Perempuan dan Perlawanan dalam Sunyi
Sebagian besar penjual di pasar terapung Lok Baintan (salah satu destinasi wisata di Kalimantan Selatan) adalah perempuan. Rasanya sulit menjumpai laki-laki berdagang di atas jukung (sampan kecil). Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan di Lok Baintan setara dengan laki-laki, terutama di ranah pekerjaan.
Menariknya, pemandangan seperti itu tak dijumpai di pasar terapung Kuin. Di sini laki-laki bisa dijumpai dengan cukup mudah. Fenomena ini bukan berarti berbeda dan berbanding terbalik dengan fenomena di atas. Sebaliknya, konstruksi sosial di sebuah wilayah turut mempengaruhi bagaimana relasi perempuan-laki-laki, termasuk di Kalimantan Selatan. Lok Baintan dan Kuin mungkin masih satu wilayah, namun memiliki konstruksi dan relasi berbeda.
Akses perempuan ke ruang publik, termasuk sebagai pencari nafkah keluarga, di masyarakat Banjar terbilang cukup luas. Perempuan bisa dengan mudah terlibat dalam urusan ekonomi keluarga. Namun, di beberapa sisi kehidupan, perempuan Banjar masih berkelindan dengan narasi, imaji, hingga tradisi berlatar patriarkis.
Sejarah perempuan Banjar di ruang publik sangatlah kompleks. Sejarah, konstruksi sosial, memori masyarakat, kondisi sosio-politik, hingga ajaran agama turut memengaruhinya. Kehadiran perempuan di ruang publik, bagi masyarakat Banjar, terus berubah-ubah dan dinamis. Perempuan tidak selalu memiliki ruang bebas dan leluasa untuk beraktifitas.
Konstruksi masyarakat Banjar atas perempuan sangatlah kompleks, terlebih hari ini. Bagaimana menjelaskan fenomena ini?
***
Arlene E. MacLeod pernah menulis buku berjudul Accommodating Protest: Working Women, the New Veiling, and Change in Cairo. Dalam buku tersebut, Arlene mengeksplorasi fenomena membingungkan dari praktik cadar di kalangan perempuan kelas menengah ke bawah di Kairo. Apa yang dia temukan?
Arlene melihat para perempuan bercadar tersebut berkelindan pada dua sisi identitas yang berbeda, namun dijalankan bersamaan. Di satu sisi, para perempuan bercadar tersebut adalah bagian dari kelas menengah yang modern, namun di sisi lain mereka juga secara sukarela mengadopsi simbol tradisional subordinasi perempuan.
Dari fenomena tersebut, Arlene menjelaskan fenomena tersebut adalah perilaku reaksioner sebagai gaya baru dalam perjuangan politik, yang dia sebut sebagai protes yang akomodatif. Sebagian besar perempuan bercadar tersebut adalah pekerja administrasi di birokrasi pemerintahan yang besar. Di mana mereka merasa ambivalen dengan bekerja di luar rumah, karena menganggapnya sebagai perubahan yang membawa beban baru dan juga manfaat penting.
Pada saat yang sama mereka menyadari bahwa meninggalkan rumah dan keluarga menciptakan situasi yang tidak dapat ditoleransi yaitu erosi status sosial dan hilangnya identitas tradisional mereka. Cadar, menurut Arlene, telah menjadi simbolisme baru dari dilema subkultural yang menegangkan ini, yang melibatkan elemen-elemen perlawanan dan persetujuan.
Kehidupan kita, dalam hal ini para perempuan, tidaklah statis. Cadar di kalangan perempuan Mesir adalah contoh bagus untuk kita tidak lagi beranggapan bahwa kehidupan kita hari ini tidak sekedar pilihan atau oposisi biner.
***
Aktifitas perempuan di ruang publik dengan beragam kebebasan dan keleluasaannya pun bukan berarti dalam posisi egaliter. Buku berjudul “Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?” karya Katrina Marçal, bisa membantu kita memahami bagaimana keterlibatan perempuan dalam beragam peran di ruang publik tidak selalu berkonotasi egaliter.
Dalam buku tersebut, Marçal menggambarkan bahwa feminisme juga melatari apa yang mungkin merupakan pergeseran ekonomi terbesar abad lalu. Di mana kehadiran perempuan sebagai pekerja telah menghadirkan pergeseran ekonomi dan sosial raksasa, di mana separuh populasi manusia mengalihkan sebagian kerjanya dari rumah ke pasar. Pada saat yang sama, kehidupan keluarga berubah.
Ilmu ekonomi yang dibangun oleh Adam Smith yang populer dengan sebutan kapitalisme, telah mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Ada sebuah ilustrasi yang digunakan Marçal atas kehidupan perempuan, di mana perempuan karier dengan bayi menangis, dia menunggu hingga usia empat puluh tahun untuk melahirkan, dan kini tidak memiliki waktu untuk mengasuhnya. Sosok perempuan ini disebut egois, tidak bertanggung jawab, dan bukan perempuan baik-baik.
Sebaliknya, ibu muda kelas pekerja duduk di rusun bantuan pemerintah, hidup dari tunjangan sosial dan tanpa laki-laki menopang hidupnya. Dia juga disebut egois, tidak bertanggung jawab, dan bukan perempuan baik-baik. Begitu paradoxnya kehidupan perempuan modern hari ini.
Dinamika kehidupan perempuan Banjar yang hadir di ruang publik dalam bingkai pekerjaan tidak berarti intimidasi dan penindasan atas perempuan musnah. Selain itu, eksistensi perempuan sebagai pekerja sebenarnya bisa saja menjadi jalan keluar dari beragam masalah jika dibarengi dengan kesetaraan dalam ekonomi, bukan hanya keterbukaan peluang belaka.
Beragam tradisi, narasi agama, hingga tuntutan ekonomi berkelindan dan membentuk bagaimana perempuan hari ini, termasuk di masyarakat Banjar. Perempuan Banjar muslim yang berjualan di pasar terapung atau pekerja penuh di perusahaan swasta di kota memiliki irisan yang serupa dalam pembentukan kehidupan mereka. Mereka pun memiliki suara perlawanan masing-masing atas penindasan dan intimidasi yang mereka hadapi.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!