ASWAJA
KETIKA berbicara teologi sulit sekali untuk tidak mengaitkannya dengan persoalan politik. Munculnya banyak aliran teologi dalam Islam oleh banyak kalangan dinilai tidak lepas dari pertikaian politik waktu itu. Tepatnya pasca al-fitnah al-kubra (tragedi besar) terbunuhnya Utsman ibn Affan.
Sebetulnya, benih-benih perpecahan itu sudah muncul sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Muhajirin dan Anshor berebut siapa yang pantas memimpin menggantikan beliau. Masing-masing merasa berhak menjadi pemimpin. Pertikaian tersebut menyebabkan jasad nabi tertunda dikubur selama tiga hari.
Hingga muncullah Abu Bakar al-Shiddiq ra. yang dianggap mewakili kelompok keduanya. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar pun banyak persoalan muncul. Banyak orang-orang Islam yang tidak mau membayar zakat. Alasannya zakat hanya berhak diberikan pada saat Nabi Saw. masih hidup. Abu Bakar memerangi mereka karena dianggap murtad.
Sepeninggal Abu Bakar, Umar ibn al-Khatthab ra. menggantikan posisinya. Pada masa kepemimpinan Umar banyak kebijakannya yang dianggap kontroversial. Sehingga memunculkan banyak resisitensi. Salah satunya tidak mau membagikan harta fai kepada muallaf. Juga tidak membagikan tanah rampasan perang kepada prajurit-prajuritnya.
Puncaknya terjadi pada masa kepemimpinan Utsman ibn Affan ra. Sebagai pengganti Umar, Utsman dianggap menyuburkan praktik-praktik nepotisme yang hanya menguntungkan kroni-kroni dan keluarganya. Sehingga terjadilah gelombang demonstrasi besar-besar yang menyebabkan ia terbunuh.
Pada masa sulit seperti ini muncullah Ali ibn Abi Thalib ra. Ia tampil menggantikan Utsman. Belum begitu lama memimpin, banyak pihak yang menuntut balas atas kematian Usman. Kelompok pertama datang dari kubu Aisyah yang disokong Thalhah dan Zubair. Akibatnya terjadilah perang besar yang dalam sejarah disebut perang Jamal (perang unta, karena Aisyah sebagai panglima perang mengendarai unta). Thalhah dan Zubair terbunuh. Aisyah dikembalikan lagi ke Madinah.
Kelompok kedua datang dari sepupu Usman sendiri, yaitu Muawiyah. Ia menjabat sebagai Gubernur Damaskus dan memobilisasi massa untuk melawan Ali karena dianggap bertanggung jawab atas kematian Usman.
Terjadilah perang besar antara kubu Ali dan Muawiyah. Sejarah menyebutnya perang Siffin karena terjadi di daerah Siffin. Awalnya pasukan Ali berhasil memukul mundur pasukan Muawiyah. Namun, berkat kelicikan Amr ibn al-Ash, tangan kanan Muawiyyah, pasukan Muawiyah tidak jadi kalah. Amr mengangkat al-Qur`an di atas tombak dan mengajak tahkim (arbitrase).
Waktu itu Ali tidak mengindahkan ajakan Amr. Sebelumnya Ia sudah memahami watak licik Amr. Namun, karena mayoritas pasukan Ali didominasi huffazh (penghapal al-Qur`an) akhirnya mendesak Ali agar menerima tawaran tersebut.
Sehingga terjadilah tahkim (penangguhan hukum). Setiap kubu sepakat untuk memakzulkan pemimpinnya masing-masing. Dari kubu Ali diwakili Abu Musa al-Asyari, sementara kubu Muawiyah diwakili Amr ibn al-Ash. Abu Musa sebagai yang tertua terlebih dahulu naik panggung dan mengumumkan kepada publik putusan menjatuhkan kedua pemimpin yang bertikai itu. Berbeda ketika Amr ibn al-Ash mengumumkan kepada khalayak ramai, ia hanya menjatuhkan Ali dan menolak menjatuhkan Muawiyah.
Bagaimanapun peristiwa ini merugikan Ali dan menguntungkan Muawiyah. Yang legal menjadi khalifah sesungguhnya Ali. Muawiyah tidak lebih hanyalah gubernur daerah yang tidak mau tunduk pada pusat. Sehingga, tidak heran, sampai akhir hayatnya Ali tidak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah.
Akibat pertikaian itu pasukan Ali terpecah dua: pertama, masih setia dan mendukung Ali. Mereka adalah pendukung fanatik Ali. Kelak dari merekalah lahir sekte Syiah. Kedua, menyempal dan membuat pasukan tersendiri yang berbalik menentang Ali dan masih memusuhi Muawiyah. Mereka disebut khawarij.
Kahwarij mengkafirkan Ali, Muawiyah, Amr ibn al-Ash, Abu Musa al-Asyari, karena dianggap tidak berhukum dengan hokum al-Quran. “Wa man lam yahkum bima anzala Allah fa ula’ika hum al-kafiruun,” kata mereka. Inilah statement pertama kali yang berbau teologis karena sudah menyangkut kafir dan mukmin; siapa yang selamat (masuk surga) dan siapa yang celaka (masuk neraka); halal dan haram darahnya.
Di samping itu, Muawiyyah yang merasa kekuasaannya diujung tanduk, kemudian menyebarkan paham fatalistik (jabariyyah) dengan mengatakan, “Kalau Allah tidak ridha kepadaku, tidak mungkin aku akan menjadi khalifah. Kalau Allah benci kepadaku, niscaya Allah akan menggantikanku dengan orang lain.” Dengan demikian, secara tidak langsung, ia mengatakan bahwa kekuasaannya adalah berkat takdir dari Allah. Tentu saja ini bagian dari manuver politik dia agar diterima masyarakat luas.
Paham Jabariyah ini mendapat reaksi dari Muhammad ibn Ali al-Hanafiyah, purta Ali, yang mengatakan bahwa: Allah tidak ikut campur terhadap urusan manusia. Setiap tindakan manusia berasal dari manusia sendiri. Juga menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Karena itu, menurut paham ini, apa yang dilakukan Muawiyah adalah perbuatannya sendiri dan tanggung jawab sendiri pula. Paham seperti ini kemudian dikenal dengan Qadariyah. Juga sebagai embrio Muktazilah yang rasional dan mengabaikan wahyu.
Di tengah pertikaian politik yang bernuansa agama (teologi) inilah kemudian muncul sekelompok orang yang tidak mau terseret politik. Ia lebih memilih menarik jarak dari kekuasaan dan mencoba berpikir jernih. Mereka dipelopori Hasan al-Basri, Sufya al-Tsauri, Fudail bin Iyadh, serta Abu Hanifah. Kelompok hasan al-Basri inilah yang sebenarnya merupakan fondasi awal Ahlussunah wal Jamaah. Baru kemudian pemikirannya diteruskan Abdullah ibn Kullab, Haris ibn Asad al-Muhasibi, dan Abu Bakar al-Qalanisi. Pada abad berikutnya dilanjutkan Abu Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Revitalisasi Makna ASWAJA
Dalam Risalah Ahlussunah wal Jamaah (ASWAJA), KH Hasyim al-Asyari merumuskan ASWAJA sebagai berikut: (1). Teologi mengikuti al-Asyari atau al-Maturidi; (2). Fikih mengikuti salah satu dari empat madzhab: al-Syafi’i, Hanbali, Abu Hanifah, dan Ahmad; (3). Tasawuf mengikuti al-Ghazali atau al-Junaidi. Pengertian seperti ini, menurut beliau, didasarkan pada paham keagamaan yang selama ini berlaku dan dianut ulama-ulama di Indonesia.
ASWAJA yang dikemukakan KH. Hasyim Asyari tersebut, menurut Kiyai Said Aqil Siradj, bukanlah definisi yang baku. Kiai Said memiliki definisi sendiri yang menurutnya jauh lebih relevan dengan tuntutan dan kondisi bangsa saat ini. Katanya, ASWAJA bukanlah suatu madzhab, melainkan manhaj al-fikr (metode berpikir) atau sebuah paham yang di dalamnya memuat banyak aliran dan madzhab pemikiran.
Manhaj tersebut sangat lentur, fleksibel, tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran). Hal ini tercermin dari sikap dan pandangan kaum sunni yang mendahulukan nash, meski memberikan porsi yang longgar terhadap rasio dan akal, tidak mengenal tatharruf (sikap ekstrim dan radikal), serta tidak mengkafirkan ahl al-qiblah (sesama penganut Islam). Ketawasutan ASWAJA tersebut meliputi semua aspek kehidupan, akidah, syariah, muamalah, akhlak, tasawuf, dan social-politik.
ASWAJA Sebagai Alternatif
Akhir-akhir ini kita disuguhi pelbagai peristiwa yang bermuara pada radikalisme agama. Bom bunuh diri, pengusiran Jamaat Ahmadiyah, konflik antar agama dll. Semuanya merupakan rentetan peristiwa yang mewarnai media massa kita. Kalau terus dibiarkan, tatanan kebhinekaan dan pluralitas Bangsa Indonesia lama kelamaan akan rusak dan hancur. Masyarakat Indonesia tidak lagi menganggap Pancasila dan UUD 45 sebagai ideologi negara dan landasan konstitusional. Pada akhirnya, Indonesia hanya akan dipenuhi sekelompok “barbar” yang merasa benar sendiri dan tidak mau hidup berdampingan dengan yang lain.
Anehnya, masih banyak orang/kelompok orang yang menganggap kekerasan berbasis agama sebagai bagian dari perjuangan agama. Misalnya dengan alasan jihad ia membunuh orang lain yang tidak bersalah, bahkan membunuh saudaranya sendiri. Apakah agama mengabsahkan kekerasan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang tak berdosa? Di sinilah bahayanya kekerasan berbasis agama. Karena itu, dibutuhkan pemahaman agama yang moderat, menghargai perbedaan dan cinta perdamaian.
Islam di indonesia memang kaya, tidak monolit dan tidak seragam. Setidaknya itulah yang kita lihat dengan kasat mata. Clifford Geertz misalnya menyebut islam abangan, Islam priyayi dan Islam santri. Namun, Islamnya itu sendiri tetap satu. Yang menjadikan kelihatannya warna-warnanya berbeda adalah penafsiran dan sikap prilaku orangnya, yang kerapkali berubah dari satu waktu ke waktu yang lain.
Setiap tempat-tempat yang di datangi Islam tentu saja tidak kosong nilai dan tidak kosong budaya. Di sana ada nilai-nilai, budaya, dan tradisi yang sebelumnya di bangun oleh peradaban lain terutama Hindu dan Budha. Akhirnya terjadi perembesan budaya, bukan banjir budaya. Pelan-pelan tapi butuh waktu panjang. Di tengah-tengah perembesan budaya ini terjadi dialog-dialog budaya. Dalam dialog ini bisa mempengaruhi satu sama lain. Yang sangat menarik terjadilah “sintesa kreatif” dalam kehidupan beragama. Lihat saja misalnya pada pesta pernikahan. Akad nikahnya pakai ijab Kabul, memiliki saksi, mahar, dst. Setelah itu ada siraman, midodareni, menginjak telur, dsb. Terserah budaya apa yang dipakai. Disini terjadi sintesa kreatif dalam pesta perkawinan. Dan lai lebih dari perkawinan juga banyak sekali. Kumpulan dari sintesa kretif inilah di Indonesia kemudian kita sebut multikultural.
Kemudian terjadi pula proses akulturasi dan inkulturasi (usaha suatu agama untuk menyesuaikan diri dengan kondisi setempat). Inkulturasi itu banyak sekali kita rasakan. Di sini kumpulan dari berbagai nilai-nilai agama di dekatkan dengan nilai-nilai budaya setempat. Misalnya saja tradisi Tingkepan. Tingkepan itu masih berjalan dan masih berlaku di masyarakat. Proses akulturasi dan inkulturasi itu bukan hanya dalam tataran agama tetapi juga dalam tataran kehidupan politik.
Pada aras yang lain kita juga menyaksikan kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan yang dialami banyak masyarakat Indonesia. Padahal, mereka hidup di tengah bangsa yang dipenuhi sumber daya alam yang melimpah. Lantas, kenapa mereka miskin, bodoh, dan tertinggal? Mereka sengaja dimiskinkan, dibuat bodoh, dan diciptakan oleh struktur sosial yang menyebabkan mereka tertinggal. Kekayaan alam kita dieksploitasi perusahaan-perusahaan yang rata-rata dimiliki asing. Hasilnya bukan untuk kesejahteraan masyarakat, melainkan dinikmati oleh segelintir orang. Inilah yang disebut kemiskinan struktural. Kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial yang timpang.
Sementara negara/pemerintah sama sekali tidak melindungi dan berpihak pada rakyat. Seringkali negara malah didikte oleh kekuatan-kekuatan asing, seperti WTO, IMF, atau World Bank. Akibatnya, subsidi untuk masyarakat kecil dipangkas, banyak aset-aset negara yang diprivatisasi dan dilelang ke negara asing. Ini karena negara kita menganut ideologi neo-liberalisme di mana tanggung jawab negara diminimalisir. Yang berkuasa adalah pasar dan modal. Sehingga jurang pemisah antara kaya dan miskin semakin lebar, karena negara pada akhirnya tidak punya tanggung jawab sama sekali terhadap rakyatnya.
Nah, bagaimana agar ASWAJA bisa bermain di tengah-tengah arus “radikalisme agama” dan “neo-liberalisme”. Kita melihat Indonesia dikepung oleh dua kekuatan tersebut. Keduanya sama-sama berbahaya dan berpotensi menghancurkan. Radikalisme agama hanya akan melahirkan distorsi terhadap nilai-nilai agama (Islam) yang berwatak rahmatan lil alamin, menghargai perbedaan, menjunjung tinggi keadilan dan persamaan. Sementara neo-liberalisme hanya akan melanggengkan kapitalisme global yang mengikis habis kemandirian bangsa dan negara, memperlebar kesenjangan sosial, dan menyebabkan keterbelakangan dan ketertinggalan.
Sebagai orang yang lahir di tengah-tengah komunitas Nahdliyyin (pesantren), kita seharusnya mampu menawarkan ASWAJA sebagai ideologi alternatif untuk melawan kedua ideologi tersebut (radikalisme agama dan neo-liberalisme). Namun, ASWAJA yang dimaksud di sini tentunya bukan dalam makna konvensional, seperti yang dirumuskan khadrati al-syaikh KH. Hasyim Asy’ari, yaitu mengikuti salah satu dari empat madzhab fiqh, berteologi Asyari atau Maturidi, dan bertasawuf mengikuti al-Ghazali atau al-Junaidi. Tentunya ASWAJA yang dimaksud di sini adalah manhaj al-fikr (metode berpikir) yang bercorak tawasut, tawazun, dan tasamuh. ASWAJA dalam makna seperti ini lebih hidup dan lebih segar. ASWAJA dalam maknanya yang baru tidak lagi mempersoalkan pertentangan antara rasionalisme-literalisme, tekstual-kontekstual, atau wahyu dan akal, tapi bagaimana ASWAJA mampu mewujudkan dunia untuk manusia yang bermartabat dan berkeadilan. Wallahu A’lam.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!