Pertemuan dengan Pemangku Kepentingan dalam sosialisasi hasil “Studi Mendalam Implementasi Peraturan Desa Pencegahan Perkawinan Anak”

Senin, 9 Maret 2020, di Hotel Oria Jakarta, Rumah KitaB bersama PKWG UI atas dukungan UNICEF menyelenggarakan kegiatan Pertemuan Pemangku Kepentingan “Studi Mendalam Implementasi Peraturan Desa Pencegahan Perkawinan Anak.” Kegiatan ini dihadiri 35 perwakilan pemerintah dan NGO, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Desa (Kemendesa), Kementerian Agama (Kemenag), Mahkamah Agung, Rutgers WPF, Koalisi Perempuan Indonesia, Kapal Perempuan, Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2), dan lainnya.

Dengan munculnya UU Desa dan Dana Desa, yang memberikan kewenangan dan otonomi yang lebih besar kepada desa untuk mengelola pembangunan desa, banyak peraturan desa (perdes) telah diterbitkan, termasuk perdes yang menetapkan pencegahan perkawinan anak, baik sebagai peraturan yang secara khusus membahas masalah pencegahan perkawinan anak atau dalam kerangka kerja yang lebih luas, seperti Perdes tentang Perlindungan Anak atau Perdes tentang Desa Layak Anak.

Sehubungan dengan banyaknya peraturan tentang pencegahan perkawinan anak, UNICEF telah melakukan tinjauan pustaka terhadap 29 peraturan daerah dan peraturan desa di berbagai wilayah di Indonesia untuk memperoleh tinjauan awal tentang karakteristik peraturan desa ini sehubungan dengan pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan anak. Berdasarkan tinjauan pustaka, ada beberapa aspek menarik yang membutuhkan eksplorasi lebih mendalam di lapangan, antara lain: perda dan perdes tentang perkawinan anak umumnya ditujukan untuk melakukan upaya pencegahan perkawinan anak yang dirumuskan sebagai inisiatif lokal sebagai bentuk upaya warga setempat untuk mencegah perkawinan anak melalui peraturan formal.

Dengan latar belakang tersebut, Rumah KitaB dan PKWG UI, atas dukungan UNICEF, menyelenggarakan studi kualitatif mendalam tentang perdes yang khusus berbicara tentang perkawinan anak, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan sebagai bukti untuk mengembangkan pedoman penyusunan perdes tentang pencegahan perkawinan anak yang efektif di masa depan. Adapun wilayah penelitian yang dipilih adalah: 1) Desa Mallari (Bone, Sulawesi Selatan), 2) Desa Patidi (Mamuju, Sulawesi Barat), 3) Desa Loloan (Lombok Utara, NTB), 4) Desa Ngasinan dan Woro (Rembang, Jawa Tengah).

Adapun temuan di keempat desa tersebut dipresentasikan oleh Lies Marcoes dan Theresia Dyah selaku dua peneliti utama. Beberapa temuan kunci dari keempat desa tersebut di antaranya adalah:

  1. Di Desa Pati’di, Mamuju, proses perumusan perdes didampingi oleh Aisyiyah atas dukungan program MAMPU. Proses perumusuan perdes telah berjalan semenjak 2018 dan baru saja disahkan April 2019. Di antara seluruh perdes yang dikaji, secara dokumen, hanya perdes ini yang tidak menetapkan sanksi. Akan tetapi, secara de facto, diberlakukan sanksi administratif kepada mereka yang ingin menikah di usia anak, dengan tidak memberikan kelengkapan administratif.
  2. Di Desa Mallari, Bone, rata-rata tingkat pendidikan masyarakatnya masih rendah; sekitar 66% warganya berpendidikan SD/sederajat. Proses perumusan perdes awalnya didampingi oleh LPP Bone, namun belum sempat disahkan. Kemudian proses penyusunan secara mandiri dilakukan oleh kepala desa beserta stafnya. Desa Mallari adalah desa yang menetapkan sanksi paling tinggi, yaitu denda sebesar 10 juta rupiah. Hal ini dilatarbelakangi oleh semangat untuk menimbulkan efek jera dan meng-counteruang panaik (uang yang diberikan pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk kebutuhan hajatan). Biasanya semakin muda seorang anak perempuan, semakin rendah uang panaik-nya. Perdes ini diberlakukan semenjak Januari 2018, dan belum pernah sekalipun sanksi denda diberikan, meskipun ada warga yang menyelenggarakan perkawinan anak.
  3. Di Desa Loloan, Lombok Utara, perdes tentang usia memulang(menikah) telah disahkan sejak 2016 yang disusun oleh LPA atas dukungan KOMPAK. Sementara asesmen dilakukan oleh Puskapa UI atas dukungan The Asia Foundation dan AIPJ2. Desa ini merupakan desa adat sejak 1921 sehingga masyarakatnya terbiasa dengan sanksi adat. Batas usia yang ditetapkan menikah adalah 21 tahun bagi laki-laki (sejalan dengan peraturan PUP yang dikeluarkan oleh gubernur NTB) dan 19 tahun bagi perempuan. Dalam proses implementasinya, sanksi denda ditetapkan sebesar 2,5 juta rupiah. Denda ini diterapkan, namun tidak menimbulkan efek jera karena sebesar apapun biaya yang dibayarkan, warga bersedia membayarkan selama perkawinan (anak) dapat dilaksanakan. Secara de facto, semenjak bencana gempa tahun 2018, perdes ini tidak diberlakukan lagi.
  4. Desa Woro, Rembang merupakan wilayah dampingan program Yes I Doyang diselenggarakan oleh konsorsium Rutgers WPF, PKBI, Plan Internasional, ARI dan Pupuk. Proses pendampingan dimulai tahun 2016 dan perdes baru disahkan tahun 2018 dengan terlebih dahulu mengutamakan pendampingan remaja dan keluarga oleh lembaga lokal LPAR. Dikarenakan masyarakatnya yang guyub (erat kebersamaannya), “sanksi” perkawinan anak yang ditetapkan adalah melalui musyawarah. Anak yang ingin menikah didampingi oleh KPAD (Kelompok Perlindungan Anak Desa), sebuah kelembagaan yang dibangun sebagai inisiatif bersama. KPAD yang mendapatkan SK Desa memperoleh legitimasi politik untuk mengupayakan agar perkawinan anak ditunda. Jikapun tidak bisa ditunda, setidaknya perkawinannya legal di hadapan hukum.

Penelitian ini menyimpulkan antara lain: inisiatif tentang perlunya perdes datang dari organisasi pendamping, bukan dari warga. Apek pendampingan oleh NGO nasional dan lokal sangat menentukan keberhasilan dan efektivitas Perdes.

Perdes dapat melahirkan institusi lokal yang dapat menjadi pendamping remaja dan keluarga setelah institusi itu mendapatkan otoritas dan pendampingan tentang isu-siu terkait dengan remaja. Sanksi dinilai tidak efektif dan tidak signifikan mencegah perkawinan anak, dan perdes tidak dapat menghilangkan akar masalah perkawinan anak, namun dapat membantu dari sisi pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan hukum. Karenanya, perdes harus diperlakukan sebagai instrumen hukum dari kebijakan yang komprehensif. Politik anggaran hendaknya memihak kepada kepentingan anak dan keluarga dalam pencegahan perkawinan anak.

Dari keempat temuan desa tersebut, Rumah KitaB menyusun draf panduan penyusunan peraturan desa pencegahan perkawinan anak. Draf ini dikompilasi dari berbagai praktik baik yang ditemukan di empat desa. Empat aspek di dalam panduan tersebut mencakupi aspek pencegahan, penanganan, pelaksanaan pencegahan perkawinan anak dan aspek lainnya. Panduan ini disusun berlandaskan hak-hak anak dan berperspektif anak perempuan (girl-centered).

Masukan dari para pemangku kepentingan akan menjadi masukan dan rekomendasi atas studi ini. Misalnya, menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memperjuangkan wajib belajar 12 tahun dan pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum sekolah. Masukan lainnya adalah penguatan kapasitas pemerintah desa dalam legal drafting perdes yang berpihak pada anak dan anak perempuan. [FP]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.