Pos

Fikih Lingkungan

Di penghujung kekuasaannya Jokowi menerbitkan PP No. 25 Tahun 2024  tentang perubahan atas PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi dan polemik di masyarakat dan tak semua Ormas keagamaan menyambut baik atas terbitnya PP ini.

PBNU langsung merespon dan menyambut baik keputusan ini. “Kebijakan ini merupakan langkah berani yang menjadi terobosan penting untuk memperluas pemanfaatan sumber daya-sumber daya alam yang dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat secara lebih langsung,” kata KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya)

Untuk menguatkan pernyataan Gus Yahya, Kiai Ulil Abshar Abdallah menurunkan tulisan sebagai tanggapan sekaligus — saya anggap mewakili — sikap pengurus PBNU terkait polemik konsesi tambang untuk Ormas: Tambang Antara Ideologi dan Fikih (Kompas, 20/06).

Menurut Kiai Ulil, studi tentang  lingkungan secara “epistemologis” bisa didekati menggunakan dua pendekatan: ideologi lingkungan dan fikih lingkungan. Yang pertama menganggap bahwa persoalan lingkungan akan selalu berkelindan dengan isu perubahan iklim. Industri ekstraktif, seperti pertambangan, akan mengakibatkan kerusakan lingkungan, tercerabutnya komunitas budaya di sekitar tambang, juga bisa menyebabkan pemanasan global (global warming).

Pendekatan ideologi lingkungan, dalam bayangan Kiai Ulil,  sudah selesai dan tidak perlu perdebatan lagi. Karena semuanya akan bermuara pada isu perubahan iklim. Sehingga, apapun yang menyebabkan atau menyumbang pada perubahan iklim harus dibuang dan ditinggalkan.

Kiai Ulil enggan menggunakan pendekatan ideologi lingkungan karena di samping menutup pintu perbedaan dan perdebatan, juga tidak memberikan celah dan kesempatan kepada PBNU untuk bisa mengelola tambang. Apalagi berupa tambang batubara yang jelas-jelas memberikan dampak serius dan mempercepat pemanasan global.

Kiai Ulil memilih menggunakan pendekatan fikih lingkungan. Fikih lingkungan yang dimaksud Kiai Ulil, sebagaimana dijelaskan dalam tulisannya di laman facebooknya, adalah cara memandang sesuatu, termasuk lingkungan, melalui cara pandang fikih, termasuk di dalamnya ushul fikih dan kaidah fikih.  

Fikih merupakan basis pengetahuan dan pandangan dunia santri. Bagi Kiai Ulil, pembacaan fikih lingkungan lebih mewakili  cara pandang ulama/kiai. Hal ini berbeda dengan cara pandang ideologi lingkungan, pendekatan fikih lingkungan lebih fleksibel, lentur, dan tidak saklek (hitam-putih).

Dalam menghukumi batubara, Kiai Ulil menggunakan kaidah dasar yang dikenalkan Imam Malik, yaitu al-Istishab. Kebolehan sesuatu sebagai hukum asal. Hukum batubara (menambang/menjual-belikan/menggunakan) tidak pernah disebut oleh nash, baik al-Quran dan al-Hadis. Karena itu, hukum yang berlaku adalah dikembalikan kepada hukum asal. Sedangkan hukum asal sesuatu dalam hal muamalah, menurut kaidah, adalah boleh (al-ashlu fi al-mu’amalah al-ibahah). Jadi, batubara dalam dirinya sendiri (lidzatihi) adalah halal.

Selain menggunakan kaidah al-istishab, Kiai Ulil mendasarkan argumentasinya pada kaidah   al-maslahah al-murasalah. Bagaimanapun, kata Kiai Ulil, batubara memiliki manfaat (maslahat) sekaligus mudarat. Tinggal dikalkulasi dan ditimbang lebih besar mana antara manfaat dan mudaratnya. Di sinilah titik perdebatan selanjutnya.

Menurut Abdul Wahab Khalaf, ada dua tiga syarat menggunakan dalil maslahah mursalah. Pertama, kemaslahatan yang dimaksud haruslah kemaslahatan yang hakiki bukan kemaslahatan yang wahmy. Kedua, kemaslahatan itu haruslah kemaslahatan yang bersifat universal bukan kemaslahatan yang hanya dinikmati sekelompok/segelintir orang. Dan ketiga, kemaslahatan itu tidak boleh bertentangan dengan agama.

Jika batubara bermanfaat untuk menghasilkan energi, apakah tidak ada sumber energi alternatif yang tingkat mudaratnya tidak lebih besar dari batubara? Mengingat menurut banyak studi, batubara merupakan sumber energi fosil yang paling banyak menyumbang pemanasan global (global warming). Belum lagi kerusakan lingkungan akibat penambangan batubara ini tidaklah sedikit: penggundulan hutan atau pengusiran pemukiman, mengurangi sumber resapan air, bahaya kesehatan, dll.

Kaidah yang berlaku seharusnya adalah “lil wasail hukmul maqashid” (sarana mengikuti tujuan). Sama seperti hukum rokok. Rokok jelas halal, karena hukumnya tidak ditemukan pada zaman Nabi SAW. Kaidah yang berlaku adalah “istishab”, memberlakukan hukum asal, yaitu halal, sebagaimana hukum batubara. Namun, menurut medis, rokok menyebabkan pelbagai penyakit . Sehingga, menjual rokok seharusnya haram (menurut pendapat ulama yang mengharamkan rokok), sebagaimana haram menjual pisau kepada orang yang akan menggunakannya untuk membunuh. Kecuali kalau kita menganggap bahaya-bahaya tersebut hanya sekadar bualan belaka.

Selain itu, dalam menimbang dan mempertimbangkan kemaslahatan (maslahah muraslah), PBNU tak boleh egois hanya mementingkan diri sendiri dan umatnya, tanpa mempertimbangkan dampak buruk bagi umat manusia secara umum (maslahah amah) dan dampaknya di masa depan.

Karena itu, kebijakan pemerintah memberikan konsesi tambang kepada Ormas hanya menambah mudarat dan dosa ekologi bagi umat manusia. Jika pemerintah ingin memberdayakan ekonomi umat melalui ormas, kenapa harus tambang? Bukankah masih banyak jenis usaha ekonomi yang bermanfaat dan tak menimbulkan mudarat? Wallahu alam bi sawab

(bersambung)

Teks dan Realita

Mahasantri Ma’had Aly Kebon Jambu baru saja meluncurkan buku “Ngelmu di Lapangan; Refleksi Mahasantri dalam melakukan Studi Praksis Sosial di Lembaga-Lembaga KUPI” (12/07). Buku ini memuat pengalaman-pengalaman mahasantri selama melakukan studi lapangan di lembaga-lembaga jaringan KUPI, sebagai bekal untuk menempuh tugas akhir kuliah. Studi lapangan ini merupakan bagian dari mata kuliah Studi Praksis Sosial (SPS). Mata kuliah SPS diperuntukkan untuk mahasantri semester akhir .

Sebagai pengampu mata kuliah ini, Bahrul Ulum menjelaskan di buku ini bahwa SPS adalah mata kuliah lapangan untuk mengkaji praksis sosial yang dilakukan oleh lembaga atau komunitas. Selama mengikuti SPS mahasantri tinggal di lembaga/komunitas selama satu bulan untuk terlibat secara langsung dengan mengalami, mengamati dan mengkaji apa yang dilakukan dan hasil yang diperoleh dari lembaga/komunitas tersebut. Marzuki Wahid, sebagai penggagas mata kuliah ini, mengatakan bahwa mata kuliah ini dimaksudkan untuk mendialogkan antara teks dan realitas sosial.

Melalui pengalaman lembaga-lembaga bersentuhan dengan realitas sosial, mahasantri banyak menimba ilmu dan pengalaman bagaimana mendialogkan teks dengan realitas. Setelah sekian lama mahasantri belajar teori-teori ataupun dalil-dalil keagamaan (nushus al-syariah) di Ma’had Aly, mereka bisa belajar bagaimana menerapkan sebuah teori  atau mengkontekstualisasikan teks ke dalam realitas.

Sebagaimana disadari oleh M. Abdul Aziz Jafar di dalam buku ini. Setelah belajar dan  berkenalan dengan Rumah KitaB, ia akhirnya sadar bahwa realitas sosial haruslah dijadikan sebagai dasar untuk menafsiri teks-teks keagamaan. Metode seperti ini yang biasa dilakukan Rumah KitaB dalam mengurai problem sosial, yakni berangkat dari analisis dan penelitian-penelitian sosial, sebelum melihat, memahami dan berpaling kepada teks. Bukan sebaliknya. Rumah KitaB memiliki metodologi sendiri yang dikenal dengan “Maqasid al-syariah lin-nisa”, yaitu sebuah metode pembacaan teks yang menghubungkan antara teks, realitas, dan maqashid syariah.

Melalui pembacaan maqashid al-syariah lin-nisa, teks tidak akan kehilangan konteksnya, baik konteks masa kini melalui pembacaan ulang atau pun konteks masa lalu melalui pembacaan sejarah/analisis historis. Juga masih dalam ruang lingkup dan tidak melenceng dari cita-cita dan tujuan syariat (maqashid al-syariah)

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam “I’lam al-Muaqin”  bahwa seorang mufti atau hakim sebelum memutuskan sebuah fatwa atau produk hukum terlebih dulu harus memahami dua hal:  memahami realitas (fahmu al-waqi wa fiqhuhu) dan memahami teks (fahmu al-wajib fi al-waqi). Sebelum memahami teks atau menetapkan teks ke dalam realitas, realitasnya perlu dipahami terlebih dulu agar teks tidak kehilangan konteksnya. Teks dan realitas ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling melengkapi tak dapat dipisahkan.
Wallahu a’lam bishawab.[]

Catatan Gus Jamal: NAMBANG DAWA

NAMBANG DAWA [1]

Oleh: Jamaluddin Muhammad

Dalam sebuah obrolan ngopi malam, seorang kawan bercerita tentang kejadian di desanya. Seorang perempuan hamil di luar nikah. Untuk menutupi aib dan menjaga marwah keluarga, sebelum perutnya membesar ia segera dinikahkan secara siri dengan lelaki pilihan orang tuanya. Kabarnya, lelaki yang menghamili tak mau bertanggung jawab.

Dalam kehidupan kampung yang masih menjunjung tinggi norma-norma dan nilai-nilai komunal, peristiwa tersebut bukanlah peristiwa kecil yang hanya menimpa perempuan tersebut, melainkan sebuah “peristiwa sosial” yang beban dan dampaknya harus ditanggung bersana oleh keluarga. Hamil di luar nikah menciptakan stigma dan dosa sosial. Inilah kenapa banyak orang tua panik ketika mendapati anaknya hamil di luar nikah dan segera mengambil solusi cepat menikahkannya dengan atau tanpa orang yang menghamili.

Kembali pada cerita perempuan tadi. Tragisnya, tak lama setelah menikah, suaminya pergi menghilang tanpa kabar. Tujuh tahun ia menanti suaminya kembali. Hingga suatu ketika datang seorang lelaki melamarnya. Ia bingung dan tak bisa mengambil keputusan karena ia merasa masih terikat perkawinan dengan suaminya. Meski tak pernah mendapat nafkah, suaminya belum menceraikannya. Perempuan tersebut bertanya kepada kawan saya soal status perkawina yang menggantung ini.

Saya menyarankan utk diselesaikan di pengadilan. Namun, menurut kawan saya, karena perkawinannya tak dicatat negara (kawin siri) maka tak bisa diselesaikan lewat pengadilan. Inilah dampak kawin siri. Yang paling dirugikan dan korban pertamanya adalah perempuan. Hak dan kewajibannya terabaikan dan tak mendapat perlindungan negara.

Kawan saya meminta penyelesaian lewat fikih: bagaimana fikih menyikapi kasus seperti ini. Saya mencoba mencari ibarat (rujukan) dalam kitab-kitab yang dianggap otoritatif (mu’tabarah). Dalam beberapa kitab fikih disebutkan bahwa seorang istri yang ditinggal pergi suaminya (zaujatul mafkud) tak boleh menikah lagi sampai mendapat kepastian status suaminya, apakah ia sudah meninggal atau sudah menceraikannya. Selama masih belum ada kepastian, kadi/hakim tak boleh memutuskan status perkawinan tersebut. Juga tak boleh menikahkan dengan orang lain. Jika ia terpaksa menikah, kemudian suami pertama kembali lagi, maka pernikahan kedua batal dan ia harus kembali pada suami pertama. Karena “pernikahannya diketahui secara pasti dan hanya bisa dibatalkan dengan sesuatu yang pasti pula” (li ann al-nikah ma’lum biyaqin fala yazalu illa biyaqin). [2]

Al-Nawawi dalam Raudlatut Thalibin menyebut dua pendapat antara qaul qadim dan qaul jadid. Yang pertama senada dengan pendapat ulam di atas. Sementara menurut pendapat kedua, perempuan tersebut boleh menikah lagi setelah empat tahun masa penantian ditambah masa iddah (iddah ditinggal mati suami). [3]

Saya belum menemukan pendapat ulama yang bisa memenuhi rasa keadilan perempuan. Dari sekian banyak pendapat ulama, posisi perempuan (istri) tetap bergantung dan di bawah kekuasaan laki-laki (suami). “Remot” pernikahan (hak cerai) tetap dikendalikan laki-laki. Fikih seolah-olah memberikan otoritas tanpa batas kepada suami utk menceraikan istrinya kapan pun dan di manapun. Sementara istri melalui hak gugat cerai (khulu) tetap harus mendapat persetujuan suami dan harus melewati beberapa syarat.

Dalam banyak hal, fikih kita masih menyisahkan pelbagai persoalan. Dalam konteks keluarga (al-ahwal al-syahsiyyah), peran dan otoritas suami (qiwamah) sangat besar dan menentukan. Suami memiliki hak cerai (talak), hak ekonomi ( nafkah), hak poligami, hak pelayanan seksual, dll. Begitu pun peran dan relasi orang tua (ayah) terhadap anak perempuannya (walaya). Perempuan tak bisa menikah tanpa wali, wali boleh memaksa anak perempuannya menikah (hak ijbar), bagian waris perempuan setengah laki-laki, dan seterusnya. Jadi, sebelu menikah, anak perempuan adalah milik bapaknya (walaya). Dan setelah menikah milik suaminya (qiwamah). Dengan kata lain, perempuan adalah separuh laki-laki. Relasi yang timpang dan tidak seimbang ini (asimetris) menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan. [4]

Inilah problem pengambilan keputusan hukum (istinbat al-ahkam) berdasarkan “manhaj qauli” : mencari pendapat ulama masa lalu utk menghukumi kasus yang sama di masa sekarang. Sementara “alam pikir” ulama-ulama masa lalu belum tentu akseptabel dan kompatibel dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini.

Dalam konteks negara bangsa, kita berhadapan dengan institusi negara sebagai pemilik otoritas tertinggi. Negara memiliki norma-norma hukumnya sendiri yang harus dipatuhi dan merupakan konsensus bersama.
Kita tak bisa berjalan sendiri-sendiri, apalagi saling membelakangi. Dualisme hukum (hukum agama dan hukum negara) tak seharusnya terjadi karena berpotensi mengganggu ketertiban sosial dan melanggar kesepakatan bersama. Karena itu, dalam merumuskan hukum atau fatwa keagamaan, seorang ulama harus dibekali wawasan dan konteks kebangsaan. Wallahu alam bi sawab

[1] Nambang Dawa merupakan kata kiasan. Artinya, suami yang tidak mau mengurus isteri dan tidak pula menceraikarmya dalam waktu yang cukup lama.
[2]
اه (قوله: مهمة لو تزوجت زوجة المفقود الخ) هذه المهمة مختصرة من عبارة الروض وشرحه ونصهما. (فصل) زوجة المفقود المتوهم موته لا تتزوج غيره حتى يتحقق: أي يثبت بعدلين موته أو طلاقه وتعتد لانه لا يحكم بموته في قسمة ماله وعتق أم ولده فكذا في فراق زوجته ولان النكاح معلوم بيقين فلا يزال إلا بيقين، ولو حكم حاكم بنكاحها قبل تحقق الحكم بموته نقض لمخالفته للقياس الجلي
إعانة الطالبين – (ج 4 / ص 95)
( وَلَوْ نَكَحَتْ ) زَوْجَةُ الْمَفْقُودِ ( بَعْدَ التَّرَبُّصِ وَ ) بَعْدَ ( الْعِدَّةِ ) وَقَبْلَ ثُبُوتِ مَوْتِهِ أَوْ طَلَاقِهِ ( فَبَانَ ) الزَّوْجُ ( مَيِّتًا ) وَقْتَ الْحُكْمِ بِالْفُرْقَةِ ( صَحَّ ) نِكَاحُهَا ( عَلَى الْجَدِيدِ ) أَيْضًا ( فِي الْأَصَحِّ ) اعْتِبَارًا بِمَا فِي نَفْسِ
مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 14 / ص 313)
[3]
الْغَائِبُ عَنْ زَوْجِتِهِ إِنْ لَمْ يَنْقَطِعْ خَبَرُهُ فَنِكَاحُهُ مُسْتَمِرٌّ وَيُنْفِقُ عَلَيْهَا الْحَاكِمُ مِنْ مَالِهِ إِنْ كَانَ فِي بَلَدِ الزَّوْجَةِ مَالٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَتَبَ إِلَى حَاكِمِ بَلَدِهِ لِيُطَالِبَهُ بِحَقِّهَا وَإِنِ انْقَطَعَ خَبَرُهُ وَلَمْ يُوْقَفْ عَلَى حَالِهِ حَتَّى يُتَوَهَّمَ مَوْتُهُ فَقَوْلَانِ الْجَدِيْدُ الْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لَهَا أَنْ تَنْكِحَ غَيْرَهُ حَتَّى يَتَحَقَّقَ مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ ثُمَّ تَعْتَدُّ وَالْقَدِيْمُ أَنَّهَا تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ ثُمَّ تَنْكِحُ وَمِمَّا احْتَجُّوا بِهِ لِلْجَدِيْدِ أَنَّ أُمَّ وَلَدِهِ لَا تَعْتِقُ وَلَا يُقْسَمُ مَالُهُ وَالْأَصْلُ
روضة الطالبين وعمدة المفتين
[4] Untuk bacaan lebih lanjut tentang qiwamah dan walaya baca buku “Fikih Perwalian” terbitan Rumah KitaB

Diskusi Qiwamah dan Wilayah seri 2

 

 

Pada hari Selasa, 17 April 2018, Rumah KitaB kembali mengadakan diskusi Seri Qiwamah dan Wilayah, yang dihadiri para peserta aktif diskusi yang berlatarbelakang pesantren, yaitu Kiyai Asnawi Ridwan (Pengurus LBM PBNU), KH. Affandi Mochtar, Kiyai Zaenul Maarif (LBM PWNU DKI Jakarta), Lies Marcoes, Kiyai Jamaluddin Muhammad (Rumah KitaB dan Lakpesdam PBNU), Muhammad Khoiron (LDNU DKI Jakarta), Roland Gunawan, Ahmad Hilmi, Fikih Kurniawan (UIN Jakarta), Kiyai Ali Mursyid, dan Civita Patriana dari Women Research Institute (WRI).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Diskusi kali ini diisi dengan seri bedah kitab. KH. Husein Muhammad presentasi kitab “Imraatuna fi al-Syariah wa al-Mujtama’” karya Thahir al-Haddad, penulis kebangsaan Tunisia Abad ke-20, Mukti Ali presentasi kitab “al-Mursyid al-Amin lil-Banat wa al-Banin” karya Syekh Rifaah Rafi’ al-Tahthawi, pioner pencerahan dan pembaharuan Mesir, dan KH. Ulil Abshar Abdalla     sebagai pembanding. Diskusi kitab dimoderatori oleh Roland Gunawan.

Sebelum diskusi dibuka, Lies Marcoes membuka diskusi atas nama direktur Rumah KitaB. Dan Roland Gunawan memandu berlangsungnya diskusi. Roland memberikan waktu kepada pemateri pertama, Mukti Ali.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mukti Ali menjelaskan sekilas biografi Rifaah al-Thathawi. Rifaah (1801-1873 M.) lahir di Mesir, enam tahun menimba ilmu agama di Al-Azhar al-Syarif Mesir. Setelah selesai, Rifaah diangkat menjadi guru di almamaternya selama dua tahun. Oleh gurunya, Syekh Hasan al-‘Atthar, diutus menjadi imam shalat dan penasihat keagamaan bagi satuan militer Mesir.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak lama keludian, Muhammad Ali Basya, pemerintah Mesir, akan memberangkatkan sejumlah anak muda Mesir ke Parsi. Syekh Hasan al-‘Atthar mengusulkan agar Rifaah menyertai mereka ke Paris sebagai imam shalat dan penasihat keagamaan. Akhirnya Rifaah bersama rombongan dikirim ke Paris. Di Paris selama lima tahun. Dan kembali pulang ke Mesir.

Kitab “al-Mursyid al-Amin lil-Banat wa al-Banin” karya Syekh Rifaah Rafi’ al-Tahthawi, lanjut Mukti, menjelaskan tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, membangun rumah tangga yang baik, kepemimpinan perempuan, dan kemerdekaan (hurriyah). Dan kitab inilah sebagai pedoman bagi ulama, guru, staf, dan pemerintah pemangku kebijakan yang pro terhadap sekolah perempuan pertama yang diperjuangkan Rifaah.

Setelah Mukti selesai menjelaskan. Moderator menyerahkan waktu kepada KH. Husein Muhammad. Kiyai Husein sebelum presentasi kitab “Imraatuna fi al-Syariah wa al-Mujtama’” karya Thahir al-Haddad, menjelaskan sekilas biografi Thahir al-Haddad. Thahir al-Haddad lahir pada 1899 M. dan pendidikan awalnya belajar ilmu-ilmu tradisional di Madrasah Zaetunah selama tujuh tahun (1913-1920 M.).

Setelah lulus dari Zaitunah, Al-Haddad menjadi aktivis buruh dan beraliran kiri, sembari menjadi wartawan dan penulis. Dengan kitab karyanya, “Imraatuna fi al-Syariah wa al-Mujtama’“, Thahir al-Haddad menjadi kontroversial dan bahkan berujung pengkafiran dan pengasingan dan penjara. Ia dibuang dan dipenjaran di Arab Saudi, dan meninggal di sana, tanggal 7 Desember 1935, pada usia yang masih muda, 36 tahun.

Kitab “Imraatuna fi al-Syariah wa al-Mujtama’“, berisi tentang berbagai persoalan perempuan dan hukum keluarga. Di antara persoalan perempuan, yaitu tentang hijab atau cadar. Sedangkan persoalan hukum keluarga, di antaranya Thahir al-Haddad menolak poligami, mengusulkan perceraian baru sah di hadapan pengadilan, dan yang lainnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ulil Abshar menanggapi bahwa, menariknya kedua tokoh yang dikaji, yaitu Rifaah al-Thahtawi dan Thahir al-Haddad, adalah para tokoh yang berlatarbelakang pendidikan Islam tradisional. Al-Azhar adalah lembaga pendidikan tradisional Islam tertua di dunia, dan Zaitunah adalah lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Tunisia.

Kiyai Ulil juga menyatakan bahwa, tidak akan muncul tokoh seperti Thahir al-Haddad kalau sebelumnya tidak muncul Rifaah al-Thahthawi. Thahir al-Haddad sejatinya melanjutkan apa yang sudah diperjuangkan oleh Rifaah. Rifaah yang merintis sekolah bagi perempuan. Dan setelah sekolah-sekolah perempuan banyak berdiri di Timur Tengah dan kesadaraan untuk memperjuangkan martabat perempuan sudah tumbuh yang sudah dirintis oleh Rifaah, lalu Thahir al-Haddad muncul meski berakhir tragis.

Pandangan-pandangan Rifaah kalau dibaca pada masa sekarang seperti tidak revolusioner. Akan tetapi pada zamannya, pemikirannya sangat revolusioner, pungkas Kiyai Ulil yang gandrung dengan ngaji Ihya-nya.[Mukti Ali]