Wasiat Nabi Muhammad Saw.
Di Penghujung bulan Zulqa’dah, tepatnya tanggal 25 tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW berangkat dari Madinah membawa 70 ribu/105 ribu orang untuk menunaikan ibadah haji. Haji pertama dan terakhir yang dilakukan Rasulullah SAW pasca kenabian.
Setelah delapan hari perjalanan, tanggal 4 Dzulhijjah Rasulullah SAW tiba di Makkah dan langsung menuju Masjidil Haram untuk melakukan tawaf dan sa’i
di Hari Tarwiyah, tanggal 8 Dzulhijjah, Rasulullah SAW menuju Mina dan bermalam di sini. Pagi setelah subuh Rasulullah SAW berangkat ke Arafah. Setelah matahari tergelincir, Rasulullah SAW menaiki Unta kesayangannya, Quswa. Sesampainya di lembah Namirah, di hadapan ribuan jamaahnya, Rasulullah SAW berpidato dengan suara lantang:
واستوصوا بالنساء خيرا فإنهن عندكم عوان لا يملكن لأنفسهن شيئا وإنكم انما أخذتموهن بأمانة الله واستحللتم فروجهن بكلمات الله
“Wahai manusia! Aku berwasiat kepada kalian, perlakukanlah perempuan dengan baik. Kalian sering memperlakukan mereka seperti tawanan. Kalian tidak berhak memiliki mereka sedikit pun. Sesungguhnya kalian mengambil mereka di bawah kepercayaan Tuhan dan kalian berhak menggauli mereka atas nama Tuhan.”
Ini adalah salah satu penggalan pidato Nabi SAW. Pidato ini terjadi di Abad ke-14, jauh sebelum umat manusia mendeklarasikan hak-hak asasi manusia {DUHAM). Pada zamannya, pidato ini sangat revolusioner! Bayangkan, pada waktu itu perempuan tidak ada harganya sama sekali, bahkan perempuan hampir disamakan dengan budak belian. Seperti harta benda, perempuan bisa diwariskan. Perempuan hanya dijadikan sebagai budak nafsu laki-laki.
Dalam pidato ini dengan tegas Rasulullah SAW mendeklarasikan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Masing-masing memiliki hak yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Laki-laki maupun perempuan sama-sama diposisikan sebagai subjek.
Islam hadir mengubah konstruksi sosial saat itu. Perempuan yang sebelumnya tidak mendapat harta waris, bahkan bisa diwariskan, oleh Islam diberikan hak waris meskipun setengah dari bagian waris laki-laki. Laki-laki, sebelum Islam, boleh menikahi perempuan tanpa batas, oleh Islam dibatasi empat.
Kita jangan melihatnya menggunakan kacamata Abad ini: mengapa Islam membagi hak waris perempuan setengah laki-laki dan mengapa perempuan boleh dipoligami? Menurut Tahir Haddad, pemikir dan reformis Islam dari Tunisia, dalam bukunya “Imra’atuna fi al-Syariah wal Mujtama’” bahwa poligami bukanlah dan jangan di sebagai bagian dari hukum Islam. Islam justeru ingin menghapus poligami. Hanya saja caranya bertahap (tajrid). Begitu pula dengan waris.
Hal ini diamini oleh Karen Amstrong. Menurutnya, pada waktu ayat poligami diturunkan, hal itu merupakan sebuah kemajuan sosial. Sebab, dalam periode pra-Islam, baik laki-laki maupun perempuan, dibolehkan memiliki beberapa pasangan. Amstrong menambahkan bahwa institusi poligami dalam al-Quran merupakan sebentuk legislasi sosial. Ini dirancang bukan untuk memenuhi selera seksual kaum laki-laki, melainkan untuk meluruskan ketidakadilan yang ditimpakan kepada para janda, anak yatim, dan tanggungan perempuan lainnya yang amat rentan. Ayat poligami maupun waris, kata Mansour Fakih dalam “Analisis Gender dan Transformasi Sosial”, harus dipahami sebagai deskripsi keadaan struktur sosial dan norma masyarakat pada masa itu, dan bukan sebuah norma ajaran.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!