Politik Seks di Indonesia
Ketika negara menyatakan bahwa perkosaan anak merupakan kejahatan yang harus diselesaikan dengan hukuman kebiri (Mensos Khofifah), “tembak saja” (KPPPA Yohana); sementara cara melihat akar masalahnya “(anak) perempuan jangan jalan sendirian” (Bupati Rejang Lebong) dan “berantas minuman keras, narkoba, dan pornografi (KPAI- Ni’am), dan akhirnya lahir Perppu “Kekerasan Seksual terhadap Anak” berupa hukuman berat, seumur hidup, sampai hukuman mati, ditambah hukuman tambahan seperti pemasangan chip dan kebiri, sesungguhnya kita sungguh-sungguh berada dalam darurat kekerasan terhadap perempuan.
Dikatakan darurat karena praktis negara tak benar-benar hadir karena absennya pemahaman negara soal cara bekerja kekerasan berbasis prasangka gender, etnisitas, suku, ras, agama, aliran politik, yang manifestasinya bisa berupa kekerasan dan kejahatan seksual.
Tulisan pengantar ini membahas soal bagaimana kekerasan seksual seharusnya diletakkan dalam lanskap politik dan persepsi ketubuhan yang meletakkan hubungan-hubungan kuasa dan relasi sosial yang timpang antara (para) pelaku/komunitas/negara dan korban yang senantiasa terjadi di medan konflik, apapun bentuknya konflik itu. Pendekatan negara sebagaimana diusulkan para menteri, pimpinan daerah dan kelembagaan non-negara, seperti KPAI, memang populer. Tapi itu sungguh jauh dari inti persoalan, apa lagi penyelesaiannya.
Ketika perempuan dalam ancaman kekerasan seksual di ruang publik, dan hukum/negara tidak hadir menjalankan perannya untuk memberi perlindungan berdasarkan hak untuk bebas dari segala ancaman, jangan salahkan jika yang mengambil kesempatan adalah para pedagang asongan surga: “Perempuan balik ke rumah, tutup tubuh kalian.” Gagasan itu seolah menjadi penyelamat yang nyata, konkrit, mudah dicerna, meskipun sesat. Pandangan Wahabi berbau Taliban serupa itu bisa muncul subur bukan karena mereka aktif dan agresif, tapi karena kita membiarkannya mereka masuk dengan mengabaikan pemenuhan hak paling dasar = rasa aman!” ( LM, FB, 9 Mei 2016)
Ancaman kekerasan dan kejahatan seksual yang menyebabkan hilangnya rasa aman di negara merdeka, bagi saya merupakan suatu penanda bahwa negara lengah dalam melihat arena-arena konflik, baik konflik di ruang publik maupun di lingkup keluarga yang menjadi landasan terjadinya kekerasan seksual. Sebab kejahatan seksual, sebagaimana terekam dalam pengalaman sejarah modern, merupakan manifestasi dari situasi konflik yang terkait dengan rasa ketidakadilan menahun dan menyejarah dan sama sekali bukan semata-mata penyaluran hasrat biologis seksual.
Kekerasan seksual, dalam sejarah konflik merupakan “the last resort” dari ekspresi kekalahan dalam konflik yang kehilangan kepercayaan kepada hukum, namun tak sanggup mengatasinya secara ksatria, melainkan dengan cara-cara pengecut.
Ada dua hal yang diurai dalam makalah ini; dua aliran besar dalam isu seks dan seksualitas dan problem maskulinitas dalam budaya patriarki, dan penghukuman kepada pelaku kejahatan seksual sebagai manifestasi dari dua pandangan itu.
Konflik Politik Ketubuhan: Essensialism vs Social Construction
Hukum kebiri menunjukkan sesat pikir paling fundamental dalam melihat isu kejahatan seksual yang seolah-olah urusan penis ngaceng. Dodol betul.” (LM, FB 14 Mei 2016)
Reaksi saya di FB ini atas gagasan pemberian hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Nyatanya hukuman itu yang dipilih dan disetujui Jokowi dan telah ditandatangani sebagai Perppu, merupakan bukti keseriusan dan kemarahan negara atas praktik kejahatan kelamin ini.
Saya kira terlalu kejam untuk menyatakan bahwa Perppu ini menunjukkan pemerintah dihinggapi penyakit tidak percaya diri pada hukum yang ada, apalagi kalau sekadar untuk pencitraan. Hal yang menghawatirkan adalah jika negara benar-benar percaya bahwa pendekatan itu sebagai cara pandang dalam melihat isu ketubuhan dan seksualitas rakyatnya dan memaknai kekerasan seksual.
Dalam membincang isu seksualitas, kita berhadapan dengan dua teori besar: teori esensialisme (essensialism) yang berpendapat asal usul persoalan seks terletak pada kromosom, biological, fisikal yang berhadapan secara diametral dengan teori social construction bahwa (aktivitas) seks manusia, berbeda dari binatang, merupakan konstruksi sosial (pikiran, cara pandang, prilaku relasional) manusia dan membentuk konsep “seksualitas”, yaitu aktivitas yang berangkat dari cara berpikir, nilai-nilai, cara pandang, serta bagaimana manusia- lelaki dan perempuan diharapkan untuk bertingkah laku secara seksual. Dalam kata lain, seks (biologis) manusia membentuk seksualitas yang merupakan konstruk kebudayaan, pemikiran, agama, politik, dan konstruksi sosial tentang aktivitas seksual. Dua teori besar ini memiliki konsekuensi yang berbeda dan bahkan bertolak belakang dalam melihat soal kekerasan seksual.
Teori pertama, esensialisme meyakini bahwa (kejahatan) seksual bersumber dari bawaan kelamin (akibat kromosom, bentuk fisik, gen) yang merupakan bawaan dari lahir (given). Pendeknya, lelaki melakukan kekerasan seksual akibat (maaf) “anu”nya memang bawaanya “ngaceng”; sebaliknya, perempuan diperkosa karena dari sananya “anu”nya berlubang (maaf). Pandangan esensialis ini praktis dianut kelompok agama yang mendasari semua hukum fikihnya berbasis tubuh/kelamin.
Prilaku seks dalam pendekatan pertama digerakan oleh libido yang juga given dan sudah ada dalam tubuh manusia. Libido yang kuat/besar konon dimiliki oleh sang pemilik kromosom XY alias lelaki. Sebaliknya pada perempuan libido itu (seharusnya) kecil, tak berhasrat pada seks kecuali terjadi penyimpangan , misalnya, tidak bersunat, atau ada penyimangan kromosom.
Pandangan serupa ini juga berpengaruh cara mereka melihat identitas seksual serta orientasi seksual seseorang yang juga dianggap given. Identitas seks lelaki dan perempuan dalam pandangan esensialis adalah bawaan orok dan dengan begitu orientasinya harus juga ajek. Dalam pandangan kaum esensialis, orientasi seks yang given adalah heteroseksual dan secara sosial seharusnya membentuk heteronormativitas sebagai patokan nilai dan norma. Ketika seserang ternyata tak berorientasi seperti yang “seharusnya” (hetero), kelompok esensialis ini akan menghukumnya sebagai penyimpangan dari yang seharusnya atau menyandang abnormalitas. Orang-orang yang masih punya hati dalam dalam kelompok ini akan menawarkan terapi hormon untuk membentuk keseimbangan hormon yang seharunya agar orientasi seksnya kembali “normal”.
Teori ini dianut banyak kalangan, tak terkecuali para aktivis advokasi hak-hak kaum homoseksual, termasuk keluarganya yang menganggap bahwa ke-homo-an itu bukanlah “salah” mereka melainkan bawaan orok.
Dalam pandangan esensialis, kromosom XY, bentuk penis, ketubuhan lelaki secara alamiah membentuk “kelelakian” lelaki. Agar kelelakian itu digunakan secara benar, dibutuhkan panduan hidup, agama, yang mengajari tata cara kelelakian itu tegak dengan benar, bekerja dengan benar, dan diam secara benar.
Namun sebagai konsekwensi lanjutan dari cara berpikir itu, maka manakala terjadi tindakan perkosaan, itu sebetulnya merupakan manifestasi dari penyimpangan bekerjanya kelamin namun dianggap sebagai bawaan orok yang bersifat alamiah dan wajar.
Di sini muncul paradoks, kekerasan seksual dianggap kejahatan, namun di lain pihak itu dianggap tindakan wajar sebagai bawaan lahir yang kodrati. Dan ketika terjadi penyimpangan di mana lelaki mengumbar kejantaan dalam bentuk kejahatan seksual maka solusinya menjinakkan dan menghukum mati kemampuan kromosom dan penis itu; dari sanalah datangnya cara pandang hukuman kebiri itu.
Dalam waktu yang bersamaan, muncul gagasan bahwa maskulinitas/agresivitas ketubuhan lelaki diyakini bersifat alamiah/bawaan orok, maka cara untuk menghindarinya adalah dengan meminta perempuan sendiri yang harus membatasi diri dari tingkah laku yang mengundang hasrat seksual kejantanan lelaki.
Sementara teori kedua, social construction, berangkat dari keyakinan bahwa adalah benar manusia memiliki seks (biologis/kromosom dan seterusnya ), namun manusia bukanlah binatang yang ajek dalam “mengoperasionalkan” seksnya. Manusia adalah binatang berpikir yang antara lain kemudian berkreasi dengan pemikiran tentang seks (biologisnya/tubuhnya) membentuk seksualitas (bangunan imaginasi, pandangan, nilai baik buruk, kepantasan), yang kesemuanya adalah hasil olah pikir sebagai manusia.
Dalam pandangan ini seksualitas adalah sebuah konsep tentang bagaimana seks beroperasi. Pada tubuh lelaki ngaceng itu biologis, hasrat/instinktif , tapi bagaimana ngaceng itu dikelola, disalurkan, dinegosiasikan dalam tatanan sebuah masyarakat. Itu semua terkait dengan pemikiran, cara pandang, dan bagaimana hasrat itu dipersepsikan untuk bertingkah laku membentuk nilai seksualitas. Di sini lahir keragaman, tergantung pada nilai, cara pandang, cara pikir manusia tentang seksuaitas. Masuk ke dalam elemen yang mengkonstruksikannya adalah pandangan keagamaan, di luar politik, ekonomi dan relasi kelas sosialnya.
Dalam pandangan kedua ini, kekerasan seksual karenanya bukan terletak pada penisnya, melainkan bagaimana pemiliknya, agamanya, masyarakat di sekitarnya, negaranya, membangun pandangan soal seksualitas. Dan dalam masyarakat yang membangun konstruksi gender dan seksualitas yang melahirkan sifat, karakter, nilai, persepsi bahwa lelaki adalah maskulin, kuat, gagah, perkasa, macho, berani dan seterusnya, sebaliknya perempuan feminin, lemah, halus, nrimo dan seterusnya, maka seksualitas pun harus diekspreksikan dalam pandangan-pandangan serupa itu.
Jadi ini urusan perkosaan berjamaah bagaimana, tetep nih mau disate penisnya? (LM, FB)
Iya bagaimana itu, Mbak? Ini urusan kepala, urusan perspektif yang mendasar tentang (cara memandang) perempuan. Kok penis yang dikebiri ya! Penis kan implikasi urusan otak yang sangat misoginis. Jadi, ini urusan sesat pikir. Sebaiknya jangan ditularkan ke publik Indonesia. Nanti sesat pikir semua mereka. (Neng Dara, FB)
Mestinya, tak ada yang keliru dengan maskulinitas dan femininitas sebagai produk kebudayaan manusia sejak zaman purba. Maskulinitas dan femininitas ini nyatanya juga diterjemahkan dalam praktik sosial berbasis pandangan keagamaan – lelaki mendapat warisan lebih karena harus melindungi klannya/baninya, kawin sebagai akad kepemilikan buthi (kelamin) karena lelaki mencari nafkah dan seterusnya. Di era Wild-Wild West di mana maskulinitas membutuhkan wujud kejantanan seperti sifat pemberani dan macho, aka ekspresi kejantanan/maskulinitas, boleh jadi memiliki konteksnya. Namun dalam perkembangan peradaban, seksualitas pun ikut masuk sekolah. Lahir nilai-nilai kepantasan baru dan terus berkembang mendefinisikan kembali maskulinitas lelaki. Kekerasan seksual itu buruk, bukan tanda kegagahan, memperkosa itu bentuk penindasan yang menunjukkan adanya relasi timpang antara pelaku dan korban. Kekerasan seksual adalah bentuk penyerangan kepada intergritas perempuan dengan memanfaatkan kelamin sebagai sasaran penyerangan dan penaklukkan.
Dengan cara pandang serupa itu, penghukuman berupa pemasangan chip kepada pelaku kejahatan pedofilio atau hukuman kebiri dan hukuman mati bukanlah hukum yang tepat karena hukum serupa itu mengabaikan seluruh fakta bahwa seksualitas bukan soal tubuh biologis, melainkan soal kontsruksi maskulinitas sesat yang dikultuskan.
Kutuk Maskulintas dan Ketidakhadiran Negara
Dunia yang patriarkis adalah penjara abadi bagi para lelaki.
Betapa berat menjadi seorang lelaki: menangis saja tabu. Kalah itu memalukan. Menganggur dan mengurus rumah tangga, itu akhir zaman. Ditolak cinta oleh perempuan? Alangkah nista. (Baginya) Perempuan itu layak diberi pelajaran yang takkan pernah sanggup ia lupakan! Tindak kekerasan seksual adalah “the last resort” yang diakomodasi oleh sebuah budaya dan sebuah sistem (maskulinitas patriakh) yang mampu menghancurkan generasi demi generasi. Senjata makan tuan! (Jane Ardaneshwari, FB, 18 Mei 2016).
Siti Maimunah dari Sajogyo Intsitute menggambarkan dengan sangat jernih tentang kasus YY dalam konteks kemiskinan yang menyejarah di Rejang Lebong. Intinya adalah, para lelaki dan anak lelaki luar biasa didera untuk tetap tegar sebagai maskulin dalam lanskap politik ekonomi yang mengekspoitasi ruang hidup mereka habis-habisan sejak zaman Kolonial ketika buruh perkebunan dihadirkan hingga kini ketika tanah-tanah dikupas, digali, dan diekploitasi untuk industri ekstraktif. Dalam situasi ekonomi yang berubah namun tata nilai yang terjadi justru makin ketat/konservatif sebagai mekanisme pertahanan sebagaimana dikemukakan Geertz dalam involusi pertanian/kebudayaan, para lelaki muda harus menunjukkan kejantanan mereka tanpa ada peluang untuk menunjukkan kejantanan sejati mereka akibat kemiskinan akut, tanpa pendidikan, tanpa hukum.
Kekerasan seksual berupa perkosaan atau perkosaan berjamaah dalam sejarah Indonesia merupakan mekanisme pengecut yang juga dilakukan negara atau badan non negara seperti dalam sejarah konflik-konflik di Indonesia. Dalam PRRI, DOM, Mei 98, atau dalam konflik perebutan tanah kekerasan seksual dan perkosaan merupakan mekanisme yang digunakan untuk penaklukkan dan penghancuran mental lawan negara.
Walhasil kita kini berada dalam situasi darurat ketika negara alhirnya pasrah pada bentuk penghukuman yang mungkin poluler namun sesngguhnya terjerembab kedalam rezim seks biologis akut.
Dengan ditandatanganinya Perppu kebiri kimia hari ini oleh Presiden menandakan bahwa, kekerasan seksual tidak dilihat sebagai konsep penyerangan atas tubuh manusia melalui tindakan seksual, melainkan semata-mata soal libido–yang sebetulnya adalah mitos belaka. Kedua, kekerasan seksual tidak dilihat sebagai diskriminasi gender atau kekerasan berbasis gender, sebab hanya reaksi atas serangan seksual pada anak-anak, yang padahal kekerasan berbasis gender rentan terjadi pada anak-anak perempuan, selain itu tidak adanya perhatian pada perempuan dewasa menunjukkan bahwa persepsi atas kejahatan kemanusiaan ini hanya berlaku pada anak-anak. Ketiga, suntik kebiri sebetulnya adalah terapi yang menjadi bentuk rehabilitasi, bukan efek jera. Keempat, sejumlah ilmuwan dan lembaga negara hak asasi manusia diabaikan ketika memiliki analisis khusus tentang perspekitf kejahatan kemanusiaan bahwa kebiri bukan peraturan yang tepat, justru terjebak pada salah kaprah atas kasus kekerasan seksual. Terakhir, revolusi mental dalam program Nawacita tidak memiliki konsep yang jelas, sebab aturan kebiri justru tidak mengubah mental pelaku sebab dipikirnya hanya soal kelamin saja. Revolusi mental tidak tampak pada kebijakan yang tak menggunakan logika. Semakin tenggelam dan presiden dan kabinetnya masih terbata-bata dalam menerjemahkannya ke dalam aturan dan program. Semua hanya diputuskan berdasarkan suara terbanyak yang sangat konvensional–jauh dari makna revolusi. Jauh dari makna pembaruan. Sayang sekali. (Mariana Amruddin, FB, 25 Mei 2016).
Kekecewaan sebagaimana dikemukakan aktivis perempuan Mariana Amruddin niscaya tak berlebihan. Bagi saya, hukuman tubuh, hukuman mati, dan kebiri untuk kejahatan seksual hanya pantas terjadi dalam negara yang pasrah dan kehilangan akal atas terjadinya ketidakadilan; negara tak sanggup mengatasi situasi kemiskinan akut, pendidikan buruk, agama yang kehilangan inti ajarannya, penegakan keadilan kendor, keluarga kocar kacir akibat sistem sosial yang morat marit, ikatan-ikatan keluarga hancur oleh perubahan perubahan sosial ekologis yang dahsyat, dan kegagalan dalam memaknai maskulinitas sejati. []
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!