Pos

Refleksi Kegiatan Public Discussion on Regional Head Election 2024 and Launching of Book Women’s Political Leadership Jurisprudence (FKPP)

Pada hari Jumat, 13 September 2024, kampus STAI Duta Bangsa Bekasi menjadi tuan rumah acara Public Discussion on Regional Head Election 2024 and Launching of Book Women’s Political Leadership Jurisprudence (FKPP). Acara ini bertujuan menggali peran perempuan dalam politik serta memperkenalkan buku Fiqih Kepemimpinan Politik Perempuan. Peserta yang hadir meliputi mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum yang memiliki ketertarikan pada isu kepemimpinan politik perempuan.

Sambutan dan Pidato Kunci

Dalam sambutannya, Ibu Marisa, perwakilan Pemerintah Daerah Kota Bekasi, menekankan pentingnya mendorong generasi muda, terutama perempuan, untuk terlibat aktif dalam politik. Ia mengingatkan bahwa sejarah Islam mencatat kontribusi perempuan dalam berbagai sektor, seperti Khadijah dan Aisyah yang memiliki peran signifikan dalam kemajuan umat. Pesan Ibu Marisa jelas: perempuan harus lebih berani dan aktif dalam proses politik serta kepemimpinan. Semangat ini diharapkan memotivasi perempuan di Bekasi dan seluruh Indonesia untuk mengambil peran penting dalam berbagai bidang, termasuk politik.

Peluncuran Buku Fiqih Kepemimpinan Politik Perempuan

Ibu Erni Agustini, Direktur Program Rumah KitaB, membuka sesi peluncuran buku. Ia menjelaskan bahwa buku ini memberikan panduan teologis mendalam dan menjadi referensi penting untuk memahami peran politik perempuan dari perspektif Islam. Buku ini tidak hanya menyoroti sejarah peran perempuan dalam politik, tetapi juga menyediakan dasar-dasar teologis untuk mendukung keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan politik.

Paparan Isi Buku oleh Achmat Hilmi

Achmat Hilmi, perwakilan penulis buku, memaparkan isi buku Fiqih Kepemimpinan Politik Perempuan. Ia menjelaskan bahwa buku ini mencatat dukungan Islam terhadap kepemimpinan politik perempuan dengan mengacu pada berbagai aspek sejarah. Salah satu tokoh yang dibahas adalah Khadijah binti Khuwailid, seorang pengusaha sukses di tengah masyarakat patriarkal yang mematahkan batasan peran domestik perempuan pada masanya. Keberhasilan Khadijah dalam bisnis merupakan bentuk perlawanan terhadap norma patriarki, menunjukkan bahwa perempuan mampu memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan publik.

Buku ini juga mengeksplorasi sejarah dinasti politik seperti Umayyah, Abbasiyah, Ayubiyyah, dan Turki Usmani, serta kontribusi perempuan dalam politik di Asia Tenggara dan Indonesia. Hilmi menegaskan bahwa buku ini memberikan wawasan tentang bagaimana perempuan mempengaruhi jalannya sejarah politik, lengkap dengan dalil-dalil keagamaan yang mendukung kepemimpinan perempuan.

Sesi Diskusi dan Tanya Jawab

Diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Octavia. Vidya, Ketua Bawaslu Kota Bekasi, menjelaskan bahwa keterwakilan perempuan di Bawaslu Kota Bekasi cukup baik, dengan dua perempuan dari lima anggota. Namun, di Jawa Barat yang terdiri dari 27 kabupaten/kota, hanya 20 perempuan yang menjadi penyelenggara di Bawaslu, dan hanya tiga yang menjabat sebagai ketua. Vidya mengingatkan bahwa UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberikan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu, tetapi peluang ini belum dimanfaatkan sepenuhnya.

Relevansi Buku dengan Pilkada 2024

Diskusi ini relevan dengan Pilkada di Bekasi karena membahas bagaimana perempuan dapat mengambil peran strategis dalam pengambilan keputusan. Buku Fiqih Kepemimpinan Politik Perempuan membahas prinsip-prinsip yang mendasari partisipasi perempuan dalam politik, dan acara ini memberikan ruang diskusi yang lebih luas terkait peluang dan hak perempuan dalam politik.

Penutup

Acara ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang peran perempuan dalam politik dan menginspirasi mereka untuk berkontribusi lebih banyak dalam bidang tersebut. Peluncuran buku ini juga menjadi sumber referensi penting bagi kajian lebih lanjut mengenai kepemimpinan politik perempuan dari sudut pandang Islam. Dengan demikian, acara ini tidak hanya menjadi momen refleksi dan pembelajaran, tetapi juga dorongan bagi perempuan untuk lebih aktif dan terlibat dalam proses politik demi kemajuan bangsa dan umat.

Diskusi Publik tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) 2024 dan Launching Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan

Jawa Barat – Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) mengadakan diskusi publik tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) sekaligus meluncurkan buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan di STAI Duta Bangsa, Desa Kali Baru, Kota Bekasi, pada Jumat, 13 September 2024.

Rumah Kita Bersama, yang lebih dikenal sebagai Rumah KitaB, merupakan lembaga yang berkantor di Perumahan Kintamani Village, Jalan SMP 211, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta. Rumah KitaB bergerak dalam isu-isu perempuan dan kelompok marjinal. Lembaga ini menjadi tempat perlindungan bagi kaum termarjinalkan sekaligus laboratorium riset literatur tentang problematika perempuan, anak, lingkungan, dan kelompok marjinal.

Lembaga ini mengadakan diskusi publik dengan berkolaborasi bersama Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bekasi, dengan STAI Duta Bangsa sebagai tuan rumah. Diskusi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana memanfaatkan hak pilih dengan bijak serta menyoroti pentingnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan publik. Pada acara ini, turut diluncurkan buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan.

Kegiatan ini diadakan sebagai upaya untuk menegaskan pentingnya peran perempuan dalam kontestasi politik, yang disampaikan oleh perwakilan Pemerintah Kota Bekasi, Ibu Marisa. Dalam sambutannya, beliau mengapresiasi terselenggaranya acara ini.

“Acara ini sangat penting dalam memberikan pemahaman kepada mahasiswa dan masyarakat umum. Dalam sejarah Indonesia, bahkan sejak zaman Nabi, sudah ada perempuan yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kemajuan bangsa,” ujar Ibu Marisa.

Beliau juga menekankan bahwa kesuksesan laki-laki sering kali tidak lepas dari peran perempuan, begitu pula sebaliknya. Kerjasama antara keduanya harus terus diperkuat, terutama dalam upaya memajukan bangsa.

Perwakilan penulis buku, Achmat Hilmi, Lc., M.A., menjelaskan bahwa peran kepemimpinan perempuan dalam sejarah Islam sudah dimulai sejak era Nabi, dengan tokoh-tokoh seperti Sayyidah Khadijah, Sayyidah Aisyah, dan para sahabiyah. Kepemimpinan perempuan ini terus berkembang hingga era Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Ayyubiyah, Mughal, Safawi, dan Turki Utsmani, dan menyebar ke berbagai penjuru Asia Tenggara serta Indonesia. Buku ini bertujuan untuk meluruskan sejarah yang sering kali disalahartikan serta mengaitkannya dengan relevansi gerakan perempuan dalam Islam dan Indonesia.

Ketua Bawaslu Kota Bekasi, Vidya, menambahkan bahwa terdapat beberapa unsur penting dalam kepemimpinan politik perempuan. Pertama, regulasi. Kedua, partisipasi perempuan. Ketiga, pendidikan politik dan pelatihan bagi perempuan. Keempat, perempuan yang terlibat dalam politik praktis harus memiliki kemampuan untuk menyuarakan keadilan bagi masyarakat. Kelima, kerjasama antar-pemangku kepentingan (stakeholder).

Vidya juga mengingatkan bahwa dalam regulasi, partisipasi perempuan dalam legislatif dan birokrasi diatur dalam UU No. 17 Tahun 2017, yang menetapkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Namun, ia mempertanyakan apakah regulasi tersebut sudah dijalankan dengan baik dan benar-benar berpihak pada keterwakilan perempuan. Hal ini penting agar perempuan dapat memperoleh hak-haknya baik di birokrasi maupun legislatif.

Ia juga menyoroti keterwakilan perempuan di Bawaslu, yang masih sangat terbatas. Di satu kabupaten atau kota di Jawa Barat, hanya ada 3 sampai 5 perempuan yang bergabung, dan hanya 3 perempuan yang menjabat sebagai Ketua Bawaslu di seluruh Jawa Barat.

“Di satu kabupaten atau kota, hanya ada 3 sampai 5 perempuan yang bergabung di Bawaslu, dan hanya 3 perempuan yang menjadi Ketua Bawaslu di Jawa Barat,” lanjutnya.

Di era yang semakin dinamis ini, kepemimpinan politik perempuan bukan hanya aspirasi, melainkan kebutuhan mendesak. Kehadiran perempuan dalam pengambilan kebijakan, dengan perspektif khas mereka, dapat menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan adil. Ini juga dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik yang lebih berpihak pada perempuan.

Keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dalam politik mencerminkan kemajuan masyarakat yang berkeadilan gender. Ketika perempuan duduk di meja pengambilan keputusan publik, suara-suara yang terpinggirkan akan lebih terangkat, dan solusi yang lebih komprehensif serta responsif dapat ditemukan. Namun, perjalanan menuju kepemimpinan politik perempuan masih penuh tantangan. Meski perkembangan signifikan telah dicapai, perempuan masih menghadapi hambatan struktural, stereotip, dan kekerasan berbasis gender.

Kepemimpinan politik perempuan bukan sekadar memenuhi kuota atau menciptakan simbolisme. Ini adalah tantangan untuk membangun bangsa yang lebih adil. Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan yang baru diluncurkan adalah salah satu alternatif untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepemimpinan politik perempuan saat ini.

Wasiat Nabi Muhammad Saw.

Di Penghujung bulan Zulqa’dah, tepatnya  tanggal 25 tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW berangkat dari Madinah membawa 70 ribu/105 ribu orang untuk menunaikan ibadah haji. Haji pertama dan terakhir yang dilakukan Rasulullah SAW pasca kenabian.

Setelah delapan hari perjalanan, tanggal 4 Dzulhijjah Rasulullah SAW tiba di Makkah dan langsung menuju Masjidil Haram untuk melakukan tawaf dan sa’i

di Hari Tarwiyah, tanggal 8 Dzulhijjah, Rasulullah SAW menuju Mina dan bermalam di sini. Pagi setelah subuh Rasulullah SAW berangkat ke Arafah. Setelah matahari tergelincir, Rasulullah SAW menaiki Unta kesayangannya, Quswa. Sesampainya di lembah Namirah, di hadapan ribuan jamaahnya, Rasulullah SAW berpidato dengan suara lantang:

واستوصوا بالنساء خيرا فإنهن عندكم عوان لا يملكن لأنفسهن شيئا وإنكم انما أخذتموهن بأمانة الله واستحللتم فروجهن بكلمات الله

 

“Wahai manusia! Aku berwasiat kepada kalian, perlakukanlah perempuan dengan baik. Kalian sering memperlakukan mereka seperti tawanan. Kalian tidak berhak memiliki mereka sedikit pun. Sesungguhnya kalian mengambil mereka di bawah kepercayaan Tuhan dan kalian berhak menggauli mereka atas nama Tuhan.”

 Ini adalah salah satu penggalan pidato Nabi SAW. Pidato ini terjadi di Abad ke-14, jauh sebelum umat manusia mendeklarasikan hak-hak asasi manusia {DUHAM). Pada zamannya, pidato ini sangat revolusioner! Bayangkan, pada waktu itu perempuan tidak ada harganya sama sekali, bahkan perempuan hampir disamakan dengan budak belian. Seperti harta benda, perempuan bisa diwariskan. Perempuan hanya dijadikan sebagai budak nafsu laki-laki.

Dalam pidato ini dengan tegas Rasulullah SAW mendeklarasikan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Masing-masing memiliki hak yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Laki-laki maupun perempuan sama-sama diposisikan sebagai subjek.

Islam hadir mengubah konstruksi sosial saat itu. Perempuan yang sebelumnya tidak mendapat harta waris, bahkan bisa diwariskan, oleh Islam diberikan hak waris meskipun setengah dari bagian waris laki-laki. Laki-laki, sebelum Islam, boleh menikahi perempuan tanpa batas, oleh Islam dibatasi empat.

Kita jangan melihatnya menggunakan kacamata Abad ini: mengapa Islam membagi hak waris perempuan setengah laki-laki dan mengapa perempuan boleh dipoligami? Menurut Tahir Haddad, pemikir dan reformis Islam dari Tunisia, dalam bukunya “Imra’atuna fi al-Syariah wal Mujtama’” bahwa poligami bukanlah dan jangan di  sebagai bagian dari hukum Islam. Islam justeru ingin menghapus poligami. Hanya saja caranya bertahap (tajrid). Begitu pula dengan waris.

Hal ini diamini oleh Karen Amstrong. Menurutnya, pada waktu ayat poligami diturunkan, hal itu merupakan sebuah kemajuan sosial. Sebab, dalam periode pra-Islam, baik laki-laki maupun perempuan, dibolehkan memiliki beberapa pasangan. Amstrong menambahkan bahwa institusi poligami dalam al-Quran merupakan sebentuk legislasi sosial. Ini dirancang bukan untuk memenuhi selera seksual kaum laki-laki, melainkan untuk meluruskan ketidakadilan yang ditimpakan kepada para janda, anak yatim, dan tanggungan perempuan lainnya yang amat rentan. Ayat poligami maupun waris, kata Mansour Fakih dalam “Analisis Gender dan Transformasi Sosial”, harus dipahami sebagai deskripsi keadaan struktur sosial dan norma masyarakat pada masa itu, dan bukan sebuah norma ajaran.    

 

Ketika Ustadz Muda Melarang Perempuan Selfie, Unggah Foto di Media Sosial = Memandang Rendah Perempuan

“Seorang perempuan yang ingin mengunggah foto di berbagai aplikasi media sosial harus seizin dari mahramnya,” ujar seorang ustadz muda.

Pernyataan tersebut mengemuka lewat sebuah pesan pribadi seorang teman. Saya tertarik dengan produk hukum yang dihasilkan tersebut. Bagi saya, pernyataan tersebut disandarkan pada sebuah asumsi terkait tubuh digital.

Saya kurang setuju dengan produk hukum sang ustadz muda tersebut. Sebab, perdebatan terkait kehadiran fisik perempuan di ruang publik dalam imaji itu terlihat masih sangat dangkal. Membatasi ruang gerak perempuan dengan mengurungnya dalam sebuah ruangan adalah sebuah kesalahan besar, terlebih di era teknologi informasi yang sudah sedemikian maju.

Terlepas dari persoalan hukum aurat perempuan, asumsi tubuh digital dalam pernyataan itu menarik untuk diulik lebih dalam. Sebuah ilustrasi dari Slavoj Zizek, filsuf asal Slovenia, terkait tubuh digital yang digambarkan dengan satu pertanyaan, “Apakah aku ini hanya sekedar apa yang bisa diringkas menjadi sekeping CD?

Jelasnya, tubuh kita tidak lagi terdiri daging dan jaringan syaraf, namun sekarang kumpulan sirkuit dan algoritma program komputer. Saya pernah menonton sebuah film berjudul Transcendence yang dibintangi oleh Jhonny Depp bercerita bagaimana kesadaran dan emosi manusia bisa ditransfer ke dunia maya. Perbincangan soal hukum Islam mungkin belum banyak masuk ke dalam perdebatan tubuh digital.

Oleh sebab itu, produk hukum seperti yang yang dihasilkan sang ustaz masih banyak memandang rendah perempuan. Namun, terlepas dari semua perbincangan kemajuan teknologi yang mendefenisikan ulang eksistensi manusia di ranah internet, diskusi terkait kehadiran perempuan di ruang publik, termasuk di ranah internet, masih terjebak dalam imaji yang kaku. Hal ini perlu menjadi perhatian kita semua sebab asumsi-asumsi kaku, seperti yang disampaikan sang ustaz muda di atas, masih mengekang perempuan.

Selain itu, kita juga bisa melihat dalam perbincangan kehadiran perempuan di ranah media baru, seperti film dan internet, saja masih belum banyak bergerak dari berbagai problematika dan imajinasi masyarakat di dunia nyata. Perempuan masih dilihat sebagai bagian yang menakutkan atau mengancam dominasi laki-laki. Tafsiran progresif yang mendukung kesetaraan dan pembebasan perempuan yang mengekangnya selama ini masih belum banyak diakses.

Menariknya, aktivitas media sosial di kalangan perempuan bisa dibilang cukup tinggi. Angka pengguna media sosial di kalangan perempuan saja yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai lebih dari 79 %. Menurut data yang dikeluarkan BPS tahun 2017 tersebut juga mendedahkan bahwa aktivitas para perempuan di dunia maya tidak banyak berbeda dengan kaum adam, dari pencarian informasi hingga hiburan.

Dengan aktivitas yang cukup tinggi, perempuan memang mendapatkan ruang baru di dunia maya untuk mengekspresikan diri mereka. Ketika di dunia nyata masih banyak aturan atau tradisi yang mengekang, internet seakan memberikan “angin segar” untuk bisa keluar dari sana. Namun, sebagian dari otoritas agama masih mencoba mengekang kehadiran perempuan dengan alasan moral atau imaji yang berlebihan atas dunia maya.

Pandangan akan sosok perempuan yang lemah dan tidak mampu mandiri seringkali menjadi alasan yang terdepan, untuk membatasi gerak-gerik perempuan. Walau masih perlu ditelisik lebih dalam lagi seberapa pengaruh dari fatwa-fatwa otoritas tersebut dapat mempengaruhi kehadiran perempuan di dunia maya.

Kembali ke narasi kebebasan perempuan, hak mereka untuk mengekspresikan diri, terutama di ruang publik, tidak boleh dikekang karna berbagai stigma yang melekat. Barbara Creed, professor di Universitas Melbourne, dalam buku  The Monstrous Feminine menceritakan bahwa kemunculan narasi tentang perempuan dalam media baru seringkali diwarnai oleh imaji laki-laki yang tidak berimbang.

Ketidakseimbangan anggapan atas kehadiran perempuan di ranah internet biasanya ditandai dengan bias pandangan atas segala aktivitas perempuan. Contohnya, fatwa sang ustadz mungkin secuil fakta yang bisa kita temui bahwa kehadiran perempuan di ranah publik dunia maya juga turut dibatasi. Mungkin kita masih ingat dengan kejadian pamflet dari satu organisasi yang memblurkan wajah para pengurus perempuannya.

Islam telah lama berbicara soal perempuan, termasuk aktivitasnya di ruang publik, walau akhir-akhir ini bermunculan penggunaan narasi agama untuk menstempel imaji laki-laki yang merasa terancam. Oleh sebab itu, agama seharusnya dapat hadir menjadi pembebas bagi siapapun, termasuk perempuan. Ruang publik dalam Islam tidak seharusnya hanya dikuasai oleh laki-laki, sebab narasi perempuan harus turut mewarnai dunia maya, agar keadilan terhadap kelompok perempuan bisa dihadirkan dari suara mereka sendiri, bukan dari pandangan laki-laki.

Oleh sebab itu, bukan saja ekspresi di dunia maya yang tidak boleh dikekang, namun pandangan atas sosok perempuan juga harus dilihat secara berimbang. Media sosial tidak boleh menjadi lahan baru untuk menghadirkan berbagai narasi yang tidak baik terhadap pihak perempuan.

Kebanyakan kasus yang melibatkan perempuan selalu mendapatkan tanggapan yang berlebihan, jika dibanding dengan apa yang terjadi terhadap pihak laki-laki. Seperti yang baru-baru ini ramai diperbincangkan, perisakan terhadap seorang artis perempuan berinisial NS bisa dibilang cukup berlebihan, sebab kepada sosok sang laki-laki yakni AY, justru tida sekencang perempuan. Sederhananya, moncong senapan perisakan itu saya rasa lebih ke sosok perempuan, bukan laki-laki.

Kondisi ini harus juga mendapatkan perhatian bagi kita semua yang ingin mewujudkan ruang publik digital yang sehat. Perbincangan hukum Islam yang progresif harus menghasilkan berbagai produk yang melindungi perempuan secara adil, bukan malah hadir untuk mengekang kehadiran perempuan di ruang publik digital, dengan alasan-alasan yang dibuat-buat.

 

Tulisan oleh: Supriansyah

https://pixabay.com/photos/hands-pregnant-woman-heart-love-2568594/

Bagaimana Kita Bisa Melindungi Perempuan Hamil yang Bekerja saat Pandemi?

Oleh: Fadilla Putri

Baru-baru ini,  sahabat sejak masa kecil mengeluhkan betapa sulitnya harus pergi bekerja di masa pandemi ketika hamil. Saat ini ia memasuki kehamilan trimester keduanya. Keluhan itu bahkan telah ia utarakan sejak awal kehamilannya: tidak bisa makan karena seringkali berujung mual hebat hingga muntah, merasa tidak sehat tapi tak ada penyakit kecuali kehamilan itu, tidak nyaman atau sedih tapi sulit untuk diceritakan atau dikeluhkan karena hal itu dianggap hal yang biasa. Kejadian-kejadian itu  kerap ia alami bahkan ketika dekat dengan suaminya, atau di tengah keluarga, atau di kantor.

Pengalaman hamil tentu akan menjadi memori yang sangat lekat bagi perempuan. Ketika saya hamil tiga tahun lalu, saya mengalami masa-masa terberat karena gangguan kehamilan.  Saya tidak boleh turun dari tempat tidur karena cenderung mengalami pendarahan. Ketika itu saya masih belum berkantor di Rumah KitaB. Karena keluhan-keluhan itu sekitar tiga minggu saya absen dari kantor. Setelah merasa kuat dan kembali ke kantor, waktu bekerja sering saya habiskan berbaring di dalam ruang menyusui karena saya dilarang dokter duduk dalam jangka waktu lama. Beruntung  saat itu saya bekerja di sebuah kantor untuk perlindungan anak, sehingga hak saya sebagai perempuan bekerja yang sedang mengandung sangat dilindungi.

Dalam keadaan dunia yang “normal” pun, kehamilan itu berat.  Al-Qur’an surat Lukman ayat 14 disebutkan: “Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”

Al-Qur’an menyebutkan bahwa perempuan hamil berada dalam kondisi lemah yang bertambah-tambah. Ibu Lies Marcoes, Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), kerap kali menjelaskannya sebagai “berat di atas berat” dan “sulit di atas sulit” untuk menjelaskan betapa beratnya kehamilan itu. 

Sahabat saya ini bekerja di sebuah instansi di bilangan Jakarta. Setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan, setiap pekan ia wajib masuk kantor secara bergiliran; satu hari di rumah, satu hari di kantor, begitu seterusnya. Bahkan akhir tahun lalu, ia masuk kantor hampir setiap hari karena banyaknya deadline pekerjaan akhir tahun.

Sebuah riset yang dilakukan oleh dosen Universitas Indonesia, Kanti Pertiwi, pada 96 perempuan pekerja usia 20-50 tahun sepanjang Juni-Agustus 2020 menunjukkan bahwa informan perempuan merasakan tekanan dari kebijakan kantornya yang maskulin selama pandemi. Tolak ukur produktivitas dan beban kerja tidak mengalami penyesuaian meskipun pandemi.

Selain lansia, orang dengan penyakit penyerta, dan tenaga medis, perempuan hamil termasuk ke dalam kelompok rentan terhadap Covid-19. Kehamilan sendiri sudah mengandung risiko. Ditambah dengan adanya pandemi, seorang perempuan hamil menjadi semakin rentan terhadap Covid-19.

Kebijakan kantor yang tidak sensitif gender menganggap seolah-olah keadaan seorang perempuan hamil adalah sama dengan pekerja lainnya. Ketika perempuan mengalami hambatan bekerja karena kehamilannya, hambatan itu harus ditanggulangi sendiri karena tidak ada upaya untuk memperbaiki atau mengakomodasi kebutuhannya. Muncul juga anggapan perempuan hamil tidak bisa seproduktif kolega lainnya karena “kesalahannya” sendiri atas keadaannya. Perempuan sendirilah  yang harus menanggung risiko untuk bisa catch up dengan kolega lainnya. Cara pandang ini telah mengabaikan hak yang paling dasar yang dilindungi baik oleh agama maupun oleh Undang-Undang Kesehatan.

Padahal, adalah kewajiban perusahaan atau instansi terkait untuk melindungi, atau setidaknya mengakomodasi kebutuhan para perempuan hamil yang aktif bekerja.

Pertama, perusahaan bisa memberikan fleksibilitas kepada karyawan atau staf perempuan yang sedang hamil untuk mengurangi jadwal “piket”nya untuk masuk kantor guna meminimalisasi kontak dengan banyak orang tanpa harus mengurangi kewajibannya dalam bekerja. Ini berarti  perusahaan atau instansi mengeluarkan kebijakan bahwa perempuan hamil bisa bekerja dari rumah sepanjang kehamilannya. Terutama jika kantor berada pada gedung tertutup yang tidak memungkinkan protokol VDJ yang maksimal (ventilasi, durasi, dan jarak), karena risiko Covid-19 tidak hanya ada pada sang ibu, tetapi juga pada sang bayi. Dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jelas ditegaskan bahwa anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang, sementara definisi anak adalah seseorang di bawah 18 tahun, termasuk yang berada dalam kandungan. Ini artinya, perempuan hamil berhak mendapatkan perlindungan maksimal atas keselamatan janinnya, termasuk oleh perusahaan/instansi tempat ia bekerja, karena haknya dilindungi oleh negara. 

Kedua, mengakomodasi kebutuhan perempuan hamil jika ia tetap harus masuk kantor. Memang, tidak semua jenis pekerjaan dapat dikerjakan dari rumah. Beberapa pekerjaan, teruma yang berhubungan dengan sektor jasa, membutuhkan kehadiran fisik pekerja di tempat kerjanya. Akan tetapi, banyak cara yang dapat dilakukan untuk melindungi perempuan hamil selama ia bertugas. Misalnya, dengan memberikannya ia akses pada ruangan privat agar dapat beristirahat ketika lelah atau mengalami mual hebat. Dalam keadaan khusus, misalnya ketika kehamilan seorang perempuan mengalami risiko tinggi—entah risiko perdarahan dan lainnya—perusahaan dapat mengurangi beban atau jam kerjanya, atau menggunakan hak cuti sakitnya. 

Ketiga, hak perempuan dilindungi dalam pasal 82 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk mendapatkan paid maternity leave selama 3 bulan. Artinya, ia dibayar penuh selama cuti hamil dan melahirkan. Bahkan, beberapa perusahaan di Indonesia telah menerapkan cuti 6 bulan bagi perempuan yang melahirkan untuk mendukung ASI eksklusif.

Masalahnya, tidak semua perusahaan atau tempat kerja memiliki perspektif yang sama. Hasil analisis situasi perempuan bekerja yang dilakukan Rumah KitaB pada Agustus-September 2020 lalu di Bandung misalnya, menemukan sebuah perusahaan yang sama sekali tidak memberikan hak cuti bagi perempuan, baik cuti haid, hamil, maupun melahirkan. Sehingga, para pekerja perempuan yang hamil terpaksa harus mengundurkan diri sebelum melahirkan karena haknya untuk tetap bekerja pasca melahirkan tidak terpenuhi. 

Pada akhirnya tulisan ini ingin menekankan bahwa, dalam kondisi dunia yang “normal” pun, kehamilan sudah berat. Bisakah terbayangkah bagaimana beratnya hamil dalam kondisi krisis wabah global? Ini adalah kewajiban perusahaan, lembaga, dan negara untuk melindungi kelompok rentan Covid-19, tak terkecuali perempuan hamil yang bekerja. Kebijakan tempat kerja dan pemimpin perempuan yang memahami pengalaman unik perempuan adalah salah satu kunci untuk mendukung agar perempuan dapat terus berpartisipasi di ruang publik, apapun kondisinya [].

rumah kitab

Merebut Tafsir: NATALAN

Sebagai Muslim, apa yang dikenang dari Natal? Saya malah teringat cerita kawan peneliti tentang Ramadhan. Sebagai pengamat fenomen sosial politik agama Islam, ia tertarik kepada tradisi umat Islam dalam menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kebetulan ia mengalaminya di Iran, disusul di beberapa negara berpenduduk Muslim seperti Turki, Afganistan dan Indonesia. Tentu saja, di kalangan minoritas Islam di Eropa juga, tempat ia tinggal.

Baginya, yang menarik dari Ramadhan adalah peristiwa sosial keagamaan di mana hubungan keluarga menjad lebih dekat. Itu sangat mengesankan baginya. Ketika ia tinggal bersama satu keluarga elit Iran di Teheran, ia melihat perubahan hubungan-hubungan ayah dengan anaknya, terutama anak perempuan yang menjadi lebih akrab. Keakraban itu melampaui bulan-bulan lain di luar Ramadhan. Mereka mengobrol tentang apa saja semalam suntuk. Sejak buka puasa, shalat taraweh, sampai makan sahur kemudian tidur dan bangun menjelang siang. Demikian setiap hari sepanjang bulan.

Ia menyaksikan, di saat itulah nilai-nilai keluarga, ajaran agama, tradisi keluarga, kuliner, bahkan politik dibicarakan dan ditularkan dari orang tua kepada anak-anaknya, pun sebaliknya. Baginya bulan Ramahan adalah bulan keluarga. Karenanya ia tak tertarik berpuasa di tanah kelahirannya di Eropa. Sebab “ saya tak menemukan maknanya secara sosial; kalau soal menahan lapar, saya bukan orang yang terlalu menikmati makan siang di kantor, jadi praktis sering juga saya puasa”.

Semasa kecil saya tinggal di kampung yang relatif homogen. Muslim, Sunda, sedikit campuran keluarga Jawa pendatang dan lebih sedikit lagi warga Tionghwa. Ada satu orang Batak,Sersan Manurung dan seorang Pendeta dari Minahasa Bapak Sarionsong.

Di masa kecil saya tak punya pengalaman khusus tentang Natalan sebagai perayaan. Harap diingat saat itu listrik dan karenanya TV belum ada. Peristiwa keagamaan yang mengiringi saya tumbuh besar sebagai warga adalah peristiwa-peristiwa keagamaan dalam tradisi Islam. Di luar ritual formal, kami merayakan Mauludan (bulan Maulud), Rajaban (Isra Mi’raj) dan puncaknya di bulan Ramadhan hingga Lebaran. Bahkan bulan Haji pun saat itu bukan perayaan besar karena hanay shalat Idul Adha dan masih sangat jarang yang menyembelih qurban
.
Di bulan Ramadhan kampung menjad lebih terang benderang. Di mana-mana ada “damar sewu” lampu minyak berjejer-jejer menerangi malam pekat; ada bunyi bedug di malam hari dan sesekali bunyi petasan. Puncaknya adalah berlebaran, shalat Ied di tanah lapang desa, pakai baju baru dan makan dengan seluruh keluarga dan para pelayan toko Ibu (Ibu saya buka toko sembako yang lumayan besar).

Natalan sebagai peristiwa sosial keagamaan saya ikuti ketika saya kuliah di IAIN Jakarta. Ada tugas dari dosen Perbandingan Agama untuk menghadiri ritual Natal di Gereja. Tapi itu hanya mengamati, mencatat dan membahasnya di bangku kuliah. Kala itu saya tak “merasakan” suasana Natal sampai kemudia saya kenal dan menjadi bagian dari satu keluarga Katolik di Jakarta, keluarga angkat saya Ibu/Bapak C. Sumarto.

Ketika itu awal tahun 80-an, Natal telah menjadi bagian dari ornamen pertokoan namun pengalaman kehangatan Natal dalam keluarga benar-benar baru saya rasakan ketika saya menjadi bagian dari keluarga itu. Dan itu terus berlanjut sampai saya telah berkeluarga.

Saya ingat ketika Reza anak sulung saya berumur 4 tahun saya ajak Natalan ke keluarga Eyangnya itu. Ia begitu senang melihat pohon natal bersama aneka perhiasan seperti yang ia lihat di TV. Terlebih, ia juga mendapatkan hadiah Natal dari Eyang Utinya yang ditemukan di bawah pohon Natal. Mata Reza berbinar-binar. Ia mendapatkan kado di luar hari ulang tahunnya, dan dengan hadiah itu ia merasa diakui sebagai bagian dari anggota keluarga Eyangnya.

Hingga saat ini setelah anak-anak berkeluarga, kami melanjutkan tradisi mengunjungi rumah keluarga angkat saya, tempat anak-anak saya punya Uti, Atung (Kakek) tante- tante dan om serta sepupu-sepupu untuk mengucapkan Natal dan makan aneka hidangan Natal. Di saat itu suasana kehangatan keluarga kami rasakan. Mungkin seperti “rasa” yang dialami kawan saya ketika menjalani ritual puasa di Teheran. Bedanya dia sebulan penuh sementara kami hanya satu hari. .

Peristiwa sosial yang mengiringi ritual ritual keagamaan dapat meninggalkan kesan mendalam bagi banyak orang. Itulah pengalaman sosial keagamaan. Kehangatan keluarga dalam nuansa ritual perayaan keagamaan, apapun agama itu, bagi saya adalah fenomena sosial keagamaan yang dapat menghidupkan kehangatan batin. Dan saya ingin anak menantu dan cucu ikut merasakannya, meskipun saya sangat sadar rasa batin adalah pengalaman pribadi, sangat personal. SELAMAT NATAL

 

#Lies Marcoes, 25 Desember 2020

Pandemic showcases Indonesia’s systemic gender inequality – The Jakarta Post.

The COVID-19 pandemic has required almost all events to go virtual, including in Indonesia. Information about conferences and seminars has been disseminated through digital posters containing the speakers’ photographs. One cannot close one’s eyes to the male favoritism in Indonesia’s institutions. It is a rarity to find a conference or seminar in Indonesia with an equal number of men and women. Most strikingly, even those that do include women put them into gender-dictated roles, such as a chairperson. Why is this the case?

Indonesia may have fewer problems than other countries with equal pay between genders, but the problem we currently have is no less systemic than the wage issue. Women need to receive the same acknowledgement for their leadership capacity and their understanding of issues within their field.

Some might argue that speakers are selected based on their knowledge – that these men are the brightest individuals in their respective fields. However, we must realize that in cases of high-level conversations, the speakers are almost always leaders in their institutions. So, it is not merely a “who to invite” issue; it is a leadership issue – something that is entrenched in our institutions.

Systemic gender inequality requires the attention of everyone – both men and women, regardless of their occupations or backgrounds. The argument that the central government and regional administrations have adopted the Sustainable Development Goals (SDGs), which aim to achieve gender equality and women’s empowerment, might counter this critique by maintaining that we are actually progressing toward reducing gender inequality.

But how can one claim that progress has been made when male favoritism in leadership, as the most critical and systemic gender issue, has not been addressed?

In promoting women in leadership, developing countries mainly appreciate empowerment in terms of their ability to run their own small and medium-sized enterprises (SMEs). That matters.

However, gender inequality also persists in the formal sector – a sector that upholds the highest standards of giving decent wages and protections to its workers but does not actually have a clear vision when it comes to gender inequality in leadership.

In 1999, Amartya Sen wrote about “missing women”. Healthcare neglect caused 100 million women to die at birth or shortly thereafter. But newer findings have contributed to this debate and have concluded that the women were missing not simply because of health care. Building upon Sen’s work, Elisabeth Croll (2010) showed that cultural and economic factors contributed to female mortality. The missing women epitomize the inequality of opportunity between women and men and the reality of male favoritism. One might wonder what the cost of neglecting of women’s leadership will be. What will be the cost of stopping women from speaking their minds?

Sylvia Chant (2012) wrote that the current pursuit of gender equality through SME development might very well be the way to achieve “development on the cheap”. In a way, it is true. The linkage between women and development is always made through the growth narrative – that giving more opportunities to women in the labor force can elevate economic growth. The refusal to look at systemic gender inequality will not do justice to women.

Therefore, organizations that promote women’s empowerment and unions that seek to bring more women into the economy need to think about securing women’s rights in leadership as well. There is no written statement that women are forbidden to hold top leadership positions, but because there is no acknowledgement of male favoritism in leadership, everybody just treats the current leadership practice as normal. Therefore, women are unable to exercise their rights.

It is vital that policymakers use the pandemic as a time to reflect and change of the patriarchal nature of Indonesia’s leadership. Why do men dominate top-level positions, while women are merely deemed eligible for supporting roles, such as secretary or treasurer? Much like household patriarchy, in the existing leadership practices, women are mainly considered helpers instead of leaders.

Both the central government and local administrations need to open their eyes and establish a set of goals for promoting women’s leadership in the workplace. Both men and women have important things to say, and by putting on a blindfold regarding this matter, we allow the perpetration of gender inequality, which can produce unintended consequences.

But as much as it is the responsibility of policymakers, it is also our duty – that of individuals, men or women – to make a difference, wherever we dedicate our time and knowledge. If each of us passes on the acknowledgement of gender inequality in leadership to our friends, families and colleagues, a revolution will come.

The writer is a doctoral student at the London School of Economics and Political Science (LSE)

 

Namira Samir, The Jakarta Post, Tue, December 15, 2020

This article was published in thejakartapost.com with the title “Pandemic showcases Indonesia’s systemic gender inequality – Opinion – The Jakarta Post”. Click to read: https://www.thejakartapost.com/academia/2020/12/15/pandemic-showcases-indonesias-systemic-gender-inequality.html.

rumah kitab

Merebut Tafsir: Sebongkah Asa dari Lombok Utara

Oleh Lies Marcoes

Subuh ini, kembali saya dibuat haru oleh anak-anak remaja dari kelompok Kanca ( Kanaq Pecinta Baca). Ini adalah kumpulan remaja dampingan Nursyida Syam dari Klub Baca Perempuan (KBP), Desa Perwira, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara.

Sekumpulan anak remaja berbaju putih tampil dalam video yang mereka buat sendiri. Mereka menyajikan olah seni tari modern dengan pesan yang mereka gali dari kebiasaan di lingkungan mereka. Aksi seni ini berisi pesan gugatan atas cara orang dewasa yang memperlakukan beda anak lelaki dan anak perempuan.

Osi, remaja pegiat seni baca puisi, menohok kesadaran kita di ujung puisi yang dibacanya. “Atau.. Tuhankah lelaki itu?” Osi dan teman-temannya adalah pegiat literasi di Kanca yang lahir dari rahim KBP. Energi mereka menggelegak. Mungkin seperti remaja-remaja lain di banyak daerah di Indonesia. Namun hanya di rumah yang terbuka, yang demokratis dan menerapkan nilai kesetaraan, kaum remaja dapat menemukan kebebasan ekspresinya. Dan di Lombok Utara saya melihatnya sejak lebih dari 10 tahun lalu.

Dalam kerja-kerja penelitian, secara impulsif saya sering ngaprak ke segala penjuru negeri ini. Hingga suatu hari sampai juga ke rumah Nursyda Syam. Ia telah memulai kegiatannya dibantu Lalu Badrul, suaminya, membuat perpustakaan kampung. Gagasan itu muncul setelah ia memulainya dengan membacakan buku bagi kedua anaknya Eca dan Ara di beruga mereka (gubug di depan rumah tempat keluarga bercengkrama). Nursyida adalah anak seorang jurnalis. Ia sendiri juga menekuni bidang jurnalistik. Sejumlah anak dari para TKI/W di sekitar rumahnya kerap ikut mendengarkan dongeng dan bacaan Ida.

Ida pun kemudian mengajak Ibu-ibu mantan pekerja migran untuk mengasuh anak-anak yatim piatu sosial itu; Kak Tuan Uci salah satunya yang saya kenal. Ide Ida tak terbendung. Suaminya, Lalu Badrul, mengimbanginya dengan kesabaran tanpa batas. Tanpa tergesa-gesa, tanpa rekayasa, semuanya mengalir menumbuh kembangkan anak agar tak tergoda berumah tangga di usia muda. Ida dengan gagasan Klub Baca Perempuan itu ingin agar anak-anak percaya bahwa buku adalah jendela dunia.

Tak mulus semuanya mengalir: kadang menabrak batu, tersumbat sampah dan lunglai diterpa gosip. Harap diingat desa adalah satuan wilayah terkecil tempat “suara” diperebutkan. Ida sekuatnya bertahan tetap independen. Namun independensi juga beresiko bagi para penganjur partisan. Ida geming. Air kehidupan itu harus terus mengalir. Jadilah kini sebuah lembaga dengan kegiatan yang begitu dinamis, bersahaja dan tetap memberi kebebasan bagi anak-anak dan remaja untuk berkreasi.

Atas sumbangan para penderma dari negeri tetangga, Ida dipecaya mengelola amanah amaliah. Di musim kemarau, Ida dan suaminya mengawal pembagian air di desa-desa kerontang. Air memang tak dibeli, namun perlu truk angkut dan tenaga untuk memindahkan air dari telaga. Bantuan donatur dari Singapura mengatasi problem biaya angkut itu.

Ketika bencana gempa berturut-turut mengguncang Lombok Utara Juli dan Agustus tahun 2018, rumah Ida ikut hancur. Begitu juga perpustakaan yang dibangun secara swadaya. Namun tak terlalu lama tertegun Ida segera membuka posko. Perpustakannya yang rubuh dibangun kembali atas bantuan arsitek berbahan bambu tahan gempa, Bang Togu Simorangkir dari Samosir.

Sejak KBP berdiri, disusul bencana, banyak tangan terulur. Tapi Ida, Badrul tak berubah gaya hidup, pun rumah mereka yang tetap sederhana dan terbuka bagi siapa saja.

Setahun setelah gempa, covid-19 datang tak terduga. Diawali dengan keterkejutan yang membuat KBP dan Kanca istirahat dari kegiatan, Ida dan Lalu Badrul tak terlalu lama termangu. Mereka segera bergerak lagi. Dimulai dengan memanfaatkan kain perca, bahan baju yang belum dijahit ia mengajar ibu-ibu mantan TKW yang di rumahnya mempunyai mesin jahit untuk membuat masker daur ulang. Mereka mulai memikirkan hal-hal yang tak terpikiran sebelumnya dalam mengatasi covid-19 itu. Melalui jaringannya Ida membantu sejumlah Puskesmas agar para Nakes lebih dulu terlindungi.

Inisiatif lain susul menyusul muncul ketika banyak keluarga tak memiliki akses ke pasar dan pangan. Kambali Ida mengumpulkan bantuan untuk sembako atas dukungan banyak pihak. Tak berhenti di sana ia pun melihat tanah- tanah kosong milik para pemodal industri wisata yang tuannya tinggal di kota lain dan membiarkan lahannya terbengkalai. Dengan mengantongi izin pemanfaatan lahan, Ida dan keluarga serta anggota KBP dan Kanca merintis kebun pangan. Hasilnya, dalam tiga bulan telah melimpah ruah. Kebetulan masa panen itu dibarengi dengan kemarau. Ida pun mengirimkan bantuan air bersama hasil kebun pangannya.

KBP buat saya adalah oase tempat saya menemukan harapan dan semangat. Sebagai pegiat penguatan lembaga akar rumput, saya sedikitpun tak tergoda untuk mendesak mereka menjadi lembaga terstandar pengorganisasian dalam ukuran baku. Sebab, pada KBP dan Kanca terdapat pengetahuan dan praktik pengorganisasian yang ternyata bisa tumbuh berkembang sebagai sebuah gerakan yang genuine. Dan saya bangga telah menjadi saksi dari tumbuh kembangnya lembaga ini.

 

# Lies Marcoes, 13 Desember 2020.

rumah kitab

Merebut Tafsir: Larangan Perempuan Bekerja, Alarm dari Ruang Sebelah

Oleh Lies Marcoes

Secara berkala, Rumah KitaB melakukan monitoring media dalam isu gender. Temanya bisa apa saja, tergantung isu yang muncul dalam ragam sosial media. Selain soal omong kotor dari seseorang yang dipuja kelompoknya sebagai keturunan Nabi, isu yang termonitor dalam bulan November tahun ini adalah soal larangan perempuan bekerja atau mencari nafkah.

Ungkapan- ungkapan itu muncul dalam ragam platform media sosial seperti twitter, instagram dan facebook. Jumlahnya tak banyak tapi selalu ada setiap harinya. Inti kampanyenya: perempuan tak wajib kerja baik karena mencari nafkah adalah kewajiban lelaki, atau karena di luar rumah iman perempuan gampang goyah, atau perempuan sendiri dianggap sebagai sumber fitnah bagi ruang publik.

Dalam sebuah twitter misalnya, seseorang yang mendakukan diri sebagai ustadz menulis “Jika suami tak tangguh menafkahi jangan dibantu menutupi kewajibannya, kecuali sementara”. Seorang perempuan dengan nama singkatan AIAD menulis, ”Prinsipku sebagai perempuan, bekerja cari uang itu untuk ibadah. Alokasikan dalam hati uang itu untuk orang tua, saudara, untuk sosial. Perihal nafkah, tetep minta suami”. Masih dalam twitter, seorang lelaki bernama Ferry menulis “Wanita itu, diam aja jadi fitnah apalagi gerak. Lebih baiknya wanita diam bukanlah perendahan tapi menunjukkan berharganya dia dan betapa ia bisa jadi rebutan yang bermakna fitnah. Itulah mengapa lelaki harus berja keras”.

Dalam Facebook, sebuah group Muslimah xxxx yang secara terbuka menyebut diri sebagai kelompok Salafi mengemukakan argumen yang intinya menghukum sesama muslimah yang aktif di luar rumah. Mereka disebut sebagai perempuan yang membiarkan rumah tangganya menjadi “house of titanic”. Perannya di publik mereka nilai akan dengan sendirinya membuat rumah tangga terbengkalai dan berantakan meskipun tampak dari luar sangat indah dan mewah. Mereka menghukum perempuan serupa ini sebagai ibu yang gagal dalam mendidikan anak-anak perempuan mereka menjadi calon ummun wa robbatul bait ( Ibu dan pengurus rumah tangga).

Dalam instagram dengan gambar-gambar lucu tapi tidak realistis terdapat sebuah diagram yang pusatnya gambar perempuan bertoga. Di seputar gambar itu terdapat ungkapan ”Perempuan boleh kok bekerja asal: mendapat izin wali, berpakaian sesuai syariat, aman dari fitnah, ditemani muhrim saat safar (bepergian)”.
Dalam instagram lainnya terdapat diagram yang menggambarkan hal-hal yang membuat perempuan sebagai penangguk dosa: tabarruj (bersolek), tatapan mata, ikhtilat (bercampur dengan lelaki), jabat tangan, suara, aurat. Intinya instagram itu hendak menyatakan dari susut pandang manapun, perempuan itu akan tetap jadi pendosa sepanjang mereka berada di ruang publik bahkan untuk bekerja sekalipun. Instagram itu kemudian ditutup dengan tawaran soluasi:“ Ukhti kembalilah ke rumah!”. “Ukhti berusahalah sekuatnya untuk menghindari fitnah”.

Bagi umat Islam Indonesia, ungkapan yang mengajak perempuan tinggal di rumah dan tak perlu bekerja itu ungkapan yang aneh dan utopis. Anak bangsa di negeri ini yang mayoritas keluarga Muslim sebagian besar anak petani dari dari tradisi agraris dan perdagangan. Lelaki dan perempuan senantiasa ada dalam kedua dunia itu- dari hulu sampai hilir. Di dunia itu perempuan bekerja baik untuk memenuhi kebutuhannya sendiri maupun untuk mencari nafkah. Berkat pendidikan, ragam peluang bagi perempuan untuk bekerja pun terbuka luas. Mereka dapat mengerjakan apa saja yang lelaki kerjakan apalagi pekerjaan yang dianggap sebagai perpanjangan tugas mereka di rumah. Melampaui keterbatasan peran tradisionalnya, mereka bekerja dalam sektor apapun sesuai dengan pendidikan, peluang dan kepintarannya.

Tempat mereka bekerja pun tak lagi (hanya) di sawah ladang dan di pasar melainkan di sektor industri manufaktur, transportasi, profesi dan jasa serta pelayanan. Mereka bisa merantau nun jauh ke ujung bumi dengan mengadalkan tenaga, ketelatenan, keterampilan, keahlian, kecakapan, dan kepintarannya.

Seorang perempuan muda dari Makassar menjadi seorang ahli desain interior di pabrik mobil Marcedez di Jerman (itu anak teman saya Nina Basira). Perempuan- perempuan muda lainnya menjadi ahli biomedis di sebuah laboratorium bergengsi di Jepang dan Eropa. Masih banyak propesi lain yang mengandalkan kecerdasan mereka di dunia internasional yang dapat diduduki anak perempuan kita. Pun termasuk yang mengandalkan tenaga dan welas asih kepada keluarga majikannya sebagai ART atau baby sitter atau perawat lansia. Saya kerap menyaksikan youtube mereka yang menyajikan gambaran pengalaman mereka sebagai ART atau perawat orang tua di Hongkog, Taiwan, Jepang, Korea, Timur Tengah atau di negara tetangga Malaysia dan Singapura. Mereka fasih menggunakan bahasa lokal di tempat mereka bekerja dan diperlakukan sangat baik oleh keluarga majikannya.

Namun, ungkapan-ungkapan yang menolak atau meminta perempuan tinggal di rumah, dan sepenuhnya berharap kepada nafkah suami, bukanlah isapan jempol. Dan ketika membaca nama-nama yang mengunggahnya jelas sekali mereka bukankah manusia gua atau datang dari negara dengan tradisi yang membatasi secara sangat ketat peran perempuan di ruang publik seperti Saudi Arabia. Nama- nama mereka sangat Indonesia seperti Euis, Dinar, Asep, Fery, Dedi, Santoso, atau paling jauh bernama Arab Indonesia Maryatun, Aminah, Habibah, Siti Rahmah, Laila, Ahmad, Somad, Mahmud, Ucup dan seterusnya. Itu artinya mereka niscaya datang dari keluaga yang ayah bunya, atau ayahnya, atau ibunya bekerja untuk menyekolahkan mereka. Secara logis kita patut menduga orang tua mereka tentu berharap agar anak perempuan yang mereka biayai pendidikannya itu akan mengamalkan ilmunya, dan secara otomatis mendapatkan pekerajaan serta mampu mandiri secara ekonomi. Jadi racun ajaran fundamentalis macam apa hingga mereka bisa kelenger seperti itu?

Tentu saja dengan mudah kita juga dapat mematahkan argumen mereka. Memangnya semua lelaki sanggup menjadi pencari nafkah? Atau memangnya semua perempuan berpasangan atau menikah seumur hidupnya sehingga bisa mengharap curahan nafkah dari suaminya? Bagaimana dengan perempuan lajang?
Tapi dalil bahwa ruang publik itu tidak aman bagi perempuan, sebetulnya tak salah-salah amat. Tempat di mana mereka bekerja rentan pelecehan verbal atau fisik, perempuan diupah lebih rendah, menjadi sasaran eksploitasi maksimal. Singkatnya secara umum perempuan masih mengalami dehumanisasi di ruang publik.

Masalahanya, alih-alih menuntut tempat kerja yang aman, nyaman dan ramah terhadap perempuan dengan dasar argumen bahwa bekerja adalah hak dan ftrah, mereka menuntut perempuan untuk menutup diri baik fisik atau simbolik untuk mengatasi kejahatan di runag publik. Sambil bergelayut(semata-mata) kepada teks, mereka bersikras bahwa tempat perempuan adalah di rumah. Dengan demikian secara ekspisit mereka mengakui, ruang publik sebagai sasana adu kejantanan bagi para pejantan. Artinya mereka membenarkan dan menganggap bahwa lelaki di ruang publik itu pada dasarnya kucing garong, apapun diembat tak terkecuali dengan mencuri pandang kepada tubuh perempuan. Sungguh kasihan suami, ayah dan anak lelaki mereka yang telah dididik dengan mengorbankan diri tidak bekerja demi mendidik anak. Asumi paralel dari anggapan ruang publik itu neraka, mereka menganggap rumah adalah surga. Seolah mereka tak pernah bertemu dengan perempuan korban kekerasan di dalam rumah, anak korban kebiadaban orang tua, atau ART korban kekerasan majikan.

Betapapun tidak realistisnya ujaran-ujaran mereka tentang tak wajibnya perempuan bekerja, saya ingin bercermin kepada sejarah berbagai bangsa. Di dunia modern kita telah menyaksikan hal yang utopis itu ternyata bisa menjadi kenyataan. Kapan? Yaitu ketika pandangan -pandangan yang bak mimpi itu diturunkan ke dalam kehidupan melalui kekuatan ideologi. Kita pun lalu menyaksikan seorang perempuan seperti Malala dan perempuan perempuan lain di negerinya yang diusir dari peradaban, dari ruang publik, atas nama (ideologi) Islamisme. Jadi pandangan mereka memang seperti utopia, namun berubah menjadi dering alarm yang terdengar sayup menuju nyaring dari ruang sebelah. # Lies Marcoes, 6 Desember 2020.

Angka Pernikahan Anak di Jateng Naik Jadi 8.338 Kasus

SEMARANG, KOMPAS.com – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah mencatat adanya peningkatan pernikahan anak di bawah umur. Pada tahun 2019 ada 2.049 pernikahan anak. Adapun hingga September 2020 jumlahnya meningkat sebanyak 8.338 kasus. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah Retno Sudewi mengungkapkan, meningkatnya kasus pernikahan anak ketika UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan disahkan. Sebab, batasan usia menikah bagi laki-laki dan perempuan harus 19 tahun. “Angkanya untuk Jawa Tengah terdapat 10,2 persen yang menikah pada usia anak. Ini banyak terjadi di Jepara, Pati, Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga,” jelasnya dalam diakusi webinar “Gerakan Bersama Jo Kawin Bocah: Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Jawa Tengah”, Rabu (18/11/2020). Baca juga: Cegah Pernikahan Dini di Mataram, Paslon Selly-Manan Akan Buat Balai Mediasi di Kelurahan Menurutnya, tingginya kasus pernikahan anak disebabkan karena faktor ekonomi atau kemiskinan, faktor sosial budaya masyarakat, pendidikan, dan hamil di luar nikah. “Dari hasil penelitian, anak perempuan dari keluarga yang berpenghasilan rendah lebih berpotensi menikah pada usia di bawah 18 tahun daripada keluarga yang berpenghasilan tinggi,” ujarnya. Karena beberapa faktor tadi, kata dia, Pemerintah Provinsi Jateng, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan gerakan masif agar penikahan anak di bawah umur bisa dicegah. “Di sini harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media,” katanya.

Sementara itu, aktivis anti perkawinan usia anak dari Yayasan Rumah Kita Bersama (Yayasan Rumah KitaB) Lies Marcoes Natsir mengatakan, upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur bisa dilakukan dengan berbagai cara. “Jawa Tengah punya modal sosial, politik, ekonomi yang bisa mencegah perwakinan anak. Berdirinya PKK di Indonesia juga diawali dari inspirasi Jawa Tengah saat itu. Dari segi keagamaan, Jawa Tengah juga memiliki pesantren dengan jumlah cukup banyak. Sementara untuk kekuatan ekonomi, industri banyaknya di Jawa Tengah. Ini modal besar sebenarnya,” ujarnya. Lies yang selama belasan tahun melakukan penelitian pernikahan usia anak di Jawa Tengah menilai ada korelasi antara hilangnya akses masyarakat terhadap lahan atau agrarian dengan jumlah perkawinan usia anak. Sehingga, perubahan politik ekonomi di pusat berpengaruh pada relasi gender. Menurutnya, banyak memiliki lembaga riset terbaik di Jateng yang mempunyai akses besar ke pusat. Hal itu bisa menempatkan Jateng menjadi tolok ukur pembangunan pencegahan perkawinan anak. “Harus ada lembaga pendidikan tingkat desa setingkat SMA. Harus ada lapangan kerja setelah anak-anak lulus SMA. Itu jalan keluar terbaik untuk mencegah perkawinan usia anak,” terangnya. Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret, Rahesli Humsona juga menyoroti fenomena tingginya angka pernikahan anak di Jawa Tengah. Menurutnya, pernikahan anak di bawah umur merupakan bentuk pelanggaran dari hak-hak anak, meski terdapat budaya masyarakat yang menempatkan kawin usia anak sebagai sebuah keharusan. “ Pernikahan anak adalah pelanggaran. Hak pendidikan anak menjadi hilang. Anak perempuan yang kawin tidak boleh sekolah. Ini membuat kesempatan berkreativitas juga terhambat. Ini juga memasukkan anak pada lingkaran kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis,” terangnya. Dia berpendapat, kondisi ekonomi masyarakat yang berada di garis kemiskinan, juga menyebabkan kontrol orangtua kepada anak-anak menjadi lebih sedikit. “Orangtua lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di bidang-bidang informal yang penghasilannya sedikit,” katanya. Selain itu, kata dia, penyebab lainnya adalah konsumsi video porno. “Ini akan meningkat pada situasi untuk mempraktikkan. Mereka yang malu akan mengajak pacarnya. Yang tidak punya pacar akan beralih ke prostitusi,” jelasnya. Dia menilai situasi pandemi juga turut mempengaruhi anak-anak lebih banyak mengonsumsi internet dengan alasan belajar daring. “Kondisi ini membuat anak-anak menjadi jenuh. Mereka ingin hiburan namun tidak bisa bebas keluar, sehingga konten porno di internet menjadi salah satu pelarian,” ungkapnya. Maka dari itu, dia mengingatkan para orangtua agar lebih sering mengawasi anak-anak saat mengonsumsi internet, sekalipun saat belajar daring. “Orangtua juga harus berani memanggil anak-anak mereka yang telah berpacaran, dan memberi pemahaman tentang pendidikan seksualitas yang benar,” pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Angka Pernikahan Anak di Jateng Naik Jadi 8.338 Kasus”, Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2020/11/21/17464361/angka-pernikahan-anak-di-jateng-naik-jadi-8338-kasus?page=all.
Penulis : Kontributor Semarang, Riska Farasonalia
Editor : Dony Aprian

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: 
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L