Pos

Fikih Lingkungan Berbasis Maqasid Syariah


Indonesia dikenal sebagai negara dengan mayoritas muslim yang menganut mazhab Syafi’iyah, sebuah aliran hukum Islam yang lebih banyak dianut oleh penduduk muslim dunia yang hidup di wilayah agraris, termasuk Indonesia. Dalam tradisi hukum Islam, terdapat empat aliran hukum Islam yang terpopuler dalam 600 tahun terakhir, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah.

Pendiri aliran Syafi’iyah adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, yang lahir di Gaza – Palestina pada tahun 767 Masehi. Beberapa tokoh terkenal mazhab ini adalah Imam Al-Haramain (kelahiran Naisabur – Iran, 1028 Masehi) dan muridnya, Imam Al-Ghazali (kelahiran Tus – Iran, 1057 Masehi). Dalam konteks lingkungan dan relasinya dengan hukum Islam, Imam Ghazali menyukai pemilihan istilah “alam” untuk mengenalkan empat pokok kajian Ushul Fikih.

Salah satu konsep yang terlahir dari mazhab Syafi’iyah yang dikembangkan Imam Ghazali adalah konsep Maqasid Syariah. Imam Al-Ghazali adalah tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep ini ke dalam lima pilar utama, yaitu:

  1. Hifdzud-Din (menjaga keyakinan beragama).
  2. Hifdzun-Nafs (menjaga dan melindungi jiwa dan raga).
  3. Hifdzun-Nasl (memelihara keturunan).
  4. Hifdzul-Aql (memelihara akal melalui pendidikan).
  5. Hifdzud-Mal (menjaga harta benda).

Apabila memandang dengan perspektif lingkungan, Maqasid Syariah hadir sebagai nalar fikih atas kepentingan keberlanjutan lingkungan. Syaikh Muhammad Hudhari menjelaskan bahwa tujuan dibuatnya hukum Islam adalah untuk membangun maslahah (kebaikan) bagi manusia. Salah satu prasyarat keberhasilan untuk merealisasikan maslahah bagi manusia adalah pelestarian lingkungan.

Misalnya, ketika manusia hendak mendirikan ibadah (hifdzud-Din), maka manusia akan beriman, bertakwa, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bernilai ibadah. Semua ini dapat terealisasi jika ditunjang dengan terjaminnya hifdzun-Nafs (menjaga dan melindungi jiwa) dan hifdzul-Aql (terjaminnya pendidikan tinggi). Keduanya tidak akan dapat dilakukan jika manusia tidak terpenuhi kebutuhan pokok seperti makan dan minumnya yang seluruhnya dihasilkan oleh alam.

Begitu pula dengan melakukan kegiatan di bidang muamalah, unsur maslahah yang perlu dipenuhi oleh manusia adalah hifdzun-Nasl (terpeliharanya keturunan) dan hifdzul-Mal (terpeliharanya harta benda). Keduanya tidak akan terpenuhi jika kebutuhan pokok manusia tidak terpenuhi, di mana kebutuhan pokok manusia selalu bergantung pada alam.

Konsep Maqasid Syariah sendiri tidak hanya terbatas pada maslahah manusia saja. Karena tujuan syariat Islam berlaku pada masa sekarang dan masa yang akan datang, maka ada pertimbangan bahwa unsur Maqasid Syariah dapat diterapkan pada makhluk selain manusia. Dengan kata lain, konsep Maqasid Syariah memberikan amanat kepada manusia agar dapat menyeimbangkan kehidupan bagi binatang, tumbuhan, dan ekosistem alam yang keseluruhannya saling berkaitan dan saling membutuhkan.

Tiga Bentuk Hubungan dalam Maqasid Syariah

  1. ‘Alaqat Taskhiriyah
    Dalam ajaran Islam, alam dipandang sebagai anugerah yang harus dihormati, bukan sebagai objek yang bisa dirusak atau direndahkan. Perlakuan kasar terhadap alam dianggap menurunkan nilai kemanusiaan itu sendiri. Berbeda dengan pandangan lain yang menganggap alam ternoda karena dosa pertama manusia, Islam menegaskan bahwa alam bukanlah sesuatu yang jahat atau tercemar. Cara pandang ini menghindarkan manusia dari sikap permusuhan terhadap lingkungan. Sebaliknya, Islam menempatkan hubungan manusia dan alam dalam konteks amanah dan tanggung jawab. Allah mempercayakan alam kepada manusia dan memberikan kemampuan akal untuk memahami hukum-hukumnya.
  2. ‘Alaqat Ibtilaiyah
    Anugerah Allah berupa alam semesta tidak hanya dimaksudkan untuk dinikmati manusia semata, melainkan juga menjadi ujian bagi manusia dalam merespons rahmat besar tersebut. Ujian ini terletak pada apakah manusia akan bersyukur atau justru mengingkari nikmat ini. Apakah manusia akan menunjukkan rasa syukur dengan cara yang benar, ataukah hanya bersikap acuh tak acuh. Apakah alam ini akan dijaga dan dimanfaatkan secara bijaksana, atau justru diabaikan dan disia-siakan.
  3. ‘Alaqat Mas’uliyah
    Sebagai bagian dari tujuan penciptaan manusia dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin di bumi (khalifah fil ard), diperlukan evaluasi atas tindakan manusia dalam menjalankan perannya. Evaluasi ini akan menunjukkan apakah manusia berhasil atau gagal dalam memenuhi tugas yang telah diamanatkan kepadanya (menjadi khalifah).

Konsep Maqasid Syariah memberikan panduan holistik dalam menjaga hubungan manusia dengan lingkungan. Implementasinya mendorong tanggung jawab kolektif untuk melestarikan alam demi keberlanjutan hidup.

Referensi:
Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (2011). Dakwah Siaga Bencana (Kumpulan Materi Dakwah Pengurangan Risiko Bencana). Second ed. Jakarta Pusat: LPBINU.

Fikih Lingkungan

Di penghujung kekuasaannya Jokowi menerbitkan PP No. 25 Tahun 2024  tentang perubahan atas PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi dan polemik di masyarakat dan tak semua Ormas keagamaan menyambut baik atas terbitnya PP ini.

PBNU langsung merespon dan menyambut baik keputusan ini. “Kebijakan ini merupakan langkah berani yang menjadi terobosan penting untuk memperluas pemanfaatan sumber daya-sumber daya alam yang dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat secara lebih langsung,” kata KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya)

Untuk menguatkan pernyataan Gus Yahya, Kiai Ulil Abshar Abdallah menurunkan tulisan sebagai tanggapan sekaligus — saya anggap mewakili — sikap pengurus PBNU terkait polemik konsesi tambang untuk Ormas: Tambang Antara Ideologi dan Fikih (Kompas, 20/06).

Menurut Kiai Ulil, studi tentang  lingkungan secara “epistemologis” bisa didekati menggunakan dua pendekatan: ideologi lingkungan dan fikih lingkungan. Yang pertama menganggap bahwa persoalan lingkungan akan selalu berkelindan dengan isu perubahan iklim. Industri ekstraktif, seperti pertambangan, akan mengakibatkan kerusakan lingkungan, tercerabutnya komunitas budaya di sekitar tambang, juga bisa menyebabkan pemanasan global (global warming).

Pendekatan ideologi lingkungan, dalam bayangan Kiai Ulil,  sudah selesai dan tidak perlu perdebatan lagi. Karena semuanya akan bermuara pada isu perubahan iklim. Sehingga, apapun yang menyebabkan atau menyumbang pada perubahan iklim harus dibuang dan ditinggalkan.

Kiai Ulil enggan menggunakan pendekatan ideologi lingkungan karena di samping menutup pintu perbedaan dan perdebatan, juga tidak memberikan celah dan kesempatan kepada PBNU untuk bisa mengelola tambang. Apalagi berupa tambang batubara yang jelas-jelas memberikan dampak serius dan mempercepat pemanasan global.

Kiai Ulil memilih menggunakan pendekatan fikih lingkungan. Fikih lingkungan yang dimaksud Kiai Ulil, sebagaimana dijelaskan dalam tulisannya di laman facebooknya, adalah cara memandang sesuatu, termasuk lingkungan, melalui cara pandang fikih, termasuk di dalamnya ushul fikih dan kaidah fikih.  

Fikih merupakan basis pengetahuan dan pandangan dunia santri. Bagi Kiai Ulil, pembacaan fikih lingkungan lebih mewakili  cara pandang ulama/kiai. Hal ini berbeda dengan cara pandang ideologi lingkungan, pendekatan fikih lingkungan lebih fleksibel, lentur, dan tidak saklek (hitam-putih).

Dalam menghukumi batubara, Kiai Ulil menggunakan kaidah dasar yang dikenalkan Imam Malik, yaitu al-Istishab. Kebolehan sesuatu sebagai hukum asal. Hukum batubara (menambang/menjual-belikan/menggunakan) tidak pernah disebut oleh nash, baik al-Quran dan al-Hadis. Karena itu, hukum yang berlaku adalah dikembalikan kepada hukum asal. Sedangkan hukum asal sesuatu dalam hal muamalah, menurut kaidah, adalah boleh (al-ashlu fi al-mu’amalah al-ibahah). Jadi, batubara dalam dirinya sendiri (lidzatihi) adalah halal.

Selain menggunakan kaidah al-istishab, Kiai Ulil mendasarkan argumentasinya pada kaidah   al-maslahah al-murasalah. Bagaimanapun, kata Kiai Ulil, batubara memiliki manfaat (maslahat) sekaligus mudarat. Tinggal dikalkulasi dan ditimbang lebih besar mana antara manfaat dan mudaratnya. Di sinilah titik perdebatan selanjutnya.

Menurut Abdul Wahab Khalaf, ada dua tiga syarat menggunakan dalil maslahah mursalah. Pertama, kemaslahatan yang dimaksud haruslah kemaslahatan yang hakiki bukan kemaslahatan yang wahmy. Kedua, kemaslahatan itu haruslah kemaslahatan yang bersifat universal bukan kemaslahatan yang hanya dinikmati sekelompok/segelintir orang. Dan ketiga, kemaslahatan itu tidak boleh bertentangan dengan agama.

Jika batubara bermanfaat untuk menghasilkan energi, apakah tidak ada sumber energi alternatif yang tingkat mudaratnya tidak lebih besar dari batubara? Mengingat menurut banyak studi, batubara merupakan sumber energi fosil yang paling banyak menyumbang pemanasan global (global warming). Belum lagi kerusakan lingkungan akibat penambangan batubara ini tidaklah sedikit: penggundulan hutan atau pengusiran pemukiman, mengurangi sumber resapan air, bahaya kesehatan, dll.

Kaidah yang berlaku seharusnya adalah “lil wasail hukmul maqashid” (sarana mengikuti tujuan). Sama seperti hukum rokok. Rokok jelas halal, karena hukumnya tidak ditemukan pada zaman Nabi SAW. Kaidah yang berlaku adalah “istishab”, memberlakukan hukum asal, yaitu halal, sebagaimana hukum batubara. Namun, menurut medis, rokok menyebabkan pelbagai penyakit . Sehingga, menjual rokok seharusnya haram (menurut pendapat ulama yang mengharamkan rokok), sebagaimana haram menjual pisau kepada orang yang akan menggunakannya untuk membunuh. Kecuali kalau kita menganggap bahaya-bahaya tersebut hanya sekadar bualan belaka.

Selain itu, dalam menimbang dan mempertimbangkan kemaslahatan (maslahah muraslah), PBNU tak boleh egois hanya mementingkan diri sendiri dan umatnya, tanpa mempertimbangkan dampak buruk bagi umat manusia secara umum (maslahah amah) dan dampaknya di masa depan.

Karena itu, kebijakan pemerintah memberikan konsesi tambang kepada Ormas hanya menambah mudarat dan dosa ekologi bagi umat manusia. Jika pemerintah ingin memberdayakan ekonomi umat melalui ormas, kenapa harus tambang? Bukankah masih banyak jenis usaha ekonomi yang bermanfaat dan tak menimbulkan mudarat? Wallahu alam bi sawab

(bersambung)