Luka Tak Terlihat: Potret Trauma Korban Kekerasan Seksual

Pada dasarnya, kekerasan seksual bukan hanya pelanggaran terhadap integritas fisik, tetapi juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap martabat dan hak asasi manusia seseorang. Peristiwa traumatis ini dapat mencabut rasa aman paling mendasar yang dimiliki seseorang terhadap tubuh dan ruang pribadinya. Dalam kasus kekerasan seksual, korban tidak hanya mengalami penderitaan sesaat, tetapi juga mengalami trauma psikologis jangka panjang yang dapat mengganggu fungsi hidup secara keseluruhan.

Rasa takut yang tak kunjung usai, perasaan malu yang melekat, serta perasaan tak berdaya menjadi beban harian yang tak mudah diangkat begitu saja. UU TPKS secara tegas menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah pelanggaran terhadap hak atas rasa aman, bebas dari penyiksaan, serta penghormatan terhadap tubuh seseorang (Pasal 4). Undang-undang ini hadir sebagai bentuk pengakuan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dampaknya tidak hanya kasat mata, tetapi juga menyentuh kedalaman psikologis dan sosial korban.

Mengapa Banyak Korban Memilih Diam?

Fenomena diam para korban kekerasan seksual merupakan refleksi dari kondisi sosial yang belum aman dan belum berpihak. Ketika seorang korban memilih untuk tidak melaporkan kasusnya, hal ini bukan semata karena kurangnya keberanian, melainkan karena ia terjebak dalam lingkungan yang cenderung menyalahkan korban (victim blaming), meremehkan pengalaman korban, bahkan menormalisasi perilaku pelaku. Ketakutan terhadap stigma, kehilangan pekerjaan, rusaknya relasi sosial, hingga rasa trauma saat menghadapi proses hukum semuanya menjadi alasan mengapa banyak korban memilih menyimpan luka dalam diam.

UU TPKS menegaskan bahwa korban memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, termasuk perlindungan identitas, perlindungan dari ancaman atau intimidasi, serta hak untuk tidak disalahkan atas kejadian yang dialaminya (Pasal 67-70). Namun dalam praktiknya, banyak korban merasa bahwa aparat penegak hukum belum sepenuhnya mampu menerjemahkan semangat perlindungan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk mendorong sosialisasi hukum yang lebih luas, serta pelatihan empatik bagi para penegak hukum agar lebih sensitif terhadap pengalaman korban.

Dampak Psikologis yang Panjang dan Kompleks

Trauma yang dialami korban kekerasan seksual tidak mengenal batas waktu. Banyak korban yang mengalami gangguan psikologis jangka panjang seperti gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi berat, kecemasan kronis, serta keinginan bunuh diri. Trauma ini sering kali tidak hanya merusak relasi korban dengan dunia luar, tetapi juga mengikis rasa percaya diri dan martabat diri korban. Dalam jangka panjang, dampaknya dapat meluas pada aspek sosial, pendidikan, dan ekonomi korban.

UU TPKS mengakomodasi aspek pemulihan korban secara menyeluruh, melalui layanan pendampingan psikologis, layanan rehabilitasi, serta layanan bantuan hukum dan sosial (Pasal 71-75). Namun implementasinya masih menghadapi banyak tantangan, seperti keterbatasan fasilitas layanan korban, kurangnya psikolog forensik yang terlatih, serta minimnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya pemulihan psiko-sosial pasca kejadian.

Membangun Ruang Aman dan Pemulihan

Salah satu langkah krusial dalam penanganan kekerasan seksual adalah menciptakan ruang aman bagi para penyintas untuk bicara, pulih, dan melanjutkan hidup tanpa takut dikucilkan. Ruang aman ini tidak hanya mencakup tempat fisik seperti rumah aman atau ruang konseling, tetapi juga mencakup ruang sosial, hukum, dan kultural yang bebas dari intimidasi, stigma, dan diskriminasi.

Dalam ruang aman tersebut, korban berhak untuk memulihkan identitas dirinya tanpa tekanan, serta berhak untuk menentukan sendiri proses penyembuhan yang paling sesuai. Dalam UU TPKS, pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di setiap daerah menjadi langkah strategis untuk menghadirkan layanan yang terjangkau dan terintegrasi.

UPTD PPA ini bertugas memberikan layanan rujukan, pemulihan psikologis, hukum, dan sosial, serta memastikan korban berada dalam sistem perlindungan yang aman. Sayangnya, tidak semua daerah memiliki kapasitas dan komitmen yang sama dalam menjalankan mandat ini, sehingga masih banyak korban yang kehilangan akses terhadap ruang aman dan pemulihan yang layak.

Menolak Lupa, Merawat Suara Korban

Merawat suara korban bukanlah tindakan belas kasihan, melainkan bentuk pengakuan bahwa mereka adalah subjek hukum yang memiliki hak untuk didengarkan dan dipulihkan. Setiap suara korban adalah saksi atas sistem yang gagal melindungi mereka.

Oleh karena itu, menyuarakan pengalaman korban bukanlah membuka luka lama, tetapi bagian dari upaya transformatif untuk mendorong keadilan dan perubahan sosial. UU TPKS mengandung prinsip non-diskriminasi dan penghormatan atas martabat korban sebagai bagian dari pemulihan keadilan.

Prinsip ini menegaskan bahwa negara, masyarakat, dan institusi hukum wajib hadir dalam semangat pemulihan, bukan hanya dalam penegakan pidana. Oleh karena itu, pendidikan masyarakat, reformasi budaya hukum, serta peningkatan kapasitas pendamping korban harus menjadi bagian integral dari upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual secara komprehensif.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses