Memahami Persetujuan Korban
Dalam kejahatan-kejahatan yang secara nyata pelaku, baik pribadi maupun kolektif, memiliki dan menggunakan kekuatannya, ”consent” tak dibutuhkan. Namun, ”consent” harus dihadirkan dalam relasi-relasi abu-abu
Persetujuan korban (consent) dalam praktiknya berspektrum luas. Hal itu terpetakan dengan jelas dalam diskusi dengan Sri Widyanti Eddyono, ahli hukum dengan perspektif feminis.
Dalam kasus tertentu consent bahkan tak dibutuhkan. Namun, dalam kasus lain dibutuhkan agar menghasilkan penilaian obyektif bagi para pihak yang bersengketa dalam kasus kekerasan seksual.
Penilaian adil
Consent bisa menghasilkan penilaian yang adil bagi seseorang yang disangkakan pelaku atau yang mengaku jadi korban dalam relasi yang gampang terperosok dalam penilaian suka sama suka.
Consent membantu menjelaskan adanya relasi tak setara/tak kentara yang berpengaruh pada ”keputusan” seseorang untuk menerima perlakuan tak senonoh dari pelaku dalam tindakan yang mengarah ke hubungan seksual atau pemaksaan hubungan seksual. Consent juga menerang-jelaskan adanya struktur sosial/politik yang membuat korban tunduk.
Consent juga menerang-jelaskan adanya struktur sosial/politik yang membuat korban tunduk. Dengan demikian, consent dibutuhkan untuk menelisik secara teliti terjadinya kekerasan/kejahatan seksual. Dalam sejumlah kasus di luar isu kekerasan seksual di kampus, consent bisa dibedah dengan contoh berikut guna memperlihatkan spektrumnya yang luas.
Runtuhnya Yugoslavia tahun 1991 memunculkan perang etnis Bosnia dan Serbia. Maret 1992, Bosnia bersama wilayah-wilayah bekas Yugoslavia lain menyatakan kemerdekaan melalui referendum. PBB mengakui kemerdekaan mereka, tapi Serbia menolak.
Dengan kekuatan plus sejarah panjang kebencian etnis, suku, dan agama, Serbia terus menyerang Bosnia. Selama perang Bosnia 1992-1995 terjadi pembantaian warga sipil dan kekerasan seksual pada kaum perempuan dan anak-anak. PBB kemudian turun tangan dan dengan bantuan masyarakat internasional tercapai kesepakatan damai pada 1995.
Namun, bagaimana dengan korban perang di kalangan sipil? Dalam kasus kekerasan seksual, PBB tidak membutuhkan consent korban. Kejahatan Serbia sudah terlalu jelas. Penguasa militer Serbia dihukum sebagai pelaku kejahatan perang dan kejahatan seksual.
Hal serupa berlaku dalam kasus kekerasan dalam konflik di Aceh. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tak membutuhkan consent korban dalam kekerasan seksual. Namun, kesaksian kaum perempuan dikumpulkan untuk memperlihatkan dimensi jender yang menggambarkan perbedaan pengalaman, situasi, peristiwa, kondisi yang memaksa, dampak, dan akibat antara lelaki dan perempuan yang terlibat dalam konflik dan menempatkan warga Aceh sebagai korban.
Namun, laporan KKR tahun 2021 sebagaimana disampaikan Komnas Perempuan dianggap lebih fokus kepada korban politik dan eks kombatan (lelaki) dengan mengabaikan penderitaan kaum sipil dan perempuan, terutama dalam kekerasan yang memaksa mereka ”menerima” perlakuan kekerasan seksual.
Jadi, consent dalam konflik Aceh tak dibutuhkan, tetapi untuk pembuktian adanya kejahatan seksual, kesaksian perempuan telah dikumpulkan dan sebagian dihadirkan dalam KKR meski hasil akhirnya tidak memuaskan pihak korban.
Reynhard Sinaga, mahasiswa Indonesia di Inggris, beberapa tahun lalu terbukti melakukan hubungan seks secara paksa kepada lelaki lain yang dibuatnya pingsan oleh minuman racikannya. Setidaknya polisi mengidentifikasi 48 pemuda yang mengakui menjadi korban dan diperkirakan 159 orang—melalui proses konseling—menjadi korban lainnya.
Meskipun sama-sama dewasa, dan korban masuk ke apartemen Sinaga secara sukarela karena diajak singgah, consent korban tak dibutuhkan. Bahwa sebagian besar korban bungkam, tak melapor karena trauma dan tak punya bukti, itu tak bisa membatalkan tuntutan atas kejahatannya.
Di wilayah timur, di sebuah lingkungan gereja, ada warga kehilangan anak-anak gadis mereka. Pemimpin gereja berulang kali meyakinkan jemaat, mereka telah pamit merantau. Anehnya mereka tak pernah menelepon kepada keluarganya. Ini sudah beberapa tahun dan yang ”pamit” bertambah.Beberapa perempuan lain akhirnya buka mulut atas kebejatan moral sang pemimpin gereja.
Warga bertanya-tanya. Namun, ia pemimpin agama mereka. Lalu seorang perempuan membuka mulut, dirinya pernah dibujuk, dirayu, diminta pertolongannya agar mau menuruti kebutuhan birahinya.
Sang anggota jemaat merasa kasihan, ia tak berkutik, dan tak hanya sekali. Sang pemimpin gereja menjanjikan keselamatan dunia dan akhirat. Pengakuan itu dipicu oleh laporan sang ayah yang kehilangan si gadis ke polisi.
Melalui pemeriksaan intensif, polisi membuktikan ada kejahatan seksual, bahkan kuburan korban ditemukan. Beberapa perempuan lain akhirnya buka mulut atas kebejatan moral sang pemimpin gereja.
Pada kasus ini, persetujuan korban atau consent korban atas hubungan seks dengan pelaku tak dibutuhkan meski hubungan itu dilakukan lebih dari sekali. Pertama, korban telah wafat. Kedua, pada korban yang masih hidup terbukti karena pelaku memanfaatkan posisi rentan korban dan atau sebaliknya pelaku memanfaatkan otoritas yang dimilikinya.
Di Jawa Timur, sejumlah santri putri usia remaja dalam rentang sekolah tingkat tsanawiyah sampai aliyah dalam tahun yang berbeda-beda buka suara kepada keluarga. Keluarga kemudian mengadukan kepada polisi. Anak-anak itu mengalami pelecehan seksual (bahkan penetrasi seksual) oleh seorang lelaki dewasa dalam posisi sebagai gus/anak kiai, guru mereka, jagoan di lingkungannya.
Sejauh ini perkara masih mengambang. Saksi-saksi korban dan keluarga mengaku mengalami intimidasi. Kasus mulai diarahkan kepada perbuatan ”suka sama suka” berdasarkan consent para korban dalam tafsir polisi.
”Consent” dalam tafsir polisi
Bagaimana menggunakan konsep consent dalam kasus seperti ini? Polisi seharusnya melihat apakah ada posisi sosial, umur, kekuasaan, pengaruh, otoritas yang dimiliki dan dimanfaatkan pelaku dalam aksinya? Jika benar suka sama suka, apakah izin/kesediaan (consent) korban terbukti tidak ada unsur keterpaksaan?
Apakah dapat dibuktikan relasi itu bebas dari perasaan sungkan untuk menolak anak kiai, bebas dari perasaan takut untuk menyatakan tidak mau, bebas dari perasaan kasihan karena sang gus mengiba-iba minta pembuktian cintanya atau pelaku menawarkan iming- iming material? Apakah sang perempuan juga terbebas dari ancaman akan adanya penyebaran percakapan (chat) yang dapat mempermalukan diri dan keluarganya?
Consent dalam kasus ini seharusnya tak dibutuhkan karena terjadi pada anak-anak di bawah umur. Namun, kalaupun diperlukan dengan alasan sang perempuan sudah cukup umur, polisi harus mampu memastikan bahwa dalam kejadian itu tidak terdapat kerentanan, ancaman paksa, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan sang korban hingga seolah-olah pelaku telah mendapatkan persetujuannya.
Dalam kekerasan di lembaga-lembaga di mana kedua pihak sudah dewasa, seperti di kampus, di tempat kerja, consent sangat dibutuhkan, baik untuk melindungi korban maupun mereka yang dianggap pelaku. Dalam menimbang consent ini, hal yang harus diperhatikan adalah siapa yang dianggap memiliki otoritas?
Tolok ukurnya bisa dirinci dengan menerjemahkan ”kekuasaan” dan ”otoritas” yang dimiliki pelaku yang menyebabkan korban terpaksa masuk ke dalam lorong ”sukarela”, padahal maknanya ”tak berkutik”.
Dalam kejahatan-kejahatan yang secara nyata pelaku, baik pribadi maupun kolektif, memiliki dan menggunakan kekuatannya, consent tak dibutuhkan. Namun, consent harus dihadirkan dalam relasi-relasi abu-abu agar pelaku dan korban mendapatkan keadilannya.
Dalam menghadirkan consent korban, sangatlah penting untuk menghitung dan menimbang struktur-struktur sosial, politik yang mungkin tak kentara, tetapi secara nyata berpengaruh pada kerentanan korban yang disebabkan oleh ketimpangan struktur itu.
Ini bisa menunjuk ke umur, jabatan, posisi sosial, ekonomi, pengaruh, otoritas, kekuasaan, wibawa, dan janji-janji yang menyebabkan korban bertekuk lutut, atau bahkan dianggap suka sama suka. Dalam saat seperti itulah consent harus dihadirkan sebagai mekanisme pembuktian ada atau tidak adanya kekerasan dengan ancaman dan kondisi yang memaksa korban.
Lies Marcoes, Peneliti Rumah Kitab
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!