ASWAJA

KETIKA berbicara teologi sulit sekali untuk tidak mengaitkannya dengan persoalan politik. Munculnya banyak aliran teologi dalam Islam oleh banyak kalangan dinilai tidak lepas dari pertikaian politik waktu itu. Tepatnya pasca al-fitnah al-kubra (tragedi besar) terbunuhnya Utsman ibn Affan.

Sebetulnya, benih-benih perpecahan itu sudah muncul sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Muhajirin dan Anshor berebut siapa yang pantas memimpin menggantikan beliau. Masing-masing merasa berhak menjadi pemimpin. Pertikaian tersebut menyebabkan jasad nabi tertunda dikubur selama tiga hari.

Hingga muncullah Abu Bakar al-Shiddiq ra. yang dianggap mewakili kelompok keduanya. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar pun banyak persoalan muncul. Banyak orang-orang Islam yang tidak mau membayar zakat. Alasannya zakat hanya berhak diberikan pada saat Nabi Saw. masih hidup. Abu Bakar memerangi mereka karena dianggap murtad.

Sepeninggal Abu Bakar, Umar ibn al-Khatthab ra. menggantikan posisinya. Pada masa kepemimpinan Umar banyak kebijakannya yang dianggap kontroversial. Sehingga memunculkan banyak resisitensi. Salah satunya tidak mau membagikan harta fai kepada muallaf. Juga tidak membagikan tanah rampasan perang kepada prajurit-prajuritnya.

Puncaknya terjadi pada masa kepemimpinan Utsman ibn Affan ra. Sebagai pengganti Umar, Utsman dianggap menyuburkan praktik-praktik nepotisme yang hanya menguntungkan kroni-kroni dan keluarganya. Sehingga terjadilah gelombang demonstrasi besar-besar yang menyebabkan ia terbunuh.

Pada masa sulit seperti ini muncullah Ali ibn Abi Thalib ra. Ia tampil menggantikan Utsman. Belum begitu lama memimpin, banyak pihak yang menuntut balas atas kematian Usman. Kelompok pertama datang dari kubu Aisyah yang disokong Thalhah dan Zubair. Akibatnya terjadilah perang besar yang dalam sejarah disebut perang Jamal (perang unta, karena Aisyah sebagai panglima perang mengendarai unta). Thalhah dan Zubair terbunuh. Aisyah dikembalikan lagi ke Madinah.

Kelompok kedua datang dari sepupu Usman sendiri, yaitu Muawiyah. Ia menjabat sebagai Gubernur Damaskus dan memobilisasi massa untuk melawan Ali karena dianggap bertanggung jawab atas kematian Usman.

Terjadilah perang besar antara kubu Ali dan Muawiyah. Sejarah menyebutnya perang Siffin karena terjadi di daerah Siffin. Awalnya pasukan Ali berhasil memukul mundur pasukan Muawiyah. Namun, berkat kelicikan Amr ibn al-Ash, tangan kanan Muawiyyah, pasukan Muawiyah tidak jadi kalah. Amr mengangkat al-Qur`an di atas tombak dan mengajak tahkim (arbitrase).

Waktu itu Ali tidak mengindahkan ajakan Amr. Sebelumnya Ia sudah memahami watak licik Amr. Namun, karena mayoritas pasukan Ali didominasi huffazh (penghapal al-Qur`an) akhirnya mendesak Ali agar menerima tawaran tersebut.

Sehingga terjadilah tahkim (penangguhan hukum). Setiap kubu sepakat untuk memakzulkan pemimpinnya masing-masing. Dari kubu Ali diwakili Abu Musa al-Asyari, sementara kubu Muawiyah diwakili Amr ibn al-Ash. Abu Musa sebagai yang tertua terlebih dahulu naik panggung dan mengumumkan kepada publik putusan menjatuhkan kedua pemimpin yang bertikai itu. Berbeda ketika Amr ibn al-Ash mengumumkan kepada khalayak ramai, ia hanya menjatuhkan Ali dan menolak menjatuhkan Muawiyah.

Bagaimanapun peristiwa ini merugikan Ali dan menguntungkan Muawiyah. Yang legal menjadi khalifah sesungguhnya Ali. Muawiyah tidak lebih hanyalah gubernur daerah yang tidak mau tunduk pada pusat. Sehingga, tidak heran, sampai akhir hayatnya Ali tidak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah.

Akibat pertikaian itu pasukan Ali terpecah dua: pertama, masih setia dan mendukung Ali. Mereka adalah pendukung fanatik Ali. Kelak dari merekalah lahir sekte Syiah. Kedua, menyempal dan membuat pasukan tersendiri yang berbalik menentang Ali dan masih memusuhi Muawiyah. Mereka disebut khawarij.

Kahwarij mengkafirkan Ali, Muawiyah, Amr ibn al-Ash, Abu Musa al-Asyari, karena dianggap tidak berhukum dengan hokum al-Quran. “Wa man lam yahkum bima anzala Allah fa ula’ika hum al-kafiruun,” kata mereka. Inilah statement pertama kali yang berbau teologis karena sudah menyangkut kafir dan mukmin; siapa yang selamat (masuk surga) dan siapa yang celaka (masuk neraka); halal dan haram darahnya.

Di samping itu, Muawiyyah yang merasa kekuasaannya diujung tanduk, kemudian menyebarkan paham fatalistik (jabariyyah) dengan mengatakan, “Kalau Allah tidak ridha kepadaku, tidak mungkin aku akan menjadi khalifah. Kalau Allah benci kepadaku, niscaya Allah akan menggantikanku dengan orang lain.” Dengan demikian, secara tidak langsung, ia mengatakan bahwa kekuasaannya adalah berkat takdir dari Allah. Tentu saja ini bagian dari manuver politik dia agar diterima masyarakat luas.

Paham Jabariyah ini mendapat reaksi dari Muhammad ibn Ali al-Hanafiyah, purta Ali, yang mengatakan bahwa: Allah tidak ikut campur terhadap urusan manusia. Setiap tindakan manusia berasal dari manusia sendiri. Juga menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Karena itu, menurut paham ini, apa yang dilakukan Muawiyah adalah perbuatannya sendiri dan tanggung jawab sendiri pula. Paham seperti ini kemudian dikenal dengan Qadariyah. Juga sebagai embrio Muktazilah yang rasional dan mengabaikan wahyu.

Di tengah pertikaian politik yang bernuansa agama (teologi) inilah kemudian muncul sekelompok orang yang tidak mau terseret politik. Ia lebih memilih menarik jarak dari kekuasaan dan mencoba berpikir jernih. Mereka dipelopori Hasan al-Basri, Sufya al-Tsauri, Fudail bin Iyadh, serta Abu Hanifah. Kelompok hasan al-Basri inilah yang sebenarnya merupakan fondasi awal Ahlussunah wal Jamaah. Baru kemudian pemikirannya diteruskan Abdullah ibn Kullab, Haris ibn Asad al-Muhasibi, dan Abu Bakar al-Qalanisi. Pada abad berikutnya dilanjutkan Abu Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi.

Revitalisasi Makna ASWAJA

Dalam Risalah Ahlussunah wal Jamaah (ASWAJA), KH Hasyim al-Asyari merumuskan ASWAJA sebagai berikut: (1). Teologi mengikuti al-Asyari atau al-Maturidi; (2). Fikih mengikuti salah satu dari empat madzhab: al-Syafi’i, Hanbali, Abu Hanifah, dan Ahmad; (3). Tasawuf mengikuti al-Ghazali atau al-Junaidi. Pengertian seperti ini, menurut beliau, didasarkan pada paham keagamaan yang selama ini berlaku dan dianut ulama-ulama di Indonesia.

ASWAJA yang dikemukakan KH. Hasyim Asyari tersebut, menurut Kiyai Said Aqil Siradj, bukanlah definisi yang baku. Kiai Said memiliki definisi sendiri yang menurutnya jauh lebih relevan dengan tuntutan dan kondisi bangsa saat ini. Katanya, ASWAJA bukanlah suatu madzhab, melainkan manhaj al-fikr (metode berpikir) atau sebuah paham yang di dalamnya memuat banyak aliran dan madzhab pemikiran.

Manhaj tersebut sangat lentur, fleksibel, tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran). Hal ini tercermin dari sikap dan pandangan kaum sunni yang mendahulukan nash, meski memberikan porsi yang longgar terhadap rasio dan akal, tidak mengenal tatharruf (sikap ekstrim dan radikal), serta tidak mengkafirkan ahl al-qiblah (sesama penganut Islam). Ketawasutan ASWAJA tersebut meliputi semua aspek kehidupan, akidah, syariah, muamalah, akhlak, tasawuf, dan social-politik.

ASWAJA Sebagai Alternatif

Akhir-akhir ini kita disuguhi pelbagai peristiwa yang bermuara pada radikalisme agama. Bom bunuh diri, pengusiran Jamaat Ahmadiyah, konflik antar agama dll. Semuanya merupakan rentetan peristiwa yang mewarnai media massa kita. Kalau terus dibiarkan, tatanan kebhinekaan dan pluralitas Bangsa Indonesia lama kelamaan akan rusak dan hancur. Masyarakat Indonesia tidak lagi menganggap Pancasila dan UUD 45 sebagai ideologi negara dan landasan konstitusional. Pada akhirnya, Indonesia hanya akan dipenuhi sekelompok “barbar” yang merasa benar sendiri dan tidak mau hidup berdampingan dengan yang lain.

Anehnya, masih banyak orang/kelompok orang yang menganggap kekerasan berbasis agama sebagai bagian dari perjuangan agama. Misalnya dengan alasan jihad ia membunuh orang lain yang tidak bersalah, bahkan membunuh saudaranya sendiri. Apakah agama mengabsahkan kekerasan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang tak berdosa? Di sinilah bahayanya kekerasan berbasis agama. Karena itu, dibutuhkan pemahaman agama yang moderat, menghargai perbedaan dan cinta perdamaian.

Islam di indonesia memang kaya, tidak monolit dan tidak seragam. Setidaknya itulah yang kita lihat dengan kasat mata. Clifford Geertz misalnya menyebut islam abangan, Islam priyayi dan Islam santri. Namun, Islamnya itu sendiri tetap satu. Yang menjadikan kelihatannya warna-warnanya berbeda adalah penafsiran dan sikap prilaku orangnya, yang kerapkali berubah dari satu waktu ke waktu yang lain.

Setiap tempat-tempat yang di datangi Islam tentu saja tidak kosong nilai dan tidak kosong budaya. Di sana ada nilai-nilai, budaya, dan tradisi yang sebelumnya di bangun oleh peradaban lain terutama Hindu dan Budha. Akhirnya terjadi perembesan budaya, bukan banjir budaya. Pelan-pelan tapi butuh waktu panjang. Di tengah-tengah perembesan budaya ini terjadi dialog-dialog budaya. Dalam dialog ini bisa mempengaruhi satu sama lain. Yang sangat menarik terjadilah “sintesa kreatif” dalam kehidupan beragama. Lihat saja misalnya pada pesta pernikahan. Akad nikahnya pakai ijab Kabul, memiliki saksi, mahar, dst. Setelah itu ada siraman, midodareni, menginjak telur, dsb. Terserah budaya apa yang dipakai. Disini terjadi sintesa kreatif dalam pesta perkawinan. Dan lai lebih dari perkawinan juga banyak sekali. Kumpulan dari sintesa kretif inilah di Indonesia kemudian kita sebut multikultural.

Kemudian terjadi pula proses akulturasi dan inkulturasi (usaha suatu agama untuk menyesuaikan diri dengan kondisi setempat). Inkulturasi itu banyak sekali kita rasakan. Di sini kumpulan dari berbagai nilai-nilai agama di dekatkan dengan nilai-nilai budaya setempat. Misalnya saja tradisi Tingkepan. Tingkepan itu masih berjalan dan masih berlaku di masyarakat. Proses akulturasi dan inkulturasi itu bukan hanya dalam tataran agama tetapi juga dalam tataran kehidupan politik.

Pada aras yang lain kita juga menyaksikan kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan yang dialami banyak masyarakat Indonesia. Padahal, mereka hidup di tengah bangsa yang dipenuhi sumber daya alam yang melimpah. Lantas, kenapa mereka miskin, bodoh, dan tertinggal? Mereka sengaja dimiskinkan, dibuat bodoh, dan diciptakan oleh struktur sosial yang menyebabkan mereka tertinggal. Kekayaan alam kita dieksploitasi perusahaan-perusahaan yang rata-rata dimiliki asing. Hasilnya bukan untuk kesejahteraan masyarakat, melainkan dinikmati oleh segelintir orang. Inilah yang disebut kemiskinan struktural. Kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial yang timpang.

Sementara negara/pemerintah sama sekali tidak melindungi dan berpihak pada rakyat. Seringkali negara malah didikte oleh kekuatan-kekuatan asing, seperti WTO, IMF, atau World Bank. Akibatnya, subsidi untuk masyarakat kecil dipangkas, banyak aset-aset negara yang diprivatisasi dan dilelang ke negara asing. Ini karena negara kita menganut ideologi neo-liberalisme di mana tanggung jawab negara diminimalisir. Yang berkuasa adalah pasar dan modal. Sehingga jurang pemisah antara kaya dan miskin semakin lebar, karena negara pada akhirnya tidak punya tanggung jawab sama sekali terhadap rakyatnya.

Nah, bagaimana agar ASWAJA bisa bermain di tengah-tengah arus “radikalisme agama” dan “neo-liberalisme”. Kita melihat Indonesia dikepung oleh dua kekuatan tersebut. Keduanya sama-sama berbahaya dan berpotensi menghancurkan. Radikalisme agama hanya akan melahirkan distorsi terhadap nilai-nilai agama (Islam) yang berwatak rahmatan lil alamin, menghargai perbedaan, menjunjung tinggi keadilan dan persamaan. Sementara neo-liberalisme hanya akan melanggengkan kapitalisme global yang mengikis habis kemandirian bangsa dan negara, memperlebar kesenjangan sosial, dan menyebabkan keterbelakangan dan ketertinggalan.

Sebagai orang yang lahir di tengah-tengah komunitas Nahdliyyin (pesantren), kita seharusnya mampu menawarkan ASWAJA sebagai ideologi alternatif untuk melawan kedua ideologi tersebut (radikalisme agama dan neo-liberalisme). Namun, ASWAJA yang dimaksud di sini tentunya bukan dalam makna konvensional, seperti yang dirumuskan khadrati al-syaikh KH. Hasyim Asy’ari, yaitu mengikuti salah satu dari empat madzhab fiqh, berteologi Asyari atau Maturidi, dan bertasawuf mengikuti al-Ghazali atau al-Junaidi. Tentunya ASWAJA yang dimaksud di sini adalah manhaj al-fikr (metode berpikir) yang bercorak tawasut, tawazun, dan tasamuh. ASWAJA dalam makna seperti ini lebih hidup dan lebih segar. ASWAJA dalam maknanya yang baru tidak lagi mempersoalkan pertentangan antara rasionalisme-literalisme, tekstual-kontekstual, atau wahyu dan akal, tapi bagaimana ASWAJA mampu mewujudkan dunia untuk manusia yang bermartabat dan berkeadilan. Wallahu A’lam.

Selamat Jalan Kiyai Multifungsi, KH. Makhtum Hannan *)

Oleh: Afif Rivai **)

SUNGGUH saya sangat kaget ketika mendapat kabar via seliweran SMS maupun lewat media sosial wafatnya KH. Makhtum Hannan. Saya mendapat kabar hari sabtu pukul 8.00 pagi beberapa jam setelah Kang Makhtum tutup usia. Mungkin rekan yang mengirim info ke saya sebelum pukul itu, namun karena saya sedang membawakan acara di RCTV maka ponsel di silent. Dari beberapa kerabat dekat yang memberi info ke saya, pimpinan Pondok Pesantren Masyaariqul Anwar Babakan Ciwaringin ini wafat pada sabtu 21 Januari 2017 tepat pukul 06.35 pagi BBWI. Beliau wafat di usia 78 tahun.

Saya beberapa kali bertandang ke rumah beliau ngobrol ngalor-ngidul yang tak formal. Walau obrolan tak formal, namun sesekali saya bertanya soal berbagai hal yang menyerempet soal umat, NU dan seterusnya. Dalam optik saya, sosok Kang Makhtum adalah sosok Opinion Leader. Sangat berbeda mencolok ketika Kang Makhtum memimpin Istighosah dengan beliau saat di rumah. Selain mengajar, dalam aras ini beliau, lazimnya seorang Kiyai, setiap harinya sibuk melayani masyarakat dari berbagai kalangan yang sowan ke beliau untuk sekedar konsultasi, keperluan dan kepentingan lainnya. Di tengah berbagai kesibukannya, beliau masih menyempatkan untuk ngeladeni setiap kali siapa pun yang ingin ketemu beliau. Yang saya ketahui, di hampir setiap orang yang konsultasi, beliau selalu memberi motivasi agar menjadi pribadi-pribadi yang kuat dan pantang menyerah. Pada sisi ini, menurut saya, sosok Kang Makhtum bisa dikatakan sebagai motivator handal.

Dari mulai pejabat, pengusaha, pedagang, petani, pengurus organisasi, mahasiswa, bahkan tamu-tamu dari luar negeri. Umumnya, mereka meminta nasehat, masukan, dan do’a agar segala tujuan dan kepentingannya tercapai. Pendekatan yang digunakan oleh Kiyai Makhtum adalah hikmah melalui berbagai pendampingan kepada yang tadi saya sebutkan di muka. Di samping itu, beliau mendirikan Jamiyah Hadiyu dan Istighasah. Kegiatan ini terus berkembang dan tersebar di seluruh wilayah Ciayumajakuning. Bahkan jejaringnya sudah tersebar pula di Jawa maupun luar Jawa. Beberapa kali saya mengikuti kegiatan Istighosah Kubro setiap malam Jumat yang bertempat di Maqbarah KH. Abdul Manan. Kegiatan ini diikuti oleh ribuan orang dari pelbagai pelosok desa dan luar daerah. Sepengetahuan saya, kegiatan Istighosah tersebut semua tamu undangan beserta jama’ah selalu dijamu dengan makan malam. Semua biaya untuk menyiapkan segala jamuan itu berasal dari beliau sendiri tanpa memohon bantuan dari jama’ah.

Pertemuan saya dengan beliau hampir setiap tahun di acara yang di helat oleh DKM Masjid di Desa kelahiran saya Tegalgubug Lor. Hampir setiap tahun pula beliau yang memimpin Istghosah dalam rangka tahun baru Islam. Sampai saat ini, saya masih belum puas menemukan jawabannya, mengapa Kang Mahtum selalu menyempatkan untuk hadir di acara tersebut. Padahal, saya percaya, bersamaan dengan itu tak sedikit undangan dari daerah lain yang menginginkan beliau untuk memimpin Istighosah. Kebiasaan beliau ketika menghadiri acara tahun baru Islam yang digelar di Masjid Jami Al-Ibrohimiyah Desa Tegalgubug Lor datang dengan KH. Zamzami Amin—penulis buku Babankana yang menjelentrehkan tentang sejarah Pondok Pesantren Babakan serta rembetannnya ke Perang Kedongdong. Ada noktah yang bisa saya petik dari beliau ketika beberapa kali bertandang ke rumahnya. Sebuah karakter yang menurut hemat saya perlu dicontoh yaitu kesederhanaan. Tak menampakan sama sekali bahwa beliau dekat bahkan sering diundang oleh pejabat-pejabat penting. Hemat saya, lebih dari itu, sifat tawadhu’ dari beliau yang tak pernah menunjukan sebagai sosok yang memiliki pengetahuan yang tinggi dibuktikan dengan murid-muridnya bertebaran di berbagai pelosok bahkan Kiai-kiai yang ada di Babakan Ciwaringin tidak sedikit menjadi muridnya. So pasti, setiap kali saya bertemu, beliau berujar “biasa yang selalu datang ke saya adalah masyarakat yang curhat maupun sedang mengalami masalah”. Namun beliau selalu konsisten, selalu menemui siapa pun yang datang ke rumahnya.

Hemat saya, ditengah gaya hidup hedonisme dan konsumerisme saat ini, Sosok beliau yang sederhana, komunikasi langsung tanpa sekat dengan berbagi kalangan patut dijadikan contoh oleh siapa pun termasuk publik figur serta pejabat. Dalam catatan saya, beliau masuk dalam struktur tertinggi di PBNU yakni sebagai satu dari sembilan ulama Ahlul Halli Wal Aqdi yang diberikan mandat untuk memilih Rois Syuriah PBNU pada saat Muktamar di Jombang beberapa waktu yang lalu. Pendek kata, beliau merupakan salah satu dari sembilan Kiai khos yang dimiliki Indonesia.

Seingat saya, pernah beliau dalam obrolannya mengatakan bahwa dirinya bukan Kiai dan dengan siapa pun memang tidak pernah mengatakan dirinya seorang Kiai. Beliau sering mengatakan dirinya adalah “premannya Kiyai”. Ketika menyebut demikian saya kaget. Terus saya kejar tentang nomenklatur, “premannya Kiyai” beliau artikan sebagai orang yang selalu menjaga Kiai atau khodimnya Kiyai. Beliau juga sering keliling ke masyarakat diiringi dengan memberikan bantuan kepada anak-anak dan orang tua yang beliau jumpai. Di samping itu, Kang Makhtum juga rutin memberikan santunan kepada anak-anak yatim baik di lingkungan Pesantren maupun di luar daerah.

Pernah dalam suatu ketika, ketika saya sowan ke rumah beliau. Bersamaan dengan itu ada yang sedang bertanya dan berkonsultasi. Beliau selalu mengatakan bahwa dirinya merupakan orang yang masih jauh dari bersih, masih kotor sehingga tak layak untuk dicontoh. Perkataan demikian selalu beliau keluarkan ke setiap orang yang bertandang ke rumahnya. Ketika menerima tamu pun beliau, tak pernah memilih dan membedakan. Semuanya beliau hadapi dengan santun dan keramahan. Dan berulangkali juga beliau sampaikan ke saya bahwa harta benda yang dimilikinya lebih cenderung semuanya dianggap sebagai titipan yang harus digunakan untuk kepentingan umat.

Sungguh kepergian beliau adalah kehilangan bagi saya, duka dan kehilangan yang mendalam juga bagi keluarga beliau, keluarga besar Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, NU serta umat Muslim. Percikan gagasan serta pikiran-pikiran Kang Makhtum akan tetap saya kenang. Selamat jalan, semoga Kang Makhtum dikumpulkan bersama dengan orang-orang al-shalihin wa al-muttaqin, AminN/em>. Wallahu’alam

*) Penulis adalah Pemikir Sosial-Keagamaan dan penulis lepas di berbagai Media Massa
**) Tulisan ini dimuat di Harian Radar Cirebon 3 Maret 2017

Jakarta Syariah dan Kemungkinannya

SAYA ingin memberi tanggapan kepada pandangan yang begitu pesimistis atas situasi Islam di Indonesia. Buat saya menganggap Jakarta akan menjadi “negara bagian” yang menerapkan syariah apalagi akan menjadi wilayah serupa Nigeria yang dikuasai Bokoharam, itu sebuah analisis yang terlalu simplifikasi, naif dan cenderung tuna sejarah.

Bahwa Islam kanan menguat, itu menurut saya sejalan belaka dengan menguatnya Kristen kanan di belahan manapun di dunia. Amerika Eropa sedang menghadapi situasi serupa. Jadi anggapan itu sama saja dengan khayalan bahwa Jakarta akan menjadi wilayah subur Kristenisasi karena banyaknya kelompok-kelompok dalam aliran Kristen yang watak kelompoknya getol berdakwah.

Menguatnya arus kanan merupakan tren global yang terjadi baik Islam maupun Kristen. Itu terjadi di mana-mana dan itu pula yang bisa menjelaskan kemenangan Trump. Tren ini secara sederhana menjelaskan situasi psikologis keterkejutan dan ketakutan oleh ekses kapitalisme yang berdampak sangat jauh pada ketidakpastian. Padahal orang butuh kepastian dalam kehidupan yang mengerikan, dan cara pulang yang sederhana adalah balik ke primordialnya, agama, karena agama mereka anggap menawarkan kepastian.

Tapi saya masih menganggap ancaman itu bagi Indonesia—dalam bahasa Gus Dur, seperti gambar setan yang lama-lama takut jadi setan beneran. Pilar Islam sipil Indonesia itu NU dan Muhammadiyah, dan itu teruji sejak masa penjajahan hingga kini. Produksi pengetahuan Islam Indonesia (masih) berpusat di pesantren-pesantren dan IAIN/UIN; di sanalah gagasan-gagasan tentang hak-hak rakyat, hak hak perempuan bahkan tentang kaum minoritas orinetasi seksual bisa dibicarakan bahkan diperjuangkan.

Mazhab Asyari’ah adalah mazhab paling dominan dalam tradisi pemikiran fikih Islam Indonesia dengan watak toleran dan akomodatif. Tradisi mayoritas Islam Indonesia itu masih menghormati nyadran/ziarah kubur, slametan, mudik lebaran, dan bahkan makin diglorifikasikan oleh industri pariwisata dan kemakmuran ekonomi. Dan warga Betawi umumnya NU yang menghormati tradisi. Gerak Islam Indonesia itu ada pada aktivitas ritual dan sosial yang pelaku utamanya adalah kaum perempuan.

Perempuan adalah agensi paling penting dalam menentukan ke arah mana Islam akan di bawa. Ketika kalangan “syariat” memaksakan perempuan berjilbab, praktik itu tak pernah tunggal makna dan penerapannya. Ada yang untuk menutup uban, ada yang untuk menaikan elektabilitas, ada yang buat kepantasan, untuk cari uang, ikut tren mode, ada yang untuk keamanan—di luar yang benar-benar menganggap itu urusan syar’i.

Penerapan syariat Islam secara legal, membutuhkan kekuasaan politik di parlemen. Mau mengandalkan siapa? Partai berhaluan Islam tak pernah secara eksplisit menuntut dan memperjuangkan penerapan syariat Islam. Katakanlah PKS yang dari pengkaderannya begitu rapi memakai sistem sel memanfaatkan jaringan usroh sejak era Soeharto. Nyatanya mereka tak pernah sanggup mengungguli PDIP dan Golkar.

Gagasan Islamisasi sistem keuangan seperti ekonomi syariah nyatanya selalu disandera atau ditelikung oleh kapitalisme—maka jadilah bank Syariah. Idiom-idiom syariah tak pernah sampai ke intinya yang dibayangkan para penggagasnya, karena mudah sekali dibelokkan menjadi simbol-simbol atau partikularnya.

Studi-studi tentang mereka memperlihatkan bahwa dalam kelompok mereka sendiri ikatannya sangat rapuh terfragmentasi. Meski pakai simbol jubah yang sama di dalamnya terjadi rebutan panggung karena mereka pada dasanya pengemis dan pemulung remah-remah rezeki umat dengan cara halus atau kasar. Yang pakai cara kasar mereka tahu bagaimana memeras orang-orang pemilik usaha namun melakukan pelanggar hukum dan bisa diperas dan diancam.

Kekuasaan ekonomi Indonesia bukan ada pada mereka, tetapi pada sejumlah kecil konglomerat. Bahkan orang pun curiga mengapa pejuangan rakyat seperti terkait perusakan lingkungan karena oknum di dalam negara lebih berpihak kepada mereka daripada kepada Tanah Airnya.

Jika kita percaya kekuatan sebuah gerakan apapun terletak pada seberapa kuat ideologinya, di sana tak ada ideologi tunggal, yang ada hanya tukang teriak “take beer” yang suaranya jadi menggelegar karena digaungkan ulang oleh media.

Hal lainnya, Indonesia adalah negara kepulauan bukan kontinental dan di dalamnya bukan satu corak keagamaan. Makin plural sebuah wilayah/negara makin sulit ideologi Islamisme beroperasi. Di atas itu semua mereka bukan yang paling tertindas di negeri ini yang merasa paling terzalimi. Sebaliknya mereka adalah penerima manfaat dari corak Islam Indonesia yang terbuka dan demokratis yang memungkinkan mereka bisa hidup di sini.

Namun bahwa kalangan yang tergoda menerapkan syariat Islam makin kuat itu harus benar-benar dilihat dan diperhitungkan sebagai ujian demokrasi. Bukan hanya sejauh mana negara mampu mengendalikan mereka sebagai ancaman tetapi sejauhmana negara sanggup menerapkan keadilan. Sebab orang tertarik menerapkan syariat Islam juga karena mereka percaya tak ada yang sanggup menerapkan keadilan sebagaimana mereka lihat sehari-hari.

Jadi ini tantangan kepada negara “sekuler” untuk membuktikan keadilan itu bisa dicapai di dunia tanpa harus menjadi “tentara Tuhan” untuk mendapatkan bidadari di surga. Ini juga merupakan tantangan kepada pendidikan Islam, serta ormas Islam yang sejak awal telah bersikukuh pada khittah NKRI.

Kepolisian Indonesia, utamanya BNPT dan Densus 88, dengan segala tantangannya terus nenumpas teroris berideologi Islamisme yang beroperasi dengan kekerasan dan melawan hukum. Ujaran kebencian dalam berdakwah atau diturunkan dalam spanduk dan lain-lain, jika itu telah diatur dalam hukum sebagai perbuatan kriminal, tentu kita menunggu keberanian aparat negara untuk menindaknya.[]

Sumber: https://indonesiana.tempo.co/read/109115/2017/03/15/lies.marcoes/syariatisasi-dan-kemustahilannya-lies-marcos

Merebut Tafsir 7: Hari Tua

SORE tadi, bicara berjam-jam dengan seorang sahabat yang kuanggap adik sendiri. Banyak hal yang dibicarakan; secara timbal balik bicara soal kehidupan sebagai orang tua tunggal, pekerjaan, anak-anak, kesehatan dan tentu soal yang sangat pribadi serta mimpi dan pengharapan.

Di satu titik kami pun membahas umur yang terus merayap. Bukan soal kematian yang terlalu dicemaskan (insya Allah), tapi justru menghadapi hidup. “Sampai kapan kita harus bekerja Mbak?”. Sebagai perempuan lajang di usia beranjak tua kami berdua tentu bersyukur bahwa kami masih bekerja, masih menerima bayaran dan masih dicari orang. Memang untuk mempertahankan itu niscaya tidak gampang, butuh stamina ektra dalam usia yang merambat dan charger stamina yang tak selalu bisa didongkrak. Tapi nasib jutaan perempuan lain bagaimana? Tak mandiri secara ekonomi, tak bekerja lagi dan tak menyiapkan bantal ganjalan.

Pada perempua dan lelaki niscaya ada persoalan yang tak sama menghadapi masa tua. Lelaki secara kultural dituntut lebih besar untuk mencukupi nafkah keluarga- istri, anak dan kerabat. Dalam kehidupan berpasangan, meski ada, jarang yang tetap melajang setelah terjadi perpisahan (entah cerai atau diceraikan Tuhan). Lelaki punya peluang untuk mencari pengganti yang tentunya bisa melayani kebutuhannya sebagai manusia, minimal meladeni dan menemani sisa hidupnya. Karenanya amat jarang lelaki yang akan memilih usia pasangan lebih tua, minimal setara umumnya lebih muda. Tapi tatkala mereka tak bekerja dan telah masuk purna bakti apalagi tanpa pensiun, kehidupan lelaki tua niscaya tak lebih ringan dari perempuan. Status pencari nafkah bukankah lebih melekat kepada mereka? Ketika tak lagi bekerja apa guna mereka? Begitu kira-kira.

Pada perempuan jika masih ada anak dan kerabat, mereka lebih bisa diterima. Orang Aceh bilang perempuan itu peurumoh “yang empunya rumah”. Minimal ia punya tempat. Terkait mencari pasangan itu juga berbeda dari lelaki. Sebab, jika pun hendak mencari pasangan lagi, niscaya akan mencari yang lebih tua, mapan minimal seusia. Memilih yang mapan secara finansial jelas menjadi kriteria, tapi mana ada lelaki siap kecualiperempuan itu pemilik warisan tujuh turunan atau pintar mempersona sebagai mitra. Sebab pada akhirnya memang persoalan hidup sehari-hari yang berbiaya yang harus senantiasa dihadapi dan diatasi.

Secara budaya dan psikologis, orang tua akan mengandalkan masa depannya pada anak- anak. Padahal mereka juga tahu bahwa anak-anak juga punya prioritas-prioritas kehidupannya sendiri. Jadi secara praktis setiap orang tua memang harus menyiapkan kehidupannya sendiri untuk melalui masa tuanya. Untuk itu mereka harus bekerja sampai tua dan sempat menabung.

Sejumlah orang tua memiliki investasi dan tabungan entah itu dari hasil usahanya di waktu muda, atau warisan dari orang tua mereka. Namun pada praktiknya, dalam tradisi kita, sangat jarang orang tua yang memanfaatkannya demi dirinya sendiri. Aneh rasanya, ada orang tua yang menjual rumah untuk bersenang-senang sendiri. Sebaliknya sangat biasa, orang tua yang hidupnya prihatin meskipun memiliki aset yang tak kecil. Rumah tinggalnya misalnya. Semua yang dimilikinya selalu diorinetasikan bagi masa depan anak-anaknya. Dan ketika orang tua meninggal mereka menjualnya.

Ketiadaan jaminan tentang masa tua tanpa harus bekerja yang menghasilkan memang mencemaskan. Syukur kalau masih sempat menabung untuk masa tua, jika tidak?

Dalam Islam, ajaran tentang birr al-wâlidayn—berbakti kepada orang tua–sebetulnya sangatlah kuat. Sejumlah ayat menegaskan posisi penghormatan kepada orang tua yang selalu diletakkan tepat setelah kepatuhan kepada Tuhan. Bahkan digamabrkan jika pun mereka mengajak kepada “jalan lain” kewajiban itu tetap melekat. Namun ajaran itu, sejauh bacaan saya, hanya mengandung nilai-nilai normatif, “Tak boleh berkata buruk, tak boleh mengatakan cih!, tak boleh menyakiti hatinya”. Dalam sistem warisan memang ada hak yang juga dihiung, namun secara umum hidup yang dihadapi jauh lebih kompleks. Ini bukan soal hubungan yang persoanal ndividual antara anak dan orang tua melainkan bagaiman menjadi sebuah sistem, “sistem kesejahteraan di hari tua”.

Di negara-negara dengan sistem yang memperhatikan kesejahteraan, tampaknya pemerintahnya memikirkan kesejahteraan yang dapat dirasakan merata oleh orang tua yang telah purna tugas. Panti-panti tak berbayar dengan aktivitas yang sepadan dengan usianya dibangun dengan pemikiran dan program yang matang. Lapangan pekerjaan yang dapat memfasilitasi orang untuk “bekerja sampai tua” juga tersedia dan dipikirkan.

Namun di negara-negara yang tak memperhatikan hal ini, kita sering melihat banyak orang tua yang pada kenyataannya benar-benar terlantar, tak sanggup menyumbang lagi dalam kehidupan, bahkan mungkin kehidupan anak-anaknya dan lalu merasa menjadi beban namun tetap memiliki kebutuhan ekonomi yang makin tidak kecil, apalagi jika sudah mulai sakit.

Tak kalah repot adalah untuk usia-usia “tanggung”—muda tidak tua belum dengan lapangan pekerjaan yang makin sulit di dapat sementara kebutuhan hidup tak dapat ditunda.

Dalam ajaran agama, situasi itu dibebankan kembali kepada anak sebagai bentuk hubungan resiprokal yang seolah niscaya adanya. Tapi bagi anak sendiri, bagaimanakah menjaga kehidupan dengan dua arah panah yang berlawanan – membayar masa lalu dan menyicil masa depan?

Mungkin karena tak tersedianya jaminan masa tua yang pasti, orang lalu mejadi sangat rakus di usia kerja. Dan itu baik-baik saja. Tapi karena tak tersedianya jaminan itu orang lalu memanggap “masuk akal” untuk menabung dan menimbun. Patutlah bersyukur jika kita bekerja di sebuah jaringan kerja yang di dalamnya tak memungkinkan terjadinya korupsi, jika tidak, jalan itu pun ditempuh dengan resiko menanggung kejahatan yang dibawa mati.

Saya melihat ada soal besar di sini, padahal setiap yang lahir niscaya menuju ke sana. Sejahtera dihari tua tanpa meninggalkan beban kepada yang lain. Seharusya ada solusi.[]

Mengenang KH. Makhtum Hannan

ADA kilasan kenangan bersama Romo KH. Makhtum Hannan, sesepuh Cirebon dan pendiri serta pengasuh Pondok Pesantren Masyariqul Anwar Babakan Ciwaringin Cirebon. Tidak lama sebelum beliau wafat, saya mengisi bedah buku “Islam Mazhab Cinta; Cara Sufi Memandang Dunia” bersama Kang Jamaluddin Muhammad, yang diadakan di Aula Pondok Pesantren Masyariqul Anwar Babakan, dan dihadiri ratusan santri beliau. Acara bedah buku ini ternyata ide dan inisiatif beliau, yang tujuannya adalah memberi wawasan lebih kepada para santri dan menanamkan kesadaran akan pentingnya menulis.

Setelah bedah buku usai, saya berkesempatan makan dan berbincang-bincang bersama beliau tentang banyak hal. Di antaranya tentang kesukaan beliau terhadap dunia tasawuf, mendiskusikan isi buku saya yang dibedah, kisah perlawanan terhadap pembangunan Tol, dan keinginan beliau yang kuat agar santrinya berwawasan luas. Dan salah satu topik yang dibicarakan adalah soal kematian sebagai salah satu tema yang ada di buku “Islam Mazhab Cinta”. Seakan sedang memberi isyarat, Kang Arsyad, salah satu putra Mama KH. Makhthum Hannan, mengatakan kepada saya kalau KH. Makhtum Hannan memesan satu eksemplar buku “Islam Mazhab Cinta” untuk dibaca. Saya merasa tersanjung dan terharu, ternyata beliau adalah sosok kiyai yang tawadhu’ (rendah hati) yang menghargai generasi muda. Dan saya merasa mendapatkan suntikan support untuk terus berkarya.

Pertemuan saya dengan beliau yang kedua kalinya, ketika saya berkesempatan mengikuti acara Bahtsul Masail Pondok Pesantren Se-Jawa dan Madura yang diadakan di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Saya pun kembali berkesempatan makan bersama dan berbincang-bincang serta mendiskusikan banyak hal dengan beliau. Dan ternyata, berbagai kegiatan dan acara yang bernuansa ilmiyah yang digelar di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin tidak lepas dari inisiatif, ide besar dan dukungan Romo KH. Makhtum Hannan. Ini sebuah representasi dari sosok kiyai visioner.

Dua kali secara intensif saya dapat ngobrol bareng bersama beliau. Kesempatan baik itu tidak saya sia-siakan. Sebab bagi saya, ini adalah momen yang sangat berharga bagi saya. Dan saya menyimak dan memahami bahwa beliau adalah sosok kiyai yang teguh pendirian dan idealis pada prinsip. Dalam menghadapi proyek raksas jalan Tol CIPALI (Cirebon-Palimanan) yang awalnya akan membelah lingkungan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, beliau menolaknya dengan tegar. Bersama para kiyai, keluarga besar, dan para santri, beliau memprotes keras kebijakan tersebut. Tidak sedikit dari kalangan pengembang dan pemerintah—baik local maupun pusat—meloby dan mendekati dengan berbagai iming-iming uang yang tidak sedikit agar beliau luluh dan mau mengalah agar Tol CIPALI tetap pada rancangan semula, yaitu membelah lingkungan Pesantren. Akan tetapi semua loby kandas, berbagai pendekatan tersungkur, dan semua iming-iming sedikit pun tak dapat menyentuh hatinya. Protes bembuahkan hasil, dan Tol akhirnya dipindah rutenya membelok dan tidak membelah lingkungan Pesantren.

Ketika sejumlah oknum tokoh masyarakat—baik formal maupun informal—sedang ramai meloby pemerintah agar mengucurkan sumbangan, beliau sebaliknya tampil sebagai tokoh yang menampik sumbangan dari pemerintah yang mempunyai modus agar keinginannya tercapai.

Jauh sebelumnya, ketika saya masih menjadi santri di Pesantren Babakan, saya teringat bahwa beliau adalah salah satu kiyai yang dipanggil dengan sebutan “Mama”, atau lebih tepatnya “Mama Tum”. Panggilan ini menyiratkan relasi kiyai dan santrinya seperti relasi ayah dan anak kandungnya sendiri. Sehingga tidak ada jarak dan menyiratkan sebentuk hubungan yang hangat. Panggilan “Mama” pun sebentuk panggilan yang membumi, sebab beliau bukan kiyai yang GR kalau dipanggil “kiyai”, apalagi panggilan yang berbau Arab seperti Walid, Abuya, atau Buya dan Syaikh yang belakangan sedang nge-trend di kalangan kiyai. Dengan kata lain, “Mama” adalah cermin dari Islam Nusantara.

Saya juga ingat, bahwa beliau adalah kiyai yang mensosialisasikan laga sepak bola api. Setiap tamatan MHS (Madrasah Hikamus Salafiyah), oleh beliau diberi amalan agar tangan dan kakinya tahan dan tidak terbakar ketika memegang bola api. Laga bola api digelar di akhir tahun Pondok Pesantren, yang diadakan di lapangan bola milik masyarakat umum Babakan Ciwaringin. Yang menyaksikan laga bola api bukan hanya kalangan santri, akan tetapi masyarakat setempat dan bahkan masyarakat Cirebon dan sekitarnya pun turut menyaksikan. Terkadang dibuka dengan laga seorang santri yang menyalakan petasan panjang yang melilit di tubuhnya. Sehingga, laga bola api dan petasan ini bukan sekedar laga dan adu kebolehan, akan tetapi juga sebagai syiar Islam sekaligus mempromosikan Pondok Pesantren Babakan. Lantaran yang berminat untuk melihatnya dari berbagai daerah.

Sebagai kiyai Pesantren, posisi beliau seperti KH. Maksum Jauhari (dikenal dengan panggilang Gus Maksum) di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, sama-sama sosok kiyai ahli hikmah yang mempunyai jaringan luas. Sebab yang datang ke rumah beliau dari berbagai kalangan, dari kalangan masyarakat biasa sampai kalangan pejabat, dari kalangan santri sampai masyarakat abangan. Dengan kata lain, beliau mempunyai dua kaki, kaki yang satu ada di dalam pesantren dan kaki yang lain ada di luar pesantren. Selain mempunyai santri, beliau pun mempunyai umat. Berbagai ritual keagamaan, seperti istighatsah yang diadakan masyarakat Cirebon pada umumnya—seperti istighatsah masyarakat Desa Tegalgubug Lor—adalah binaan beliau. Sehingga posisi beliau yang cukup strategis itu dapat mensosialisasikan Pesantren ke masyarakat luar. Beliau bisa memesantrenkan masyarakat sekaligus memasyarakatkan pesantren.

Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin khususnya dan Cirebon pada umumnya semakin berwibawa dan berkharisma salah satu faktornya adalah adanya beliau. Karenanya, masyarakat Cirebon sangat kehilangan dan berduka atas wafatnya beliau. Sembari berharap ada tokoh baru yang dapat meneruskan perujuangan beliau.[]

Salafi yang Diimajinasikan

Ketika Indonesia sedang hiruk-pikuk menyambut kedatangan Raja Salman bin Abdul Aziz Alu Saud, Raja Arab Saudi, saya langsung terbersit dua hal: investasi duniawi dan investasi ideologi Salafi-Wahabi. Salafi sebagai ideologi akhir-akhir ini banyak dibincangkan, karena banyak golongan dari internal Islam Sunni yang memperebutkan dan mengklaim sebagai kelompok yang paling absah menyandangnya. Tetapi, masing-masing kelompok mengimajinasikan Salafi berbeda-beda antara satu dengan lainnya, sehingga memunculkan tipologi Salafi yang beragam. Bahkan terkadang masing-masing tipologi adalah anti-tesa bagi yang lainnya.

Sekurang-kurangnya ada tiga tipologi salafi. Pertama, Salafi yang diimajinasikan Wahabi. Kalangan Wahabi mengimajinasikan Salafi sebagai kehidupan yang secara periodik terbatas pada masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya, sedangkan secara ideologi menggunakan jargon kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah secara harfiyah. Pandangan ini dirawat dalam karya-karya Muhammad ibn Abdil Wahab dan penerus serta pengikut setianya, yang terinspirasi oleh pandangan Ibn Taimiyah. Selain cara pandang literalistik, kalangan Salafi-Wahabi juga melarang filsafat, mantiq, dan tasawuf. Ajaran mereka yang paling terkenal adalah anti TBC (Tahayul, Churafat, dan Bid’ah). Semakin seseorang itu steril dari TBC, menurut Wahabi, maka ia semakin salafi.

LIPIA adalah lembaga indoktrinasi Salafi-Wahabi yang ada di Jakarta, dan sekarang Raja Salman bin Abdil Aziz datang ke Indonesia memastikan bahwa LIPIA akan dikembangkan dan dibuka di Surabaya, Medan, dan Makasar. Ini satu tanda akan lebih semarak dan masif lagi penyebaran paham Salafi-Wahabi di Indonesia. Alumnus LIPIA banyak bergerak di bidang pendidikan, seperti pendirian Pondok Pesantren As-Sunnah dan Radio Roja.

Kedua, Salafi yang diimajinasikan oleh kalangan jihadis, yang sejatinya sama persis dengan Salafi yang diimajinasikan kalangan Wahabi. Kalangan jihadis banyak terinspirasi dari paham Salafi-Wahabi dan dikolaborasi dengan paham Ikhwanul Muslimin (IM). Oplosan Salafi-Wahabi dan Ikhwanul Muslimin melahirkan al-Qaidah. Dan perkembangan selanjutnya kalangan Salafi-Jihadi melahirkan ISIS yang jauh lebih ekstrim. Kalangan jihadis garda depan Indonesia diwakili oleh Aman Abdurrahman, seorang alumnus LIPIA Jakarta, yang banyak menerjemah kitab-kitab para tokoh Salafi-Wahabi, di antaranya karya-karya Muhammad ibn Abdil Wahab dan Abu Muhammad al-Maqdisi, juga menguasai kitab-kitab Syaikh Muhammad Salim al-Dausari, memperdalam dan mengkaji lebih lanjut dengan memahami kitab-kitab karya para ulama yang disebutnya sebagai Aimmatu al-Dakwah al-Najdiyyin (para imam dakwah Najd), di antaranya yaitu: kitab “al-Durar al-Saniyyah”, “Fatawa Aimmah al-Najdiyyah”, “Majmu’at al-Rasa`il wa al-Masa`il al-Najdiyyah”, “Majmu’ Muallafat Syaykh Muhammad”, “Mishbah al-Zhalam”, “Minhaj al-Ta`sis”, “al-Qawl al-Fashl Nafis”, “al-Radd ‘ala al-Quburiyyin”, “Kasyfu al-Syubuhat”, “Tawhid al-Khallaq”, dan “Tarikh Najd”.

Aman Abdurrahman yang alumnus LIPA menguasai serta mengamalkan apa yang didapatkan dari doktrin Salafi-Wahabi malahan lebih memilih berbaiat pada ISIS. Pernyataan baiatnya disampaikan dari penjara Nusakambangan. Meski Aman Abdurrahman bukan representasi resmi dari lembaga LIPIA, tetapi ia sudah mencoba menjadi seorang Salafi-Wahabi yang kaffah (total).

Ketiga, Salafi yang diimajinasikan kalangan NU (Nahdlatul Ulama) atau Nahdliyyin. NU mengimajinasikan Salafi secara periodik tidak hanya terbatas pada masa Rasulullah Saw. dan sahabatnya saja, tetapi juga tabi’in (generasi paska shahabat), tabi’i al-tabi’in (generasi kedua paska sahabat), dan para ulama pengikut setia mereka dengan baik. Sehingga bisa dikatakan bahwa kehidupan salaf yang diidealkan oleh NU tidak terbatas pada periode tertentu, akan tetapi yang dijadikan standar adalah nilai luhur yang dihidupkan dari masa ke masa oleh generasi awal Islam dan penerusnya.

Salafi-NU secara ideologis menggunakan ajaran-ajaran yang merujuk pada al-Qur`an, hadits, dan kitab kuning warisan (turats) para ulama terdahulu yang mencoba menjelaskan secara rinci isi al-Quran dan hadits dengan tergambar pada berbagai macam disiplin ilmu keislaman. Sebab mulanya NU memunculkan istilah salaf atau salafiyah adalah untuk pondok pesantren yang masih menjadikan kitab kuning karya ulama klasik Islam sebagai materi dasar pengajian dan kurikulum wajibnya, dengan menggunakan metode pembelajaran tradisional, seperti bandongan, sorogan, pembacaan kitab dengan sistem makna perbaris yang kata perkata diterjemahkan dan diberi tanda baca kedudukan kata secara gramatika Arab.

Secara sosiologis, salaf di kalangan Nahdliyyin diimajinasikan sebentuk kehidupan yang selalu merujuk pada ‘ibarat (penjelasan) yang ada di kitab kuning, menjunjung tinggi hidup sederhana, hidup dengan apa adanya, secara simbolik berkostum dengan menggunakan sarung dan kopiyah, sikap asketik (zuhud), hidup merakyat, tawadhu’ (rendah hati), sopan santun, toleran, adaptif, dan berbagai nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran sufisme.

Kalangan Nahdliyyin, memang cara pandangan dan perspektif keagamaannya lebih didominasi oleh fikih oriented, akan tetapi amaliyahnya justru lebih didominasi oleh sufisme oriented. Sehingga, meski pun dalam fikih misalkan masih ada ajaran yang ‘bias diskriminasi’ agama—dan bahkan terkesan menganjurkan intoleran—akan tetapi ajaran itu ketika dikebumikan di alam realita mengalami pemfilteran dan seterilisasi oleh unsur sufisme yang malahan menganjurkan hidup yang toleran, egaliter dan saling hormat menghormati. Selain itu, sebagian kalangan Nahdliyyin juga sudah mulai berpikir metodis dalam menyikapi realitas dengan memfilter fikih melalui perangkat ushul fikih, maqashid al-syariah, dan qawa’id al-fiqhiyyah yang bersifat metodologis, sehingga dapat berfikir universal.

Salafi yang diimajinasikan kalangan Nahdliyyin lebih support terhadap nilai-nilai kebangsaan, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan Pancasila. Sebab Nahdliyyin membolehkan bid’ah hasanah (inovasi yang baik) dan sikap keberagamaannya sudah menyatakan bahwa NKRI sudah final. Sebaliknya Salafi-Wahabi berpandangan bahwa pemerintahan yang tidak berlandaskan penerapan syariat Islam adalah thaghut.[]

Islam dan Pelayanan Publik

Ada jargon sekaligus doktrin mendasar digulirkan oleh para ulama Islam klasik yang cukup dikenal berbunyi, “Sayyid al-qawm khâdimuhum,” (pemimpin suatu masyarakat adalah pelayan bagi mereka). Kepemimpinan termanifestasikan dalam tindakan pelayanan bagi rakyat yang dipimpinnya. Tanpa ada pelayanan maka tak ada kepemimpinan.

Para ulama memberi rambu-rambu dalam memberikan pelayanan sang pemimpin/pemerintah harus memberikan kebijakan yang berorientasi pada kebaikan dan kemaslahatan bagi rakyatnya. Dikatakan dalam kaidah fikih, “Tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah” (kebijakan pemimpin harus selaras dengan kemaslahatan). Dengan kata lain kebijakan yang pro rakyat.

Demi tercapainya kebaikan dan kemaslahatan bagi rakyat itu juga harus melalui sistem, peraturan dan mekanisme yang tertata dengan rapih. Sahabat Ali ibn Abi Tahlib berkata, “Al-haqqu bila nizhâm, yaghlibuhu al-bâthil bi al-nizhâm,” (kebenaran yang tidak sistematis akan dikalahkan oleh kebathilan yang sistematis). Tujuan dan perantara yang menghantarkan tercapainya tujuan itu memang harus seirama.

Menurut Imam al-Mawardi al-Bashri al-Syafi’i dalam kitabnya, “Adab al-Dunya wa al-Dîn”, terdapat ada dua hal, yaitu agama dan dunia, yang keduanya memiliki etika (adab) dan prinsip dasarnya sendir-sendiri dalam mengelolanya. Pelayanan publik termasuk dalam pengaturan duniawi. Ada enam prinsip dasar dalam pengelolaan dunia, yaitu adanya agama/ideologi yang dianut, pemerintah yang kuat, keadilan dan keamanan yang merata/universal, kemakmuran ekonomi, dan cita-cita bersama yang luas (tidak sempit dan mempersempit).

Pemimpin sebagai pelayan tentu bertanggung jawab menciptakan pemerintahan yang kuat (bukan dalam arti otoriter), mewujudkan keadilan dan keamanan yang merata serta kemakmuran ekonomi. Dan hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya yang hidupnya sederhana dan selalu mementingkan dan memprioritaskan kepentingan rakyat/umat daripada kepentingan pribadi dan keluarganya. Contoh yang kongkrit dari kedua Umar: pertama, Umar ibn al-Khattab yang menghapus khumus (seperlima) harta rampasan perang untuk para pejabat dan para tentara lalu dikumpulkan ke dalam Bayt al-Mal, sebuah lembaga keuangan negara, untuk merealisasikan kebijakan yang maslahat bagi rakyat. Kebijakan Umar ini sesuai dengan tujuan universal syariat yaitu kemaslahatan karenanya ia berani meski harus menabrak makna literalis al-Qur`an tapi substansinya senafas dengan semangat al-Qur`an. Kedua, Umar ibn Abdul Aziz yang mampu memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Saking makmurnya sehingga tidak ada rakyatnya yang terlantar, dan kesulitan menyalurkan harta zakat lantaran sudah sedikit sekali yang berhak (mustahiq) menerima zakat.

Pelayanan publik dalam kitab “Adab al-Dunyâ wa al-Dîn”, juga termasuk mengenai pengelolaan alam, fasilitas umum bagi rakyat, seperti pengairah dan irigasi yang baik agar pertanian milik rakyat bisa terairi, subur, dan menghasilkan panen yang baik. Tidak boleh ada privatisasi sumber daya alam.

Para sufi pun memperlakukan alam semesta ini sama seperti memperlakukan tubuh manusia. Sebab, alam semesta ini memiliki konstruksi yang sama dengan tubuh manusia.

Tuhan…
alam ini seperti diriku,
kau beri alam rumput-ruput
kau beri aku bulu dan rambut

Tuhan…
alam ini seperti diriku
kau beri alam langit, galaksi dan rembulan
kau beri aku kepala, otak, mata, hidung, lidah

Tuhan…
alam ini seperti diriku
kau beri alam bumi dan tanah
kau beri aku tubuh

Tuhan…
alam ini seperti diriku
kau beri alam lautan dan air
kau beri aku perut, airmata dan sperma

Tuhan…
alam ini seperti diriku
kau beri alam gunung
kau beri aku kelamin

Tuhan…
alam ini seperti diriku
aku melihat alam ini seperti sedang melihat diriku dalam cermin…

Tuhan…
alam ini menurunkan air hujan
aku meneteskan airmata

Tuhan…
mungkinkah ada benarnya kalau aku ini adalah alam kecil
mungkinkah ada benarnya kalau alam ini adalah manusia besar
aku dari adam dan hawa
adam dari alam yang kau tiupkan ruh sucimu
terimakasih, Tuhan..

Yang menjadi kerpihatinan saat ini, alam semesta dieksploitasi oleh pengembang bisnis yang diberi jalan oleh pemerintah tanpa menghiraukan dampak negatif bagi alam semesta, kehidupan dan kemanusiaan. Padahal, alam sama seperti manusia; menghancurkan alam sama dengan mengancurkan manusia.[]

Merebut Tafsir 6: Istirahat

DALAM mengungkapkan kematian, orang kerap memperhalusnya dengan istilah istirahat. “Telah beristirahat dengan tenang”. Ungkapan itu mengusik pikiran saya. Mengapa istirahat?

Kata istirahat hadir dalam kehidupan saya ketika sekolah di SMP. Pelajaran diselingi “jam istirahat”, dua kali di hari biasa, satu kali di hari Jum’at. Istirahat di jam pelajaran artinya kita akan menemukan kegembiraan sesaat. Berhamburan keluar dari kelas, saling dorong berjubel di pintu, berebut adu cepat menyerbu kantin atau sekedar olahraga. Di hari pasar–Selasa dan Sabtu–, jam istirahat bisa lebih menggembirakan lagi. Kami memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan lari ke pasar desa; mendengarkan pidato tukang obat yang sangat memikat diiringi atraksi kecil-kecilan seperti ular pyton yang merayap lemas atau topeng monyet “Sarimin pergi ke pasar” dengan tambur bertalu-talu. Asyik sekali.

Sebagai anak petani, pada musim mencangkul saya dan adik serta seorang pembantu akan buru-buru mengantar makanan ke sawah di jam istirahat para pekerja dari aktivitas menyangkul. Dalam bahasa Sunda disebut “wayah reureuh”–saatnya istirahat. Istirahat niscaya menjadi hal yang membahagikan, senantuasa ditunggu, sebelum kembali lagi ke tugas utama yang sedang dijalaninya.

Saya juga mendengar kata dengan makna istirahat dari ibu saya ketika ia sedang menjalani menstruasi. Ibu saya menggunakan istilah “agi liren”–dari bahasa Jawa, “sedang berhenti”. Pemahaman masa kecil saya istilah itu merujuk pada istirahatnya beliau dari ibadah shalat atau puasa di bulan Puasa. Saya tak tak ingat apakan ketika itu saya membayangkan makna ini juga mengandung arti berhenti dari aktivitas seksual. Seingat saya tidak. Ketika ibu saya telah menopause ia menggunakan kata “ wis liren”–atau “sudah berhenti”. Jelas bahwa yang diaksudkannya adalah berhenti bereproduksi dan saya merasa ibu saya begitu senang dan tentram ketika bercerita kepada adik-adik perempuannya bahwa ia telah berhenti bereproduksi. Mungkin, baginya masa reproduksi aktif itu sungguh melelahkan. Maklum belum ada KB.

Istilah istirahat juga digunakan untuk berhenti dari aktivitas berpikir yang membuat seseorang berhenti dari beban pikiran dan ketegangan yang terus menerus. Istilah yang digunakan adalah “reureuh pikir” (beristirahat dari berpikir) atau “niis” (mendinginkan pikiran). “Ibu Sersan”, tetangga saya yang dipoligami dan hampir mengalami kegilaan dibawa oleh keluarganya untuk tetirah agar melakukan “reureuh pikir” dan “niis” .

Kembali ke soal ungkapan istirahat untuk menggambarkan kematian, saya mendapat nasihat dari Kiyai Abu Bakar suaminya Mbak Badriyah Fayumi ketika kami menyelenggarakan tahlil atas kematian suami saya. Menurut beliau dan kemudian saya pelajari dari haditsnya, ternyata istilah “istirahat” memang juga digunakan untuk menunjuk pada peristiwa kematian. Namun dalam hadits itu disebutkan ada dua jenis istirahat yang keduanya menunjukkan kualitas hidup yang berbeda: mustarih dan mustarah (minhu).

Mustarih, atau “yang istirahat” adalah menunjuk pada mereka yang diistrahatkan oleh Tuhan dari beban kehidupan, tanggung jawab, kewajibannya sebagai hamba Tuhan di dunia karena “the mission accomplished”. Dan karena diistirahatkan, maka Tuhan niscaya memberi tempat baginya untuk beristirahat dengan indah di sisi-Nya.

Sebaliknya istilah mustarah, atau mustarahun menunjuk pada hal yang sebaliknya. Orang-orang bahkan binatang dan pepohonan yang hidup di sekitar orang yang meninggal itu; atau dalam cakupan yang lebih luas, alam semesta, dunia, kehidupan manusia akan diistirahatkan dari kekejaman dan kezhaliman orang bersangkutan. Itulah cara Tuhan menunjukkan kasih sayangnya kepada mahluk hidup di dunia dengan cara membebaskannya dari kekejaman orang itu.

Insya Allah Si Ayah dan kelak kita menjadi orang yang mustarih dan bukan yang di-mustarah-kan di mana dunia kecil dan besar kita dibebaskan dari penderitaan akibat ungkapan, fitnah, kekejaman, aniaya dan kezhaliman kita. Tentu saja semuanya terpulang kepada pilihan aktif kita sendiri: mustarih atau mustarah?[]

Merebut Tafsir 5: Waktu

Kemanakah sang waktu pergi?

Satu sesal tiap kali seseorang pergi, niscaya karena hilangnya waktu. Kebersamaan dengan pasangan (suami atau istri), orang tua, anak, saudara/kerabat, sahabat, teman kerja atau orang-orang yang sehari-hari ada di sekitar kita, tiba-tiba kini tak ada lagi. “Waktu jua yang memisahkan” demikian orang menggambarkannya. Sang waktu telah menjadi batas dari perjumpaan. Dan jika ada waktu di lain kali kita bisa bertemu lagi, namun ketika batas waktu itu berupa kematian, kita benar benar telah dirampas waktu.

Bagi yang meyakini, waktu tentu berdimensi ruhaniyah. Karenanya meski waktu berbatas pada perjumpaan fisik, ia tak berbatas pada perjumpaan lainnya. Karenanya konsep perpisahan yang dibatasi waktu diartikan sebagai peristiwa duniawi belaka. Sementara secara ukhrawi, yang batinah waktu bersama niscaya tak pernah hilang. Saya ingin memiliki rasa itu, rasa di mana waktu tak pernah memisahkan kami dengan si Ayah. Namun semakin hari, pemahaman waktu duniawi saya tak gampang mencernanya.

Dalam minggu ketiga habisnya waktu duniawi bersama Si Ayah, ingatan soal betapa terbatasnya “waktu” bersama terus berputar-putar di kepala. Memang betapa nisbinya waktu. Ia menjadi relatif pada keterbatasannya sekaligus pada efektivitasnya. Jumlah detiknya tak kurang; berputar tanpa henti 24 jam per hari. Kadang kita merasa waktu terlalu pendek, namun bisa begitu panjang seolah tak berkesudahan.

Kesadaran soal waktu niscaya menjadi bagian dari kehidupan manusia. Bahkan konsep waktu telah membentuk bahasa dan peradaban. Bahasa Inggris yang membentuk tensis, niscaya berangkat dari kesadaran soal waktu. Kesadaran sejarah adalah bicara soal masa lampau untuk masa depan, ini pun soal waktu. Dalam perputaran waktu yang sirkuler waktu tak selalu diukur oleh detik, menit dan jam, dalam tradisi pesantren misalnya waktu hanya 5 sesuai jadwal shalat. Dulu ketika di kampung, waktu berpatokan pada datangnya kereta api ketika singgah di stasiun Kereta Api di kampung kami. Karena kereta tak pernah ingkar waktu.

Dalam training-training gender yang saya fasilitasi, saya kerap menggambarkan betapa biasnya kita dalam menggunakan konsep waktu dan jarak. Secara dominan ukuran waktu dan jarak ditentukan oleh waktu yang linier dengan tolok ukur kebudayaan waktu dan jarak yang berasal dari situasi di Pulau Jawa. Diukur pakai jam, menggunakan anggapan bawa siang dan malam dapat digunakan untuk bergerak karena di Pulau Jawa jalan sudah tersambung, ada listrik, ada kendaraan bermotor bahkan hingga ke puncak gunung. Pembangunan kerap khilaf karena menggunakan ukuran waktu tempuh di Jawa untuk Papua yang bergunung-gunung, atau di Maluku yang berpulau-pulau di mana waktu ditentukan oleh angin dan cuaca.

Pada perempuan, waktu niscaya jauh lebih rumit tetapi seringakali tak terlihat dan karenanya tak dijadikan patokan. Bagi perempuan waktu adalah soal akses, kesempatan dan perputarannya yang tidak selalu linier. Jadi meskipun sama-sama di Jawa, banyak perempuan tak memperoleh “akses” waktu jika di rumah ada yang sakit, ada orang yang harus diurus. Demikian juga waktu perkabungan pada perempuan niscaya tak berbatas tak dapat dipatok.

Dalam tahun-tahun terakhir, waktu saya bergerak begitu cepat dan semakin cepat. Seringkali tersesali mengapa hanya 24 jam dan mengapa membutuhkan 7 jam untuk tidur. Kadang sampai terengah-engah mengejar waktu dengan menyiasatinya. Namun waktu kebersamaan dengan Ismed, sering seperti waktu yang tersedia untuk diri sendiri. Begitu terbatas. O…kemanakah waktu pergi?

Sambil melalui hari-hari dalam menjalani masa ‘iddah saya membaca beberapa tafsir soal waktu. Rupanya, al-Qur`an menggunakan beberapa kata untuk menunjukkan makna-makna tentang waktu itu, seperti: ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti berakhirnya usia. Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia [QS. Yunus: 49]; dahr menunjuk pada dimensi waktu yang fana yang dilalui alam raya dalam kehidupan dunia ini sejak diciptakanNya hingga kelak punahnya alam sementara ini [QS. al-Insan: 1], [QS. al-Jatsiyah: 24]; waqt yang biasanya digunakan sebagai batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Karenanya, al-Qur`an menggunakannya dalam konteks kadar tertentu dari satu masa. Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya [QS. al-Nisa’: 103]; ‘ashr, kata ini biasa diartikan “waktu menjelang terbenammya matahari”, namun juga dapat diartikan sebagai periode/masa yang menjadi batas dalam memanfaatkannya.

Kata keempat inilah yang paling akrab bagi telinga dan kesadaran waktu saya. Mungkin ini merujuk pada salah satu surat dalam surat-surat pendek dalam al-Qur`an, al-‘Ashr yang kalimat awalnya berbunyi “Wa al-‘ashr“, “Dewi Waktu. Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan berbuat kebajikan, mereka yang saling mengingatkan dalam soal hak-kebenaran dan dalam sabar.”

Ayah, semoga dengan waktu terbatas yang kita miliki menempatkan Ayah pada orang yang tak merugi, melainkan menerima pahala kebajikan, sebab Ayah telah mengamalkan arti “sabar” itu, dan kini Ayah ajarkan sabar dengan “waktu” yang ternyata telah berbatas.[]

Melawan Berita Hoax

Jika ada akun abal-abal menyebarkan berita hoax, sebaiknya abaikan saja. Berita hoax menyebabkan kehancuran dan perpecahan umat. Terinspirasi dari QS al-Maidah: 6.

***

Sebelum muncul media sosial (social media), informasi publik masih dikuasai media-media mainstream semacam koran, majalah, radio, televisi dll yang semuanya dikuasai dan dikendalikan oleh pemilik modal. Opini publik diproduksi di meja redaksi: apa dan bagaimana sebuah informasi diolah, disajikan, dan layak dikonsumsi publik? Kapan dan untuk apa dimunculkan?

Seiring kemunculan media sosial, terutama didukung teknologi internet, tampaknya era kejayaan media mainstream mulai semakin redup, peran dan fungsinya secara pelan-pelan diambil alih media sosial. Tanpa harus berbicara di depan wartawan, setiap orang bisa berbicara dan mengunggah opini dan pendapatnya di media sosial dan bisa diakses banyak orang. Inilah era kebebasan dan keterbukaan. Setiap orang menjadi subjek bagi kemajuan informasi dan teknologi.

Sayangnya, melimpah ruahnya informasi seringkali tak diimbangi dengan tumbuhnya daya kritis masyarakat. Banyak orang mudah menerima informasi apapun yang datang kepadanya, tanpa memeriksa kebenaran informasi tersebut, melakukan crosscheck, klarifikasi, atau bahkan tanpa berusaha mencari tahu atau membandingkan dengan informasi lainnya. Tumpulnya daya kritis di masyarakat menyebabkan masyarakat hanya menjadi konsumen pasif di tengah terjadinya ledakan industri informasi yang kini melanda dunia.

Idealnya, kebebasan dan keterbukaan informasi membuat masyarakat semakin cerdas, teliti, dan selektif dalam memilih dan memilah berita. Yang terjadi malah sebaliknya, orang jadi malas berpikir karena seolah semuanya sudah tersedia dan tinggal menelannya bulat-bulat, bahkan tak perlu dikunyah dan dimamah terlebih dulu. Sebagaimana terjadi di media sosial, orang mudah sekali meng-klik dan share sebuah informasi tanpa terlebih dulu dicek kebenarannya.

Penyakit selanjutnya adalah muncul dan berkembang biaknya berita hoax atau berita palsu. Berita palsu ini bukan sekadar, apakah ia berjangkar pada realitas atau tidak; berita atau opini, melainkan memang sengaja dibuat untuk tujuan fitnah, memecah belah, membangun tembok kebencian, hate speech, juga mengadu-domba antar sesama.

Celakanya, banyak orang mudah percaya dan bahkan tanpa sadar ikut menyebarkan berita hoax. Dengan ikut menyebarkannya (klik dan share), secara tidak langsung, ikut berpartisipasi sekaligus mengamini isi berita tersebut. Ia terjebak, terjerumus, dan terseret mata rantai kejahatan.

Bagaimana Melawan Hoax?

Kita tak bisa membendung arus informasi yang sekarang tengah membanjiri masyarakat lewat teknologi internet. Internet ibarat rimba raya, tanah tak bertuan. Jika tak dibekali “peta” dan “buku panduan” orang bisa tersesat di dalamnya. Internet banyak memberikan manfaat, tapi juga tak sedikit madharatnya. Tinggal bagaimana menyikapi dan mensiasatinya. Globalisasi, lebih cepat dari perkiraan, salah satunya didukung teknologi internet.

Internet semakin mudah diakses berkat teknologi smartphone. Menggenggam smartphone sama halnya dengan menggenggam dunia. Semuanya tersedia di sini. Smartphone adalah dunia kecil (mikrokosmos). Orang bisa melompat dari satu tempat ke tempat lainnya cukup sapuan jari, tanpa harus beranjak dan berpindah tempat. Itulah dunia tanpa batas yang disebut internet. Penemuan manusia paling menakjubkan di abad ini.

Nah, untuk mengukur seberapa besar pengaruh internet bagi masyarakat Indonesia, salah satunya, bisa diukur berdasarkan jumlah pengguna internet di negeri ini?

Berdasarkan laporan situs Daily Social (DS) bahwa pengguna internet di Indoensia adalah 83,6 juta, naik 33 % dibanding tahun lalu. (goodnewsfromindonesia.id). dari angka tersebut, mayoritas pengguna didominasi anak muda (umur 20-39). Sisanya diisi generasi tua (umur 40-59).

Pengguna internet di Indonesia kebanyakan lewat gadget sebanyak 85%. Disusul netbook 32%, tablet 14%, dan desktop 13%.

Senada dengan laporan DS, berdasarkan riset Google dan Trans Australia, 50% pemilik smartphone di Indonesia menjadikan piranti itu sebagai peralatan telekomunikasi utama, termasuk untuk mengakses internet. (kompas.com)

Sepanjang tahun, pengguna smartphone di Indonesia terus naik. eMarket mencatat, pada 2016 ada 65,2 juta pengguna smartphone. Sedangkan di 2017 akan ada 74,9 juta pengguna. Diperkirakan pada 2018-2019 akan terus naik di angka 83,5 juta hingga 92 juta mobil phone user di Indonesia.(okezone.com)

Dari data-data tersebut bisa dibaca dengan kaca mata apapun: ekonomi, sosial, politik, atau budaya. Yang pasti, bahwa pengguna internet di Indonesia sangat tinggi dan mayoritas lewat smartphone. Itu artinya siapapun yang bisa mewarnai internet, maka, setidaknya, akan bisa “mengendalikan” kepala banyak orang. Terlebih mayoritas pengguna di negeri ini berasal dari anak muda yang kebanyakan masih pada tahap pencarian diri, terkadang labil dan mudah dipengaruhi.

Jadi, merebut dan mewarnai internet, terutama media sosial, adalah sebuah pertarungan perebutan masa depan. Jika internet dipenuhi berita hoax yang berisi fitnah, caci maki, adu domba, juga ujaran-ujaran kebencian, maka bisa dibayangkan akan lahir generasi umat manusia seperti apa.

Lantas Bagaimana?

Membendung hoax lewat jalur kekuasaan (menertibkan dan menerbitkan regulasi) bisa saja dilakukan, namun rawan disalahgunakan. Terutama untuk membungkam lawan-lawan politik atau menjinakkan rakyat. Meskipun agak sedikit lamban, cara paling mudah dan aman adalah menumbuhkan kesadaran kritis di masyarakat, terutama lewat pendidikan, baik pendidikan formal, non-formal, maupun informal. Jika masyarakat kritis dalam memilih dan memilah informasi, mereka akan bisa membedakan, mana informasi yang benar, valid, dan berkualitas, dan mana yang abal-abal atau berita hoax. Jika informasi itu ibarat makanan, mereka akan bisa membedakan makanan yang sehat dan bergizi untuk tubuh daripada makanan sampah (junk food) dan berpenyakit. Karena itu, untuk menciptakan generasi sehat tanpa hoax, mulailah dari diri sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab

Jamaluddin Mohammad, Peneliti Rumah KitaB dan Lakpesdam PBNU