Teks dan Realita

Mahasantri Ma’had Aly Kebon Jambu baru saja meluncurkan buku “Ngelmu di Lapangan; Refleksi Mahasantri dalam melakukan Studi Praksis Sosial di Lembaga-Lembaga KUPI” (12/07). Buku ini memuat pengalaman-pengalaman mahasantri selama melakukan studi lapangan di lembaga-lembaga jaringan KUPI, sebagai bekal untuk menempuh tugas akhir kuliah. Studi lapangan ini merupakan bagian dari mata kuliah Studi Praksis Sosial (SPS). Mata kuliah SPS diperuntukkan untuk mahasantri semester akhir .

Sebagai pengampu mata kuliah ini, Bahrul Ulum menjelaskan di buku ini bahwa SPS adalah mata kuliah lapangan untuk mengkaji praksis sosial yang dilakukan oleh lembaga atau komunitas. Selama mengikuti SPS mahasantri tinggal di lembaga/komunitas selama satu bulan untuk terlibat secara langsung dengan mengalami, mengamati dan mengkaji apa yang dilakukan dan hasil yang diperoleh dari lembaga/komunitas tersebut. Marzuki Wahid, sebagai penggagas mata kuliah ini, mengatakan bahwa mata kuliah ini dimaksudkan untuk mendialogkan antara teks dan realitas sosial.

Melalui pengalaman lembaga-lembaga bersentuhan dengan realitas sosial, mahasantri banyak menimba ilmu dan pengalaman bagaimana mendialogkan teks dengan realitas. Setelah sekian lama mahasantri belajar teori-teori ataupun dalil-dalil keagamaan (nushus al-syariah) di Ma’had Aly, mereka bisa belajar bagaimana menerapkan sebuah teori  atau mengkontekstualisasikan teks ke dalam realitas.

Sebagaimana disadari oleh M. Abdul Aziz Jafar di dalam buku ini. Setelah belajar dan  berkenalan dengan Rumah KitaB, ia akhirnya sadar bahwa realitas sosial haruslah dijadikan sebagai dasar untuk menafsiri teks-teks keagamaan. Metode seperti ini yang biasa dilakukan Rumah KitaB dalam mengurai problem sosial, yakni berangkat dari analisis dan penelitian-penelitian sosial, sebelum melihat, memahami dan berpaling kepada teks. Bukan sebaliknya. Rumah KitaB memiliki metodologi sendiri yang dikenal dengan “Maqasid al-syariah lin-nisa”, yaitu sebuah metode pembacaan teks yang menghubungkan antara teks, realitas, dan maqashid syariah.

Melalui pembacaan maqashid al-syariah lin-nisa, teks tidak akan kehilangan konteksnya, baik konteks masa kini melalui pembacaan ulang atau pun konteks masa lalu melalui pembacaan sejarah/analisis historis. Juga masih dalam ruang lingkup dan tidak melenceng dari cita-cita dan tujuan syariat (maqashid al-syariah)

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam “I’lam al-Muaqin”  bahwa seorang mufti atau hakim sebelum memutuskan sebuah fatwa atau produk hukum terlebih dulu harus memahami dua hal:  memahami realitas (fahmu al-waqi wa fiqhuhu) dan memahami teks (fahmu al-wajib fi al-waqi). Sebelum memahami teks atau menetapkan teks ke dalam realitas, realitasnya perlu dipahami terlebih dulu agar teks tidak kehilangan konteksnya. Teks dan realitas ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling melengkapi tak dapat dipisahkan.
Wallahu a’lam bishawab.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.