Merebut Tafsir: Isu inti dan pinggiran

Di rumah kami, ada taman yang terletak di bagian dalam rumah. Ukurannya kira-kira 4 x 6 m. Dari taman itu, area dapur, meja makan, kamar saya, ruang kerja suami dan buku-bukunya, kamar anak di bagian atas, ruang keluarga yang letaknya setelah meja makan mendapatkan cahaya dan udara. Karenanya buat kami taman itu merupakan “pusat” dan bagian inti dari rumah kami. Meskipun hanya sebuah “taman”, namun ia merupakan sumber kehidupan yang membuat rumah kami bisa bernafas. Dari sana kami mendapatkan udara, cahaya matahari, angin dan kesejukan dikala hujan.
Jelas, bagi kami taman itu bukan sekedar lahan kosong. Namun meletakakannya sebagai pusat bukan hanya membutuhkan “data berbasis bukti” melainkan “perspektif” dan “ideologi”. Meletakkannya sebagai sumber kehidupan bagi seisi rumah hanya bisa hadir jika seisi rumah punya perspektif dan ideologi tentang betapa pentingnya taman itu sebagai “pusat”. Dengan perspektif itu kami sampai kepada kesimpulan bahwa taman itu bukan sekedar “tanah kosong” dan bukan “pinggiran”.
Apakah mungkin ada kesimpulan yang berbeda? Tentu ada. Orang bisa saja menganggap inti rumah kami ada di ruang keluarga, ruang tamu atau kamar saya. Namun perspektif yang dibangun baik berdasarkan bukti maupun pemahaman, tamanlah inti rumah kami.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan pada pilihan dalam meletakkan mana yang dianggap “pusat” dan mana yang “pinggiran”. Jawaban atas pertanyaan itu tak hanya membutuhkan “bukti ” tetapi juga “ perspektif” dan “ideologi”.

Siang tadi, enam peneliti Rumah Kitab menyajikan temuan-temuan penelitian mereka tentang kehidupan sehari-hari perempuan dalam mengalami proses penyempitan ruang hidup mereka akibat pandangan keagamaan yang makin intoleran. Secara etnografis para peneliti itu mendalami kasus-kasus yang dipetik dari kehidupan sehari-hari Ada anak perempuan yang atas pilihan orang tuanya tak menganggap penting sekolah. Ia hanya dituntut belajar agama yang sesuai dengan ideologi orang tuanya, membaca kitab suci, dan sebentar lagi orang tuanya akan menjodohkannya. Padahal ia baru 15 tahun. Ada remaja perempuan, telah digariskan orang tua dan kelompoknya untuk menapaki jalan yang telah disiapkan bagi setiap perempuan dalam kelompok itu: sekolah di TK, setelah selesai, ikut kegiatan di “center”, setelah remaja ikut klub keterampilan bagi perempuan- memasak, menjahit mengirus rumah tangga, lalu menunggu ada orang yang mengajaknya taaruf dan menikah. Secara metafor, anak perempuan itu menggambarkan kehidupannnya seperti “balon gas, jika ada yang meniupkan gas ia akan mengapung, jika tidak ia akan kempes”. Ada perempuan di usia produktif memutuskan tidak bekerja karena sepanjang hari sepanjang minggu ikut “tolab ilmu”. Ia begitu takut bahwa ketika mati kelak tak dapat menjawab pertanyaan “man robbuka”, “siapa Tuhanmu”? Ada seorang janda, bercerai karena suaminya tukang pukul, namun dia tetap mencari suami lagi agar kelak punya imam ketika diakhirat kelak. Ada juga yang bersikukuh bahwa kehidupannya harus berubah dan karenanya ikut hijrah, dan tak kurang-kurang yang bersikukuh bahwa perempuan adalah sumber ancaman dan karenanya mereka harus ditutup rapat atau dipisakan. Lalu ada yang berkeras tak ada gunanya hidup dalam sebuah negara tanpa kepemimpinan semesta yang taat kepada hukum-hukum Tuhan.

Pengalaman-pengalaman itu adalah pengalaman sehari-hari dan nyata. Namun kita membutuhkan perspektif untuk mampu meletakkanya sebagai persoalan, apalagi persoalan inti dalam isu intoleransi. Seperti taman di rumah saya, pengalaman perempuan sehari-hari yang berhadapan dengan ruang kehidupan mereka yang makin sempit adalah sebuah fakta berbasis bukti. Namun untuk meletakannya bahwa itu merupakan isu penting atau bahkan “pusat persoalan” dibandingkan persoalan lain yang dianggap mengancam negara, membutuhkan perspektif dan ideologi.

Perspektif feminis adalah perspektif yang dapat menghadirkan kesadaran kritis betapa ancaman yang dihadapi perempuan-perempuan serupa itu begitu nyata. Dengan feminisme orang akan sanggup melihat ini adalah persoalan yang bukan hanya penting tetapi juga inti. Penyempitan ruang hidup perempuan akibat intoleransi kepada eksitensi mereka adalah nyata adanya dan sama sekali bukan isu pinggiran.

 

Lies Marcoes, 26 Februari 2020

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses