Dalil-dalil Ushul Fiqh dalam Kondisi Krisis dan Emergency

Dalil-dalil ushul fiqh dalam kondisi krisis dan emergency:
1) درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (mencegah kerusakan didahulukan dari membawa kemanfaatan)
2) الضرورات تبيح المحظورات (Keadaan darurat membuat boleh hal-hal dilarang)
3)الضرر لا يزال بالضرر (kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan yang sama)
4) الاضطرار لا يبطل حق الغير (Kemudharatan jangan sampai menghilangkan hak orang lain)
5) المشقة تجلب التيسير (Kesulitan bisa dibawa kepada pemudahan)

Prinsip dasarnya: hukum Islam jangan sampai memberatkan muslim dalam kondisi-kondisi darurat dan kesulitan.

 

Muhammad Ali, 13 Maret 2020

Sumber : https://www.facebook.com/muhamadali74/posts/10158096305568501

Gambar : www.nu.or.id

WHAT’S KEEPING WOMEN OUT OF WORK?

Indonesia’s economy continues to grow and women have more access to education, so why aren’t more of the country’s women getting into work?

One of the big hurdles for gender equality is the gap between men and women in labour participation.

In most countries, fewer women than men are in the workforce.

It’s important that women have the opportunity to work if they want to do so. Working – and earning a wage – can help address other inequalities, like in income or household decision-making.

And, because women make up half the population, it makes sense to have as many women as possible contributing to the economy.

In many countries, women’s participation in the workforce has grown with the economy and with higher education levels.

This is true in developed nations like Australia – where 64 per cent of working-age women are in jobs (ABS, 2018) – and in developing nations like China, Cambodia, and Thailand.

But our research focuses on Indonesia, where female labour participation has stalled at 50 per cent for the past 30 years.

This is a bit of a mystery because Indonesia’s economy has constantly grown over the same period.

Education levels for women have been increasing, as has investment in health.

To understand why more women aren’t getting into work in Indonesia, we investigated workforce data collected by the Indonesian National Socio-Economic Survey, the Indonesian Village Census and the Indonesian Family Life Survey.

WORK FOR WOMEN

As women gain greater access to education, we would expect to see more women in the workplace. But there are a number of factors running counter to this in Indonesia.

One is urbanisation.

In Indonesia, as in many other developing countries, jobs are shifting out of the agricultural sector to manufacturing and services, and people are moving to the cities.

Because agriculture is one of the biggest sources of employment for women in Indonesia, this means there are fewer jobs available for them.

Another big factor is family.

In other parts of the world, women usually take up work after finishing their education, and the number of women working reaches a peak soon after.

When they have kids, many women drop out of the labour market, but soon after they pick it up again and continue working. In some cases women choose to continue on a part-time basis, allowing them to keep their skills up to date.

But in Indonesia we found that after women finish their education a large proportion simply don’t enter the workforce.

They stay out because they are anticipating starting a family. And for those who enter, a large number leave after their first child is born.

Women’s labour force participation peaks at age 45, when around 70 per cent of working-age women are in jobs. This is a very late age to see a peak in female labour force participation.

Another factor is the divide between the formal and informal sectors in Indonesia.

Informal jobs are unregulated – think “cash-in-hand” work – but are where the majority of women work. We thought that women working in the formal sector might move into the informal sector when they had children, because it offers more flexibility, but this isn’t the case.

In reality, women leaving the formal sector left work altogether.

This suggests companies in the formal sector aren’t doing enough to retain these women and helping them to return to work after having children.

A final contributing factor is the gender wage gap.

As in many countries, the labour sector in Indonesia appears to have a ‘glass ceiling’, which prevents women in high-earning jobs being paid as much as men.

In these jobs, women typically earn 13 per cent less than men.

But the Indonesian labour sector also has a problem common among developing nations, known as the ‘sticky floor’.

This describes the gap in wages between men and women in low-earning jobs. In Indonesia, this gap is much bigger than in high-earning jobs, with Indonesian women in low-earning jobs earning 63 per cent less than their male counterparts.

Both of these problems are a disincentive for women to join and stay in the workforce.

WHAT CAN INDONESIA DO?

Increasing the proportion of women in work in Indonesia by 10 percentage points has the potential to increase the country’s GDP by around one percentage point.

While that doesn’t sound like much, it adds up to more than $A100 billion dollars every year and is significant in a country that’s trying to move from a low-middle to high-middle income country.

It is in Indonesia’s interest to give more women the opportunity to work.

There are two key policies that Indonesia could put in place to make the workforce more open to women.

First there are policies that encourage shared child-rearing responsibilities, like parental leave. We know from other countries, particularly in Scandinavia, that paternity leave, alongside maternity leave, can encourage more women into the workforce.

The second policy is flexible work like part-time jobs.

Current labour laws in Indonesia restrict flexible work to contract workers and freelancers. Extending flexible work arrangements to full-time workers, or allowing part-time jobs with full employee entitlements, would allow women to raise children and work at the same time.

Workplaces could also provide childcare at work.

Our research has contributed to some sections of the Indonesian government implementing some of these policies. But our hope is that data like this will help more Indonesian women have the opportunity to work.

By Dr Diana Contreras Suarez and Professor Lisa Cameron, University of Melbourne

Source : https://pursuit.unimelb.edu.au/articles/what-s-keeping-women-out-of-work?utm_content=story&utm_medium=social&utm_source=facebook&fbclid=IwAR2fu3r4yJyGIEhcC9aN-eE8V3sBXYAdyefn9PEZjN4COg7irYP3DRuQDk0

Picture : Getty Images

Jadi RT itu Berat, Kamu Nggak Akan Kuat

Kira-kira udah terbayang bagaimana seminggu ini kami jatuh bangun emosinya, stres luar biasa menghadapi pemberitaan dan informasi yang beredar di sosmed. Dari senin siang yang merupakan hari yang sangat mengejutkan buat kami. Pasca penyemprotan disinfekta yang senin itu selesai jam 00.30, kami harus menghadapi realitas yang tidak mudah di rumah.

Jam 01.00 dini hari pasca penyemprotan, anak kedua kami demam tinggi, sementara anak yang pertama terus memegangi kepalanya yang katanya sakit dan pusing. Saya hanya saling pandang dengan suami sembari mengkompres gendhuk yang demamnya tinggi sekali. Jadilah kita tidak memejamkan mata sama sekali. Dia sakit hingga seminggu, 4 hari pertama demam up and down, 3 hari berikutnya batuk luar biasa. Kami ke dokter utk mendapatkan obat demam, antibiotik dan obat batuk. Kami lokalisir sakitnya dia, takut jadi berita yang heboh. Seminggu full dia tidak masuk sekolah. Dan alhamdulillah hari minggu bersamaan dengan olah raga warga, dia akhirnya keluar rumah setelah dijemput dua temannya.

Selasa pagi, H +2, kami mencoba bangun ruang dialog warga dengan pemkot depok, bbrp dinas datang. Mayoritas warga tidak masuk kantor hari itu. Setelah dialog, suasana relatif kondusif terutama terkait informasi. Meski banyak warga yang dirumahkan selama 14 hari oleh kantornya. Dan hingga hari ini surat keterangan sehat yang diminta banyak kantor kepada warga kami, belum ditangan. Namun ada beberapa kantor yang mengirimkan dokter ke perumahan guna pengecekan rutin kondisi kesehatan warga. Setiap hari, puskesmas sukmajaya juga membuka posko selama 2 jam di perumahan kami untuk memfasilitasi warga.

Selasa malam, sekitar jam 19.00, saya tiba-tiba lemas, tidak ada tenaga sama sekali, saya merasakan kesadaran saya berada di titik nol. Terduduk di sofa ruang tamu, anak dan suami saya terus memegangi kedua tangan saya yang sudah dingin seperti es. Keringat dingin mengalir pelan di bagian kepala belakang. Jantung saya berdebar kencang. Saya kemudian di bawa ke dokter terdekat yang merupakan langgangan kami. Tensi saya mlm itu fantastis 180/110, kolesterol 371. Ini tertinggi dalam sejarah kesehatan saya. Dokter memberikan obat dan menyarankan kalau dalam waktu 15-30 menit kedepan belum reda, maka harus dirawat di RS.

Dari dokter, saya langsung dibawa pulang. Sembari tiduran, suami saya terus memegangi tangan saya sembari mengatakan bahwa mama harus sehat, ayah tidak bisa menghadapi ini sendirian. Debaran jantung saya mulai turun malam itu, dan udah mulai bisa merespon komplain ibu-ibu di WA Group perumahan saat opening acara ilc tv one malam itu diperkenalkan narasumber terakhir, mba F warga studio alam indah. Saya sempat komplain ke produsernya untuk diluruskan bahwa dia bukan warga kami, karena beberapa info tentang kami yang disampaikan kurang akurat.

Selasa berganti Rabu. Rabu sore empat warga yang sempat menjenguk pasien di RS, dijemput untuk dilakukan test swab. Setidaknya itu melegakan biar ada kejelasan bagi kami daripada terus menerus dituding sospak saspek. Ada yang lucu dan menarik dari group WAG kecil yg berisikan warga yang menjenguk pasien. Setiap hari mereka di WA dari puskesmas, apakah ada keluhan hari ini? Jika tidak, silahkan melanjutkan aktifitas. Bu Ana namanya yang tiap hari melakukan itu. Pernah suatu hari sampai siang, bu Ana belum kirim WA. Semuanya pada bertanya. Lalu saya bercandain, WA aja bu Ana apakah sehat hari ini? Lalu semuanya tergelak dengan tawanya. Info tentang keempat warga ini, pak walikota juga salah menyebut, katanya semuanya ibu-ibu, padahal itu salah. Ya beginilah kalau walikota sering membicarakan kami dari kejauhan, karena belum pernah berkunjung ke tempat kami yang notabene hanya 4 km dari kantor walikota.

Rabu berganti kamis dan berjalan ke jumat. Hari jumat merupakan goncangan kedua bagi kami. Jumat siang kami diteror, ada bangkai anjing yang dibungkus plastik dan kain kafan yang dibuang di belakang rumah kami. Suami saya agak panik. Lalu dilakukan pengecekan dan dikuburkan.

Jumat sore kami mengalami puncak kedua kepanikan. Ada info yang beredar yang merupakan konpres dari menkes yang mengkabarkan bahwa 4 orang yang menjenguk dinyatakan suspect dan hrs diisolasi. Terus terang kami panik, membayangkan psikologi keempat warga dan keluarganya. Saya sempat mendatangi dua rumah warga untuk memberikan dukungan, dan saya nyaris tak berdaya menyaksikan air mata para keluarga yang tumpah, nampaknya sudah ditahan selama beberapa hari. Persis saat adzan magrib berkumandang, saya keluar dari rumah rumah warga. Sepanjang jalan kaki ke rumah, saya terus menengadahkan kepala ke langit, biar air mata saya tidak tumpah di jalan. Saya berkali kali menyebut gusti gusti.

Sampai rumah, saya nggak kuat, saya menangis menumpahkan semuanya. Anak saya yang besar juga ikut menangis. Lalu suami saya drop. Jantungnya berdebar kencang, dadanya terus dipegangin. Mungkin saat itu tensinya naik. Setelah sholat maghrib, dia rebahan, minum obat sembari terus memegangi dadanya. Saya dan anak-anak mengitarinya, menggosokkan minta telon di kaki dan tangannya yang sudah seperti es. Kok ujungnya seperti ini ya, dia bergumam. Lalu dia minta laptop, katanya pingin dengerin musik, stand up comedy dan wayang. Anak saya yang pertama lalu lari ke kamarnya dan menangis. Setelah menonton musik, stand up comedy dan wayang, kami agak rileks. Kami menonton cak lontong yang cukup menghibur malam itu. Jam 21.30an kami dapat kabar lagi kalau empat orang suspect yang dimaksud bukanlah warga kami, tapi mereka sudah ada di rspi. Bagi kami sebenarnya, mau positif atau suspect itu tidak apa-apa, toh bisa disembuhkan. Cara penyampaian pemerintah itu yang kurang manusiawi. Pemerintah lupa bahwa dibalik pasien-pasien yang diunumkan adalah manusia yang memiliki hati dan rasa. Kami melihat penanganan corona ini tidak menggunakan hati.

Jumat malam yang berat itu akhirnya terlewati. Kami lega dan berharap situasi ini akan segera berakhir. Sabtu pagi suami saya masih mengalami debaran jantung, mungkin sisa tadi malam. Sabtu sorenya saya kembali drop, tiba-tiba demam tinggi dan batuk. Dan makin memuncak pada minggu siang. Saat warga olahraga bersama pada minggu pagi utk memperkuat bangunan satu rasa dan membangun ketahanan sosial bersama, saya tidak bisa ikut lama karena demam. Setidaknya warga dapat asupan dukungan dari mba Sandra Moniaga komnas HAM yang sengaja datang untuk memberikan dukungan dan info lengkap ttg corona dr virologist drh Indro Cahyono. Mas Indro membuat kami semua melek bahwa virus corona memang mudah menyebar tapi juga mudah dimatikan. Info ini sangat menenangkan dan mendarat dibanding protokol-protokol pemerintah yg selalu di share linknya di beberapa WA Group.

Minggu siang, demam saya lumayan tinggi 39 dan naik turun. Badan saya lemes, rasanya sakit semua. Energi seperti lepas dari badan saya. Meriplikasi suami saya, saya nonton stand up untuk menghibur diri. Kayaknya ide menarik kalau kami di perumahan nonton stand up berjamaah, jadi kita bisa tertawa bersama. Tapi tak ada yang lebih menggembirakan dari update kondisi pasien setiap harinya yang makin membaik dan bercanda dengan kami. Jadi gaes, jadi RT itu berat, kamu nggak akan kuat 

Anis Hidayah, 9 Maret 2020

Image source : https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt55d33703cfeb8/bolehkah-pengontrak-rumah-jadi-ketua-rt/

Merebut Tafsir: Perempuan dan Bulan Maret

Ada peristiwa sangat penting bagi perempuan di bulan Maret. Tahun 1975 PBB menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional (HPI). Dibutuhkan hampir setengah Abad bagi dunia untuk mengakui secara resmi HPI. Bagi Indonesia bahkan harus menanti lebih lama lagi menunggu para rezim yang menolak gerakan kaum buruh sebagai hak asasi untuk berserikat. Padahal perjuangan untuk mencapai pengakuan atas hak-hak perempuan buruh itu telah berlangsung sejak akhir abad 19. Tahun 1857 (!) untuk pertama kali perempuan buruh pabrik tekstil di New York berbaris untuk melakukan protes atas upah yang rendah dan harga pangan yang mahal. Namun industri geming, mereka menutup telinga dan mata. Dengan asumsi yang bias gender mereka mengira, ini perempuan-perempuan hanya mengomel untuk kemudian diam dan kembali bekerja. Penindasan atas perempuan buruh terus berlangsung, upah rendah, tak dibenarkan berorganisasi.

Tanggal 8 Maret 1907 , digerakkan oleh Partai Buruh Amerika, ribuan perempuan (konon sampai 15.000 perempuan buruh) kembali berdemonstrasi. Tak hanya soal upah, mereka menuntut hak untuk bersuara dan berpendapat. Kali ini tokoh penggeraknya mulai dikenali. Adalah Theresia Malkiel, keluarga imigran dari Ukraina bersama tiga perempuan lainnya mengambil resiko menjadi penggerak pemogokan dan demosntrasi. Melalui kabar yang bergerak lamban, berita ini menyeberang ke Eropa. Baru tanggal 19 Maret mereka bergerak dan mendeklarasikannya sebagai hari peringatan perjuangan buruh perempuan, sebelum kemudian PBB menetapkannya tanggal 8 Maret. Di Eropa, pergerakan buruh juga digalang oleh kalangan partai sosialis. Dua tahun kemudian secara serempak para perempuan buruh menuntut hak-hak mereka sebagai manusia, menyusul peristiwa kebakaran pabrik yang menewaskan ratusan pekerja. Sejak itu para patriakh tak sanggup lagi membendung gelombang perlawanan buruh yang menuntut kepada para pengusaha untuk memperlakukan mereka sebagai pekerja yang memiliki hak-haknya secara penuh, tak setengah, tak sepatuh.

Namun, jika dibaca dari sini dan kini, perjuangan di Amerka dan Eropa telah menang separuh langkah. Pertama, meskipun terimbas oleh perang dunia mereka tak mengalami masa kolonial yang menyebabkan fokus perjuangan buruh terpecah antara memperjuangkan haknya sebagai buruh dan memperjuangkan tanah airnya untuk merdeka. Di tengah situasi itu perempuan di negara jajahan harus berjuang dengan ragam diskriminasi kelas dan gender yang dimanfaatkan kolonial untuk melanggengkan jajahannya.

Kedua, perjuangan perempuan termasuk kaum buruh di Amerika dan Eropa diuntungkan oleh revolusi yang berhasil meruntuhkan kultus atas keperkasaan para patriakh / ajaran gereja dan penaklukan atas kejantanan monarki. Sekularisasi adalah pijakan kokoh bagi perjuangan perempuan dan buruh untuk meletakan dasar-dasar hak berdasarkan kesetaraan di depan hukum.

Mungkin mereka tak membayangkan situasi perempuan di sini dan kini. Di sini kaum perempuan tak hanya harus berjuang untuk hak-haknya sebagai buruh tetapi juga sebagai perempuan yang secara tradisi tak cukup mudah untuk diakui peran dan posisinya. Itu karena (penafsiran tradisional) agama diletakkan sebagai hukum dalam mengatur keluarga. Apakah lagi, karena ada peristiwa Maret yang lain yang berdampak beda kepada perempuan di negara-negara jajahan mayoritas berpenduduk Islam, dengan perempuan buruh di Barat tempat mereka mengibarkan Hari Perempuan Internasional.

Tiga Maret 1924, Khalifah dinasti Utsmani dipimpin Sultan Abdul Hamid II yang saat itu memegang tampuk kesultanan Turki Ustmani runtuh. Sultan Abdul Hamid II secara paksa turun tahta dan sejak itu Kesultanan Turki berubah menjadi republik.

Agaknya, keruntuhan sebuah dinasti (bukan kekalahan umat Islam) di bulan Maret itu menyakitkan dan terus ditanggung dan memunculkan angan-angan untuk mengembalikan kejayaan Islam di bawah satu kekhalifahan semesta. Visi itu – untuk tidak dikatakan mimpi – sampai saat ini paling banter diwujudkan menjadi partai seperti Hijbuth Tharir atau di Indonesia menjadi ormas Hijbuth Tharir Indonesia (HTI). Namun sebelum itu mewujud, mereka mengangan-angan itu melalui tubuh dan eksistensi perempuan, tak terkecuali perempuan pekerja. Perempuanlah, dan bukan lelaki yang berhadapan dengan impian khalifah semesta yang harus diwujudkan melalui khitbah, perilaku pribadi. Di tubuh perempuan impian-impian tentang sebuah tatanan negeri impian diterapkan melalui aturan moral cara berpakaian, cara berprilaku, cara berpacaran, cara berketuruan cara bekerja dan seterusnya.

Bulan Maret bagi sebagian perempuan menjadi penanda untuk mengingatkan perjuangan panjang kaum perempuan dan para perempuan buruh dan melanjutkannya sampai terbebas dari segala bentuk penindasan berbasis prasangka jenis kelamin (gender) dan kelas. Namun bagi perempuan lain, bulan Maret adalah penanda untuk menyerah dan tunduk pada impian tentang surga di dunia yang harus mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Selamat Hari Perempuan Internasional!

 

Lies Marcoes, 8 Maret 2020

Merebut Tafsir: Isu inti dan pinggiran

Di rumah kami, ada taman yang terletak di bagian dalam rumah. Ukurannya kira-kira 4 x 6 m. Dari taman itu, area dapur, meja makan, kamar saya, ruang kerja suami dan buku-bukunya, kamar anak di bagian atas, ruang keluarga yang letaknya setelah meja makan mendapatkan cahaya dan udara. Karenanya buat kami taman itu merupakan “pusat” dan bagian inti dari rumah kami. Meskipun hanya sebuah “taman”, namun ia merupakan sumber kehidupan yang membuat rumah kami bisa bernafas. Dari sana kami mendapatkan udara, cahaya matahari, angin dan kesejukan dikala hujan.
Jelas, bagi kami taman itu bukan sekedar lahan kosong. Namun meletakakannya sebagai pusat bukan hanya membutuhkan “data berbasis bukti” melainkan “perspektif” dan “ideologi”. Meletakkannya sebagai sumber kehidupan bagi seisi rumah hanya bisa hadir jika seisi rumah punya perspektif dan ideologi tentang betapa pentingnya taman itu sebagai “pusat”. Dengan perspektif itu kami sampai kepada kesimpulan bahwa taman itu bukan sekedar “tanah kosong” dan bukan “pinggiran”.
Apakah mungkin ada kesimpulan yang berbeda? Tentu ada. Orang bisa saja menganggap inti rumah kami ada di ruang keluarga, ruang tamu atau kamar saya. Namun perspektif yang dibangun baik berdasarkan bukti maupun pemahaman, tamanlah inti rumah kami.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan pada pilihan dalam meletakkan mana yang dianggap “pusat” dan mana yang “pinggiran”. Jawaban atas pertanyaan itu tak hanya membutuhkan “bukti ” tetapi juga “ perspektif” dan “ideologi”.

Siang tadi, enam peneliti Rumah Kitab menyajikan temuan-temuan penelitian mereka tentang kehidupan sehari-hari perempuan dalam mengalami proses penyempitan ruang hidup mereka akibat pandangan keagamaan yang makin intoleran. Secara etnografis para peneliti itu mendalami kasus-kasus yang dipetik dari kehidupan sehari-hari Ada anak perempuan yang atas pilihan orang tuanya tak menganggap penting sekolah. Ia hanya dituntut belajar agama yang sesuai dengan ideologi orang tuanya, membaca kitab suci, dan sebentar lagi orang tuanya akan menjodohkannya. Padahal ia baru 15 tahun. Ada remaja perempuan, telah digariskan orang tua dan kelompoknya untuk menapaki jalan yang telah disiapkan bagi setiap perempuan dalam kelompok itu: sekolah di TK, setelah selesai, ikut kegiatan di “center”, setelah remaja ikut klub keterampilan bagi perempuan- memasak, menjahit mengirus rumah tangga, lalu menunggu ada orang yang mengajaknya taaruf dan menikah. Secara metafor, anak perempuan itu menggambarkan kehidupannnya seperti “balon gas, jika ada yang meniupkan gas ia akan mengapung, jika tidak ia akan kempes”. Ada perempuan di usia produktif memutuskan tidak bekerja karena sepanjang hari sepanjang minggu ikut “tolab ilmu”. Ia begitu takut bahwa ketika mati kelak tak dapat menjawab pertanyaan “man robbuka”, “siapa Tuhanmu”? Ada seorang janda, bercerai karena suaminya tukang pukul, namun dia tetap mencari suami lagi agar kelak punya imam ketika diakhirat kelak. Ada juga yang bersikukuh bahwa kehidupannya harus berubah dan karenanya ikut hijrah, dan tak kurang-kurang yang bersikukuh bahwa perempuan adalah sumber ancaman dan karenanya mereka harus ditutup rapat atau dipisakan. Lalu ada yang berkeras tak ada gunanya hidup dalam sebuah negara tanpa kepemimpinan semesta yang taat kepada hukum-hukum Tuhan.

Pengalaman-pengalaman itu adalah pengalaman sehari-hari dan nyata. Namun kita membutuhkan perspektif untuk mampu meletakkanya sebagai persoalan, apalagi persoalan inti dalam isu intoleransi. Seperti taman di rumah saya, pengalaman perempuan sehari-hari yang berhadapan dengan ruang kehidupan mereka yang makin sempit adalah sebuah fakta berbasis bukti. Namun untuk meletakannya bahwa itu merupakan isu penting atau bahkan “pusat persoalan” dibandingkan persoalan lain yang dianggap mengancam negara, membutuhkan perspektif dan ideologi.

Perspektif feminis adalah perspektif yang dapat menghadirkan kesadaran kritis betapa ancaman yang dihadapi perempuan-perempuan serupa itu begitu nyata. Dengan feminisme orang akan sanggup melihat ini adalah persoalan yang bukan hanya penting tetapi juga inti. Penyempitan ruang hidup perempuan akibat intoleransi kepada eksitensi mereka adalah nyata adanya dan sama sekali bukan isu pinggiran.

 

Lies Marcoes, 26 Februari 2020

Merebut Tafsir: Benarkah Kaum Proletar Kota Meninggalkan NU?

“Dulu seluas sawah-sawah di wilayah kami, seluas itu pula wilayah NU. Tapi sekarang, bersama menyusutnya sawah-sawah kami, yang ngaji NU hanya tinggal di pinggiran-pinggiran, atau mereka yang telah mapan dan ingin merawat ingatan tentang kampung halaman. Sementara sebagian besar kaum buruh dipastikan ikut “ngaji sunnah” (Salafi)”.

Mungkin hipotesis salah seorang peneliti Rumah Kitab ini kelewat serampangan. Namun temuan-temuan bagaimana kaum perempuan buruh di pinggiran Jakarta itu begitu aktif dalam pengajian sunnah seolah mengkonfirmasi pernyataan itu.

Siang tadi, saya mendengarkan paparan tiga lagi peneliti lapangan yang mengamati wilayah industri. Selama 10 minggu dan masih tersisa beberapa minggu mendatang, para peneliti itu menyimak denyut nadi kehidupan sehari-hari kaum pekerja perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik besar di wilayah penelitian mereka. Mereka mengamati bagaimana perempuan pekerja atau mantan pekerja mendefinisikan tentang kehidupan mereka; mendeteksi apakah mereka mengalami penyempitan ruang-ruang kehidupan sosial ekonomi dan eksistensinya sebagai perempuan di era dan wilayah industri itu yang disebabkan oleh pandang-pandangan keagamaan yang semakin mengeras dan kaku atau oleh sikap yang makin intoleran kepada perempuan. Jawabannya masih sedang mereka dalami, tapi sejumlah indikasi menarik untuk direnungkan.

Satu peneliti berlatar belakang NU, dengan suara parau melaporkan, pengajian yang umumnya diikuti para buruh perempuan itu mayoritas – untuk tidak dikatakan semua yang mereka hadiri adalah “kajian sunah”. Kajian sunnah adalah kajian yang menunjuk kepada jenis kajian Salafi yang meyakini bahwa ajaran agama yang paling benar dan otentik adalah yang bersumber dari tradisi sunnah era Salaf yaitu suatu era yang paling dekat dengan masa Nabi. Setiap hari dari Senin hingga Minggu terdapat puluhan “kajian sunah” di masjid-masjid kompleks, baik kompleks perumahan maupun mesjid perusahaan. Dalam tiap minggunya puncak kajian berlangsung hari Sabtu, mencapai 17 kajian untuk satu wilayah industri saja. Dan peneliti ini memastikan dengan menunjuk satu daftar poster -poster kajian yang semuanya merupakan kajian sunnah Salafi.

Dalam kajian-kajian itu tema-tema yang dibahas terjadwal dengan tetap. Terbanyak adalah membahas tentang tauhid, penegasan tentang prinsip-prinip monotesme yang ketat. Di titik ini dari penuturan mereka, keluar ragam istilah yang menerjemahkan prinsip tauhid murni yang mereka fahami. Kata “takut bid’ah” “ jangan sampai musyrik” atau ‘harus pakai rujukan yang jelas” menjadi penanda betapa hati-hatinya – untuk tidak dikatakan betapa tegangnya cara mereka beragama. Pengajian-pengajian mereka sangat serius, nyaris tak ada senda gurau tak ada model pengajian majelis taklim yang ditayangkan TV yang penuh gelak tawa yang juga menjadi ciri khas pengajian NU kultural. Memang, sesekali mereka juga ikuti pengajian model itu di mesjid umum milik pemerintah, namun setelah itu mereka akan segera ikut “taklim sunnah”.

Tema lain adalah tentang praktik ibadah sehari-hari yang “benar” menurut ajaran sunah; cara berwudu yang benar, cara shalat yang benar, cara berpakaian yang benar, cara berkeluarga yang benar dan seterusnya. Meskipun kajian sunnah umumnya menolak kajian tafsir (unsur rasionalitas penafsir dikhawatirkan mencederai ajaran Tauhid padahal kebenaran terletak pada otentisitas teks kitab suci), beberapa klub pengajian ini melakukan kajian tafsir tertentu. Sudah barang tentu kajian dengan tema khas perempuan menjadi tema paling banyak disajikan. Dapat diduga isu perempuan yang paling banyak adalah kewajiban menggunakan jilbab syar’i plus hijab.
Para perempuan itu mendapatkan informasi beragam kajian itu dari media- media online. Dengan HP mereka dapat mengakses ragam kajian dan kontennya. Dan dalam setiap aktivitas kajian itu mereka rajin menyimak, mencatat dan bertanya (melalui secarik kertas).

Pertanyaannya adalah, apakah kini kaum proletar kota tak lagi cocok dengan model pengajian-pengajian NU? Mengapa ngaji model NU di wilayah yang dulunya basis NU sekarang menjadi pinggiran? Kajian sunah mereka gandrungi karena memberi jawaban-jawaban pasti: boleh atau tidak boleh. Kehidupan mereka sebagai pekerja diatur oleh ritme dunia kerja yang sesuai irama detik menit dan jam. Jenis kajian instan tampaknya sesuai dengan ritme kerja mereka sebagai kaum urban yang tenaganya sudah diperas habis. Mereka ingin mendapat hal yang pasti pasti saja dan tak lagi punya waktu untuk menyimak model kajian NU yang memberi pilihan-pilihan. Sebagai pendatang dari desa tak semua mereka kenal tradisi persantren, mereka tak tertarik pada model ngaji yang membahas kata per kata “utawi iki iku” khas kajian kitab kuning. Lebih dari itu mereka membutuhkan jawaban yang relevan dengan dunia mereka kini sebagai orang kota yang ingin punya patokan dalam hidup yang serba abu-abu.
Ini jelas tak lagi sama dengan ketika mereka di desa yang jadwalnya diatur oleh musim bertani atau oleh ritme ibadah serta mengikuti pengajian sebagai kegiatan komunal atau menjaga tradisi. Tesis kelahiran NU adalah untuk menjaga tradisi yang dikhayati kaum miskin perdesaan agrartis, namun kini kaum miskin itu telah berpindah ke kota bersama menghilangnya sawah dan sumber ekonomi di desa. Kaum miskin itu kini ada di kota dan menjadi warga miskin kota yang tak lagi bergantung kepada dunia agrartis melainkan kepada industri. Apakah perubahan basis itu tak ditangkap oleh NU melainkan oleh kaum Salafi? Saya hanya ingin bertanya. Wallu’a’lam

 

Lies Marcoes 6 Maret 2020

 

KELUARGA INDONESIA DALAM PUSARAN PERUBAHAN DUNIA

Oleh: Nani Zulminarni – Pendiri PEKKA

Dimasukkannya RUU Ketahanan Keluarga dalam Prolegnas DPR-RI periode 2019-2024, mengundang reaksi keras dari kelompok perempuan khususnya yang selama ini memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Pertanyaan paling mendasar apakah kita memerlukan UU Ketahanan Keluarga dan seberapa relefan RUU tersebut dengan realita keluarga Indonesia saat ini?

Keluarga memang menjadi arena pertarungan terbesar bagi banyak kepentingan, sebagaimana keluarga juga merupakan ranah paling penting bagi perjuangan kedaulatan perempuan selama ini. Bahkan UN-WOMEN dalam laporan kemajuan perempuan tahun 2019-2020, memfokuskan pembahasannya secara komprehensif tentang keluarga melalui publikasi “Families in the Changing World”. Ketika Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) mulai digagas dan dikembangkan di Indonesia tahun 2001 yang lalu, pertarungan ideologi tentang keluarga merupakan tantangan terberat yang kami hadapi.

Data statistik Indonesia tidak merekam secara spesifik tentang keluarga karena menggunakan pendekatan rumah tangga (household). Keluarga merupakan lembaga sosial universal yang berkembang berdasarkan kebutuhan manusia terkait dengan kegiatan seksualitas, reproduksi dan pemenuhan kebutuhan hidup. Didalam keluarga terbangun hubungan produktif, reproduksi, dan distribusi dengan struktur kekuasaan serta hubungan ideologis dan emosional yang kuat. Meskipun didalam keluarga ada pembagian tugas dan kepentingan bersama, namun setiap anggota keluarga memiliki kepentingan sendiri yang ditentukan oleh posisi mereka dalam peran produktif, reproduksi, dan relasi kekuasaan.

Rumah tangga adalah unit tempat tinggal dihuni satu atau lebih keluarga yang berbagi sumber daya reproduksi dan produksi, termasuk tempat tinggal dan makanan, serta aktivitas sosial lainnya. Umumnya anggota dalam satu rumah tangga memiliki hubungan kekerabatan dan perkawinan. Trend satu rumah tangga memiliki anggota tanpa hubungan kekerabatan juga semakin meningkat karena alasan ekonomi, pendidikan dan kebencanaan. Trend lainnya adalah terpisahnya anggota keluarga kedalam dua atau lebih rumah tangga realita keluarga Indonesia lainnya, misalnya keluarga pekerja migran serta keluarga dalam perkawinan poligami.
Komposisi keluarga sangat dinamis dan berkembang mengikuti tantangan peradaban dunia. Laporan UN WOMEN mengidentifikasi lima formasi keluarga didunia saat ini. Keluarga yang secara tradisional terdiri dari pasangan dengan anak-anak dalam semua umur secara global hanya 38%, sementara di Asia Tenggara 36%. Format “keluarga besar” (extended family) masih bertahan yaitu sekitar 27%, sedangkan trend keluarga hanya pasangan saja, hidup sendiri, orang tua tunggal dan hidup bersama tanpa hubungan keluarga, cenderung semakin meningkat.

Indonesia memiliki komposisi keluarga yang lebih beragam. Misalnya data PEKKA menunjukkan bahwa hampir 25% keluarga di Indonesia kepalai perempuan dengan 6 variasi formasi keluarga yaitu ibu dengan anak, nenek dengan cucu, perempuan dengan saudaranya, perempuan dengan keponakan, perempuan hidup sendiri, dan perempuan hidup dengan teman perempuannya. PEKKA juga menemukan bahwa beberapa anggota keluarga yang dikepalai perempuan tidak jarang menempati lebih dari satu rumah tangga karena kemiskinan mereka. Misalnya Ibu tinggal dirumah tangga lain sebagai pekerja rumah tangga baik di dalam maupun diluar negeri, meninggalkan anaknya dirumah tangganya sendiri.

Selain itu, realita keluarga Indonesia juga diwarnai dengan ketidakadilan terhadap perempuan.
• Formasi keluarga dan kedudukan perempuan didalamnya.
Ideologi patriarchy yang mendasari pembentukan keluarga telah menempatkan perempuan dalam posisi sub-ordinat didalam keluarga. Misalnya pengukuhan laki-laki sebagai kepala keluarga didalam UU Perkawinan berpotensi menghambat berkembangnya relasi kuasa yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Perempuan tidak memiliki kendali bahkan atas tubuhnya sendiri, terbatas akses terhadap berbagai sumberdaya termasuk ekonomi, pendidikan dan informasi.
• Perempuan sebagai pencari nafkah dalam Keluarga
Perempuan terlibat aktif bahkan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Perempuan dalam keluarga miskin harus bekerja keras di sektor informal dengan pendapatan yang tidak memenuhi standar hidup layak, sementara peran reproduksi perempuan kerap dijadikan alasan untuk mendiskriminasi upah dan karir perempuan di dunia kerja.
• Peran Pengasuhan dalam Keluarga dan Masyarakat
Perempuan memegang peran utama dalam pengasuhan dan perawatan anggota keluarga. Laporan UN WOMEN menunjukkan bahwa secara global, perempuan melakukan perawatan dan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar tiga kali lebih banyak daripada laki-laki. Kemiskinan, keterpencilan dan memiliki anak-anak yang masih kecil memberikan beban kerja perawatan tak berbayar yang intensif bagi perempuan, sehingga tidak sempat untuk mengurus dirinya sendiri.
• Kekerasan terhadap perempuan didalam keluarga
Ketidaksetaraan gender dalam keluarga yang didasarkan pada norma sosial mengutamakan hak dan dominasi laki-laki, tuntutan kepatuhan perempuan dan kewajibannya menjaga keharmonisan keluarga, serta ketergantungan ekonomi perempuan terbukti menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan didalam keluarga dan pecahnya keluarga.

Dengan demikian, RUU Ketahanan Keluarga sesungguhnya tidak relevan karena mengabaikan realita keluarga dan kondisi perempuan Indonesia. Negara harusnya memastikan setiap anggota keluarga Indonesia termasuk perempuan dan anak dapat mengembangkan potensinya guna merespon tantangan kehidupan yang dihadapi dan terlindungi dengan memaksimalkan instrumen hukum yang sudah ada seperti CEDAW, UU-PKDRT, dan UU Perlindungan Anak. Selain itu penting bagi negara untuk memastikan statistik sensitif gender agar dapat merekam dengan akurat kondisi keluarga di Indonesia sebagai basis membuat kebijakan, mengembangkan program dan mengalokasikan anggaran pembangunan yang ramah dan melindungi berbagai format keluarga Indonesia.

Negara sebaiknya fokus pada kewajiban melindungi setiap keluarga dan anggota nya di Indonesia, memastikan layanan publik yang murah, mudah dijangkau, inklusif dan berkualitas khususnya terkait kesehatan reproduksi, pendidikan dan perawatan bagi setiap anggota keluarga Indonesia. Akses setiap anggota keluarga termasuk perempuan terhadap sumber pendapatan dan pekerjaan yang layak akan membantu mempercepat keluarga keluar dari kemiskinan dan ketertinggalan. Oleh karena itu, negara harus memastikan laki-laki maupun perempuan berperan setara dalam kegiatan pengasuhan dan perawatan dalam keluarga serta menegakkan hukum untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam keluarga.

Image source: https://asiafoundation.org/2014/06/18/giving-indonesias-women-head-of-households-a-fighting-chance/

Merebut Tafsir: Hamil gara-gara berenang di kolam campur dengan lelaki

Sebagaimana dilansir sebuah media, seorang komisioner KPAI mengemukakan teorinya bahwa perempuan bisa hamil gara-gara berenang di kolam yang bercampur dengan lelaki. Teorinya, melalui media air, sperma yang lepas atau bocor di kolam renang bisa tembus ke vagina. Tentu saja ini teori super dungu yang tak harus dianggap serius. Kalau pun mau ditanggapi lebih kepada perlunya peningkatan kapasitas anggota komisioner agar punya common sense, biar gak kasih komentar yang bikin malu seperti itu.

Namu dilihat dari sisi pandang ideologis tentang ruang kuasa perempuan, pandangan ini patut dipersoalkan sungguh-sungguh. Sebab jika gagasan itu berangkat dari keyakinan tentang perlunya segregasi ruang bagi lelaki dan perempuan atas nama kehendak untuk melindungi perempuan, itu benar-benar celaka.

Dalam sejarah, basis gagasan serupa itu datang dari prasangka kelas, gender, keyakinan, agama dan warna kulit. Di Amerika sampai akhir tahun 60-an warga Afro-Amerika tak diperbolehkan menggunakan kolam renang dan WC yang sama dengan orang kulit putih akibat prasangka ras.

Segregasi itu berangkat dari anggapan bahwa ruang publik, termasuk kolam renang (yang umumnya merupakan tempat umum) didefinisikan sebagai ruang yang diperuntukan secara eksklusif berdasarkan pasangka gender warna kulit agama dan kelas. Itu bukan ruang yang dapat diakses secara setara meskipun dianggap sebagai ruang publik.

 

Saat ini segregasi dengan basis prasangka serupa itu lambat laun telah hilang berkat meningkatnya pengetahuan, dan pengalaman untuk mengakhiri diskriminasi. Bahkan pelakunya akan dianggap rasis. Namun dalam kasus “peringatan” dari anggota KPAI yang menyatakan kolam renang campuran berbahaya bagi perempuan karena sperma bisa nyelonong ke vagina, pandangan dasarnya tidak berubah dari prasangka kelas, gender dan (ras).

Kolam renang merupakan ruang publik namun eksklusif (milik kulit putih, atau dalam kasus ini adalah milik lelaki). Dengan alasan khawatir perempuan hamil gara-gara sperma nyelonong maka perempuan harus dicegah masuk kolam. Dengan kata lain, kolam renang sebagai ruang publik dianggap (sepantasnya) merupakan milik lelaki dan perempuan hanyalah penumpang gelap ruang publik. Lebih dari itu, alasannya bukan sekedar norma kepantasan atau menjaga “keselamatan” melainkan menyangkut hal yang esensial (warna kulit yang tak bisa diubah atau rahim yang secara permanen ada pada tubuh perempuan yang sudah menjadi kodratnya).

 

Jadi, pikiran yang mengingatkan bahwa perempuan bisa hamil gara-gara berenang sesungguhnya bisa berangkat dari pandangan yang meyakini perlunya segregasi di ruang publik (seperti kolam renang). Masalahnya dalam struktur masyarakat yang timpang yang menganggap ruang publik merupakan hak dan prerogratif lelaki, maka peringatan itu bisa dibaca sebagai upaya halus untuk membatasi ruang kuasa perempuan atas ruang publik.

 

Karenanya meskipun teorinya sangat tak masuk akal, namun ideologi di belakang teori itu tetap masuk akal yaitu upaya tersamar untuk membatasi perempuan dalam mengakses ruang publik. Bukankah itu sebuah pendekatan moral yang mengkhawatirkan untuk tidak dikatakan mengerikan?

 

Lies Marcoes, 22 Februari 2020.

 

Artikel ini ditulis atas dukungan Global Affairs Canada dalam program We Lead

Amin Abdullah: Empat “Checklist” Islam Berkemajuan.

Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menyelenggarakan acara “Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah 2020” yang bertempat di Teater UMM Dome pada hari Sabtu, (08/02/2020). Acara tersebut dimulai sejak pukul 07.30 hingga 18.00 WIB.
Salah satu pembicara pada acara tersebut ialah Prof. Dr. M Amin Abdullah, Mantan Ketua Majelis Tarjih dan Pembaruan Pemikiran Islam pada era kepemimpinan Ahmad Syafii Ma’arif Sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah kala itu.
Pada permulaan penyampaian materinya, ia menyinggung secara sekilas pertemuan ulama-ulama sedunia di Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang baru-baru ini telah dilaksanakan. Amin Abdullah mengatakan bahwa poin-poin pembaruan pemikiran Islam (Tajdid) sebagai hasil pertemuan tersebut, sudah dilakukan oleh Muhammadiyah 100 tahun silam.
Setelah itu, Amin Abdullah bertanya kepada para hadirin sebelum masuk pada pembahasan inti terkait tema pokok presentasinya.
“Apa yang salah dari pembaharuan pemikiran Islam? mengapa sekarang kembali ke konservatif?” tanya Amin Abdullah.
Ia mengatakan bahwa model dakwah sekarang ini cenderung mengarah kepada da’wah at-ta’ashub (dakwah kepada fanatisme), takfir (suka mengkafirkan), rafdhul ghair (menolak eksistensi golongan lain), karohiyyatul ghair (membenci golongan lain), daulah islamiyyah (negara Islam), al-hijrah, al-qital (perang) dan al-‘unf ai-irhabiyyah (ekstremisme/terorisme)
Model-model dakwah di atas menjadi tantangan Muhammadiyah seratus tahun kedua. Model pemahaman keagamaan dan pola dakwah seperti di atas, kata Amin Abdullah, akan menjadikan umat Islam jatuh pada tataran lower order of thinking (kemampuan berpikir dangkal).
Amin Abdullah, merujuk perkataan Syeh Al-Azhar, jatuhnya umat Islam kepada lower order of thinking dikarenakan ‘adam al-jiddiyyah (tidak adanya usaha keras untuk berpikir).
“Kita lihat sekarang ini, alumni universitas malah pemikirannya rendah, seakan-akan tidak pernah berkuliah, bahkan profesor-profesor malah berkelahi sendiri” ujar Amin Abdullah.
Supaya tidak terperosok pada lubang tersebut, Amin Abdullah mengatakan bahwa Muhammadiyah harus melakukan tajdid di internal Muhammadiyah. Karena menurutnya, upaya tajdid itu tidak hanya keluar, tapi juga kedalam internal persyarikatan.
MUNU, MARMUD, MURSAL, Hingga MUSA
Amin Abdullah berpendapat bahwa perlu adanya manhaj (baru) supaya Muhammadiyah lebih inklusif.
Mengapa kita cenderung eksklusif? Maka perlu manhaj supaya kita lebih inklusif. Karena sekarang, Medsos mengarahkan kita kepada jama’aat al-mutathorrifah/al-ghuluw (intoleran dan radikal)
Eksklusifikatas itu dapat menciptakan sekat-sekat antar anggota persyarikatan. Maka jangan heran ketika muncul varian-varian baru di internal Muhammadiyah.
“Kalau merujuk kepada penelitiannya Pak Munir Mulkhan, ada beberapa varian kelompok Muhammadiyah. Ada MUNU (Muhammadiyah-NU), Marmud (Marhaen Muhammadiyah), kalau sekarang itu ada MURSAL (Muhammadiyah Rasa Salafi) atau MUSA (Muhammadiyah Salafi)” ujar Amin Abdullah diikuti gelak tawa para hadirin.
Amin Abdullah menambahkan bahwa sering kali kelompok MURSAL menganggap Muhammadiyah hanya berani amar ma’ruf namun tidak berani nahi munkar. Kelompok-kelompok yang suka menuduh-nuduh seperti itu disebut oleh Amin Abdullah sebagai kelompok Oppositional Islam (kelompok ekstremis-jihadis)
Untuk menghindari jatuhnya pemikiran kita ke dalam paham-paham ekstremis semacam itu, maka Amin Abdullah menyarankan untuk melakukan at-tajdid fi al-khithob ad-dini (pembaharuan dalam khithab agama).
Dulu, kata Amin Abdullah, terdapat pertentangan antara ahl al-hadits dan kalangan Muktazilah. Ahl al-hadits beranggapan bahwa tidaklah perlu ada pembaharuan (tajdid) dalam Islam. Dan kaum Muktazilah beranggapan bahwa pembaharuan (tajdid) itu perlu. Karena, menurut Muktazilah, yang di-tajdid itu adalah pemikiran dan penafsiran orang Islam bukan Islam itu sendiri.
“Kita juga harus bisa membedakan antara Islam dan pemikiran Islam, Muhammadiyah dan pemahaman orang tentang Muhammadiyah. Sekarang harus dikatakan begitu! Muhammadiyah itu satu, tapi pemahaman Muhammadiyah itu macam-macam dari MUNU, MARMUD, sampai MURAL” ucap Amin Abdullah tegas. Tentang Manhaj Amin Abdullah melihat bahwa semua organisasi pergerakan Islam mengklaim punya manhaj masing-masing. Ada Secular-Islam, Legal-Traditional, Progressive-Jihadis, dan lain sebagainya.
“Lalu, manhaj Islam Berkemajuan itu seperti apa?” tanya Amin Abdullah. Mula-mula, menurut Amin, kita harus bisa membedakan antara metode/manhaj dan langkah/prosedur penerapan manhaj. “Mula-mula, harus cek dulu maraji’ atau bahan-bahan referensinya itu kuat/banyak atau tidak. Cross-reference-nya seperti apa. Atau jangan-jangan hanya satu mazhab saja. Maka harus semuanya dikaji!” tutur Amin.
Di Kementerian Agama, lanjut Amin, sekarang sudah ditanya bagaimana integrasi keilmuan dalam suatu keputusan. Artinya, sekarang sudah ditanyakan apakah suatu fatwa yang dikeluarkan itu mono-disiplin, inter-disiplin, atau trans-disiplin. Setelah itu harus diuji publik dulu sebelum dilemparkan ke masyarakat.
“Maka yang penting itu bukan manhajnya, tapi detail penggunaan manhaj” tutur Amin.
Checklist Islam Berkemajuan
Terdapat daftar Checklist indikator Islam Berkemajuan menurut Amin Abdullah, terdapat empat poin; nilai tauhid, visi peradaban, strategi keilmuan, dan pembaharuan aplikasi manhaj. Terkait nilai tauhid, Amin Abdullah mengatakan; “Nilai tauhid itu tidak hanya mengekang, tapi liberation.
Di dalam tauhid itu, ada nilai-nilai yang berat dijalankan. Yaitu bagaiamana mengombinasikan antara ar-ru’yah al-ilahiyyah (nalar teologis), ar-ru’yah al-falsafiyyah (nalar filosofis), dan al-qiyam al-asasiyyah (nalar etis). Jangan cukup puas dengan teologis, karena itu akan menjadi partikularistik-sektarian. Itu yang jadi masalah kita sekarang, maka harus mengintegrasi semuanya.
Majelis Tarjih sudah sering menyebut al-qiyam al-asasiyyah, itu bagus sekali. Dulu nggak pernah menyebut itu sama sekali. Sering kali, kita jatuh pada theology without philosophy and without ethics. Itu menjadi penyakit internasional umat Islam, yaitu (lower order of thinking) bukan (higher order of thinking)” kata Amin.
Menurutnya, pendidikan kita itu jatuh pada al-‘aql al-ijro’i yaitu nalar prosedural (hanya cukup Al-Qur’an, sunah, ijma’, qiyas) dan juga al-aql al-ifta’i (nalar fatwa). Jika memang jatuh pada lubang itu, kata Amin, maka kita akan jauh dari nilai al-karomah al-insaniyyah, al-‘adalah, al-musawaah, dan as-syura. Padahal itu semua ada di dalam Al-Qur’an. Jadi menurutnya, sekarang kita itu kita kurang tawazun (adil) antara ahl al-hadis dan muktazilah.
Maka jatuhnya nanti menjadi al-‘aql as-siyasi (kekuasaan; seperti adanya polarisasi cebong-kampret) karena nalar teologis tidak bisa kawin dengan nalar filosofis dan tidak bisa akrab dengan nalar etis.
Terkait visi peradaban, Amin Abdullah mengatakan bahwa ar-ru’yah al-hadharah (visi peradaban) harus selalu dinamis, dialektis, dan tidak statis. Selalu berubah-ubah karena tantangan zaman juga berubah-ubah..
Mengenai srategi keilmuan, Amin Abdullah mengatakan; “Perlunya multi-disiplin, inter-disiplin, dan trandisiplin, itulah kunci Islam Berkemajuan. Kalau anda hanya berpikir mono-disiplin/linieritas “wassalam”, anda ditinggalkan oleh zaman. Islam wasathiyyah salah satu tugasnya ialah harus menuntaskan problem muwathonah, equal citizenship dan kesetaraan gender” tukasnya.
“Intinya adalah bagaimana multidisiplin, transdisiplin, dan inter-disiplin, harus masuk ke dalam komponen meneliti fatwa-fatwa keagamaan, opini, pandangan, bahkan yel-yel” tambahnya. Setelah melewati 3 checklist di atas baru diuji kesahihan di depan publik.
Menyindir Poligami
Menurutnya, Indikator pola pikir berkemajuan harus ada shifting paradigm dari maqasid lama ke maqasid baru. Menjaga keturunan itu jangan hanya ‘aqd an-nikah saja. Menghindari poligami juga termasuk salah satu poin dari menjaga keturunan (hifz an-nasl)
“Sekarang, perkawinan kita diobrak-abrik oleh ide poligami. lihatlah status-status itu. itu ada video bagus sekali yang mengatakan poligami itu karena sperma laki-laki setiap dua minggu tambah, maka solusinya adalah poligami. Waduh gawat itu kalau memang ada. Itulah akibatnya mono-disiplin, hanya lihat aspek biologi saja. Dia tidak terkait dengan multidisiplin.
Kita harus melihat bagaimana implikasi poligami di dalam masyarakat sekarang? maka harus pakai ‘ulum ijtima’iyyah”, ‘ulum insaniyyah jangan hanya biologis begitu” ujar Amin Abdullah “Menjaga akal itu lewat tradisi research dan melipatgandakan pola pikir.
Hifzul ‘Irdhi itu melindungi martabat kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia. Hifz ad-din itu ya jangan hanya agama Islam saja yang dilindungi, semua agama harus dilindungi. Sementara hifz al-mal, seperti yang dilakuakn Muhammadiyah sekarang lewat amal usahanya”
Imbuh Amin. Etika/alakhlak al-karimah itu di atas manhaj, kata Amin. Iman dan hati nurani itu sekeping mata uang. Lalu, Amin Abdullah menyebutkan indikator etika menurut Khalid Abou el-Fadl; “Kita harus Honesty, as-shidq, at-tawadu’, rendah hari, apapun ilmu kita, kita itu lemah.
Profesor saya itu islamic-studies tapi saya tidak paham masalah kimia, maka kita harus tawadhu’, jiddiyyah (sungguh-sungguh) kalau berfatwa, syumuliiyah (multidisiplin), ma’quliyyah/masuk akal. Tidak hanya otak tapi juga hati. Self-restrains (al-hilm), dan dhobtu an-nafs” tutupnya.
Reporter & Editor: Yahya FR.

Psikologi Felix Siauw

Oleh Ulil Abshar Abdalla

Di kalangan teman-teman Kristen (mungkin sebagian, tidak semua), ada keyakinan bahwa makin umat Kristen dan gereja ditindas, ia justru akan kian besar dan tumbuh-berkembang. Sejarah gereja sejak dulu membuktikan hal ini. Penindasan dan persekusi atas umat Kristiani justru membuat iman mereka kian teguh. Salah satu contoh persekusi umat Kristen yang direkam oleh Qur’an adalah kisah tentang “seven sleepers”, tujuh anak muda yang tidur hingga tiga ratus tahun, ditemani oleh anjing mereka, di dalam gua. Dalam Qur’an, mereka ini disebut Ashabul Kahfi – orang-orang yang tinggal di gua.

Sebetulnya, apa yang diyakini oleh umat Kristiani bukan hal yang khas pada mereka, melainkan semacam hukum sejarah yang nyaris berlaku di mana-mana. Jika suatu keyakinan ditindas, dimusuhi, dan pengikutnya dibunuh dan disiksa, keyakinan itu (apapun namanya, baik keyakinan yang bersifat relijius atau sekuler) akan cenderung kian solid dan malah berkembang-biak. Ketika seorang pemeluk kepercayaan, akidah, atau madzhab tertentu ditindas, mereka justru akan makin kuat pertahanan psikologisnya.

Sebenarnya hal ini merupakan hukum yang secara alami berlaku pada banyak kasus. Ketika seseorang diserang, reaksi yang paling alamiah dari orang itu ialah mengembangkan apa yang disebut dengan “self defense”, pertahanan diri. Ketika seorang pemain pencak silat, misalnya, hendak dipukul oleh lawannya, eits, dia pastilah akan secara refleks mengembangkan sikap “pasang kuda-kuda” untuk membela diri. Ini berlaku bahkan bukan pada konteks manusia saja. Binatang pun jika mengendus suatu bahaya, ia akan mengaum, mengeluarkan reaksi fisik yang menandakan ia sedang siap-siap menghadapi bahaya.

Hari-hari ini, orang-orang banyak membicarakan sosok yang namanya Felix Siauw. Dia dikenal sebagai seorang muallaf yang kemudian memeluk “akidah politik” tertentu, yaitu keyakinan akan pentingnya konsep khilafah, dan bahwa mendirikan khilafah adalah kewajiban agama. Akidah politik ini diperjuangkan oleh kelompok yang bernama Hizbut Tahrir, atau HTI (“i” di sini merujuk kepada cabangnya yang ada ada di Indonesia; meskipun “i” juga bisa berarti Inggris, Islandia, Irlandia, atau yang lain).

Sejak pemerintah Jokowi melarang HTI, tekanan terhadap para aktivis HTI meningkat tajam. Hampir semua kekuatan-kekuatan Islam yang dominan, terutama NU dan Muhammadiyah, melakukan tekanan secara intelektual maupun sosial atas kelompok ini. Secara nasional nyaris ada semacam kesepakatan (tentu saja yang tidak sepakat ada juga, tetapi jumlah mereka lebih kecil) bahwa kelompok ini merupakan ancaman atas eksistensi NKRI, dan kerana itu langkah waspada harus diambil untuk menghadapinya.

Waktu saya mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL) pada 2001, salah satu sasaran utama kritik saya dan kawan-kawan adalah HTI. Saat itu, masih jarang di kalangan tokoh-tokoh NU atau Muhammadiyah yang menyadari bahaya kelompok ini. Saya sudah mengenal kelompok ini sejak tahun 90an. Saya, bersama teman-teman JIL yang hanya segelintir, nyaris sendirian menghadapi kelompok ini, berdebat di beberapa forum dengan tokoh-tokoh HTI: Ismail Yusanto, Siddik Al-Jawi, dll. Apa yang diperjuangkan JIL dulu nyaris sama persis dengan apa yang dilakukan oleh teman-teman Ansor, Banser dan lain-lain saat ini: menghadapi kelompok-kelompok yang mengancam keragaman sosial di Indonesia seperti HTI, kelompok-kelompok salafi, dll.

Sekarang ini, apa yang saya lakukan bertahun-tahun yang lalu sudah diambil-alih dan dikerjakan secara jauh lebih efektif oleh teman-teman NU, Muhammadiyah, dll. Dan karena itulah, sudah saatnya JIL istirahat, dan saya memutuskan mengambil jalan lain yang, untuk sebagian orang, mengagetkan: yaitu “ngaji” Ihya’ Ulumiddin. Bagi saya, sudah saatnya mengajarkan tasawwuf kepada publik secara lebih luas melalui sumber-sumbernya yang otoritatif dalam khazanah klasik Islam, sebab inilah “jalan menikung” (detour) yang lumayan efektif, dalam pandangan saya, untuk menghadapi (semula saya menulis “memerangi”, tetapi saya hapus karena terlalu “konfrontatif”) radikalisme agama. Pemahaman keagamaan yang keras biasanya dilandasi oleh kemarahan dan absennya dimensi mistik atau tasawwuf di dalamnya.

Seorang mantan aktivis HTI dari Inggris bernama Ed Hussein (Ed adalah singkatan dari “Muhammed”; supaya keren, disingkat menjadi “Ed”) menegaskan dalam memoar-nya yang terbit beberapa tahun lalu dengan judul “The Islamist”, bahwa kekurangan utama pada kelompok-kelompok keras seperti HTI adalah absennya dimensi mistik dan tasawwuf dalam pemahaman agama mereka. Bahasa kemarahan dan kehendak mencari musuh besar di luar sangat menguasai komunikasi publik mereka – sesuatu yang secara sosiologis sebetulnya bisa dipahami, di tengah-tengah dominasi Barat dan Amerika era Trump yang teramat menjengkelkan saat ini.

Setelah keluar dari HTI, Ed Hussein kemudian bergabung dengan kelompok sufi, dan di sana dia menemukan pemahaman Islam yang jauh lebih mendalam dan memuaskan pikiran serta hati. Melalui buku “The Islamist”, dia sebetulnya hendak mengingatkan pada anak-anak muda agar tak mudah terjebak dalam “magic” dan daya tarik ideologi yang ditawarkan HTI. Darah muda memang penuh gejolak. Ideologi-ideologi yang menampung kemarahan anak-anak muda sangat mudah memikat hati mereka. Sementara ajaran-ajaran keagamaan dari kelompok-kelompok “mainline” atau arus utama biasanya, di mata anak-anak muda ini, dianggap lembek dan terlalu “quietist”.

Kembali kepada pokok soal di awal tulisan ini: jika suatu kelompok ditekan dan dimusuhi, ia akan cenderung semakin kuat, solid. Permusuhan dan tekanan dari segala sisi terhadap HTI akhir-akhir ini jangan-jangan justru menguntungkan kelompok itu, karena tekanan-tekanan ini bisa-bisa malah kian mempertajam “skill” pertahanan diri mereka. Apa yang saya tulis ini tentu bukan untuk mengendori upaya-upaya untuk menangkal pemahaman Islam ala HTI dan semacamnya. Tetapi saya hanya mau menunjukkan bahwa kita harus mempertimbangkan pula apa yang ingin saya sebut sebagai “psikologi Felix Siauw”, yaitu suasana kejiwaan kelompok-kelompok yang sedang berada di bawah tekanan, tindasan yang intens.

Dalam psikologi Felix Siauw ini, berlaku hukum yang saya pandang nyaris universal, bahwa makin ditekan sesuatu, ia justru makin kokoh, kuat. Ini persis seperti yang terjadi dalam konteks masyarakat Yahudi di Barat. Seorang sarjana (saya sudah lupa namanya) mengemukakan pengamatan menarik tentang komunitas Yahudi di Amerika: saat orang-orang Yahudi ditindas dan menghadapi “pogrom”, terutama di Eropa Timur pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, mereka justru solid, kokoh sebagai komunitas. Ketaatan mereka terhadap tradisi sangat tinggi. Tetapi, dan ini paradoksnya, ketika mereka pindah ke Amerika dan menikmati hidup yang penuh kebebasan, komunitas Yahudi justru pelan-pelan terancam pudar; mereka mulai menikah dengan orang non-Yahudi, trend yang dianggap akan mengancam eksistensi keyahudian.

Menurut sarjana tadi, ancaman yang lebih berbahaya bagi orang Yahudi bukan semata-mata pogrom dan persekusi seperti mereka alami di negeri-negeri totaliter di Rusia atau Uni Soviet dulu, melainkan suasana kebebasan yang membolehkan apa saja.

Pelajaran yang bisa diperoleh dari pengalaman Yahudi di Barat ini adalah: jika anda ingin melawan suatu ide, cara terbaik justru dengan memberikan kebebasan pada ide itu untuk tampil ke tengah-tengah masyarakat dan bisa dikritik ramai-ramai, ditelanjangi jika ada argumentasi di dalamnya yang keropos. Sebaliknya, jika ide itu dilarang, ia justru malah akan diselubungi oleh (ini istilah saya sendiri) “misteri Che Guevara” — misteri yang meliputi suatu gagasan atau gerakan yang dilarang dan dimusuhi, yang akhirnya malah memikat anak-anak muda.[]