Fikih Lingkungan
Di penghujung kekuasaannya Jokowi menerbitkan PP No. 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi dan polemik di masyarakat dan tak semua Ormas keagamaan menyambut baik atas terbitnya PP ini.
PBNU langsung merespon dan menyambut baik keputusan ini. “Kebijakan ini merupakan langkah berani yang menjadi terobosan penting untuk memperluas pemanfaatan sumber daya-sumber daya alam yang dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat secara lebih langsung,” kata KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya)
Untuk menguatkan pernyataan Gus Yahya, Kiai Ulil Abshar Abdallah menurunkan tulisan sebagai tanggapan sekaligus — saya anggap mewakili — sikap pengurus PBNU terkait polemik konsesi tambang untuk Ormas: Tambang Antara Ideologi dan Fikih (Kompas, 20/06).
Menurut Kiai Ulil, studi tentang lingkungan secara “epistemologis” bisa didekati menggunakan dua pendekatan: ideologi lingkungan dan fikih lingkungan. Yang pertama menganggap bahwa persoalan lingkungan akan selalu berkelindan dengan isu perubahan iklim. Industri ekstraktif, seperti pertambangan, akan mengakibatkan kerusakan lingkungan, tercerabutnya komunitas budaya di sekitar tambang, juga bisa menyebabkan pemanasan global (global warming).
Pendekatan ideologi lingkungan, dalam bayangan Kiai Ulil, sudah selesai dan tidak perlu perdebatan lagi. Karena semuanya akan bermuara pada isu perubahan iklim. Sehingga, apapun yang menyebabkan atau menyumbang pada perubahan iklim harus dibuang dan ditinggalkan.
Kiai Ulil enggan menggunakan pendekatan ideologi lingkungan karena di samping menutup pintu perbedaan dan perdebatan, juga tidak memberikan celah dan kesempatan kepada PBNU untuk bisa mengelola tambang. Apalagi berupa tambang batubara yang jelas-jelas memberikan dampak serius dan mempercepat pemanasan global.
Kiai Ulil memilih menggunakan pendekatan fikih lingkungan. Fikih lingkungan yang dimaksud Kiai Ulil, sebagaimana dijelaskan dalam tulisannya di laman facebooknya, adalah cara memandang sesuatu, termasuk lingkungan, melalui cara pandang fikih, termasuk di dalamnya ushul fikih dan kaidah fikih.
Fikih merupakan basis pengetahuan dan pandangan dunia santri. Bagi Kiai Ulil, pembacaan fikih lingkungan lebih mewakili cara pandang ulama/kiai. Hal ini berbeda dengan cara pandang ideologi lingkungan, pendekatan fikih lingkungan lebih fleksibel, lentur, dan tidak saklek (hitam-putih).
Dalam menghukumi batubara, Kiai Ulil menggunakan kaidah dasar yang dikenalkan Imam Malik, yaitu al-Istishab. Kebolehan sesuatu sebagai hukum asal. Hukum batubara (menambang/menjual-belikan/menggunakan) tidak pernah disebut oleh nash, baik al-Quran dan al-Hadis. Karena itu, hukum yang berlaku adalah dikembalikan kepada hukum asal. Sedangkan hukum asal sesuatu dalam hal muamalah, menurut kaidah, adalah boleh (al-ashlu fi al-mu’amalah al-ibahah). Jadi, batubara dalam dirinya sendiri (lidzatihi) adalah halal.
Selain menggunakan kaidah al-istishab, Kiai Ulil mendasarkan argumentasinya pada kaidah al-maslahah al-murasalah. Bagaimanapun, kata Kiai Ulil, batubara memiliki manfaat (maslahat) sekaligus mudarat. Tinggal dikalkulasi dan ditimbang lebih besar mana antara manfaat dan mudaratnya. Di sinilah titik perdebatan selanjutnya.
Menurut Abdul Wahab Khalaf, ada dua tiga syarat menggunakan dalil maslahah mursalah. Pertama, kemaslahatan yang dimaksud haruslah kemaslahatan yang hakiki bukan kemaslahatan yang wahmy. Kedua, kemaslahatan itu haruslah kemaslahatan yang bersifat universal bukan kemaslahatan yang hanya dinikmati sekelompok/segelintir orang. Dan ketiga, kemaslahatan itu tidak boleh bertentangan dengan agama.
Jika batubara bermanfaat untuk menghasilkan energi, apakah tidak ada sumber energi alternatif yang tingkat mudaratnya tidak lebih besar dari batubara? Mengingat menurut banyak studi, batubara merupakan sumber energi fosil yang paling banyak menyumbang pemanasan global (global warming). Belum lagi kerusakan lingkungan akibat penambangan batubara ini tidaklah sedikit: penggundulan hutan atau pengusiran pemukiman, mengurangi sumber resapan air, bahaya kesehatan, dll.
Kaidah yang berlaku seharusnya adalah “lil wasail hukmul maqashid” (sarana mengikuti tujuan). Sama seperti hukum rokok. Rokok jelas halal, karena hukumnya tidak ditemukan pada zaman Nabi SAW. Kaidah yang berlaku adalah “istishab”, memberlakukan hukum asal, yaitu halal, sebagaimana hukum batubara. Namun, menurut medis, rokok menyebabkan pelbagai penyakit . Sehingga, menjual rokok seharusnya haram (menurut pendapat ulama yang mengharamkan rokok), sebagaimana haram menjual pisau kepada orang yang akan menggunakannya untuk membunuh. Kecuali kalau kita menganggap bahaya-bahaya tersebut hanya sekadar bualan belaka.
Selain itu, dalam menimbang dan mempertimbangkan kemaslahatan (maslahah muraslah), PBNU tak boleh egois hanya mementingkan diri sendiri dan umatnya, tanpa mempertimbangkan dampak buruk bagi umat manusia secara umum (maslahah amah) dan dampaknya di masa depan.
Karena itu, kebijakan pemerintah memberikan konsesi tambang kepada Ormas hanya menambah mudarat dan dosa ekologi bagi umat manusia. Jika pemerintah ingin memberdayakan ekonomi umat melalui ormas, kenapa harus tambang? Bukankah masih banyak jenis usaha ekonomi yang bermanfaat dan tak menimbulkan mudarat? Wallahu alam bi sawab
(bersambung)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!