Merebut Tafsir 6: Istirahat

DALAM mengungkapkan kematian, orang kerap memperhalusnya dengan istilah istirahat. “Telah beristirahat dengan tenang”. Ungkapan itu mengusik pikiran saya. Mengapa istirahat?

Kata istirahat hadir dalam kehidupan saya ketika sekolah di SMP. Pelajaran diselingi “jam istirahat”, dua kali di hari biasa, satu kali di hari Jum’at. Istirahat di jam pelajaran artinya kita akan menemukan kegembiraan sesaat. Berhamburan keluar dari kelas, saling dorong berjubel di pintu, berebut adu cepat menyerbu kantin atau sekedar olahraga. Di hari pasar–Selasa dan Sabtu–, jam istirahat bisa lebih menggembirakan lagi. Kami memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan lari ke pasar desa; mendengarkan pidato tukang obat yang sangat memikat diiringi atraksi kecil-kecilan seperti ular pyton yang merayap lemas atau topeng monyet “Sarimin pergi ke pasar” dengan tambur bertalu-talu. Asyik sekali.

Sebagai anak petani, pada musim mencangkul saya dan adik serta seorang pembantu akan buru-buru mengantar makanan ke sawah di jam istirahat para pekerja dari aktivitas menyangkul. Dalam bahasa Sunda disebut “wayah reureuh”–saatnya istirahat. Istirahat niscaya menjadi hal yang membahagikan, senantuasa ditunggu, sebelum kembali lagi ke tugas utama yang sedang dijalaninya.

Saya juga mendengar kata dengan makna istirahat dari ibu saya ketika ia sedang menjalani menstruasi. Ibu saya menggunakan istilah “agi liren”–dari bahasa Jawa, “sedang berhenti”. Pemahaman masa kecil saya istilah itu merujuk pada istirahatnya beliau dari ibadah shalat atau puasa di bulan Puasa. Saya tak tak ingat apakan ketika itu saya membayangkan makna ini juga mengandung arti berhenti dari aktivitas seksual. Seingat saya tidak. Ketika ibu saya telah menopause ia menggunakan kata “ wis liren”–atau “sudah berhenti”. Jelas bahwa yang diaksudkannya adalah berhenti bereproduksi dan saya merasa ibu saya begitu senang dan tentram ketika bercerita kepada adik-adik perempuannya bahwa ia telah berhenti bereproduksi. Mungkin, baginya masa reproduksi aktif itu sungguh melelahkan. Maklum belum ada KB.

Istilah istirahat juga digunakan untuk berhenti dari aktivitas berpikir yang membuat seseorang berhenti dari beban pikiran dan ketegangan yang terus menerus. Istilah yang digunakan adalah “reureuh pikir” (beristirahat dari berpikir) atau “niis” (mendinginkan pikiran). “Ibu Sersan”, tetangga saya yang dipoligami dan hampir mengalami kegilaan dibawa oleh keluarganya untuk tetirah agar melakukan “reureuh pikir” dan “niis” .

Kembali ke soal ungkapan istirahat untuk menggambarkan kematian, saya mendapat nasihat dari Kiyai Abu Bakar suaminya Mbak Badriyah Fayumi ketika kami menyelenggarakan tahlil atas kematian suami saya. Menurut beliau dan kemudian saya pelajari dari haditsnya, ternyata istilah “istirahat” memang juga digunakan untuk menunjuk pada peristiwa kematian. Namun dalam hadits itu disebutkan ada dua jenis istirahat yang keduanya menunjukkan kualitas hidup yang berbeda: mustarih dan mustarah (minhu).

Mustarih, atau “yang istirahat” adalah menunjuk pada mereka yang diistrahatkan oleh Tuhan dari beban kehidupan, tanggung jawab, kewajibannya sebagai hamba Tuhan di dunia karena “the mission accomplished”. Dan karena diistirahatkan, maka Tuhan niscaya memberi tempat baginya untuk beristirahat dengan indah di sisi-Nya.

Sebaliknya istilah mustarah, atau mustarahun menunjuk pada hal yang sebaliknya. Orang-orang bahkan binatang dan pepohonan yang hidup di sekitar orang yang meninggal itu; atau dalam cakupan yang lebih luas, alam semesta, dunia, kehidupan manusia akan diistirahatkan dari kekejaman dan kezhaliman orang bersangkutan. Itulah cara Tuhan menunjukkan kasih sayangnya kepada mahluk hidup di dunia dengan cara membebaskannya dari kekejaman orang itu.

Insya Allah Si Ayah dan kelak kita menjadi orang yang mustarih dan bukan yang di-mustarah-kan di mana dunia kecil dan besar kita dibebaskan dari penderitaan akibat ungkapan, fitnah, kekejaman, aniaya dan kezhaliman kita. Tentu saja semuanya terpulang kepada pilihan aktif kita sendiri: mustarih atau mustarah?[]

2 replies
  1. roomba 870 says:

    464358 56312An intriguing discussion is price comment. I think which you should write extra on this topic, it might not be a taboo subject but usually individuals are not enough to talk on such topics. Towards the next. Cheers 418335

    Balas

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.