses dan karena itu akan berperan sebagai kasir keluarga yang juga menjadi kebanggaan keluarga.

Sebagian anggota keluarga yang lain akan sekadar menikmati kemewahan bernostalgia di kampung, disuguhi makan minum tidur gratis, dan hal-hal yang bisa men-charge kembali baterai mental untuk dibawa kembali ke kota setelah festival Lebaran usai.

 

Kesiapan Desa

Wacana larangan mudik guna memutus penularan virus Covid-19 telah semakin longgar. Masalahnya, sudahkah kita menimbang seberapa sanggup desa menyangga kedatangan orang dari kota, sementara desa sendiri tidak imun dari Covid-19. Bahkan lebih berat lagi karena di desa upaya pencegahan penyebaran virus pada kenyataannya lebih sulit jika warga umumnya menolak ”fakta” adanya Covid-19.

Selama dua tahun masa pandemi, saya pernah satu kali mengadakan kegiatan pelatihan pemberdayaan guru PAUD dengan mengambil tempat di wilayah perdesaan. Kala itu, setahun yang lalu virus Delta justru baru meningkat. Namun, para peserta menolak swab dan hanya mau menggunakan masker. Sementara itu, banyak mata menatap kami yang senantiasa menggunakan masker sebagai perilaku orang kota yang berlebihan.

Hal lain adalah soal pemulihan ekonomi keluarga. Tampaknya kita juga mesti menimbang keadaan ekonomi di kota yang belum sepenuhnya pulih akibat terdampak Covid-19. Sangat masuk akal jika orang kota butuh pulang ke desa untuk tetirah, sebab mereka hanya punya desa sebagai sanatorium sosial tempat mereka pulang dan tetirah setelah dihantam badai Covid-19.

Mungkin pemerintah pusat dan daerah perlu berunding bagaimana agar desa sanggup menyangga dirinya sendiri ketika banyak orang dari kota pulang dengan alasan mudik Lebaran dengan situasi mental dan batin kurang sehat. Mereka mungkin akan tinggal lebih lama sambil menunggu ekonomi di kota kembali pulih.

Mudik di era normal baru semoga mampu membangun kembali daya juang untuk hidup setelah babak belur dihantam makhluk mikroskopis Covid-19. Namun, tetirah atau pemulihan melalui Lebaran bukan hanya bagi mereka yang kelak akan balik lagi ke kota, melainkan juga bagi desa sendiri yang akan ditinggali sampah persoalan yang dibawa dari kota akibat Covid-19.

Selamat menikmati mudik!

 

Pandemi dan Tradisi

Oleh Listia Suprobo

Kami hidup sebagai pendatang di sebuah kampung di Sleman antara jalan Kaliurang dan jalan Tentara Pelajar. Sebagaimana di banyak tempat lain, mungkin kecuali di perumahan, ada adat yang harus kami jaga bersama. Saat baru pindahan, kami selenggarakan kenduri yang diisi dengan doa tahlil dan perkenalan dengan warga sekitar. Pak Dukuh menyampikan selamat datang dan meminta kami para pendatang untuk mengikuti tradisi dan kebiasaan yang berjalan di wilayah itu. Tentu saja, di mana bumi dipinjak di situ langit dijunjung, karena para pendatang berasal dari berbagai daerah bahkan dari luar Jawa. Umumnya pendatang bersedia menyesuaikan diri.

Dalam hal ritual berbagai selametan, ruwahan, merti desa, memang hanya sedikit pendatang  yang bisa aktif, karena berbagai alasan. Buat saya sendiri, ada hal yang sangat mengesankan sejak awal datang hingga kini, yaitu kidung atau singiran (melantunkan syair dalam tembang) diorkestrasi dengan tahlilan dalam langgam jawa, pada dua kesempatan; saat ruwahan (mendoakan para arwah leluhur) yang dilaksanakan menjelang puasa Ramadhan dan setiap selamatan 1000 hari orang meninggal. Apalagi Bapak yang melantunkan vokalnya sangat merdu, membuat pikiran saya membayangkan Jawa abad 15, meresapi bagaimana syair itu menjadi bagian dari tradisi. Tapi dalam urusan sosial seperti kerja bakti, ronda, macam-macam serkiler (iuran sumbangan untuk berbagai keperluan sosial), para pendatang sangat aktif, bahkan dalam beberapa segi cukup menonjol.

Kebersamaan dalam berbagai kegiatan sosial terutama telah memperkuat persatuan, sehingga jalan yang membelah kampung kami dinamakan ‘Jalan Kesatuan’ yang dibangun secara gotong royong oleh semua warga laki-laki perepuan, tua muda selama kurun waktu berbulan-bulan, sejak memecah dan menata batu dengan teknik konstruksi mac adam.

Sekitar tahun 2007 ada keluarga yang mengontrak rumah di lingkungan RT kami meninggal karena sakit. Beberapa warga mengusulkan agar jenazah diantar ke daerah asal, mengingat tanah makam juga terbatas. Namun karena berbagai pertimbangan terutama dari istri, dan pertimbangan dari para kesepuhan, bahwa almarhum rajin kerja bakti dan aktif ronda,  atas nama kemanusiaan jenazah dimakamkan di makam kampung. Untuk pelaksanaan kenduri sampai 7 hari, warga yang mampu mengirim berbagai keperluan dan makanan. Demikian pula setiap idul adha, pembagian daging merata untuk semua warga tidak membeda-bedakan agama apa yang dianut. Kebersamaan yang mengesankan.

Di antara warga baru dan lama memang tetap ada perbedaan, terutama dalam gaya hidup, pola pikir dan pengelolaan waktu sehari-hari. Tentu saja ada perbedaan riwayat pendidikan, latar budaya yang telah membentuk sebelumnya dan lingkup pergaulan, sehingga ada kalanya ‘terjadi ketidaksepakatan’, atau hal-hal membuat kurang kompak antara warga baru dan warga lama. Ya karena sesungguhnya tidak mungkin ada pemaksaan kehendak oleh salah satu pihak. Demikian pula dalam menanggapi pandemi panjang ini perbedaan cara berfikir sangat terasa.

Kemarin malam, salah satu warga yang termasuk warga baru meninggal dunia. Karena pemakaman harus menggunakan protokol kesehatan, jenazah harus segera dimakam malam itu. Dalam tradisi, bila warga RT kami ada yang meningal maka warga kampung sebelah yang menggalikan lubang kubur dan mereka juga mengumpulkan beras atau uang untuk membantu pelaksanaan kenduri. Sebaliknya bila yang meninggal kampung sebelah, warga kampung kami yang bertugas menggali liang kubur dan mengumpulkan sumbangan. Adanya kematian yang berturut-turut bahkan sempat sehari dua kali, saya membayangkan mereka yang menggali kubur dan ibu-ibu yang mengumpulkan sumbangan dari rumah ke rumah serta keluarga-keluarga yang secara ekonomi pas-pasan yang tentu tidak enak hati bila tidak memberi meski tidak diminta. Mungkin semangat yang sangat baik ini perlu dikemas dengan cara baru yang terasa tidak merepotkan bagi semua pihak, tanpa mengurangi kemanfaatannya.

Pemakaman malam itu hanya dihadiri putri almarhum dan suaminya, Pak Dukuh, Pak Kaum, warga kampung sebelah yang menggali makam dan seorang umat Katolik yang memimpin doa. Meski ada Pak Kaum yang biasa memimpin doa, karena yang meninggal beragama Katolik, maka yang memimpin adalah warga umat Katolik yang memang aktif di Gereja.

Tadi malam banyak warga yang menunggu suara ambulan datang agar bisa memberi penghormatan terakhir meski dari jauh. Namun ternyata ambulan mematikan sirine, demikian pula toa masjid tidak memberi pengumuman, ternyata untuk alasan mencegah kerumunan dan secara psikologis tidak menambah kekhawatiran ditengah kenaikan jumlah warga yang positif covid. Warga hanya mendapat foto-foto prosesi pemakaman telah selesai dilakukan.

Di hadapan kematian, dan banyak kematian di masa pandemi ini, tradisi budaya mempertemukan kemanusiaan, bahkan meski beda agama sekalipun. Di kampung kami, tidak ada pembedaan lokasi penguburan, karena semua jasad yang wafat akan terurai menjadi tanah. Dan arwah orang yang meninggal sudah tidak membutuhkan ruang lagi di dunia, terbebas dari sekat-sekat duniawi. Yang berbeda hanya amal perbuatan selama hidup di dunia, akankah dikenang atau dilupakan. Sedang nasib di akhirat hanya Allah, Gusti Pengeran  yang punya kewenangan menentukan.

(Nderek belasungkawa Mba Krisan, mas Nanank Marto Suwito  dan keluarga, semoga tabah dan semua yang sakit segera sehat.🙏)

Cerita Kehamilan Kedua di Masa Corona

Oleh Nurasiah jamil

Saat saya menulis ini, saya alhamdulilah sudah sehat sekitar 4-5 bulan yang lalu dari corona. Namun, hati saya tidak sedang sehat karena kita ketahui bahwa corona semakin naik terus dan variannya makin ganas. Melalui tulisan ini ingin menceritakan perjuangan kehamilan kedua saya dan kedua teman lainnya yang terkena covid – 19 yang sampai hari ini masih berjuang.

Latar belakang pekerjaan

Saya yang bekerja di NGO yang memiliki kebijakan sangat berpihak kepada perempuan sudah menerapkan work from home sejak pemerintah menyampaikan larangan Maret 2019 lalu. Namun sesekali ada kegiatan pendampingan ke lapangan itupun jarang. Dengan berbekal naik motor dan cuaca yang cukup extrem hujan dan panas bersama balita saya dan saya yang hamil saya sering melakukan perjalanan untuk pendampingan di wilayah Cianjur. Selain belum memiliki kendaraan beroda empat, saya merasa lebih aman dan nyaman menggunakan motor ketimbang kendaraan umum karena hanya bertemu suami siaga dan anak.

Sahabat saya yang pertama, namanya Rina. Ia bekerja sebagai tenaga kesehatan disebuah pusat kesehatan masyarakat di wilayah Jakarta. Tentu dia tidak ada WFH, justru ia dan temannya menjadi orang di garda terdepan disaat pandemi ini. Suaminya pun bekerja WFO diwilayah Jakarta. Ibunya positif covid dan sahabat saya dinyatakan tertuar tak lama selepas menengok ibunya.

Sahabat saya yang kedua, namanya Indri. Ia bekerja di Dinas Kesehatan di wilayah Bogor. Sesekali WFH dan WFO, suaminya tenaga kesehatan di wilayah Bogor juga. Mertuanya meninggal dan positif covid, sahabat saya dinyatakan positif setelah beberapa hari mertuanya meninggal.

Inilah ragam pekerjaan saya bersama dua sahabat saya.

Perjalanan terpapar Covid

Saya adalah orang yang pertama terkena covid-19, pada akhir bulan Februari 2021 ketika usia kehamilan saya sekitar dua bulan menuju tiga bulan. Saya tidak tahu darimana virus itu saya dapatkan, namun yang pasti saya kehujanan dan mungkin imun saya drop sehingga virus dengan mudah masuk kedalam tubuh saya.  Saya tidak enak badan semasa training hari kedua dilaksanakan, hingga akhirnya tiga hari berikutnya saya baru dilakukan tes usap dan saya sudah hilang penciuman. Saya dan anak saya positif, sedangkan suami alhamdulilah tidak terkena.

Lain lagi dengan sahabat saya Rina, ia melakukan test usap rutin karena kebutuhan untuk cek di pusat layanan kesehatan masyarakat, namun kecolongan ketika menengok ibunya dan ternyata positif hingga akhirnya dia tertular. Anak dan suaminya aman tidak terkena virus corona. Ia terkena virus sekitar bulan Maret 2021 pada saat kehamilan 3 bulan.

Kami berdua terkena virus corona dengan varian yang sebelum varian delta menyebar luas, tidak ada pengecekan spesifik virus varian yang mana, namun saat itu bukan varian delta.

Sahabat saya yang kedua, ia terpapar virus corona tak lama setelah ayah mertuanya meninggal, ia terkena virus corona bersama suaminya, namun alhamdulilah anak pertamanya negatif. Ia terkena virus corona ketika varian delta sudah menyebar dan saat itu usia kehamilan 7-8 bulan pada bulan Juli 2021.

Diantara kami bertiga, tidak ada yang tahu persis perjalanan virusnya didapat darimana, tapi kami sudah mendapatkannya.

Perjuangan saat terkena corona

Saya saat itu sedang tugas kerja di Cianjur, sehingga saya mencari pertolongan dengan melapor ke satgas covid Kabupaten yang dihubungkan ke satgas covid Desa. Sebagaimana diketahui bahwa orang tua saya merupakan orang cianjur dan saya secara KTP masih warga Cianjur. Gejala yang saya alami adalah batuk, demam, flu, sakit tulang dan anosmia (hilang penciuman dan pengecapan). Saya langsung disarankan isolasi mandiri ke pusat isolasi pemda, sehubungan kondisi saya yang hamil muda sehingga memerlukan pemantauan tenaga kesehatan. Tanpa basa-basi saya langsung menerima tawaran tersebut demi keselematan Jiwa dan raga. Selama isolasi 8 hari gejala yang sejak awal hadir itu tetap ada, namun karena kehamilan saya, saya tidak mengonsumsi obat-obatan selain vitamin.

Sebelumnya anak saya diikutkan isoman, namun karena saya tidak bisa istirahat akhirnya diputuskan dikirim kerumah orang tua untuk diasuh bersama papanya. Terpisah jauh dari keluarga selama 14 hari sangat merasa kesepian, suami saya hampir tiap hari menengok namun kami hanya bisa saling sapa dan ngobrol lewat jendela dari lantai dua. Namun alhamdulilah masih bisa bertemu secara fisik.

Sahabat saya Rini, ia harus dirawat di Rumah Sakit saat ia diketahui terkena corona, karena ada gangguan pembekuan darah dan setiap hari sampai 10 hari isolasi di RS ia harus disuntik obat agar tidak terjadi pembekuan darah tersebut dan tentu obat tambahan lain yang harus ia habiskan agar cepat pulih. Sesekali saya WAan dengannya untuk menanyakan kabar, sesekali pula kami telponan untuk sekedar bercerita langsung. Tentu keadaan dia tak bisa ditengok sama sekali karena berada di RS. Suaminya pun hanya sesekali dan jika urgent saja datang. Karena pemantauan yang ketat.

Perjuangan saya dan Rini sangat berbeda, namun alhamdulilah kami bisa peluk secara virtual karena kami dinyatakan kembali sehat.

Namun, tidak mudah bagi sahabat kedua kami, Indri. Ia saturasinya rendah dalam keadaan hamil besar, yang membuat ia harus memutuskan melahirkan anaknya dengan sectio cesaria agar anaknya bisa tertolong. Ia terpaksa harus masuk ruang intensive care unit karena kondisinya semakin lemah. Alhamdulilah anak yang lahir selamat namun kondsi Indri terus menurun kesadarannya hingga ia di intubasi. Segala upaya dilakukan oleh keluarga mulai dari donor plasma konvalesen dan juga pemberian obat gammarras yang digunakan untuk meningkatkan imun dalam tubuh, salah satunya yang dipakai dalam terapi penyembuhan covid-19.

Pada saat saya menulis cerita ini, hari ketiga setelah donor dan penyuntikan obat, dan saya bersama teman lain terus melakukan pemantauan, per hari ini alhamdulilah alat ventilator sudah dicoba dilepas meski masih di ICU. Mohon doa dari pembaca untuk kesembuhan sahabat saya.

Kehamilan saat pandemiTidak mudah bagi kami bertiga dan sebagian besar perempuan diluar sana menjalani kehamilan dimasa pandemi ini, karena dengan kondisi hamil ini mempengaruhi imunitas lebih rendah sehingga lebih mudah terpapar penyakit terutama corona. Menurut berita melalui media CNN Indonesia disampaikan oleh Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) mencatat sebanyak 536 ibu hamil dinyatakan positif Covid-19 selama setahun terakhir. Dari jumlah tersebut, tiga persen di antaranya dinyatakan meninggal dunia dan 4.5 persen masuk ICU. Persentase tersebut diperkuat oleh studi lainnya yang menggambarkan bahwa seseorang yang sedang hamil memiliki risiko lebih besar dan berat ketika terkena covid.

Meski gejala awal yang terjadi relatif sama, namun dari pengalaman kami bertiga efek covid-19 ini berbeda kepada setiap orang. Melalui tulisan ini ingin mengajak semua orang untuk tetap menerapkan protokol kesehatan agar terhindar dari virus corona ini dan meminta doa dari pembaca untuk kelancaran persalinan saya dan sahabat serta seluruh perempuan yang sedang hamil di masa pandemi dan juga untuk kesembuhan sahabat saya yang saat ini masih di ICU semoga Allah angkat penyakitnya dan diberikan umur yang panjang untuk menjaga anaknya yang telah dilahirkan.

Gawat! Perkawinan Anak Melejit Karena Pandemi Covid-19

Suara.com – Pandemi Covid-19 membuat angka dispensasi perkawinan anak di Indonesia meningkat pesat.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat selama pandemi Covid-19, ada 34.000 ribu permohonan dispensasi perkawinan anak yang diterima pengadilan agama di Indonesia.

Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Puspayoga mengatakan hal ini sangat memprihatinkan, sebab banyak anak putus sekolah karena pademi tapi justru malah memilih menikah dini.

“Dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2020, badan peradilan agama Indonesia telah menerima sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh calon mempelai yang belum berusia 19 tahun, tentunya hal ini menjadi keprihatinan bagi kita semua,” kata Bintang dalam Rakornas KPAI, Senin (30/11/2020).

Dia berharap dengan terbitnya SKB 4 Menteri yang memperbolehkan pembukaan sekolah dengan protokol kesehatan pada Januari 2021 bisa mengembalikan anak ke sekolah dan fokus belajar, bukan menikah.

“Untuk itu saya harap semua pihak dapat melaksanakan lima siap dalam adaptasi kebiasaan baru di satuan pendidikan, yaitu siap daerahnya, siap sekolahnya, siap gurunya, siap orang tuanya dan siap peserta didiknya,” jelasnya.

Namun Menteri Bintang menegaskan orang tua juga tetap bisa menolak anaknya masuk sekolah jika masih khawatir dengan kondisi pandemi covid-19.

“Tidak ada pemaksaan kepada orang tua jika mempunyai kekhawatiran dan tidak nyaman ketika anaknya masuk ke sekolah. Pelajaran tetap dapat dilaksanakan secara daring,” tegasnya.

Pembelajaran tatap muka di sekolah tetap hanya diperbolehkan untuk sekolah yang telah memenuhi daftar periksa yakni ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan seperti toilet bersih dan layak, sarana cuci tangah pakai sabun dengan air mengalir atau hand sanitizer, dan disinfektan.

Selanjutnya, mampu mengakses fasilitas pelayanan Kesehatan, kesiapan menerapkan wajib masker, memiliki alat pengukur suhu badan (thermogun).

Daftar periksa berikutnya adalah memiliki pemetaan warga satuan pendidikan yang memiliki komorbid yang tidak terkontrol, tidak memiliki akses transportasi yang aman, memiliki Riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko Covid-19 dan belum menyelesaikan isolasi mandiri. Terakhir, mendapatkan persetujuan komite sekolah atau perwakilan orang tua/wali.

Pembelajaran tatap muka tetap dilakukan dengan mengikuti protokol Kesehatan yang ketat terdiri dari kondisi kelas pada jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar dan pendidikan menengah menerapkan jaga jarak minimal 1,5 meter.

Sementara itu, jumlah siswa dalam kelas pada jenjang Sekolah Luar Biasa (SLB) maksimal 5 peserta didik per kelas dari standar awal 5-8 peserta didik per kelas.

Pendidikan dasar dan pendidikan menengah maksimal 18 peserta didik dari standar awal 28-36 peserta didik/kelas. Pada jenjang PAUD maksimal 5 peserta didik dari standar awal 15 peserta didik/kelas.

Penerapan jadwal pembelajaran, jumlah hari dan jam belajar dengan sistem pergiliran rombongan belajar ditentukan oleh masing-masing sekolah sesuai dengan situasi dan kebutuhan.

Perilaku wajib yang harus diterapkan di sekolah harus menjadi perhatian, seperti menggunakan masker kain tiga lapis atau masker sekali pakai/masker bedah, cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau cairan pembersih tangan, menjaga jarak dan tidak melakukan kontak fisik, dan menerapkan etika batuk/bersin.

Selanjutnya, kondisi medis warga sekolah sehat dan jika mengidap komorbid harus dalam kondisi terkontrol, tidak memiliki gejala Covid-19 termasuk pada orang yang serumah dengan peserta didik dan pendidik.

Kantin di sekolah pada masa transisi dua bulan pertama tidak diperbolehkan buka. Setelah masa transisi selesai, kantin diperbolehkan beroperasi dengan tetap menjaga protokol kesehatan.

Kegiatan olahraga dan ekstrakurikuler pada masa transisi dua bulan pertama tidak boleh dilakukan. Setelah masa transisi selesai, kegiatan boleh dilakukan, kecuali kegiatan yang menggunakan peralatan bersama dan tidak memungkinkan penerapan jarak minimal 1,5 meter seperti basket, voli, dan sebagainya.

Kegiatan selain pembelajaran tidak boleh dilakukan pada masa transisi dua bulan pertama, setelah itu diperbolehkan dengan tetap menjaga protokol Kesehatan. Sementara itu, pembelajaran di luar lingkungan sekolah boleh dilakukan dengan tetap menjaga protokol Kesehatan.

Daftar periksa berikutnya adalah memiliki pemetaan warga satuan pendidikan yang memiliki komorbid yang tidak terkontrol, tidak memiliki akses transportasi yang aman, memiliki Riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko Covid-19 dan belum menyelesaikan isolasi mandiri. Terakhir, mendapatkan persetujuan komite sekolah atau perwakilan orang tua/wali.

Pembelajaran tatap muka tetap dilakukan dengan mengikuti protokol Kesehatan yang ketat terdiri dari kondisi kelas pada jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar dan pendidikan menengah menerapkan jaga jarak minimal 1,5 meter.

Sementara itu, jumlah siswa dalam kelas pada jenjang Sekolah Luar Biasa (SLB) maksimal 5 peserta didik per kelas dari standar awal 5-8 peserta didik per kelas.

Pendidikan dasar dan pendidikan menengah maksimal 18 peserta didik dari standar awal 28-36 peserta didik/kelas. Pada jenjang PAUD maksimal 5 peserta didik dari standar awal 15 peserta didik/kelas.

Penerapan jadwal pembelajaran, jumlah hari dan jam belajar dengan sistem pergiliran rombongan belajar ditentukan oleh masing-masing sekolah sesuai dengan situasi dan kebutuhan.

Perilaku wajib yang harus diterapkan di sekolah harus menjadi perhatian, seperti menggunakan masker kain tiga lapis atau masker sekali pakai/masker bedah, cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau cairan pembersih tangan, menjaga jarak dan tidak melakukan kontak fisik, dan menerapkan etika batuk/bersin.

Selanjutnya, kondisi medis warga sekolah sehat dan jika mengidap komorbid harus dalam kondisi terkontrol, tidak memiliki gejala Covid-19 termasuk pada orang yang serumah dengan peserta didik dan pendidik.

Kantin di sekolah pada masa transisi dua bulan pertama tidak diperbolehkan buka. Setelah masa transisi selesai, kantin diperbolehkan beroperasi dengan tetap menjaga protokol kesehatan.

Kegiatan olahraga dan ekstrakurikuler pada masa transisi dua bulan pertama tidak boleh dilakukan. Setelah masa transisi selesai, kegiatan boleh dilakukan, kecuali kegiatan yang menggunakan peralatan bersama dan tidak memungkinkan penerapan jarak minimal 1,5 meter seperti basket, voli, dan sebagainya.

Kegiatan selain pembelajaran tidak boleh dilakukan pada masa transisi dua bulan pertama, setelah itu diperbolehkan dengan tetap menjaga protokol Kesehatan. Sementara itu, pembelajaran di luar lingkungan sekolah boleh dilakukan dengan tetap menjaga protokol Kesehatan.

Sumber: https://www.suara.com/health/2020/11/30/172126/gawat-perkawinan-anak-melejit-karena-pandemi-covid-19?page=all

rumah kitab

Merebut Tafsir: Menghapus Bosan di Bulan ke Sembilan

Oleh Lies Marcoes
.
Jika dihitung dari Maret, saat ini kita telah masuk ke bulan ke sembilan menghadapi virus corona. Selama sembilan bulan ini kita telah melewati masa-masa yang mencemaskan: terkaget-kaget dengan pembiasaan mengikuti protokol cegah covid-19, khawatir yang amat sangat karena korban berjatuhan, bingung menghadapi kebijakan yang cenderung “eker-ekeran” dalam menimbang antara mengekang dan membiarkan masyarakat beraktivitas, sedih dengan berita duka dan nelangsa karena segala rencana tak bisa terlaksana. Di bulan ini saya sendiri sampai ke lorong rasa bosan yang tak terperikan. Saya bosan dengan rutinitas yang intinya menghindari pertemuan-pertemuan fisik dan bosan dengan kekangan-kekangan akibat musuh yang tak jelas rupa.
.
Nampaknya ini pula yang dihadapi mereka yang kemudian terpapar dan sakit. Sebagiannya terpapar karena tak ada pilihan. Mereka harus keluar rumah untk mencari nafkah atau memenuhi kewajiban sosial dan profesi. Sebagian lainnya menerabas resiko terpapar saking tidak tahannya menghadapi kebosanan mengurung diri berbulan-bulan. Di antara dua situasi itu tak sediki yang terpapar bukan karena menerabas resiko tetapi karena peran sosialnya yang tak memungkinkan terus menghindar dari masyarakat. Ini antara lain dialami para pengasuh pondok pesantren yang tak mungkin mengusir orang tua murid yang sowan dan bersalaman cium bolak balik telapak dan punggung tangan, atau tak bertemu dengan para jamaahnya yang ingin bersilaturahmi atau mengadakan pengajian. Inilah sebabnya, dalam satu bulan-bulan terakhir saya mendengar kabar bertubi-tubi korban yang berjatuhan di lingkungan pesantren terutama Ibu Nyai dan para Kyai pengasuh pondok yang berdiri paling depan menghadapi jamaah dan orang tua santri yang datang dari segala penjuru.
.
Saya sendiri lumayan beruntung. Meskipun pekerjaan saya menuntut adanya perjumpaan -perjumpaan: loncat sana loncat sini untuk menghadiri rapat, seminar, penelitian atau sekedar bertemu untuk ngobrol sambil ngopi atau terbang ke banyak tempat, sebagian besar pekerjaan itu bisa diakali melalui sarana media virtual atau melakukannya secara soliter terutama dalam menulis laporan-laporan penelitian atau menulis artikel tematik, atau mengedit pekerjaan peneliti di lembaga kecil yang saya pimpin. Sejumlah kegiatan rutin pun segera tercipta; mendaras Al Qur’an setiap hari subuh dan petang (Alhamdulillah sudah mau kataman kedua), olahraga terutama jalan kaki minimal 30 menit, memberi pakan burung gereja yang kini setiap rombongan bisa puluhan ekor, berkebun kecil-kecilan dan cenderung tak berhasil, dan hobi baru menonton wayang kulit Ki Seno Nugroho (alm). Toleransi pada guyonan khas dalang yang kadang vulgar saya terima karena percakapan Punakawannya memang seru, dalam dan ger-geran.
.
Sejak bulan ke delapan, perjumpaan dengan anak, mantu, cucu juga menjadi lebih rutin karena mereka cukup sadar diri dan waspada, apakah perlu isolasi karena habis bertemu orang, atau cukup aman untuk berkumpul karena tak berjumpa dengan siapapun. Namun begitu, di bulan ke sembilan ini muncul rasa bosan yang sulit dipupus. Ini bisa ditandai dengan pendeknya jarak antara rasa nyaman dan tidak nyaman, antara asyik dan bosan antara sedih dan gembira. Atau ini yang paling gampang dijadikan bukti, gagasan-gagasan yang lahir dari pikiran tak lagi gampang diturunkan menjadi tulisan seperti biasanya ketika saya menulis rubrik” Merebut Tafsir”. Setelah lek-lekan lima hari lima malam menanti dengan cemas kemenangan Kamala Harris, kurang bahan apa untuk menulis sebuah rubrik. Namun itu pun gagal.
.
Atas situasi itu saya kemudian mengirim “WA” kepada beberapa teman dan sahabat. Antara lain saya kirim ke ke Ibu Saparinah Sadli tempat biasanya bercakap-cakap secara virual.
.
Demikian keluh saya, “Apa Kabar Ibu? Saya kok merasa kehilangan minat, gairah hidup ya Bu. Otak makin terasa tumpul karena tak bertemu orang. Saya baru menyadari, rangsangan berpikir saya bukan hanya dari bacaan tapi karena banyak pergi ke lapangan dan bertemu dengan banyak orang. Di sana saya bisa bertemu orang baru, mendengarkan macam-macam cerita, mencatatnya, lalu merenungkannya dan menuangkannya dalam tulisan atau laporan. Namun sejak delapan bulan lalu rangsangan-rangsangan itu seperti terkikis. Terutama setelah penelitian fundamentalisme dan kekerasan gender yang sangat menyerap tenaga dan pikiran rampung. Rasa bosan ini sulit diabaikan. Saya bukan orang yang dapat membangun hobi baru seperti masak, berkebun atau nyanyi karaoke. Tiba-tiba saya merasa sangat tua dan lebih pesimis. Maaf Bu pagi-pagi sudah berbagi keluh kesah”.
.
Tak selang berapa lama, WA dari Ibu Sap masuk, “Ungkapan Lies yang merasa kehilangan gairah, minat, otak semakin tumpul itu semula saya lebih kaitkan dengan mereka yang lansia dan ditetapkan untuk stay home seperti saya. Kebetulan tadi pagi saya baca kembali tulisan Lies tanggal 28 Oktober tentang Covid di bulan ke 8. Tulisan itu, sangat jernih menjelaskan tentang dampak corona kepada banyak orang karena dipaksa harus mengubah kebiasaan dan perilaku. Saya kagum kepada cara Lies dalam menuangkan pemikiran dan saya berpikir mudah-mudahan suatu hari kita bisa bertemu untuk membahasnya. Karena sebagai lansia oldest old, saya merasa banyak hal yang perlu saya tanyakan tentang apa yang Lies tulis dan saya baca.
.
Formulasi Lies tentang bagaimana covid-19 selama 8 bulan ini berpengaruh kepada perempuan adalah ungkapan yang secara lamban tetapi semakin nyata dirasakan oleh banyak kaum lansia yang selama ini disuruh Stay Home. Kemudian mereka diperketat oleh anak-anaknya based upon their love pada ibunya (orang tuanya). Lies telah menuangkan secara sangat rinci apa yag menjadi perasaan banyak lansia. Memang ada yang membangun hobi baru tetapi tidak banyak. Saya diantaranya. Sebagai lansia mau beres-beres lemari baju saja merasa malas. Tetapi menurut saya, kita jangan dikalahkan oleh covid yang tidak akan pergi on the near future. Tidak ada resep tunggal untuk mengatasinya. That all I can say. Sebagai orang yang pernah belajar psikologi, saya mengikuti pandangan bahwa yang ditiadakan oleh covid adalah kebutuhan dasar manusia untuk berinteraksi sosial secara fisik. Bertemu dan tatap muka. Sehingga alat komunikasi yang sekarang menjadi andalan bagi kaum muda tidak menggantikan kebutuhan tersebut. Membantu ya, tetapi tidak menggantikannya. Maaf saya bicara panjang lebar. Karena ungkapan Lies telah melukiskan secara nyata apa yang tadinya banyak dialami para lainsia (my present interest) sekarang menghinggapi banyak kalangan seperti di usia Lies yang jauh lebih muda dari saya dan sangat aktif. Lies mungkin harus memikirkan hal lain yang dapat merangsang pikiran dalam hal-hal yang masih ditekuni Lies, sebagaimana yang dituangkan dalam tulisan 28 Oktober. Itu justru menunjukkan bagaimana Lies mampu tetap aktif berpikir kritis. Hugs. SAP”.
.
Membaca bagaimana cara Ibu SAP menghibur, dan mendengar sejumlah teman terpaksa masuk rumah sakit karena terpapar, tak bisa lain melahirkan renungan. Lha iya, di bulan ke sembilan dengan keadaan masih tetap sehat, masih bisa memikirkan menu hari ini dan besok, ada Asri, ART yang siap 24 jam menemani saya, ada Mang Aman tukang kebun yang tetap bersih-bersih rumah, masih makan buah pepaya tiap pagi dan perasan jeruk nipis, ada anak-anak menantu, serta cucu yang hampir setiap hari mengajak saya bernyanyi, bercakap dengan burung gereja yang setiap jam 6 menagih saweran beras, sinar matahari pagi yang menemani saya keliling 4000 langkah, lalu mandi air hangat dan kembali ke laptop. Rasa bosan itu sebetulnya terlalu kecil untuk jutaan nikmat yang tak terdustakan. Mari bersyukur, dan tetap semangaaat!
.
Lies Marcoes, 20 November 2020.
rumah kitab

Merebut Tafsir: Rumah dan Lempeng Sosial untuk Pencegahan Covid-19

Oleh Lies Marcoes
.
Salah satu solusi untuk memutus rantai penyebaran covid-19 adalah WfH, Work from Home, bekerja dari rumah. Tapi apa itu “ rumah”? Jelas itu bukan sekadar bangunan melainkan sebuah konsep yang sangat dinamis dan kompleks. Didalamnya mengandung elemen-elemen sosial, politik, ekonomi, gender bahkan agama.
.
WHO dan negara-negara di dunia telah mencari solusi dalam penanggulangan covid-19, yang salah satu pilihannya setiap orang bekerja dari rumah, tinggal di rumah, beraktivitas dari rumah. Kita paham itu adalah solusi minimal yang paling aman. Namun kita juga menyadari ada bias dalam konsep itu. Seolah-olah setiap orang punya rumah, dan setiap rumah memenuhi syarat untuk dihuni bersama oleh anggota keluarganya dengan tetap mempertahankan jarak fisik / sosial di antara anggota keluarganya. Tapi memang apa boleh buat, itu merupakan strategi yang paling mungkin dilakukan; bekerja, beraktivitas dari rumah.
.
Saya tak hendak membahas keluarga-keluarga yang rumahnya cukup layak untuk dihuni bersama oleh anggota keluarga inti. Minimal ada kecukupan ruangan untuk tidur bagi tiap anggota keluarga, ada minimal satu atau dua kamar mandi, ada ruang tengah atau serba guna (untuk makan, bercengkrama dan belajar) , ada dapur serta ruang untuk mencuci dan menjemur pakaian. Itu adalah rumah ideal. Di atas itu berarti istimewa, di bawah itu penanggulangan covid dari rumah jelas perlu dipikirkan.
.
Hunian, terutama di kota-kota besar merupakan problem yang sangat kompleks. Secara statistik, kita bisa berhitung kasar terutama untuk kota-kota besar soal komposisi perumahan yang timpang. Jika ada 10 rumah, komposisinya mungkin ada satu rumah istimewa, dua buah rumah ideal, tiga buah rumah lumayan, selebihnya adalah rumah tipe SSSS, (Sederhana Sempit Sumpek Sekali).
.
Untuk type SSSS ini bagaimana upaya penanggulangan covid dapat dilakukan? Saya bukan ahli tata ruang, tapi saya peneliti. Upaya pencegahan covid di perumahan yang SSSS itu harus melibatkan pengaturan tata ruang dengan melihat upaya penjarakannya.
.
Ketika saya penelitian untuk penulisan buku “Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan” (2014), saya masuk ke wilayah-wilayah hunian sempit di Surabaya dan Jakarta Utara. Ketika itu di Jakarta sedang heboh upaya pemindahan warga dari wilayah padat dan rawan banjir ke rumah sewa tipe susun (rusun) dan rumah deret. Upaya itu tampaknya kurang sukses dilihat dari tak berkurangnya orang yang meninggalkan hunian di wilayah padat sementara rusun tetap terisi. Ini artinya ada hunian dari kelas sosial lain yang mendapatkan manfaat untuk mengisi rusun itu. Wallahu’alam.
.
Saya berkesempatan ngobrol dengan warga untuk mencoba mengerti mengapa mereka sulit sekali diajak pindah. Tentu saja pertama-tama soal biaya sewa, tak semua dapat menjangkaunya. Kedua, tempat tinggal mereka, meskipun bersempit-semput biasanya cukup dekat dengan tempat kerja, atau penciptaan jaringan kerja. Hal lain, dan ini jarang dipahami, wilayah itu teryata bukan sekedar batas-batas geografis melainkan sebuah lempeng sosial di mana perempuan menjadi perekatnya.
.
Rumah mereka memang sempit. Namun sebetulnya hubungan-hubungan sosial yang telah terbangun merupakan luasan wilayah jelajah mereka. Seorang perempuan berdapur sempit, membuka dapurnya untuk memasak makanan bagi keluarga-keluarga yang tak berdapur atau tak sempat memasak dengan membuka warung makanan jadi. Itu berarti satu dapur menjadi dapur bagi banyak keluarga-keluarga lain. Seorang perempuan penjaga toko, menitipkan anaknya di RT lain sepanjang hari. Jadi baginya seluas itulah “rumah”nya. Dan yang paling ajaib, di malam hari, lempeng sosial itu menjadi rumah dan tempat tidur luas bagi warga utamanya kaum lelaki. Ada yang di tidur di mushala, pos ronda, gardu air, emper warung dan kolong rumah panggung.
.
Dengan bantuan imajinasi lempeng sosial ini, usaha penanggulangan covid 19 di wilayah SSSS tampaknya dapat dilakukan dengan mendayagunakan ruangan-ruangan publik yang tersedia. Jadi mushala, atau sekolah justru tidak ditutup melainkan dijadikan ruang aman untuk menghindar dari berdesak-desaknya mereka di rumah yang memang sudah SSSS. Bahkan tanah lapang seharusnya dapat dimanfaatnya untuk penjarakan fisik/ sosial dengan penyiapan infrastruktur yang memadai.
.
Tentu saja pengaturan keamanan, pengaturan protokol pencegahan covid 19 harus terlebih dahulu disosialisasikan disertai penyediaan sarana infrastruktur penggunaan ruang publik untuk “mengungsi” agar penjarakan fisik dapat dilakukan. Tanpa itu, keharusan mereka tinggal di rumah sebagai prasyarat pencegahan penularan wabah, sementara rumah itu terlalu sempit untuk dihuni bergerak dan bernapas, covid justru akan menular di dalam rumah sendiri. Saya kok melihatnya begitu?
Lies Marcoes, 11 September 2020.
rumah kitab

Merebut Tafsir: Kaum perempuan dan dampak covid-19

Oleh Lies Marcoes

.

Tujuh bulan sudah kita distop paksa oleh virus mikroskopis corona. Distop dari kegiatan beraktivitas di luar rumah bagi sebagian orang; distop dari pekerjaan mencari nafkah yang mengandalkan mobilitas; distop dari kegiatan masif proses pembelajaran; distop dari kegiatan rutin: bangun, sarapan, berangkat kerja, mulai stress karena jadwal ketat sementara jalanan macet (terutama di Jakarta dan kota-kota besar), bertemu kolega, klien, nasabah, teman, bersosialisasi, handai taulan dan seterusnya. Distop melakukan mobilitas fisik berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bicara berpikir atau kongkow dari satu isu ke isu lain. Kini, semuanya berhenti, ti!. Secara mendadak pula. Tanpa aba-aba tanpa pelatihan keterampilan untuk menghadapi perubahan ini. Lalu kehidupan pun bertumpu dan berpusat kepada “rumah” dan “penguasanya” yang secara normatif dinisbatkan kepada perempuan.

Bagi sebagian perempuan yang tadinya sehari-hari di rumah bekerja sebagai ibu rumah tangga, dalam tujuh bulan ini mereka dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan baru yang semula dipercayakan kepada pihak lain: kepada negara atau kelembagaan semi negara, swasta, badan non negara, komunitas bahkan pasar. Kini, secara mendadak, mereka, harus mengambil alih semua peran-peran itu dengan nyaris tanpa persiapan, tanpa keterampilan. Mereka harus menciptakan kenyamanan di rumah yang tiba-tiba berubah menjadi kantor, sekolah, madrasah, mushala, lapangan bermain, restoran/ warung, kamar mandi umum, layanan kesehatan dasar dan tempat rekreasi sampai sarana relaksasi.

Covid-19 memaksa kita berubah! Namun perubahan bukanlah sebuah kacamata netral. Selama ini, dengan menggunakan perspektif ekonomi, dengan segera akan tampak dampaknya sejak dari tataran ekonomi global sampai ke dompet di dapur pada masing-masing rumah tangga.

Pada kelas sosial tertentu perubahan ekonomi (mungkin) tak terlalu terasa karena lapisan-lapisan lemak dalam cadangan calori ekonominya cukup tebal. Namun pada kebanyakan orang, ini benar-benar bencana. Saya berani bertaruh pemintaan macam-macam utangan dari skema kredit lunak dan murah sampai rentenir bertaring hiu meningkat tajam.

Perubahan paling dahsyat namun jarang sekali terdeteksi karena alat baca untuk mengamati itu tak tersedia atau buram pekat, adalah pada kehidupan kaum perempuan ibu rumah tangga. Dan ini tak hanya pada mereka yang benar-benar terdampak laksana gempa dan tsunami, tetapi juga pada ibu rumah tangga kelas menengah yang secara normatif dianggapnya tak terguncang- guncang amat.

Senior saya yang saat ini menekuni isu manula, melalui Whatsapp mengajak saya berpikir: ini ibu-ibu kaum manula mau bagaimana? sudah tujuh bulan mereka tak bertemu teman, anak-anak dan cucu-cucu, tak beraktivitas kelompok, tak keluar rumah, dan ini akan mempercepat kepikunan. Apalagi jika ia masih memiliki suami yang sehari hari laksana balita. Banyak dari mereka tak menguasai teknologi komunikasi visual, sementara anak-anak mereka sibuk mengurus sekolah anak-anak di rumah. Bayangkanlah perempuan manula pada keluarga miskin yang hidupnya menumpang dengan anak atau menantu. Tak mustahil sebagian beban anak menantu perempuannya akan berpindah minimal mendapat bagian tambahan.

Seorang perempuan tengah baya keluarga mapan, biasanya sangat sibuk dengan segala aktivitas gaul dan sosialnya. Selain mengurus rumah tangga yang dalam banyak hal dialihkan ke asistennya, ia mengeluh karena rutinitasnya terganggu semua. Sebagai ibu rumah tangga, ia tak memiliki kesibukan lain selain mengurus keluarga kecilnya karena anaknya telah berkeluarga, selepas itu ia bertemu teman dan sahabat melanjutkan hobi dan kesehariannya. Datangnya covid-19 membuat mereka berhenti bergerak. Padahal bagi mereka menjadi soliter itu nyaris tak masuk akal. Eksisitensi mereka bukan pada kedirianya tetapi selalu bersama komunitasnya. Tak kumpul ya tak muncul.

Namun di antara itu semua, perempuan miskin, usia muda, beranak minimal 1, baik semula bekerja di luar rumah atau ibu rumah tangga, covid 19 benar-benar membuat dunia mereka jungkir balik. Kelembagaan-kelembagaan yang semua bertanggung jawab dan membantu rumah tangganya normal, seperti sekolah, madrasah, tempat bermain anak-anak, sekarang semuanya berpusat kepadanya.

Beruntunglah bagi mereka yang masih memiliki asisten atau ibu yang tinggal bersamanya, serta memiliki cukup pengetahuan dan kreatifitas PLUS suami yang ikut memikirkan serta mengambil alih pengasuhan dan pendidikan anak. Guncangan itu akan ditahan bersama-sama. Hal yang umum terjadi adalah karena secara normatif rumah tangga adalah urusan perempuan, maka ketika seisi rumah stop tertahan di rumah maka perempuan itu yang menjadi ibu guru, office manager, sekretaris, koki, sampai junitor yang mengurus kebersihan kamar mandi!. Ohhh ini benar-benar bencana nyata namun dianggap tak pantas dikeluhkan. Karenanya kita mungkin tak terkejut jika jumlah permohonan perceraian / gugat cerai dalam era covid 19 ini meningkat tajam.

Sudah tujuh bulan kita begini, dan entah sampai kapan. Saya sungguh berempati kepada kaum perempuan muda, kaum manula, dan perempuan paruh baya yang terguncang oleh gempa covid-19. Lebih prihatin karena guncangan itu tak dihiraukan, tak dianggap ada oleh penyelenggara negara karena alat baca gempanya tak cukup peka dalam menangkap guncangan-guncangan itu.

Padahal jika alat bacanya sensitif, maka seharusnya keluarga-keluarga yang memiliki anak sekolah mendapatkan pendampingan intensif bagaimana menjadi ibu /bapak guru di rumah. Mereka seharusnya mendapatkan uang pengganti gaji guru dan biaya pendidikan karena mereka pembayar pajak dan warga negara yang berhak atas “bumi dan air dan kekayaan yang ada di dalamnya” yang menjadi sumber kehidupan anak bangsa.

Bagi ibu rumah tangga para pegawai, mereka seharusnya mendapatkan pengganti uang kebersihan, listrik, sewa ruang kerja dan ATK kantor. Begitu juga bagi manula, atau perempuan paruh baya. Harus ada jalan keluar atas kebuntuan yang mereka hadapi akibat berhentinya aktivitas mereka. Bukankah selama ini mereka telah menyumbang bagi bergeraknya ekonomi dan sosial?

Setelah tujuh bukan dan entah masih berapa lama lagi kita akan tetap begini.Terberkatilah perempuan -perempuan yang tak terdampak oleh guncangan covid-19 ini. Namun, bagi yang lain harus ada perubahan radikal dalam cara melihat problem kaum perempuan sang pengurus rumah tangga.

 

Lies Marcoes, 9 September 2020

Menyoal Normalisasi Jilbab bagi Balita & Justifikasi Iklan Jilbab New Normal= Anjuran Bercadar Sejak Balita?

Oleh Fadilla Putri

 

Sebuah iklan nyelonong ke timeline Instagram saya. Ini sponsored post dari sebuah akun berjualan jilbab dengan judul jilbab “new normal”. Jelas iklan itu telah memanfaatkan momentum Covid-19 untuk berjualan dengan pilihan diksi “new normal”. Dan itu mungkin dianggap biasa saja, namanya juga iklan. Namun, setelah dipelajari, saya melihat ini tak sekadar iklan jilbab.

New normal itu dikaitkan dengan penggunaan cadar bagi anak-anak. Artinya, dalam iklan itu tersirat sebuah gagasan yang melanggar hak-hak anak. Tulisan ini mengupas beberapa aspek dari iklan itu yang menjelaskan letak pelanggaran hak anak yang berangkat dari ideologi yang menganggap perempuan, bahkan sejak masih anak-anak, telah diberi stigma negatif terkait dengan tubuh (fisik) dan ketubuhannya (pandangan sosial tentang perempuan).

Sebetulnya, iklan itu pada intinya jualan jibab. Namun lebih dari jilbab, ternyata iklan itu menawarkan kelengkapannya berupa baju gamis dan cadar bagi balita perempuan! Dan itulah “new normal” menurut iklan itu. Akun itu mengklaim sebagai penjual baby hijab (hijab bayi). Di post itu, tampak anak perempuan kira-kira usia tiga tahun yang sedang mejeng sebagai model balita berjilbab dan bercadar. Ia mengenakan gamis ungu muda dengan kerudung menutup dada dan cadar dengan warna senada.

Caption post tersebut berbunyi: “Anak Anda susah mengenakan masker? Salah anaknya apa salah maskernya? Jilbab New Normal ini dilengkapi dengan masker cadar yang teruji nyaman dan aman...”

Dalam dunia digital, memasang sebuah iklan di media sosial bisa sangat targeted. Dalam anggapan penjual jilbab new normal bagi balita ini, saya adalah salah satu target audiens yang pas: seorang ibu muda, punya balita.

Hal yang tidak diketahuinya, pertama, anak saya laki-laki, dan kedua, saya adalah aktivis pemenuhan hak-hak anak agar terbebas dari apapun yang mengancam hak-hak mereka sebagai anak untuk berkreasi tanpa stigma, bermain dan beraktivitas tanpa dibebani ideologi apapun yang dianut orang dewasa yang dapat mengakibatkan mereka kehilangan hak-haknya sebagai anak. Karennya bukannya tertarik, saya justru merengut dan bersungut melihat post dengan caption tersebut.

Tak urung saya jadi penasaran atas iklan itu. Seperti dapat diduga, SELURUH anak perempuan yang menjadi modelnya memakai cadar, bukan hanya jilbab. Beberapa anak yang tidak memakai cadar, matanya diburamkan persis seperti pelaku kriminal di televisi. Beberapa post berisikan ilustrasi kartun anak perempuan. Namun lagi-lagi, sosok anak perempuan tersebut tidak diberi wajah.

 

Saya melihat sejumlah persoalan di sini. Saya seorang Muslimah, kebetulan saya juga pengguna jilbab, ibu dan kakak ipar juga memakai jilbab. Namun jilbab itu kami kenakan sebagai pilihan sadar orang dewasa, jilbab digunakan setelah menimbang banyak hal termasuk hak tubuh saya untuk aman dan nyaman dalam mengenakannya.

Saya tak pernah dipaksa oleh orangtua atau lingkungan saya untuk mengenakannya. Sebab dalam keyakinan saya ini terkait dengan pilihan-pilihan. Namun iklan itu jelas berisi unsur pemaksaan. Anak dinormalisasikan untuk menggunakan jilbab plus cadar!

 

Kedua, iklan itu telah memanfaatkan peluang dengan cara yang tidak fair. Mereka memanfaatkan situasi yang ditimbulkan oleh wabah Covid-19 untuk mengeruk keuntungan. Kampanye publik untuk menggunakan masker yang diserukan Badan Kesehatan Dunia atau pemerintah dimanfaatkan oleh mereka untuk jualan dengan dalih dakwah tentang kewajiban memakai cadar.

Argumentasi-argumentasi semacam “agama Islam telah lebih dulu menganjurkan menutup wajah” untuk menandingi anjuran memakai masker kerap terdengar. Padahal jika mau jujur, cadar bukanlah masker dan tak pernah diperlakukan atau diuji sebagai alat untuk menghindari penularan dan ketularan virus yang menyebar melalui droplet.

Artinya, kedua argumen tersebut sama sekali tidak berbanding lurus. Anjuran memakai masker didasarkan pada data dan fakta yang berlandaskan ilmu pengetahuan tentang efektivitasnya dalam mencegah tertular maupun menularkan virus Covid-19. Masker adalah upaya universal yang di dalamnya tak termuat isu suku, ras, agama, dan gender, melainkan semata-mata untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Sementara dalam jilbab yang dilengkapi  cadar dan diiklankan sebagai jilbab “new normal” berangkat dari ideologi tentang aurat perempuan.

Iklan itu mengingatkan saya pada penelitian Rumah KitaB tentang pandangan ideologi Islamisme yang berdampak pada kekerasan terhadap perempuan (2020). Penelitian ini menemukan bahwa perempuan menutup seluruh tubuhnya itu termasuk jilbab dan cadar berangkat dari dua konsep tentang: fitnah dan fitrah.

Dalam konsep itu, perempuan dianggap sebagai sumber fitnah–sumber kekacauan, goncangan, dan godaan bagi laki-laki. Oleh karena itu, perempuan wajib menutup auratnya. Dan karena perempuan adalah sumber fitnah, maka secara fitrah ia harus dikontrol dan diawasi oleh laki-laki di sepanjang hidupnya, baik oleh ayahnya maupun suaminya ketika ia menikah kelak.

Akun Instagram yang berjualan jilbab bercadar bagi balita itu persis menggambarkan gagasan tentang perempuan sebagai sumber fitnah. Dan lebih dari itu, gagasannya ditanamkan sejak masa balita ketika kewajiban syar’i dalam fikih pun belum berlaku baginya. Namun demi beriklan, balita- balita itu telah pula diberi label sebagai sumber fitnah. Sejak bayi mereka dinormalisasikan sebagai sumber kekacauan sosial atau sumber finah.

Sebagaimana dalam iklan, penelitian itu mencatat bahwa normalisasi pemakaian jilbab  yang dilengkapi cadar ditanamkan sejak bayi dan menjadi lebih ketat ketika mereka masuk TK. Saat anak perempuan menginjak bangku SD, seruan untuk semakin menutup tubuhnya seperti memakai cadar semakin kuat. Penelitian kami di berbagai wilayah menemukan anak balita sejak usia tiga tahun telah dinormalisasikan menggunakan jilbab, baik oleh aturan sekolah, pemaksaan orangtua,maupun komunitasnya.

Penelitian ini mengungkapkan, perempuan yang tidak menutup auratnya sesuai syariat mendapatkan stigma sebagai orang yang tak mendapatkan hidayah atau mendapatkan dosa jariyah yag terus menerus karena mengizinkan laki-laki berzina mata padanya, termasuk melalui gambar fisiknya di dunia maya. Dalam  konsep ini, di manapun perempuan berada (baik nyata maupun maya), tidak dibenarkan menampakkan auratnya, tak terkecuali anak-anak perempuan balita sebagaimana saya temukan di akun Instagram tersebut.

Usia balita adalah masa kritis dalam tahapan perkembangan anak. Saya mengalaminya sendiri. Setiap hari saya selalu bernegosiasi dengan anak saya tentang pakaian mana yang hendak ia kenakan. Negosiasi dilakukan karena kerap dia menolak memakai baju pilihan saya.

Sebagai orang dewasa, saya berusaha memahami pilihan-pilihannya sepanjang tidak membatasi hak-haknya untuk bebas bermain. Saya terima pilihanya karena dia sedang belajar tentang otonomi pada dirinya maupun tubuhnya. Sedapat mungkin saya mencoba mengakomodasi pilihan-pilihan yang ia buat sendiri, termasuk pakaian apa yang ingin ia kenakan atau bermain apa di hari itu. Hal yang saya pegang sebagai prinsip adalah, ia memahami bahwa ia seorang manusia yang merdeka.

Dari sana saya belajar memahami bahwa ia dapat membuat pilihan yang ia buat secara sadar yang menurutnya terbaik untuk dirinya, termasuk menerima konsekuensinya. Misalnya, tidak menggunakan baju bepergian untuk bermain karena baju bepergian cenderung kurang luwes, atau keharusan memakai piyama sebelum tidur agar tak kedinginan.

Pertanyaan saya sekarang, apakah anak-anak perempuan yang dipakaikan jilbab new normal itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan? Dan apakah pemakain jilbab new normal telah memenuhi hak anak untuk bebas bergerak, bereskpresi, menunjukkan cita rasa; suka, sedih, marah kecewa, dan gembira? Itu adalah hak yang secara universal harus dilindungi dan dipenuhi oleh orang dewasa!

rumah kitab

Merebut Tafsir: David Graeber, perempuan dan kritik atas konsep kerja

oleh Lies Marcoes
.
Dunia antropologi berduka. Dan ini niscaya suatu duka yang amat dalam. David Graeber, seorang profesor antropologi dari London School of Economics wafat dalam usianya yang masih sangat muda, 59 tahun.
David Graeber bukan antropolog biasa bagi banyak orang. Ia perpaduan antara intelektual dan aktivis yang menggebu-gebu. Ia seorang aktivis yang dikenal dengan kritiknya yang tajam terhadap kapitalisme dan birokrasi, serta pandangannya yang “anarkis” soal ketimpangan sosial yang disebabkan oleh sistem hutang dalam bentuk kredit. Silakan angkat telunjuk , siapa di antara kita yang tak (pernah) berhutang dengan sistem kredit? Bahkan para campaigner anti riba, niscaya pernah berurusan dengan soal ini.
.
Saya mulai tertarik kepada karya -karya antropologisnya karena ia meneliti dan menulis hal-hal yang tidak biasa dalam dunia antropologi konvensional sejauh yang saya baca .
.
Cara kerjanya buat saya mengingatkan cara kerja feminis, dialektika teori dan praksis.
Dari berbagai sumber, saya menjadi terpesona oleh “double movement”nya (meminjam istilah secara sembarangan dari Fazlur Rahman). Ia melakukan kajian sekaligus mengadvokasikannya dengan cara terjun langsung sebagai aktivis, sebuah cara yang sebetulnya menjadi ciri khas kerja intelektual feminis. Karenanya ia kerap juga dikenal sebagai antropolog yang anarkis dalam arti melakukan kritik-kritik radikal atas ketimpangan – ketimpangan ekonomi yang sangat sadis di dunia modern saat ini sekaligus menyuarakannya dalam demonstrasi jalanan. Ia menulis beberapa buku dan tulisan yang sangat terkenal. Misalnya:Debt: The First 5000 Years (2011), The Utopia of Rules ( 2015) dan Bullshit Jobs: A Theory (2018). Berangkat dari teori dan penelitiannya ia pun tampil sebagai tokoh terkemuda dalam gerakan “Occupy Wall Street”.
.
Bukunya “Bullshit Jobs: A Theory”, berangkat dari tanggapan yang berlimpah atas eseinya yang ia tulis tahun 2013 tentang kerja “bullshit” yang ia kumpulkan dari para pekerja kerah putih yang mendefinisikan sendiri apa kerja mereka. Dalam esai itu ia mengatakan bahwa sebagain besar masyarakat bekerja dalam pekerjaan yang sebetulnya nggak penting-penting amat alias “gabut” – mendapatkan upah sangat baik tetapi tidak melakukan pekerjaan yang jelas.
.
Fatimah F Izzati membuat resensi yang sangat komprehensif dalam Indo PROGRESS (11 April 2020) tentang buku Bullshit Jobs ini. Graber, sebagaimana diulas Izzati memulai pembahasannya dengan menampilkan kontradiksi antara tesis dari seorang ekonom terkenal, John Maynard Keynes, di tahun 1930 dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Keynes memprediksi bahwa seiring dengan meningkatnya perkembangan teknologi pada abad ke-21, negara-negara seperti Amerika dan Inggris akan memberlakukan 15 jam kerja perminggu. Kenyataan, demkian David menegaskan, saat ini ( di tahun 2018 -ketika buku ini diluncurkan) justru membuktikan hal yang sebaliknya. Teknologi membuat sebagian besar pekerjaan level manajer malah bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang dibandingkan para buruh.
.
Menurut Graeber, teknologi (komunikasi) justru telah membuat manusia bekerja lebih banyak daripada sebelumnya. Meski demikian, dan ini ironinya, pekerjaan itu sebetulnya tidak selalu esensial dan tak juga berarti bagi para pekerja itu. Ia memberikan ilustrasi dengan menampilkan sebuah survei di AS tahun 2016 mengenai pekerjaan kantoran. Survei tersebut menyebutkan bahwa hanya sekitar 39 persen pekerjaan yang berkategori tugas utama, lebih dari 10 persen dihabiskan untuk pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat yang hanya membuang-buang waktu; 8 persen untuk menyelesaikan tugas-tugas yang tidak penting; dan seterusnya. Artinya, pekerja kantoran dalam survei tersebut justru menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak produktif, kebanyakan “kongkow”.
.
Pekerjaan-pekerjaan semacam itulah yang disebut oleh Graeber, dan diidentifikasi oleh para pekerja sendiri, sebagai bullshit jobs. Hal yang menarik perhatian saya dari teori Graeber ini adalah laki-laki ternyata lebih banyak melakukan bullshit jobs ketimbang perempuan!
.
Dalam kajian gender, hal yang pertama dan utama melahirkan kajian gender itu adalah karena ketidakadilan dalam memaknai konsep “kerja”. Sejak revolusi industri awal abad 20, muncul pembagian kerja gender yang tak hanya membedakan siapa kerja apa berdasarkan kepantasan yang dikaitkan dengan jenis kelaminnya, tetapi juga siapa kerja apa, dalam posisi dan di mana dikaitkan dengan kepantasaan lokasi/tempat kerja serta status sosial berdasaran gendernya. Sejak itu, secara teori muncul jenis pekerjaan yang dikaitkan dengan karakter lelaki (maskulin) dan perempuan ( feminin) dan itu menjadi lebih kenceng ketika pandangan agama, adat dan kepentingan politik ikut campur dalam menentukan pekerjaan mana yang pantas bagi lelaki dan mana bagi perempuan. Kerja-kerja bullshit itu kemudian banyak dikaitkan dengan pekerjaan yang secara normatif dianggap sepantasnya dilakukan oleh para lelaki.
.
Dalam bullshit job sebagaimana diuraikan Graeber, sebenarnya banyak sekali pekerjaan para boss yang dikerjakan dengan rapi oleh para asistennya. Kebanyak dilakukan oleh pekerja-pekerja perempuan dengan status sebagai asisten. Misalnya sekretaris, office manager, hingga istri dan asisten rumah tangga sebagai penyangganya. Andai saja para perempuan ini mogok kerja, niscara para lelaki manajer itu hanya bisa lempar-lempar bola golfnya ke tembok, sebab untuk main golf pun ia butuh caddy yang umumnya perempuan.
.
Melalui studi gender, orang mengenali bahwa ternyata dalam komunitas, apalagi komunitas di dunia Timur, perempuan sebetulnya melakukan pekerjaan berganda-ganda. Mereka kerja produktif (cari nafkah), kerja reproduktif (pemeliharaan dan perawatan keluarga) serta kerja komunitas (Caroline Moser). Masalahnya pekerjaan-pekerjaan itu – kecuali kerja produksi, kerap tak dikenali sebagai pekerjaan utama bahkan tak dianggap sebagai pekerjaan. Mengurus suami, anak dan rumah tangga yang nyaris 18 jam perhari, tak diakui oleh statistik sebagai pekerjaan.
.
Ketika covid-19 menyerang seluruh sendi kehidupan masyarakat dan kantor dipaksa stop beroperasi, semakin tampak wajah bullshit job itu. Dunia tetap bergerak tanpa kehadiran mereka, tanpa rapat yang tergopoh-gopoh, tanpa teriakan -teriakan stess di lantai bursa. Namun para perempuan, ibu-ibu rumah tangga harus bekerja nyata agar dunia tetap bergerak; anak-anak tetap bersekolah di rumahnya, dapur dan meja makan menjadi restoran minimal Warteg, dan kamar mandi tetap kering dan harum seperti di kantor. Dan itulah kerja yang sesungguhnya, bukan kerja bullshit!
.
Selamat jalan David, kamu pergi terlalu cepat!
Lies Marcoes, 5 September 2020.

BAHAGIA KALA CORONA

Oleh Zainul Maarif

Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta

zainul.maarif@paramadina.ac.id

 

Pada tataran tertentu, pandemi Corona ini memang menyulitkan. Di ranah pendidikan, misalnya, pertemuan langsung sempat diliburkan. Proses pembelajaran diselenggarakan secara daring. Tak semua orang memilki ponsel pintar dan internet lancar. Beberapa orang perlu merogoh saku lebih dalam demi memenuhi kebutuhan yang sebelum ini bukan primer, tapi kini mendekati kebutuhan pokok, yaitu kuota internet. Hal tersebut menyulitkan.

 

Saat pertemuan langsung hendak dilakukan kembali, berbagai prosedur baru diselenggarakan. Lembaga pendidikan diharuskan mengurangi separuh jumlah peserta didik dalam satu kelas l. Tempat duduk antar siswa diberi jarak, bahkan pada beberapa sekolah dibuat aklirik di setiap meja siswa. Guru dan murid harus menggunakan masker bahkan mika pelindung wajah. Di pesantren, santri diharuskan melakukan test kesehatan sebelum masuk. Tak semua anak mau ditusuk jarum, dan tak semua test kesehatan gratis. Selain perlu peralatan tambahan dalam belajar, seperti masker dan mika penjaga wajah, perlu juga suplemen makanan penjaga imun. Semua itu hal yang merepotkan dan menelan biaya tambahan.

 

Di ranah peribadatan, tempat ibadah seperti masjid dan mushalla sempat diliburkan berbulan-bulan. Tak ada shalat jamaah rawatib, shalat jumat, shalat tarawih dan shalat id. Semua muslim diminta shalat di rumah masing-masing. Setelah kondisi dinyatakan new normal, shalat-shalat tersebut kembali diselenggarakan dengan cara baru. Biasanya tak ada jarak antarmakmum. Kini, jarak itu ditetapkan. Tak ada lagi salaman pasca shalat. Sebelum shalat pun, beberapa masjid besar mengetest suhu badan para jamaah. Itu semua merepotkan.

 

Kerepotan juga menjalar ke ranah sosial-ekonomi. Interaksi antar manusia kini dibatasi. Beberapa tempat belanja sempat tutup, bahkan gulung tikar, karena minim pengunjung dan transaksi. Hingga kini beberapa kawasan perdagangan masih menerapkan sistem ganjil genap dalam hal buka tutup toko. Semua itu mengurangi pemasukan, dan pada tataran tertentu memicu amarah atau kesedihan.

 

DAMAI

 

Pandemi ini memang menghadirkan suasana gelap. Tapi haruskah kita sama-sama mengutuk gelap dan membiarkan diri di dalamnya? Tak seharusnya kegelapan kondisi diiringi dengan kegelapan diri. Justru sebaliknya, dalam kondisi gelap sekalipun, diri harus bercahaya bahkan  berupaya menyinari kegelapan yang ada.

 

Jika kegelapan kondisi diiringi kegelapan diri, maka yang terjadi adalah kegelapan yang memekat. Dalam pandemi Corona ini, kegelapan berlipat itu adalah jiwa pengeluh atau pemarah di saat kondisi serba sulit. Hal ihwal di sekitar diri saat ini memang tak menyenangkan. Bila kondisi itu disikapi dengan kemarahan atau kesedihan, maka kesulitan akan terasa berlipat ganda.

 

Sebaliknya, keadaan menyebalkan yang disikapi dengan tenang akan terasa tawar. Tak ada amarah atau sedih yang muncul merefleksikannya. Ketenangan yang membuat tawar kondisi yang sulit sekalipun justru dapat menimbulkan pendar cahaya pada diri dan sekitar. Hal itulah yang diperlukan saat ini.

 

Dalam kondisi pandemi ini, yang pertama-tama diperlukan adalah kedamaian diri. Tak perlu terlalu takut pada penyakit, tapi juga tak perlu terlalu gegabah untuk mengabaikannya. Efek yang ditimbulkan pandemi ini diterima saja dengan lapang dada. Penerimaan semacam itu merupakan cahaya diri di masa pandemi. Filsafat menyebut penerimaan itu sebagai amor fati, sedangkan agama Islam menyebutnya ikhlas. Amor fati atau ikhlas adalah cahaya diri berupa rasa damai.

 

POSITIF DAN KREATIF

 

Pasca damai terasa, pandangan positif seyogianya senantiasa mengemuka. Islam mengajarkan bahwa setiap kesulitan selalu diiringi oleh kemudahan. “Inna ma`a al-`usri yusran”. (QS. Al-Syarh: 6) Sesungguhnya kesulitan “bersama” kemudahan. Kemudahan dinyatakan hadir “bersama” kesulitan, bukan “setelah”nya. Motivasi itu seyogianya mendorong kita untuk mencari kemudahan macam apa yang menemani kesulitan yang ada? Apa sisi positif di balik sisi negatif pandemi corona?

 

Saat semua orang disuruh untuk di rumah saja, orang-orang menjadi lebih dekat dengan keluarga. Orang yang tadinya jarang masak menjadi rajin masak. Masakannya pun tak monoton, melainkan variatif. Rumah dibersihkan, tanaman dirawat. Semua itu positivitas yang muncul dari program di rumah saja saat pandemi Corona.

 

Saat batasan diberlakukan di mana-mana, kreativitas juga bisa muncul pada orang yang damai dan positif. Karena masyarakat membutuhkan masker, kini beragam motif masker dibuat. Bisnis online pun lebih bergeliat. Para pemikir giat menulis dan berbicara via online. Seminar via internet diberlangsungkan dengan narasumber dari berbagai tempat. Para teknisi membuat berbagai alat yang cocok dengan kondisi masa kini, seperti tempat cuci tangan dengan sistem injak. Para ilmuwan berusaha keras untuk menemukan obat mengatasi corona. Semua itu menyelarasi kaidah ushul fikih “Al-Amr idza dhaqat ittasa`at”. Sesuatu yang dipersempit niscaya meluas.

 

Orang yang bisa berdamai dengan kondisi pandemi, bahkan senantiasa berpikiran positif sampai batas menghasilkan kreativitas bisa dipastikan berbahagia. Apa yang dicari manusia selain bahagia? Bila bahagia saat Corona bisa dibayangkan dan direalisasikan, haruskah Corona dihadapi dengan amarah atau duka?[]

 

Rabu, 22 Juli 2020