‘Demi Anak’: Alasan Klasik Perempuan Bertahan dalam KDRT
Sedih rasanya, ketika melihat ratusan ribu data yang selalu dirilis oleh Komisi Nasional Perempuan terkait data kekerasan berbasis gender setiap tahun. Salah satu jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan Indonesia, dan seperti rantai yang mematikan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada tahun 2024, Komnas Perempuan mencatat 3.440 kasus KDRT yang terverifikasi dari total 4.178 pengaduan.
Sementara itu, DPR RI mencatat total 28.789 kasus kekerasan, dengan mayoritas korban adalah perempuan, yaitu 24.973 kasus. Jumlah ini menunjukkan bahwa, perempuan tidak memiliki ruang aman dalam rumah. Perannya sebagai istri, bisa dikatakan sebagai peran yang berpotensi cukup buruk dan memiliki ancaman menjadi korban KDRT. Perlu diketahui juga bahwa, KDRT tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik, seperti dipukul, ditendang, ataupun melukai fisik lainnya.
Ada beberapa jenis KDRT yang tidak disadari oleh kita di antaranya: kekerasan psikologis, kekerasan seksual, penelantaran rumah tangga, ataupun kekerasan finansial.
Di antara ribuan data yang setiap tahun dirilis oleh Komnas Perempuan, kita bisa dengan tegas mengatakan bahwa angka tersebut bisa berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi di lapangan. Dalam kata lain, data tersebut seperti gunung es, di mana fakta di lapangan lebih banyak. Hal ini karena, tidak sedikit perempuan yang menyembunyikan kasus KDRT yang dialaminya dengan alasan takut dianggap mengumbar aib suami.
Dogma agama, yang selama ini diterima oleh perempuan sebagai istri, harus patuh terhadap suami sehingga tidak diperbolehkan mengumbar aib suami. Peristiwa KDRT adalah perilaku yang memalukan, apabila istri mengungkapkan kasus tersebut ke publik, istri dianggap durhaka dan membangkang terhadap otoritas suami yang selama ini diproduksi oleh pemuka agama.
Dogma agama hidup di antara fatwa kiai, tokoh agama ataupun influencer agama yang selalu diberikan kepada para anak muda yang belum menikah agar bisa menjalankan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Namun, sejauh ini jarang sekali kita mendengar ceramah-ceramah agama yang mengingatkan untuk tidak boleh memukul istri, menjadi suami yang bertanggung jawab dan hanya setia terhadap satu pasangan.
Jika sudah terjadi KDRT, mengapa istri tidak langsung memilih berpisah dengan suami?
Salah satu alasan mengapa perempuan memutuskan untuk tidak bercerai sekali pun dia sudah babak belur, menderita secara fisik dan psikis, adalah tidak mau anaknya mengalami broken home. Kondisi tersebut adalah keadaan keluarga yang tidak utuh, bisa jadi karena perceraian, perpisahan orang tua ataupun hilangnya salah satu orang tua. Kondisi hilang tersebut tidak terbatas pada hilang secara fisik, bisa juga karena peran atau kondisi keluarga yang disfungsional.
Padahal, kondisi broken home tidak hanya terjadi pada anak yang orang tuanya berpisah, bisa jadi seorang anak akan mengalami broken home karena sering melihat ibunya dipukul, ditelantarkan, dicaci maki ataupun menyaksikan orang tuanya bertengkar. Kondisi ini akan menciptakan trauma kepada anak yang sangat panjang. Tidak berfungsinya keluarga kepada anak, akan menambah luka sepanjang hidup sehingga hidup dalam trauma.
Keputusan bertahan dalam hubungan yang toxic karena KDRT ibarat mencuci piring yang pecah. Sekali pun piring tersebut sudah bersih, namun tangan kita akan terluka dan berdarah, dan siklus tersebut akan sangat lama. Memilih untuk berpisah/bercerai dengan pasangan pondasinya ‘demi anak’. Anak-anak berhak tumbuh dengan lingkungan yang aman tanpa kekerasan.
Bisa jadi, seseorang tidak baik menjadi pasangan (suami/istri), tetapi ketika menjadi oang tua, sangat bisa menjalankan peran tersebut. Kondisi orang tua yang bercerai, tidak selalu menjadikan anak hidup dalam keadaan broken home. Bisa jadi, pasca perceraian dilakukan oleh orang tua, seorang anak justru hidup dalam kasih sayang yang berkelimpahan dari bapak dan ibunya.
Dalam konteks agama, perceraian tidaklah haram. Hanya saja, Tuhan tidak menyukainya. Namun, jika perceraian akan mengantarkan kehidupan seseorang (anak) lebih baik dan masa depannya lebih cemerlang, pilihan tersebut harus kita lakukan untuk memberikan jaminan keamanan kepada sosok amanah (red:anak) yang diberikan oleh Tuhan. Bukankah pilihan itu lebih baik dibandingkan dengan menemani anak tumbuh dalam lingkungan kekerasan? Wallahu A’lam.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!