Selamat Jalan Kiyai Multifungsi, KH. Makhtum Hannan *)

Oleh: Afif Rivai **)

SUNGGUH saya sangat kaget ketika mendapat kabar via seliweran SMS maupun lewat media sosial wafatnya KH. Makhtum Hannan. Saya mendapat kabar hari sabtu pukul 8.00 pagi beberapa jam setelah Kang Makhtum tutup usia. Mungkin rekan yang mengirim info ke saya sebelum pukul itu, namun karena saya sedang membawakan acara di RCTV maka ponsel di silent. Dari beberapa kerabat dekat yang memberi info ke saya, pimpinan Pondok Pesantren Masyaariqul Anwar Babakan Ciwaringin ini wafat pada sabtu 21 Januari 2017 tepat pukul 06.35 pagi BBWI. Beliau wafat di usia 78 tahun.

Saya beberapa kali bertandang ke rumah beliau ngobrol ngalor-ngidul yang tak formal. Walau obrolan tak formal, namun sesekali saya bertanya soal berbagai hal yang menyerempet soal umat, NU dan seterusnya. Dalam optik saya, sosok Kang Makhtum adalah sosok Opinion Leader. Sangat berbeda mencolok ketika Kang Makhtum memimpin Istighosah dengan beliau saat di rumah. Selain mengajar, dalam aras ini beliau, lazimnya seorang Kiyai, setiap harinya sibuk melayani masyarakat dari berbagai kalangan yang sowan ke beliau untuk sekedar konsultasi, keperluan dan kepentingan lainnya. Di tengah berbagai kesibukannya, beliau masih menyempatkan untuk ngeladeni setiap kali siapa pun yang ingin ketemu beliau. Yang saya ketahui, di hampir setiap orang yang konsultasi, beliau selalu memberi motivasi agar menjadi pribadi-pribadi yang kuat dan pantang menyerah. Pada sisi ini, menurut saya, sosok Kang Makhtum bisa dikatakan sebagai motivator handal.

Dari mulai pejabat, pengusaha, pedagang, petani, pengurus organisasi, mahasiswa, bahkan tamu-tamu dari luar negeri. Umumnya, mereka meminta nasehat, masukan, dan do’a agar segala tujuan dan kepentingannya tercapai. Pendekatan yang digunakan oleh Kiyai Makhtum adalah hikmah melalui berbagai pendampingan kepada yang tadi saya sebutkan di muka. Di samping itu, beliau mendirikan Jamiyah Hadiyu dan Istighasah. Kegiatan ini terus berkembang dan tersebar di seluruh wilayah Ciayumajakuning. Bahkan jejaringnya sudah tersebar pula di Jawa maupun luar Jawa. Beberapa kali saya mengikuti kegiatan Istighosah Kubro setiap malam Jumat yang bertempat di Maqbarah KH. Abdul Manan. Kegiatan ini diikuti oleh ribuan orang dari pelbagai pelosok desa dan luar daerah. Sepengetahuan saya, kegiatan Istighosah tersebut semua tamu undangan beserta jama’ah selalu dijamu dengan makan malam. Semua biaya untuk menyiapkan segala jamuan itu berasal dari beliau sendiri tanpa memohon bantuan dari jama’ah.

Pertemuan saya dengan beliau hampir setiap tahun di acara yang di helat oleh DKM Masjid di Desa kelahiran saya Tegalgubug Lor. Hampir setiap tahun pula beliau yang memimpin Istghosah dalam rangka tahun baru Islam. Sampai saat ini, saya masih belum puas menemukan jawabannya, mengapa Kang Mahtum selalu menyempatkan untuk hadir di acara tersebut. Padahal, saya percaya, bersamaan dengan itu tak sedikit undangan dari daerah lain yang menginginkan beliau untuk memimpin Istighosah. Kebiasaan beliau ketika menghadiri acara tahun baru Islam yang digelar di Masjid Jami Al-Ibrohimiyah Desa Tegalgubug Lor datang dengan KH. Zamzami Amin—penulis buku Babankana yang menjelentrehkan tentang sejarah Pondok Pesantren Babakan serta rembetannnya ke Perang Kedongdong. Ada noktah yang bisa saya petik dari beliau ketika beberapa kali bertandang ke rumahnya. Sebuah karakter yang menurut hemat saya perlu dicontoh yaitu kesederhanaan. Tak menampakan sama sekali bahwa beliau dekat bahkan sering diundang oleh pejabat-pejabat penting. Hemat saya, lebih dari itu, sifat tawadhu’ dari beliau yang tak pernah menunjukan sebagai sosok yang memiliki pengetahuan yang tinggi dibuktikan dengan murid-muridnya bertebaran di berbagai pelosok bahkan Kiai-kiai yang ada di Babakan Ciwaringin tidak sedikit menjadi muridnya. So pasti, setiap kali saya bertemu, beliau berujar “biasa yang selalu datang ke saya adalah masyarakat yang curhat maupun sedang mengalami masalah”. Namun beliau selalu konsisten, selalu menemui siapa pun yang datang ke rumahnya.

Hemat saya, ditengah gaya hidup hedonisme dan konsumerisme saat ini, Sosok beliau yang sederhana, komunikasi langsung tanpa sekat dengan berbagi kalangan patut dijadikan contoh oleh siapa pun termasuk publik figur serta pejabat. Dalam catatan saya, beliau masuk dalam struktur tertinggi di PBNU yakni sebagai satu dari sembilan ulama Ahlul Halli Wal Aqdi yang diberikan mandat untuk memilih Rois Syuriah PBNU pada saat Muktamar di Jombang beberapa waktu yang lalu. Pendek kata, beliau merupakan salah satu dari sembilan Kiai khos yang dimiliki Indonesia.

Seingat saya, pernah beliau dalam obrolannya mengatakan bahwa dirinya bukan Kiai dan dengan siapa pun memang tidak pernah mengatakan dirinya seorang Kiai. Beliau sering mengatakan dirinya adalah “premannya Kiyai”. Ketika menyebut demikian saya kaget. Terus saya kejar tentang nomenklatur, “premannya Kiyai” beliau artikan sebagai orang yang selalu menjaga Kiai atau khodimnya Kiyai. Beliau juga sering keliling ke masyarakat diiringi dengan memberikan bantuan kepada anak-anak dan orang tua yang beliau jumpai. Di samping itu, Kang Makhtum juga rutin memberikan santunan kepada anak-anak yatim baik di lingkungan Pesantren maupun di luar daerah.

Pernah dalam suatu ketika, ketika saya sowan ke rumah beliau. Bersamaan dengan itu ada yang sedang bertanya dan berkonsultasi. Beliau selalu mengatakan bahwa dirinya merupakan orang yang masih jauh dari bersih, masih kotor sehingga tak layak untuk dicontoh. Perkataan demikian selalu beliau keluarkan ke setiap orang yang bertandang ke rumahnya. Ketika menerima tamu pun beliau, tak pernah memilih dan membedakan. Semuanya beliau hadapi dengan santun dan keramahan. Dan berulangkali juga beliau sampaikan ke saya bahwa harta benda yang dimilikinya lebih cenderung semuanya dianggap sebagai titipan yang harus digunakan untuk kepentingan umat.

Sungguh kepergian beliau adalah kehilangan bagi saya, duka dan kehilangan yang mendalam juga bagi keluarga beliau, keluarga besar Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, NU serta umat Muslim. Percikan gagasan serta pikiran-pikiran Kang Makhtum akan tetap saya kenang. Selamat jalan, semoga Kang Makhtum dikumpulkan bersama dengan orang-orang al-shalihin wa al-muttaqin, AminN/em>. Wallahu’alam

*) Penulis adalah Pemikir Sosial-Keagamaan dan penulis lepas di berbagai Media Massa
**) Tulisan ini dimuat di Harian Radar Cirebon 3 Maret 2017

2 replies
  1. feng shui dining room says:

    547620 260435Fairly uncommon. Is likely to appreciate it for individuals who consist of community forums or anything, internet web site theme . a tones way for the client to communicate. Outstanding job.. 498464

    Balas

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.