Jadi RT itu Berat, Kamu Nggak Akan Kuat

Kira-kira udah terbayang bagaimana seminggu ini kami jatuh bangun emosinya, stres luar biasa menghadapi pemberitaan dan informasi yang beredar di sosmed. Dari senin siang yang merupakan hari yang sangat mengejutkan buat kami. Pasca penyemprotan disinfekta yang senin itu selesai jam 00.30, kami harus menghadapi realitas yang tidak mudah di rumah.

Jam 01.00 dini hari pasca penyemprotan, anak kedua kami demam tinggi, sementara anak yang pertama terus memegangi kepalanya yang katanya sakit dan pusing. Saya hanya saling pandang dengan suami sembari mengkompres gendhuk yang demamnya tinggi sekali. Jadilah kita tidak memejamkan mata sama sekali. Dia sakit hingga seminggu, 4 hari pertama demam up and down, 3 hari berikutnya batuk luar biasa. Kami ke dokter utk mendapatkan obat demam, antibiotik dan obat batuk. Kami lokalisir sakitnya dia, takut jadi berita yang heboh. Seminggu full dia tidak masuk sekolah. Dan alhamdulillah hari minggu bersamaan dengan olah raga warga, dia akhirnya keluar rumah setelah dijemput dua temannya.

Selasa pagi, H +2, kami mencoba bangun ruang dialog warga dengan pemkot depok, bbrp dinas datang. Mayoritas warga tidak masuk kantor hari itu. Setelah dialog, suasana relatif kondusif terutama terkait informasi. Meski banyak warga yang dirumahkan selama 14 hari oleh kantornya. Dan hingga hari ini surat keterangan sehat yang diminta banyak kantor kepada warga kami, belum ditangan. Namun ada beberapa kantor yang mengirimkan dokter ke perumahan guna pengecekan rutin kondisi kesehatan warga. Setiap hari, puskesmas sukmajaya juga membuka posko selama 2 jam di perumahan kami untuk memfasilitasi warga.

Selasa malam, sekitar jam 19.00, saya tiba-tiba lemas, tidak ada tenaga sama sekali, saya merasakan kesadaran saya berada di titik nol. Terduduk di sofa ruang tamu, anak dan suami saya terus memegangi kedua tangan saya yang sudah dingin seperti es. Keringat dingin mengalir pelan di bagian kepala belakang. Jantung saya berdebar kencang. Saya kemudian di bawa ke dokter terdekat yang merupakan langgangan kami. Tensi saya mlm itu fantastis 180/110, kolesterol 371. Ini tertinggi dalam sejarah kesehatan saya. Dokter memberikan obat dan menyarankan kalau dalam waktu 15-30 menit kedepan belum reda, maka harus dirawat di RS.

Dari dokter, saya langsung dibawa pulang. Sembari tiduran, suami saya terus memegangi tangan saya sembari mengatakan bahwa mama harus sehat, ayah tidak bisa menghadapi ini sendirian. Debaran jantung saya mulai turun malam itu, dan udah mulai bisa merespon komplain ibu-ibu di WA Group perumahan saat opening acara ilc tv one malam itu diperkenalkan narasumber terakhir, mba F warga studio alam indah. Saya sempat komplain ke produsernya untuk diluruskan bahwa dia bukan warga kami, karena beberapa info tentang kami yang disampaikan kurang akurat.

Selasa berganti Rabu. Rabu sore empat warga yang sempat menjenguk pasien di RS, dijemput untuk dilakukan test swab. Setidaknya itu melegakan biar ada kejelasan bagi kami daripada terus menerus dituding sospak saspek. Ada yang lucu dan menarik dari group WAG kecil yg berisikan warga yang menjenguk pasien. Setiap hari mereka di WA dari puskesmas, apakah ada keluhan hari ini? Jika tidak, silahkan melanjutkan aktifitas. Bu Ana namanya yang tiap hari melakukan itu. Pernah suatu hari sampai siang, bu Ana belum kirim WA. Semuanya pada bertanya. Lalu saya bercandain, WA aja bu Ana apakah sehat hari ini? Lalu semuanya tergelak dengan tawanya. Info tentang keempat warga ini, pak walikota juga salah menyebut, katanya semuanya ibu-ibu, padahal itu salah. Ya beginilah kalau walikota sering membicarakan kami dari kejauhan, karena belum pernah berkunjung ke tempat kami yang notabene hanya 4 km dari kantor walikota.

Rabu berganti kamis dan berjalan ke jumat. Hari jumat merupakan goncangan kedua bagi kami. Jumat siang kami diteror, ada bangkai anjing yang dibungkus plastik dan kain kafan yang dibuang di belakang rumah kami. Suami saya agak panik. Lalu dilakukan pengecekan dan dikuburkan.

Jumat sore kami mengalami puncak kedua kepanikan. Ada info yang beredar yang merupakan konpres dari menkes yang mengkabarkan bahwa 4 orang yang menjenguk dinyatakan suspect dan hrs diisolasi. Terus terang kami panik, membayangkan psikologi keempat warga dan keluarganya. Saya sempat mendatangi dua rumah warga untuk memberikan dukungan, dan saya nyaris tak berdaya menyaksikan air mata para keluarga yang tumpah, nampaknya sudah ditahan selama beberapa hari. Persis saat adzan magrib berkumandang, saya keluar dari rumah rumah warga. Sepanjang jalan kaki ke rumah, saya terus menengadahkan kepala ke langit, biar air mata saya tidak tumpah di jalan. Saya berkali kali menyebut gusti gusti.

Sampai rumah, saya nggak kuat, saya menangis menumpahkan semuanya. Anak saya yang besar juga ikut menangis. Lalu suami saya drop. Jantungnya berdebar kencang, dadanya terus dipegangin. Mungkin saat itu tensinya naik. Setelah sholat maghrib, dia rebahan, minum obat sembari terus memegangi dadanya. Saya dan anak-anak mengitarinya, menggosokkan minta telon di kaki dan tangannya yang sudah seperti es. Kok ujungnya seperti ini ya, dia bergumam. Lalu dia minta laptop, katanya pingin dengerin musik, stand up comedy dan wayang. Anak saya yang pertama lalu lari ke kamarnya dan menangis. Setelah menonton musik, stand up comedy dan wayang, kami agak rileks. Kami menonton cak lontong yang cukup menghibur malam itu. Jam 21.30an kami dapat kabar lagi kalau empat orang suspect yang dimaksud bukanlah warga kami, tapi mereka sudah ada di rspi. Bagi kami sebenarnya, mau positif atau suspect itu tidak apa-apa, toh bisa disembuhkan. Cara penyampaian pemerintah itu yang kurang manusiawi. Pemerintah lupa bahwa dibalik pasien-pasien yang diunumkan adalah manusia yang memiliki hati dan rasa. Kami melihat penanganan corona ini tidak menggunakan hati.

Jumat malam yang berat itu akhirnya terlewati. Kami lega dan berharap situasi ini akan segera berakhir. Sabtu pagi suami saya masih mengalami debaran jantung, mungkin sisa tadi malam. Sabtu sorenya saya kembali drop, tiba-tiba demam tinggi dan batuk. Dan makin memuncak pada minggu siang. Saat warga olahraga bersama pada minggu pagi utk memperkuat bangunan satu rasa dan membangun ketahanan sosial bersama, saya tidak bisa ikut lama karena demam. Setidaknya warga dapat asupan dukungan dari mba Sandra Moniaga komnas HAM yang sengaja datang untuk memberikan dukungan dan info lengkap ttg corona dr virologist drh Indro Cahyono. Mas Indro membuat kami semua melek bahwa virus corona memang mudah menyebar tapi juga mudah dimatikan. Info ini sangat menenangkan dan mendarat dibanding protokol-protokol pemerintah yg selalu di share linknya di beberapa WA Group.

Minggu siang, demam saya lumayan tinggi 39 dan naik turun. Badan saya lemes, rasanya sakit semua. Energi seperti lepas dari badan saya. Meriplikasi suami saya, saya nonton stand up untuk menghibur diri. Kayaknya ide menarik kalau kami di perumahan nonton stand up berjamaah, jadi kita bisa tertawa bersama. Tapi tak ada yang lebih menggembirakan dari update kondisi pasien setiap harinya yang makin membaik dan bercanda dengan kami. Jadi gaes, jadi RT itu berat, kamu nggak akan kuat 

Anis Hidayah, 9 Maret 2020

Image source : https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt55d33703cfeb8/bolehkah-pengontrak-rumah-jadi-ketua-rt/

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.