Qurban, Korban dan Haji

DENGAN dimulainya kehidupan manusia, mulai tumbuhnya akal manusia, dan ketidakmampuan manusia untuk memahami norma-norma yang terbentang luas di cakrawala, manusia dikuasai oleh rasa takut kepada alam, sehingga ia berusaha menenangkannya dengan mengorbankan sesama manusia sebagai qurban (persembahan). Dan dengan lahirnya peradaban manusia enam ribu tahun yang lalu, polusi perang mulai menginfeksi, yang membutuhkan qurban-qurban manusia dalam jumlah besar yang tak dapat dihitung dan tak dapat ditulis dengan tinta, untuk memuaskan rasa lapar dewa-dewa perang baru.

Kemudian datanglah perintah Ilahi kepada Ibrahim as. untuk menyembelih putranya. Dan ketika ia mematuhi perintah itu, Allah menurunkan tebusan untuknya, sebagai petunjuk bahwa harta paling berharga dan terbesar yang harus dijaga dan dilindungi adalah manusia itu sendiri.

Di belahan dunia lain, ratusan tahun yang lalu, pada dini hari, kerumunan besar orang berkumpul di sekitar kuil di kota Tenochtitlan, ibu kota Kekaisaran Aztec. Di kaki kuil terbaring seorang pemuda tampan bertubuh kuat, yang ditangkap oleh beberapa pendeta dan diikat dengan tali. Harum dupa menyeruap dan nyanyian religius menggema. Pendeta Kepala maju, ia mengenakan pakaian mewah dengan warna cerah, dan di tangannya tergenggam belati berbilah sangat tajam. Ia membaca beberapa doa. Segera setelah itu ia menancapkan ujung belati ke dada pemuda malang itu yang membuatnya menjerit kesakitan akibat teror kematian.

Kemudian sang pendeta mengeluarkan jantung yang masih berdetak dari dada sang pemuda, dan memperlihatkannya di hadapan para hadirin yang gembira menyaksikan adegan ini. Tubuh sang pemuda jatuh ke tangga kuil, darahnya yang merah cerah memercik membasahi tanah. Dan pada saat yang sama, senyum kepuasan tersungging di wajah para pendeta yang berhasil melaksanakan tugas suci!

Ritual ini adalah pemandangan rutin tahunan peradaban Aztec di Amerika Tengah, di ibukota Tenochtitlan, yang saat ini telah menjadi New Mexico, setelah bangsa Spanyol menghancurkan peradabannya, menghilangkan jejak terakhirnya dan menguburnya di tanah dengan cara mempersembahkan qurban lain; menghapus peradaban qurban lama dengan mempersembahkan qurban-qurban perang baru.

Demikianlah peradaban qurban lama bertemu dengan peradaban qurban baru; yang pertama dilakukan oleh para pendeta dengan mengorbankan seorang pemuda tampan dan kuat, dan yang kedua dilakukan dengan mengorbankan satu bangsa secara keseluruhan di atas altar sejarah baru. Qurban baru (satu bangsa) dipersembahkan sebagai dalih untuk menghapus peradaban qurban lama (satu orang manusia).

Kerancuan antara (pengorbanan satu manusia) dan (pengorbanan satu bangsa) ini memerlukan penjelasan, melalui peristiwa agung Nabi Ibrahim as. dan putranya, Ismail as., yang buahnya adalah tidak ada lagi pengorbanan manusia setelah itu. “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis[nya], [nyatalah kesabaran keduanya]. Dan Kami panggillah ia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar,” [Q.S. al-Shaffat: 103 – 107].

Will Durant, sejarawan Amerika, di dalam buku “The Story of Civilization”, mengatakan bahwa tradisi mengorbankan manusia telah diadopsi oleh manusia di hampir semua bangsa. Di pulau Carolina, Teluk Meksiko, ditemukan sebuah patung logam dewa kuno berongga besar. Di dalamnya terdapat sisa-sisa manusia yang dipastikan mati dengan cara dibakar sebagai persembahan kepadanya. Juga, orang-orang Fenisia, Kartago, dan bangsa Semit dari waktu ke waktu mempersembahkan qurban-qurban manusia kepada dewa yang disebut Malakh.

Namun, sejarah juga mencatat bagaimana sikap Umar ibn al-Khaththab ra. selama masa penaklukan Mesir, dengan tradisi masyarakat setempat yang melemparkan seorang gadis hidup-hidup setiap tahun ke sungai Nil sebagai persembahan kepadanya. Dengan cara ini mereka mengharapkan tanah Mesir menjadi subur. Ketika Umar mengetahui apa yang mereka lakukan, ia mengirimi mereka surat dan meminta mereka untuk membuangnya ke sungai Nil, dan isinya sebagai berikut: “Dari hamba Allah, Umar ibn al-Khaththab, Amirul Mukminin, kepada sungai Nil Mesir. Wahai sungai Nil, jika kamu mengalir dengan aturan Allah, maka mengalirlah seperti biasa kamu mengalir. Tetapi jika kamu mengalir dengan aturan setan, maka kami tidak membutuhkan aliranmu.” Pada tahun itu seorang gadis diselamatkan dari kematian. Dan tradisi ini pun dihapuskan sejak Islam masuk ke tanah Mesir.

Mungkin sumber gagasan “qurban” adalah ketakutan kepada alam menurut manusia primitif, yang tidak mampu menjelaskan fenomena kosmik sehingga membuat mereka takut. Durant menjelaskan, bahwa munculnya ketakutan, terutama ketakutan kepada kematian, dikarenakan kehidupan manusia primitif yang dikelilingi oleh ratusan bahaya, dan kematian pada mereka jarang terjadi karena penuaan alami. Sebelum penuaan dimulai pada tubuh, banyak manusia primitif terbunuh karena serangan yang kejam. Oleh karena itu, manusia primitif tidak percaya bahwa kematian adalah fenomena alam, dan mereka cenderung mengaitkannya dengan tindakan makhluk gaib.

Di antara problem mentalitas dan pikiran manusia primitif adalah bahwa menyembelih manusia dan memercikkan darahnya ke tanah pada saat menabur benih akan membuat panen lebih baik. Karena itu, fenomena pengorbanan manusia terjadi berulang-ulang di dalam sejarah sebagai upaya menemukan jawaban untuk memahami alam, atau untuk memecahkan masalah yang sangat besar. Di sinilah benih-benih perang muncul sebagai penyakit kromosom yang menyertai lahirnya peradaban manusia.

Ada dua pembenaran dalam mengorbankan manusia: pertama, seperti disebutkan di atas, takut kepada alam dan berusaha menenangkannya. Kedua, memakannya, yang jamak dikenal dengan “kanibalisme”. Fenomena ini ada pada beberapa sisa suku kuno yang diakui sejarah modern, sebuah fakta yang sulit kita bayangkan, tetapi merupakan fakta yang tercatat! Namun, fenomena perang telah menghadirkan pengorbanan jenis baru yang lebih besar dan menakutkan, dan itu adalah sekresi pembentukan negara dan pertumbuhan peradaban pada awal sejarah manusia; negara muncul di atas kekerasan, tetapi menurut garis yang dibangunnya, ia terinfeksi oleh kekerasan yang sama, tetapi dalam bentuk lain.

Pada saat negara mampu menjamin keamanan internalnya, ia mengubah kekerasan ke tingkat benturan dengan negara lain, dan kekerasan yang dikendalikan di dalam satu negara ini tetap bersembunyi di bawah tanah, sampai meledak dengan cara yang paling mengerikan dalam kerangka perang saudara, seperti perang saudara Amerika, Spanyol, dan Rusia, atau Afghanistan, atau seperti yang kita lihat di Rwanda, di mana 800.000 orang terhapus dari peta kehidupan hanya dalam beberapa minggu, atau dalam catatan tragis di Bosnia. Kemudian, di bawah rezim Assad dan lain sebagainya di Timur Tengah, dua juta orang tewas, empat juta orang ditangkap, ratusan ribu orang dihabisi di kamp-kamp tahanan, dan hampir setengah populasi meninggalkan negeri asal mereka dalam pesta teror kolektif.

Penebusan Ismail dan disyariatkannya qurban adalah deklarasi implisit perdamaian dunia. Allah tidak akan pernah memakan daging dan meminum darah qurban. Allah hanya menerima ketulusan niat dan ketakwaan, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai [keridhaan] Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya,” [Q.S. al-Hajj: 37].

Fenomena ibadah haji adalah puncak perdamaian dalam masyarakat manusia. Tidak ada satu kota pun di muka bumi kecuali ada satu orang atau beberapa orang yang datang ke Makkah untuk mengunjungi Ka’bah dengan berbagai cara. Seorang Muslim bertemu dengan saudara-saudaranya sesama Muslim dari berbagai ras, suku, bangsa dan negara. Haji adalah pertemuan kosmik terbesar, dan karena itu sangat relevan dengan pesan global, yang salah satu pesan terpentingnya adalah deklarasi perdamaian dunia.

Banyak umat Muslim yang ingin melaksanakan ibadah haji tidak memahami makna besar ini. Padahal mereka harus mencapai tujuan mereka beribadah haji dengan memahami maknanya yang sangat agung, yang dapat mereka jadikan sebagai sumber pengisian spiritual tahunan seluruh dunia Islam dan dunia pada umumnya.

Kita harus tahu bahwa haji ada sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw., yaitu dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. yang memulainya empat ribu tahun yang lalu. Bahkan al-Qur`an menunjukkan bahwa Ka’bah adalah rumah pertama yang didirikan untuk manusia. Keberadaannya sudah lama, dan itu disebut “haram”, yaitu dilarang membunuh manusia di dalamnya.

Untuk memastikan tujuan haji ini, Islam mengatur kesucian “bulan-bulan haram”. Karena sebelumnya, orang-orang menculik orang-orang di sekitar mereka. Dan Ka’bah adalah tempat pertama dalam upaya menggeneralisasikan pesan perdamaian kepada seluruh umat manusia, untuk mengubah dunia menjadi danau keamanan dan kebahagiaan. Upaya ini berhasil dan bertahan selama ribuan tahun dengan misi utama mengisi seluruh dunia dengan semangat perdamaian agar berhenti mengorbankan manusia dan menjadikannya persembahan untuk segala bentuk ilusi kekuatan tuhan-tuhan palsu dan berhala-berhala palsu.

Makna yang sangat agung ini dibutuhkan oleh dunia saat ini, khususnya dunia Islam, yang dipenuhi dengan perang-perang saudara dan antarnegara yang tersirat dan tersurat di mana-mana. Di dunia saat ini kita perlu mendeklarasikan piagam keamanan dan jaminan sosial bagi setiap manusia, apakah ia penguasa atau rakyat, untuk melestarikan dialog di dalam kehidupan sosial.

Kisah qurban yang terdapat di dalam al-Qur`an di tengah-tengah amukan konflik dan perang antarmanusia, merupakan hal yang luar biasa, karena mengingatkan pada masalah pengorbanan manusia dan penyebab-penyebab konflik antarmanusia dan akibat-akibat tragisnya.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.