Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (7/8)

Azariqah

Sekte ini dipimpin oleh Nafi’ ibn al-Azraq ibn Qais, yaitu orang pertama yang membuka ruang perselisihan di kalangan kaum Khawarij. Perselisihan itu terjadi, menurut Imam al-Asy’ari, karena seorang perempuan asing dari penduduk Yaman yang menikah dengan seorang laki-laki Khawarij. Keluarga si perempuan tidak setuju dengan pernikahan itu, sampai akhirnya ia mengajukan tiga pilihan kepada suaminya: membawanya hijrah dan tinggal di perkemahan Khawarij, atau menyembunyikannya, atau menceraikannya. Si suami memilih menceraikannya, dan perempuan itu kemudian dinikahkan dengan sepupunya oleh keluarganya. Ketika kaum Khawarij mengetahui hal ini, terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Nafi’ ibn al-Azraq, yang merupakan salah seorang pemuka Khawarij, berpendapat bahwa wajib hukumnya bagi perempuan tersebut hijrah dan tinggal di perkemahan Khawarij. Ia menyatakan tidak sepakat dengan orang yang membolehkan taqîyyah (merahasiakan keyakinan dari para lawan yang bisa merugikan agama dan jiwanya) dan mengizinkan manusia untuk tidak hijrah dan berperang melawan kaum kafir.

Nafi’ ibn al-Azraq disebut-disebut sebagai tokoh yang punya andil besar dalam menciptakan perpecahan di kalangan umat Muslim menjadi beberapa sekte dan kelompok. Ia mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham, melarang menikah dengan mereka, melarang memakan daging hewan sesembelihan mereka, dan melarang berbagi warisan dengan mereka. Ia mewajibkan orang-orang untuk hijrah, mengkafirkan ahlul qiblah (sesama muslim), merampas harta mereka, dan menangkapi keturunan-keturunan mereka.

Sejumlah riwayat menyebut Nafi’ ibn al-Azraq memimpin kelompok Azariqah dari Basrah menuju Ahwaz untuk menguasainya dan sebagian wilayah Persia. Golongan Khawarij yang ada di Amman dan al-Yamamah bergabung dengan mereka, dan jumlah mereka pun menjadi lebih dari tiga puluh ribu orang. Mereka menumpahkan darah, membunuh anak-anak, dan menebar ketakutan di berbagai tempat. Mereka pun dikenal dengan kekerasan, kekejaman, kebrutalan, pembunuhan, dan penjarahan. Mereka sangat cerdik dan licik. Tentara yang secara khusus disiapkan Dinasti Umayyah, yang dipimpin oleh al-Muhallab ibn Abi Shufrah, memerlukan waktu sembilan belas tahun untuk menghancurkan mereka.

Mereka menganggap Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn Ubaidillah, al-Zubair ibn al-Awwam, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, dan seluruh umat Muslim sebagai kafir yang akan kekal di neraka berdasarkan interpretasi mereka yang salah terhadap ayat-ayat al-Qur`an. Mereka mengklaim bahwa Allah berfirman mengenai Ali ibn Abi Thalib, “Dan di antara manusia itu ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah [atas keebnaran] isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras,” [QS. al-Baqarah: 104]. Sementara mengenai Ibn Muljam, pembunuh Ali ibn Abi Thalib, mereka mengklaim bahwa Allah berfirman, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah,” [QS. al-Baqarah: 209].[1]

Mereka menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka yang sangat ekstrem. Mereka berpandangan bahwa orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dari umat Muslim adalah musyrik, negeri yang ditempati adalah negeri kafir, perempuan dan anak-anak di sana boleh dibunuh. Siapapun orang dari golongan yang tidak sepaham ingin bergabung dengan mereka diuji terlebih dahulu dengan memintanya menyerahkan tawanan dari golongan yang tak sepaham itu, lalu mereka menyuruhnya untuk membunuh tawanan itu. Kalau ia membunuh, maka ia akan dianggap sebagian bagian dari mereka, tetapi kalau tidak membunuh, maka berkata, “Orang ini munafik, musyrik,” lalu mereka membunuhnya. Mereka menganggap anak-anak dari golongan yang tidak sepaham adalah musyrik yang akan kekal di neraka, dan bahwa orang yang tinggal di negeri kafir adalah kafir, tidak ada yang bisa menyelamatkannya kecuali jika ia keluar dari negeri itu dan bergabung dengan mereka.

Diriwayatkan bahwa seseorang dari Bani Hasyim datang kepada Nafi’ ibn al-Azraq dan berkata, “Sesungguhnya anak-anak kaum musyrik berada di dalam neraka, dan siapapun yang berlawanan dengan kami adalah musyrik, dan darah anak-anak itu halal bagi kami.” Nafi’ berkata kepadanya, “Kau telah kafir dan menyesatkan dirimu sendiri.” Orang itu berkata, “Kalau aku tidak menunjukkan [dalil] dari Kitabullah atas [apa yang aku katakan] itu, maka bunuhlah aku.” Kemudian ia membaca sebuah ayat, “Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir,’ [QS. Nuh: 26 – 27].” Setelah itu ia berkata, “Inilah nasib orang-orang kafir dan nasib anak-anak mereka.” Nafi’ bersaksi atas itu, bahwa mereka semua berada di dalam neraka, dan karenanya harus diperangi. Ia juga mengatakan bahwa negeri mereka adalah negeri kafir, tidak boleh memakan daging sesembelihan mereka, tidak boleh menikah dengan mereka, dan tidak boleh berbagi warisan dengan mereka. Menurutnya, mereka semua sama seperti orang-orang kafir Arab, “Kami tidak menerima apapun dari mereka kecuali [mereka masuk] Islam atau [mereka mati dengan] pedang [kami].”    

Setiap dosa besar, kata Nafi’ ibn al-Azraq, adalah penyimpangan menyeluruh dari Islam, pelakunya akan kekal di neraka bersama orang-orang kafir. Untuk menguatkan pandangannya ini ia menyebutkan kekafiran Iblis, bahwa Iblis tidak melakukan kesalahan apapun selain satu dosa besar yaitu ketika Iblis menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam.

Nafi’ ibn al-Azraq mengatakan bahwa taqîyyah tidak boleh, baik dalam perkataan maupun perbuatan, meskipun itu akan mengakibatkan kebinasaan bagi yang bersangkutan. Ia meniadakan hukuman rajam (hadd al-rajam) bagi pelaku zina muhshan (pelaku zina yang sudah menikah) dengan dalih tidak ada pernyataan tegas (nash) di dalam al-Qur`an. Ia meniadakan hukuman pengusiran (hadd al-qadzaf) bagi laki-laki yang menuduh seseorang melakukan zina muhshan, dan mewajibkan hukuman itu bagi perempuan yang menuduh seseorang melakukan zina muhshan, dengan dalih—menurut klaimnya—apa yang terkandung di dalam al-Qur`an. Ia mewajibkan hukuman potong tangan bagi pencuri tanpa mempertimbangkan kadar barang curiannya (sedikit atau banyak), dan pemotongan itu dilakukan dari pundak. Ia bahkan mewajibkan perempuan haid untuk melaksanakan shalat dan puasa.

Sebagian pengikutnya mengatakan, “[Shalat dan puasa bagi perempuan haid] tidak wajib, tetapi ketika sudah suci maka ia wajib mengganti shalat yang ditinggalkannya sebagaimana mengganti puasa.” Mereka membolehkan melanggar amanah yang Allah perintahkan untuk melaksanakannya. Mereka berkata, “Kaum musyrik (golongan yang tidak sepaham, red.) tidak boleh diserahi amanah.”

Imam al-Baghdadi menggambarkan sekte Azariqah dengan perkataannya, “Di antara sekte-sekte Khawarij yang lain, mereka (sekte Azariqah) adalah yang paling banyak jumlahnya dan paling kuat.” Itulah sebabnya masyarakat menjadi sangat ketakutan, sebab mereka suka melakukan kekacauan di mana-mana tanpa mengenal ketenangan atau kedamaian.[]

_____________________

 

[1]          Menurut para ahli tafsir, ayat pertama (QS. al-Baqarah: 104) diturunkan untuk al-Akhnas ibn Syuraiq yang menampakkan keislaman secara lahir dan menyembunyikan ketidaksukaannya di dalam batinnya. Dan menurut Ibn Abbas, ayat tersebut diturunkan mengenai sekelompok munafik yang hendak menghancurkan Islam. Sedangkan ayat kedua (QS. al-Baqarah: 209) diturunkan mengenai Shuhaib al-Rumi, di mana ketika ia masuk Islam dan ingin berhijrah ke Madinah dengan membawa hartanya, ia dicegat oleh orang-orang Makkah. Ia lantas membagi-bagikan hartanya kepada mereka supaya ia dibiarkan hijrah ke Madinah.

Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (6/8)

Sebuah pepatah mengatakan, “Air tidak akan mengalir dua kali di sungai,” atau dengan kata lain kita tidak bisa turun dua kali di satu sungai, karena air-air baru mengalir masuk menggantikannya, yang berarti bahwa kehidupan dan semua peristiwa yang terjadi berubah-ubah dan tidak sama meskipun serupa dalam banyak keadaan. Di dalam sejarah dan segenap peristiwanya terkandung pelajaran yang dapat dipelajari untuk menghindari kesalahan-kesalahan sebelumnya dan mengambil manfaat yang sebesar-besarnya, tetapi sejarah kelompok-kelompok teroris dan Takfiri di dalam Islam berjalan ke arah yang berlawanan, bahkan meskipun telah melewati masa-masa yang begitu panjang, semua kejadian, tindakan, dan ide mereka hampir sama persis antara satu dengan lainnya.

Di Indonesia banyak sekali kelompok radikal muncul, di antaranya Darul Islam (DI), Jama’ah Islamiyah (JI), Laskar Jihad, Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), dan masih banyak lagi yang lainnya. Secara umum kelompok-kelompok ini lahir dari sebuah keresahan melihat sistem ketatanegaraan di Indonesia yang tidak berjalan sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Sistem demokrasi oleh mereka dianggap produk “kafir”. Dengan dalih tersebut, ide dasar kelompok-kelompok di atas adalah menerapkan syariat Islam. Bagi mereka, syariat Islam akan mampu menyelesaikan problematika bangsa. Dengan cara apapun mereka akan terus mengupayakannya di Indonesia.

Pada tahun 2008 terjadi perselisihan di dalam barisan Majelis Mujahidin Indonesia seputar qiyâdah (kepemimpinan) dan sistem pengambilan keputusan serta berbagai persoalan lainnya. Akibat perselisihan ini, Abu Bakar Ba’asyir dan beberapa pengikut setianya menyatakan keluar dari Majelis Mujahidin Indonesia dan kemudian membentuk “Jama’ah Ansharut Tauhid” (JAT). Tetapi penangkapan Abu Bakar Ba’asyir dan pengadilannya untuk keempat kalinya selama tiga dekade di tahun 2011 membuka ruang perpecahan lain, terutama setelah munculnya ISIS. Dikabarkan bahwa Abu Bakar Ba’asyir bersama beberapa pengikutnya mengumumkan baiatnya kepada ISIS dari balik jeruji penjara, meskipun itu dinilai tak lebih dari sekedar simpati dan dukungan semata.

Beberapa hari setelah itu sejumlah orang yang menolak berbaiat kepada ISIS menyatakan keluar dari Jama’ah Ansharut Tauhid dan meninggalkannya. Diperkirakan jumlah mereka mencapai 95% dari anggota Jama’ah Ansharut Tauhid. Kemudian pada 11 Agustus 2014 mereka mendeklarasikan berdirinya “Jama’ah Ansharusy Syari’ah” (JAS). Dikatakan oleh Muhammad Achwan, mantan anggota Jama’ah Ansharut Tauhid dan amir Jama’ah Ansharusy Syari’ah, “Keanggotan kami telah dikeluarkan dari Jama’ah Ansharut Tauhid karena menolak pergerakan ISIS di Indonesia. Selanjutnya, kami membentuk dan mendeklarasikan Jama’ah Ansharusy Syari’ah yang dibentuk karena merespon perbedaan pendapat yang terjadi pada anggota JAT dalam menyikapi Khilafah Islamiyah oleh Daulah Islamiyah di Irak dan Syam (ISIS). Amir JAT, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, telah memutuskan bahwa seluruh anggota JAT yang menolak klaim khilafah itu harus keluar dan tidak lagi dalam ikatan JAT.”[1]

Kita melihat perpecahan di dalam aliran radikal, yang paling tampak adalah para jihadis yang menolak ISIS dan menganggap pemikirannya berada di ‘luar jalur yang benar’, apalagi karena ISIS telah memerangi kelompok-kelompok jihadis lain di Syam. Sebagian besar dari mereka berafiliasi kepada Jama’ah Ansharusy Syari’ah dan Majelis Mujahidin Indonesia, dua organisasi yang sudah dikenal masyarakat, dan pemerintah tidak mengambil tindakan apapun terhadap dua organisasi tersebut kendati beberapa anggotanya dipenjara karena diduga memiliki keterkaitan dengan kegiatan-kegiatan jihad di dalam maupun di luar, atau karena hubungan dekat mereka dengan para pelaku bom bunuh diri atau serangan-serangan teror lainnya di Tanah Air.

Menurut buku-buku sejarah, pembelotan Nafi’ ibn al-Azraq dari Muhakkimah[2] telah membuka pintu perselisihan di antara kaum Khawarij, yang kemudian terpecah menjadi enam belas kelompok yang masing-masing percaya bahwa Islam yang mereka anut adalah yang paling benar dan mereka konsisten menjalankannya. Di antara pecahan dari kaum Khawarij adalah Azariqah, Najdat, Ibadhiyah dan seterusnya. Mereka saling mengkafirkan dan saling membunuh satu sama lain bahkan karena perpedaan dalam hal sepele. Konflik politik dan suku memainkan peranan penting dalam perpecahan dan pertempuran di internal mereka. Mereka mengkhianati semua perjanjian dan kesepakatan di antara mereka sendiri.

 

Muhakkimah

Nama Muhakkimah disematkan kepada orang-orang Khawarij yang menentang Khalifah Ali ibn Abi Thalib dengan mengangkat slogan “Tidak ada hukum kecuali milik Allah”. Mereka sepakat mengkafirkan Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal melawan Aisyah, Abu Musa al-Asy’ari, Amru ibn al-Ash, Muawiyah ibn Abi Sufyan, dan orang yang menerima keputusan hasil arbitrase.

Alasan mereka dijuluki demikian adalah karena mereka menentang masalah tahkîm atau arbitrase dengan mengatakan, “Apakah kalian memberlakukan hukum manusia dalam perkara Allah? Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” Ali ibn Abi Thalib mencoba menyadarkan kekeliruan mereka, tetapi mereka malah bersekongkol melawannya dan kemudian membunuhnya. Mereka memimpin beberapa upaya revolusi pada masa kekhalifahan Muawiyah ibn Abi Sufyan. Setelah itu ikatan mereka putus dan menjadi beberapa sekte.

Ibn Katsir mengatakan mengenai pemberontakan kaum Khawarij, “Ketika al-Asy’ats ibn Qais melewati sekumpulan orang dari Bani Tamim, ia membacakan surat mengenai pelaksanaan tahkîm, tiba-tiba Urwah ibn Adiyah dari Bani Rabi’ah ibn Hanzhalah berdiri di hadapannya dan berkata, “Apakah kalian memberlakukan hukum manusia dalam perkara Allah? Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” Kalimat ini kemudian dijadikan semboyan oleh sejumlah orang di antara sahabat Ali ibn Abi Thalib dari kalangan Qurra` (para penghafal al-Qur`an). Mereka berkata, “Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah,” dan karena ini mereka kemudian disebut Muhakkimah yang mengawali perpecahan di kalangan umat Muslim.

Al-Syahrastani mengatakan bahwa awal mula pemberontakan kelompok Khawarij terhadap Ali ibn Abi Thalib ketika arbitrase sedang berlangsung. Mereka berkumpul di Harura, sebuah tempat di dekat Kufah, yang dipimpin oleh Abdullah ibn Wahb al-Rasibi, Abdullah ibn al-Kawwa, dan Itab ibn al-A’war, Urwah ibn Jarir, Yazid ibn Abi Ashim al-Muharibi, dan Harkus ibn Zuhair. Saat itu jumlah mereka mencapai dua belas ribu orang, dan mereka adalah ahli shalat dan puasa.

Sejarah mencatat bahwa mereka menganggap Ali ibn Abi Thalib telah melakukan kesalahan terkait penerimaannya terhadap arbitrase, yaitu karena ia menjadikan manusia sebagai penentu keputusan, padahal tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Dari sini, sikap mereka terus berkembang, dari yang mulanya hanya menyalahkan kemudian berkembang menjadi mengkafirkan Ali.

Golongan Muhakkimah dan ide-ide mereka kemudian menjadi pijakan dasar dan rujukan teologis dan pemikiran bagi seluruh kelompok Khawarij yang muncul setelah perpecahannya. Sejumlah riwayat mengatakan bahwa ketika mereka pergi ke Harura, mereka memperlakukan umat Muslim lain yang berbeda pandangan dengan mereka secara kasar dan kejam.

Di dalam bukunya, “al-Tanbîh wa al-Radd ‘ala Ahl al-Ahwâ` wa al-Bida’”, Abu al-Husain al-Malathi al-Syafi’i menggambarkan mereka dengan perkataannya, “Sekte pertama dari Khawarij adalah Muhakkimah yang suka menghunus pedang untuk membunuh setiap orang yang mereka temui di jalan. Mereka membunuh dan terus membunuh. Seorang dari mereka ketika keluar untuk tahkim, maksudnya keluar dengan pedang terhunus seraya berseru di tengah-tengah manusia, ‘Tidak ada hukum selain milik Allah.’ Ia tidak kembali sebelum membunuh, menimbulkan ketakutan dan kekacauan di antara manusia.”

Orang pertama yang dibaiat kaum Khawarij sebagai imam adalah Abdullah ibn Wahb al-Rasibi di rumah Zaid ibn al-Hushain. Ia memimpin perang Nahrawan melawan Ali ibn Abi Thalib, dan ia terbunuh dalam perang tersebut bersama kawan-kawannya. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa yang selamat dari pasukan Khawarij dalam perang itu hanya sepuluh orang: dua orang lari ke Amman, dua orang lainnya lari ke Karman, dua orang lagi lari ke Sijastan, dua orang lainnya lari Jazirah, dan satu orang lari ke Yaman. Mereka menyebarkan pemikiran-pemikiran Khawarij di daerah-daerah tersebut.

Kejahatan mereka yang paling kejam adalah membunuh Abdullah ibn Khabbab, setelah ia memberitahukan kepada mereka suatu hadits mengenai kewajiban menghindari fitnah (kekacauan). Mereka lantas memenggal kepalanya di tepi sungai, membelah perut istrinya yang sedang hamil tua, mengeluarkan janinnya dan mencincangnya.

__________________________

[1]          http://www.muslimedianews.com/2014/08/jat-pecah-soal-isis-mantan-anggota.html

[2]          Sejumlah riwayat menunjukkan bahwa nalar Khawarij bisa dilacak keberadaannya sejak masa Nabi hingga masa Khalifah Utsman, tetapi kebanyakan sejarawan mencatat Khawarij pertama adalah golongan yang menentang Khalifah Ali. Merekalah yang kemudian disebut sebagai Muhakkimah atau golongan yang berkata “tak ada hukum kecuali milik Allah”. Tentu saja, slogan tersebut hanyalah apologi karena sebenarnya maksud mereka adalah “tak ada hukum kecuali hukum Allah” versi mereka sendiri.

Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (5/8)

Doktrin Khawarij

Pandangan-pandangan fikih kelompok Khawarij telah menjadi rujukan mendasar bagi kelompok-kelompok Takfiri dan teroris, yang pada akhirnya mengarah pada pengkafiran masyarakat Muslim dan selanjutnya penghalalan harta dan darah masyarakat secara umum, pemberontakan terhadap penguasa, upaya membangun masyarakat Islam yang benar. Pandangan-pandangan mereka ini sejatinya bertentangan dengan kaidah-kaidah fikih yang sudah mengakar cukup kuat di kalangan umat Muslim, di antaranya “al-dharar lâ yuzâl bi al-dharar” (Bahaya tidak boleh dihilangkan menggunakan bahaya yang lain), “dar` al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalb al-mashâlih” (menghilangkan mafsadat lebih utama daripada menarik maslahat),  sementara kenyataannya mereka melakukan kejahatan dan kemungkaran yang lebih parah untuk menghilangkan apa yang mereka anggap sebagai kemungkaran, membawa lebih banyak kerusakan daripada kemaslahatan. Tentu saja ini bertentangan dengan maqâshid al-syarî’ah (tujuan-tujuan syariat). Berikut ini adalah di antara pandangan mereka yang paling menonjol:

 

Pelaku dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam

Mayoritas kaum Khawarij menganggap para pelaku maksiat adalah kafir, yaitu keluar dari Islam dan mereka abadi di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.

Al-Syahrastani berkata, “Orang-orang Azariqah (salah satu sekte Khawarij) sepakat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir, karenanya ia keluar dari Islam dan kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.”[1]

Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat, menurut mereka, dan juga pelaku dosa besar adalah kafir. Mereka berkata, “Orang melakukan dosa besar karena ketidaktahuannya akan adanya Allah. Dan karena ketidaktahuan itu maka ia telah kafir, bukan karena ia melakukan maksiat.”[2]

Sebagian dari mereka mengkafirkan para pelaku maksiat dan pelaku dosa-dosa kecil. Mereka juga mengkafirkan orang yang melakukan suatu dosa bahkan meskipun ia tidak mengetahui hukumnya. Mereka berkata, “Orang yang melakukan suatu keharaman dan ia tidak tahu hukum pengharamannya, maka ia telah kafir.” Mereka menganggap setiap dosa kecil maupun dosa besar adalah kesyirikan, dan orang-orang yang melakukannya adalah penghuni neraka.[3]

Tetapi jika pelaku dosa atau dosa besar berasal dari golongan mereka, satu pandangan dengan mereka, dan satu wilayah dengan mereka, sehingga dengan begitu ia tidak dianggap kafir, maka mereka sepakat bahwa jika Allah menyiksanya, mungkin Allah menyiksanya bukan di neraka jahanam, dan selanjutnya akan memasukkannya ke surga. Sementara mengenai orang yang berbeda pandangan dengan mereka, jika orang tersebut melakukan dosa besar, maka ia termasuk golongan kafir dan musyrik.[4]

Dalam pandangan mereka yang ekstrem, orang yang bertaubat dari dosa, bahkan meskipun ia telah dikenakan hadd (sanksi yang sesuai dengan dosa yang diperbuatnya) sebagai upaya penyucian dirinya, ia adalah musyrik. Karena hadd menurut mereka tidak dikenakan kecuali kepada orang kafir yang sudah jelas kekafirannya. Sementara orang yang bertaubat, ia mengakui dosa dan taubatnya, maka ia kafir karena telah berbuat dosa. Pandangan mereka ini bertentangan dengan apa yang ada di dalam al-Qur`an, sunnah Nabi, dan konsensus ulama (ijmâ’ al-‘ulamâ`), bahwa penerapan hadd bagi pelaku dosa, khususnya orang yang bertaubat dan mengakui dosanya, menjadikannya termasuk golongan orang-orang bertaubat yang diampuni oleh Allah.

 

Pelaku maksiat kafir dan kekal di dalam neraka

Kaum Khawarij berpendapat bahwa pelaku maksiat akan kekal di neraka jika ia mati dengan kemaksiatannya, dan di dunia kedudukannya sama dengan orang munafik. Menurut mereka, ia berada dalam posisi yang mereka sebut dengan “manzilah bayna al-manzilatayn” (posisi di antara dua posisi), yaitu posisi di antara kesyirikan dan keimanan. Kemunafikan, dalam pandangan mereka, terkait dengan perbuatan (al-af’âl), bukan dengan keyakinan (al-i’tiqâd). Pandangan mereka ini bertentangan dengan apa yang disebutkan di dalam al-Qur`an, bahwa kemunafikan terkait dengan keyakinan, bukan dengan perbuatan.[5]

Mereka mengkafirkan pelaku dosa dengan menafsirkan sejumlah ayat dan hadits, dan membagi manusia menjadi mukmin dan kafir. Mengenai firman Allah, “Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir,” [QS. al-Ma’idah: 44], mereka menafsirkannya secara menyeluruh hingga mencakup semua orang yang melakukan dosa, karena orang yang melakukan dosa pasti telah menyimpang dari hukum yang Allah turunkan. Dan dalam pandangan mereka, orang yang tidak menerapkan hukum yang diturunkan Allah termasuk golongan kafir, sama halnya dengan orang fasik. Ketika berbuat dosa keduanya—orang yang tidak menerapkan hukum yang diturunkan Allah dan orang fasik—sama-sama tidak menerapkan hukum yang diturunkan Allah.

Begitu juga mereka memperlakukan hadits, mereka membebaninya dengan makna-makna yang tidak sesuai untuk menguatkan pandangan-pandangan mereka dalam mengkafirkan para pelaku maksiat dari umat Muslim, sebagaimana sabda Nabi, “Seorang pezina tidak akan melakukan perbuatannya itu dalam keadaan beriman, seorang peminum khamr tidak akan melakukan perbuatannya itu dalam keadaan beriman, seorang pencuri tidak akan melakukan perbuatannya itu dalam keadaan beriman, dan seorang perampok tidak akan melakukan perbuatannya itu dalam keadaan beriman,” [HR. al-Bukhari]. Kesimpulan mereka mengenai hadits ini, bahwa orang yang melakukan suatu dosa—dosa apapun—maka ia tidak beriman secara total. Pandangan mereka ini bertentangan dengan tafsir para ulama mengenai maksud dari hadits tersebut, bahwa keimanan seseorang bisa berkurang ketika ia melakukan dosa.

Penafsiran mereka terhadap hadits tersebut juga bertentangan dengan apa yang terkandung di dalam hadits Abu Dzar yang berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba yang mengucapkan ‘Lâ Ilâha Illâllâh,’ kemudian ia mati di atas kalimat tersebut, melainkan ia akan masuk surga.’ Aku bertanya, ‘Walaupun ia berzina dan mencuri?’ Beliau menjawab, ‘Walaupun ia berzina dan mencuri.’ Aku bertanya kembali, ‘Walaupun ia berzina dan mencuri?’ Beliau menjawab, ‘Walaupun ia berzina dan mencuri.’ Seakan ingin memastikan, aku bertanya lagi, ‘Walaupun ia berzina dan mencuri?’ Lagi-lagi beliau menjawab, ‘Walaupun ia berzina dan mencuri.’ Dan beliau menambahkan, ‘Meskipun Abu Dzar tidak menyukainya,” [HR. al-Bukhari].

Sebagian dari mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar, ia tetap bertauhid, tidak musyrik, tetapi tidak beriman, dan ia akan kekal di neraka seperti kekalnya kaum kafir jika ia mati dengan dosa besarnya tersebut.

 

Boleh menggunakan senjata untuk amar ma’ruf dan nahy munkar

Kaum Khawarij membolehkan penggunaan senjata dan terlibat dalam perang untuk mengubah kemungkaran, bahkan meskipun alasannya adalah kelalaian imam (pemimpin) melakukan sunnah, sunnah apapun. Al-Syahrastani berkata, “Kaum Khawarij berpendapat bahwa memberontak terhadap seorang imam (pemimpin) yang melanggar sunnah adalah hak yang wajib.”[6] Dengan pendapat ini mereka ingin semua manusia menerima pandangan-pandangan mereka dan menganggap segala hal yang tidak selaras dengan apa yang mereka yakini sebagai kemungkaran yang harus dicegah. Bahkan kalau perlu, dalam upaya mencegah kemungkaran itu, jihad (perang) harus dilakukan untuk melawan orang-orang yang tidak sejalan dengan mereka, terutama jika pelaku kemungkaran itu adalah seorang penguasa muslim di dalam kekhilafahan Islam yang diamanahi dengan hukum Allah, maka memberontak terhadapnya adalah sangat wajib dan utama.

Mereka juga berpandangan bahwa rakyat menjadi kafir jika pemimpinnya kafir.[7]

Diriwayatkan, bahwa Nafi’ ibn al-Azraq, pemimpin kelompok Azariqah, berpandangan bahwa orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka adalah kafir yang harus diperangi seperti memerangi orang kafir yang tidak mengucapkan kalimat syahadat. Di  dalam suratnya kepada penduduk Basrah ia mendesak mereka untuk memberontak, katanya, “Demi Allah, sesungguhnya kalian benar-benar mengetahui bahwa syariat adalah satu dan agama juga satu, lantas kenapa kita masih berada di tengah orang-orang kafir? Kalian melihat kezhaliman siang dan malam, dan Allah menyeru kalian untuk berjihad.”[8]

Ahmad Amin, sejarawan Mesir, menggambarkan mereka sebagai kelompok “yang paling keras, paling kasar dan paling kejam”. Ketika mereka meyakini kebenaran atas sesuatu, mereka akan langsung mengeksekusinya dengan pedang. Karena itu, sejarah mereka adalah sejarah serangkaian perang dan pemberontakan terhadap khalifah.

Menurut Ibn al-Qayyim, kaum Khawarij telah memberikan kemungkinan untuk memerangi manusia dalam rangka amar ma’ruf dan nahy munkar. Ia berkata, “Kaum Khawarij keluar memerangi para imam dan memberontak terhadap mereka dengan pedang dalam rangka amar ma’ruf dan nahy munkar.”[9]

 

Orang yang tidak percaya pada doktrin al-walâ` dan al-barâ`,[10] maka ia musyrik dan tak beragama

Kaum Khawarij menganggap orang-orang yang tidak berhijrah kepada mereka atau tidak berperang bersama mereka adalah kafir sebagaimana orang-orang lain yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka berkata, “Orang yang tidak berhijrah dan bergabung dengan pasukan (tentara), maka ia adalah munafik yang halal darah dan hartanya.”[11] Tetapi ada sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa orang yang tidak berhijrah kepada mereka atau tidak berperang bersama mereka itu bukan kafir dan bukan musyrik, dan tidak ada yang salah dengannya selama ia berpijak pada akidah yang kokoh, kesetiaan penuh, dan membenci orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Mereka berlepas diri dari orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dari umat Muslim. Mereka tidak menganggap kecuali hanya diri mereka sendiri. Al-Mubarrad berkata, “Kaum Khawarij dalam semua jenisnya berlepas diri dari pembohong dan pelaku maksiat yang nyata.” Mereka menganggap orang-orang selain mereka termasuk golongan pelaku maksiat yang nyata.

Bagi mereka ajaran al-walâ` dan al-barâ` sangat penting setelah tauhid. Orang yang tidak setia dan tidak memusuhi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka maka ia dianggap tidak beragama. Sebab orang beragama harus setia/patuh kepada para kekasih Allah sehingga ia disebut mukmin, atau sebaliknya ia membenci mereka sehingga ia disebut tidak mukmin.

Ajaran al-walâ` dan al-barâ` harus diketahui begitu seseorang mencapai usia taklîf (usia di mana seseorang wajib melaksanakan semua perintah agama), dan tidak ada alasan bagi orang yang tidak tahu. Setiap orang wajib mengetahuinya, dan orang yang tidak meyakini bahwa itu wajib maka ia musyrik.

 

Mengkafirkan dan memurtadkan sahabat Nabi

Kaum Khawarij mengkafirkan para sahabat Nabi, di antaranya Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn Ubaidillah, al-Zubair ibn al-Awwam, Abu Musa al-Asy’ari, Muawiyah ibn Abi Sufyan, Amru ibn al-Ash, dan orang-orang yang menerima hasil tahkîm (arbitrase). Bagi Kaum Khawarij, mereka semua akan berada di neraka.

Mereka berlepas diri dari Utsman ibn Affan dan kekhilafahannya. Mereka menganggapnya murtad dan kafir. Sebagaimana mereka juga berlepas diri dari Ali ibn Abi Thalib, bahkan sebagian dari mereka menganggapnya bukan muslim secara mutlak.

Di dalam suratnya kepada Abdul Malik, Abdullah ibn Ibadh, pemimpin sekte Ibadhiyah (salah satu sekte Khawarij), berkata mengenai Utsman ibn Affan, Muawiyah ibn Abi Sufyan, dan Yazid ibn Abi Sufyan, “Sesungguhnya kami bersaksi demi Allah dan para malaikat, kami berlepas diri dari mereka semua. Kami adalah musuh mereka dengan tangan, lisan, dan hati kami. Kami hidup berdasarkan itu, mati berdasarkan itu, dibangkitkan berdasarkan itu, dan dihisab berdasarkan itu di sisi Allah.”

 

Menghalalkan darah dan harta, serta membunuh anak-anak dari orang-orang yang berlawanan dengan mereka

Kaum Khawarij menghalalkan darah dan harta orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, terutama penguasa. Mereka memandang bahwa melenyapkan para pemimpin zhalim dan mencegah mereka untuk menjadi penguasa dengan cara apapun yang memungkinkan, baik dengan pedang ataupun dengan yang lainnya, itu sangat dianjurkan, bahkan diwajibkan. Mereka mengkafirkan seluruh bangsa yang menurut mereka telah keluar dari Islam sehingga halal darahnya.

Mereka menganggap bahwa negeri orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka adalah negeri kekafiran. Mereka berpendapat boleh mengkhianati amanah (kepercayaan) yang terjalin dengan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dan tidak melaksanakannya. Mereka mengharamkan kepemimpinan salah seorang dari orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, atau menikahi mereka, atau mewarisi mereka, atau tinggal bersama mereka, atau memberikan kesaksian untuk mereka, atau menerima pengetahuan agama dari mereka.

Beberapa pemimpin kaum Khawarij sepakat mengatakan, “Adapun mengenai bolehnya mengkhianati amanah, maka barangsiapa yang berlawanan dengan kami, Allah menghalalkan darah dan hartanya untuk kami. Darahnya halal secara mutlak, dan hartanya adalah fay` (harta rampasan) yang boleh diambil oleh umat Muslim (maksudnya kaum Khawarij, red.). Negerinya adalah negeri kesyirikan, semua penduduknya musyrik, sehingga boleh diperangi, dibunuh, dirampas hartanya, dan ditawan.”[12]

__________________________

[1]          Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halab, 1967, hal. 132

[2]          Muhammad Salim al-Majlisi, Ithâf al-Bararah bi Mawâni’ al-Takfîr al-Mu’tabarah, Mimbar al-Tauhid wa al-Jihad, 1428, hal. 69

[3]          Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halab, 1967, hal. 122 – 123

[4]          Ibid., hal. 118

[5]          Abdullah ibn Baz, Majmû’ah Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah (Juz 2), Riyadh: Dar al-Qasim, tt., hal. 28

[6]          Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halab, 1967, hal. 113

[7]          Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqâlât al-Islâmîyyîn wa Ikhtilâf al-Mushallîn (Juz 1), Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah,  hal. 194

[8]          Abu al-Abbas Muhammad ibn Yazid al-Mubarrad, al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab (Juz 2), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt., hal. 199

[9]          Muhammad al-Abduh dan Thariq Abdul Halim, Muqaddimah fî Asbâb Ikhtilâf al-Muslimîn wa Tafarruqihim, Kuwait: Dar al-Arqam, Cet. 2, 1987, hal. 30

[10]         Al-Walâ` artinya kesetian dan kecintaan, yaitu setia dan mencintai umat Muslim, membantu dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan bertempat tinggal bersama mereka. Sedangkan al-Barâ` artinya berlepas diri dan kebencian, yaitu memutus hubungan atau ikatan hati dengan kaum kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka.

[11]         Ibn Hazm al-Zhahiri, al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ` wa al-Nihal (Juz 5), Beirut: Dar al-Jail, tt., hal. 53

[12]         Dr. Muhammad Abu al-Syabab, al-Khawarij: Tarikhuhum, Firaquhum wa ‘Aqa`iduhum, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1971, hal. 215

Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (4/8)

Banyak orang tak habis pikir mengenai pemboman terhadap para jamaah shalat Jum’at yang duduk tenang di rumah Tuhan oleh seorang teroris yang meneriakkan “Allahu Akbar”. Peristiwa ini terjadi di masjid yang berada di Markas Kepolisian Resor Kota (Mapolresta) Cirebon pada pada Jum’at, 15 April 2011, yang mengakibatkan 25 orang terluka termasuk Kapolresta Cirebon. Bom yang meledak di Mapolresta Cirebon ini merupakan bom bunuh diri yang menyebabkan sang pelaku tewas. Korban luka-luka langsung dibawa ke rumah sakit Pelabuhan Cirebon dan RS Tentara Cermai Cirebon.[1]

Fakta ini tentu bukanlah hal baru jika kita melihat rangkaian peristiwa masa kini yang terjadi di sekitar kita, atau membaca kembali peristiwa-peristiwa masa lalu dalam sejarah kita dan sikap abai kita terhadap fakta bahwa operasi-operasi teroris itu tidak hanya menyasar tentara, polisi, dan penguasa, tetapi juga orang-orang yang khusyuk beribadah di rumah-rumah ibadah.

Pemboman sejenis juga menghantam puluhan masjid di Arab Saudi, Yaman, Suriah, Irak, Afghanistan, Pakistan, dan lainnya, termasuk Masjid Nabawi di Madinah. Hal ini mengindikasikan adanya pendekatan terpadu dan teori pemahaman agama komprehensif yang membolehkan seseorang melakukan tindak kejahatan tak terbayangkan, dengan cara paling buruk dengan hati dingin, tenang, rileks, keyakinan kokoh, dan keimanan tak tergoyahkan sembari meneriakkan “mari dengan tenang kita menuju surga” seperti yang dilakukan orang-orang Khawarij pada perang Nahrawan.

Dengan keimanan yang kuat mereka membunuh Umar ibn al-Khatthab yang sedang menjadi imam shalat Shubuh di Masjid Nabawi, membunuh Utsman ibn Affan yang sedang membaca al-Qur`an, membunuh Ali ibn Abi Thalib pada Jum’at dini hari saat ia sedang mengajak manusia untuk pergi ke masjid guna menunaikan shalat Shubuh di bulan Ramadhan, serta membantai Abdullah ibn Khabbab dan keluarganya, sementara mereka menganggap bahwa makan buah kelapa tanpa izin pemiliknya adalah kerusakan di muka bumi!

 

Halalnya Darah Saudara Sendiri

Sebagaimana disebutkan di beberapa buku-buku sejarah, ketika Ali ibn Abi Thalib mengirim Abu Musa al-Asy’ari beserta pasukannya ke Daumatul Jandal, kelakuan kelompok Khawarij semakin menjadi-jadi. Mereka menentang Ali, menganggapnya kafir, memisahkan diri darinya dan memberontak terhadapnya. Setiapkali Ali menyampaikan khutbah di masjid, mereka selalu membantahnya, bahkan menghina dan mengutuknya dengan ayat-ayat al-Qur`an. Suatu saat, ketika Ali menyampaikan khutbahnya di sebuah masjid, ia menyinggung soal kekeliruan kaum Khawarij, tiba-tiba beberapa orang berdiri dan berkata, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah!” Ali berkata, “Kalian mempunyai hak atas kami supaya kami tidak melarang kalian memasuki masjid kami selama kalian tidak memberontak terhadap kami, tidak mencegah kalian untuk memperoleh bagian dari fay` (harta rampasan) selama tangan kalian berpegangan dengan tangan kami, dan tidak memerangi kalian selama kalian tidak memerangi kami.”[2]

Dikatakan, ketika Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ari untuk menyelesaikan persoalan arbitrase, orang-orang Khawarij bertemu di rumah Abdullah ibn Wahb al-Rasibi dan membaiatnya sebagai pemimpin mereka. Dalam pidatonya Abdullah ibn Wahb al-Rasibi mengingatkan kelompok Khawarij untuk zuhud terhadap dunia, mengutamakan akhirat dan surga, memotivasi mereka melakukan amar ma’ruf nahy munkar. Ia juga mengajak mereka untuk keluar dari Kufah yang dianggapnya sebagai negeri berpenduduk zhalim menuju ke balik pegunungan di puncak-puncaknya atau di beberapa negeri lainnya untuk menunjukkan penolakan terhadap hukum-hukum yang zhalim. Mereka pun pergi ke Nahrawan.

Mereka keluar dari Kufah menyusup seorang demi seorang agar tidak ada yang mengetahui dan mencegah mereka. Mereka keluar dari Kufah dengan sebuah keyakinan—karena kebodohan dan ketidaktahuan mereka—bahwa apa yang mereka lakukan itu akan mendapatkan ridha dari Tuhan yang Kuasa atas bumi dan langit.[3]

Diriwayatkan, ketika Ali ibn Abi Thalib ingin memerangi Muawiyah dan para pendukungnya yang telah mengkhianatinya—setelah arbitrase menghasilkan keputusan sepihak mengenai pencopotan Ali sebagai khalifah dan pengangkatan Muawiyah sebagai khalifah menggantikan Ali—ia menulis surat kepada kaum Khawarij untuk mengajak mereka supaya ikut bersamanya. Tetapi mereka mengirim surat balasan yang menyatakan, “Kau marah bukan karena Allah, tetapi marah karena dirimu sendiri. Jika kau bersaksi atas kekafiran dirimu dan kau berusaha untuk bertaubat, kami akan pertimbangkan ikatan antara kami dan dirimu. Tetapi jika tidak, maka kami semua akan melawanmu.”[4]

Ketika Ali membaca surat balasan dari mereka, ia sangat menyesalkan keputusan mereka untuk tetap menentang dan memberontak terhadapnya. Ia lalu bergerak dari Kufah menuju Nakhilah dengan membawa enam puluh delapan ribu pasukan dan dua ratus pasukan berkuda. Ia sudah mendengar kabar bahwa kaum Khawarij telah menimbulkan banyak kekacauan, menumpahkan darah, merampok, dan melanggar larangan-larangan agama. Beberapa orang dari mereka telah membunuh Abdullah ibn Khabbab beserta istrinya yang sedang hamil tua, bahkan mereka membelah perut istrinya, mengeluarkan janinnya dan kemudian mencincangnya. Akibat ulah mereka, masyarakat menjadi panik, takut, merasa tak aman, dan khawatir atas keluarga mereka. Mereka berpikir, kalau kaum Khawarij semakin kuat, kerusakan yang mereka perbuat di muka bumi akan semakin besar. Semua orang, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak akan dibantai habis. Karena bagi kaum Khawarij, semua orang di muka bumi sudah rusak serusak-rusaknya sehingga harus diperangi seluruhnya.[5]

Ali kemudian mengirim utusan kepada kaum Khawarij menuntut mereka menyerahkan para pembunuh Abdullah ibn Khabbab dan istrinya serta warga muslim lainnya, “Serahkan kepada kami para pembunuh saudara-saudara kami dan kami akan menghukum mereka, maka kami akan membiarkan kalian, dan kami akan pergi ke Syam. Semoga Allah menerima kalian dan mengembalikan kalian kepada kebaikan yang telah kalian tinggalkan.” Tetapi mereka menjawab, “Kami semua yang telah membunuhnya. Kami halalkan darah mereka dan darah kalian.”[6]

Pada bulan Shafar tahun 38 H Ali bergerak untuk memerangi mereka di Nahrawan. Dan sebelum perang, terjadi dialog-dialog penting antara sahabat-sahabat Nabi dengan kaum Khawarij dalam upaya menasihati mereka dan menunjukkan penyimpangan mereka dari agama yang benar. Tetapi mereka menolak dan meneriakkan, “Mari dengan tenang kita menuju surga!” Sejumlah riwayat mengatakan bahwa Qais ibn Sa’ad ibn Ubadah mencoba memberikan nasihat kepada mereka terkait kehajatan-kejahatan besar yang telah mereka lakukan. Tetapi semua nasihatnya tidak memberikan manfaat apapun bagi mereka. Selain itu, Abu Ayyub al-Anshari juga berupaya mengajak mereka berbicara secara baik-baik untuk memberi mereka nasihat, tetapi upayanya itu tidak sedikit pun memberikan pengaruh kepada mereka. Akhirnya Ali sendiri yang turun tangan memberikan mereka nasihat, peringatan, dan ancaman, “Kalian telah mengingkari perkara yang kalian ajak aku untuk melakukannya. Kalian tak memberiku jalan lain kecuali aku harus melakukannya. Aku sudah menolaknya, tetapi kalian tetap memaksa. Sekarang aku ajak kalian untuk kembali kepada apa yang kalian keluar darinya. Janganlah kalian melanggar larangan-larangan Allah. Kalian telah memandang baik perbuatan-perbuatan yang buruk, yaitu kalian membunuh sesama muslim. Demi Allah, membunuh seekor ayam tanpa alasan yang haqq, itu dosa besar di sisi Allah. Lantas bagaimana dengan darah sesama muslim?!” Mereka tidak memberikan jawaban apapun. Ali kemudian meninggalkan mereka. Mereka tampak maju ke depan dan memilih untuk berperang dengan meneriakkan, “Mari dengan tenang kita menuju surga!”, seakan mereka bersiap-siap untuk “bertemu dengan Tuhan”.[7]

Ali tidak mempunyai pilihan lain. Ia kemudian menyiapkan pasukannya untuk menghadapi kelompok Khawarij. Pada saat-saat terakhir Ali masih sempat memerintahkan Abu Ayub Al-Anshari untuk mengangkat bendera pengamanan kepada kelompok Khawarij sambil berteriak lantang, “Barang siapa menuju bendera ini maka ia akan aman. Barang siapa yang tidak ingin melanjutkan peperangan dan kembali ke Kufah dan daerah Madain maka ia aman. Kami tidak akan menyulitkan orang-orang seperti yang telah kami sebutkan. Kami hanya berurusan dengan orang-orang yang telah membunuh saudara-saudara kami.”[8]

Sekitar tiga ribu orang dari kelompok Khawarij kemudian meninggalkan induk pasukannya. Yang tersisa hanya seribu orang bersama dengan Abdullah ibn Wahb al-Rasibi. Ali berkata kepada Abu Ayub Al-Anshari, “Biarkan dan jangan berperang sampai mereka yang mendahului!”[9]

Kelompok Khawarij kemudian mulai menyerang dengan meneriakkan, “Tidak ada hukum kecuali Allah. Mari dengan tenang kita menuju surga!” Perang pun terjadi, tetapi tidak berlangsung lama. Banyak dari kelompok Khawarij yang terbunuh. Hanya sedikit dari mereka yang selamat.[10]

 

Pembunuhan Ali ibn Abi Thalib

Ali ibn Abi Thalib terbunuh pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Berbagai riwayat menyebutkan bahwa tiga orang dari kaum Khawarij yaitu Abdurrahman ibn Muljam, al-Burk ibn Abdillah, dan Amru ibn Bakr al-Tamimi berkumpul membicarakan persoalan umat Muslim. Mereka membahas tokoh-tokoh penyebab konflik di tengah-tengah umat Muslim. Mereka juga mengenang sahabat-sahabat mereka yang terbunuh pada perang Nahrawan. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Kalau kita mengorbankan diri kita dengan membunuh para pemimpin kesesatan, tentu akan membuat tenang negeri ini!” Mereka lalu bersepakat: Abdurrahman ibn Muljam membunuh Ali ibn Abi Thalib, al-Burk ibn Abdillah membunuh Muawiyah ibn Abi Sufyan, dan Amru ibn Bakr membunuh Amru ibn al-Ash. Mereka bersumpah untuk tidak mundur dari rencana pembunuhan itu atau mereka mati. Mereka lalu mengambil pedang masing-masing, meracuninya, dan sepakat untuk melakukan kejahatan itu pada 17 Ramadhan. Kemudian masing-masing pergi ke tujuan yang telah direncanakan.[11]

Ibn Muljam pergi ke Kufah untuk melaksanakan niatnya membunuh Ali  ibn Abi Thalib. Di sana ia bertemu dengan sahabat-sahabatnya dari kaum Khawarij dari suku Taim al-Rabab. Dari suku ini banyak terbunuh oleh pasukan Ali ibn Abi Thalib pada perang Nahrawan. Dan di antara suku ini terdapat seorang perempuan bernama Qutham yang ayah dan saudara laki-lakinya tewas pada perang Nahrawan. Parasnya yang cantik membuat Ibn Muljam langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Ibn Muljam pun langsung melamarnya, dan Qutham mengajukan tiga syarat sebagai maharnya, yaitu uang 3000 dinar, seorang budak laki-laki, dan kematian Ali ibn Abi Thalib untuk menyembuhkan kekecewaannya. Ibn Muljam berkata, “Adapun mengenai kematian Ali tak perlu kau ceritakan lagi jika kau menyukaiku.” Qutham berkata, “Baiklah, jika kau berhasil membunuhnya, maka lenyaplah dendam dalam dirimu dan diriku. Jika kau yang terbunuh, maka apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada dunia dan segala isinya.”[12]

Ibn Muljam menyanggupi permintaan Qutham, ia meyakinkannya bahwa ia datang ke Kufah memang untuk membunuh Ali. Qutham lalu memanggil seorang laki-laki dari sukunya bernama Wirdan untuk membantu Ibn Muljam menjalankan misinya. Ibn Muljam sendiri juga meminta bantuan seorang laki-laki dari kaum Khawarij dari suku al-Asyja’ bernama Syabib ibn Bujirah. Syabib mulanya menolak membantu Ibn Muljam karena ia mengetahui keutamaan Ali, ia berkata, “Celakalah kamu. Jika selain Ali tentu lebih mudah. Aku tahu betul mengenai ketangkasan, keunggulan, dan kegigihannya dalam membela Islam. Aku tidak menemukan alasan sehingga aku tega membunuhnya.” Ibn Muljam berkata, “Tidakkah kau tahu bahwa ia telah membunuh penduduk Nahrawan yang merupakan orang-orang saleh?” Syabib mengiyakannya. Kemudian Ibn Muljam berkata, “Karena itu kita bunuh dia untuk menuntut balas kematian sahabat-sahabat kita.” Ibn Muljam terus memotivasi Syabib sampai ia menyanggupi untuk membantunya.[13]

Malam ketujuh belas Ramadhan bertepatan dengan malam Jum’at, yaitu malam di mana Ibn Muljam dan teman-temannya sepakat untuk membunuh Ali ibn Abi Thalib, Muawiyah ibn Abi Sufyan, dan Amru ibn al-Ash. Ibn Muljam menyiapkan pedangnya, dan ia berangkat bersama Syabib dan Wirdan. Ketika Ali ibn Abi Thalib keluar dari rumahnya menuju masjid untuk mengimami shalat Subuh, saat itu ia berpuasa, dan mengajak orang-orang untuk shalat, “Wahai manusia, shalat, shalat…,” tiba-tiba Syabib dan Ibn Muljam memukulnya dengan pedang. Ibn Muljam berkata, “Hukum hanya milik Allah, bukan milikmu, dan bukan pula milik teman-temanmu.” Secepat kilat ia mengayunkan pedangnya dan menghujam tepat di kepala Ali. Kepala Ali merengkah akibat tebasan tersebut.[14]

Terdengarlah suara riuh di dalam masjid. Orang-orang cepat berlarian mendekati Ali. Wirdan terbunuh saat itu juga, sementara Syabib berhasil meloloskan diri. Orang-orang mendapati Ali tergeletak di mihrab lalu membawanya pulang ke rumahnya dalam kedaaan kepala diikat balut, sementara masyarakat dari belakang mengikuti sambil menangis.[15]

Orang-orang berhasil menangkap Ibn Muljam. Ali berwasiat kepada putra tertuanya, al-Hasan ibn Ali, juga kepada anak-anaknya yang lain serta keluarganya agar memperlakukan Ibn Muljam secara baik. Ia berkata, “Nyawa dibalas dengan nyawa. Maka, jika aku mati, kalian harus mengqisasnya. Dan jika aku hidup, aku akan mengambil keputusan sesuai dengan pertimbanganku.” Tiga hari setelah itu Ali meninggal, dan Ibn Muljam akhirnya dihukum mati.[16]

Sementara itu, al-Burk ibn Abdillah menunggu Muawiyah ibn Abi Sufyan keluar untuk melaksanakan shalat di masjid. Ketika ia melihat Muawiyah keluar ia langsung mengayungkan pedangnya dan mengenai bagian belakang (bokong) tubuh Muawiyah. Muawiyah berusaha menghalau dan berhasil merampas pedang di tangan al-Burk. Al-Burk berkata kepada Muawiyah, “Aku punya berita yang akan membuatmu senang. Tetapi jika aku memberitahukannya padamu, apakah ada untungnya bagiku?” Muawiyah berkata, “Iya.” Al-Burk berkata, “Sesungguhnya salah seorang saudaraku telah membunuh Ali malam ini.” Muawiyah berkata, “Ia tidak akan bisa membunuhnya.” Al-Burk berkata, “Tentu bisa, karena tidak ada seorang pun yang menjaga Ali.” Kemudian Muawiyah memerintahkan untuk membunuh al-Burk.[17]

Adapun Amru ibn al-Ash malam itu sedang jatuh sakit, sehingga ia tidak bisa keluar untuk menunaikan shalat di masjid. Ia menyuruh Kharijah ibn Abi Habibah, komandan pasukannya, pergi ke masjid untuk shalat bersama orang-orang. Amru ibn Bakr yang mengira Kharijah ibn Abi Habibah adalah Amru ibn al-Ash langsung menyabetkan pedangnya ke tubuh Kharijah ibn Abi Habibah sampai tewas. Amru ibn Bakr pun ditangkap dan kemudian dihukum mati. Amru ibn al-Ash bersyukur bisa selamat dari pembunuhan itu. Ia berkata, “Ia (Amru ibn Bakr) menghendakiku, tetapi Allah menghendaki Kharijah.”[18]

_______________________

[1]          https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/13533731/inilah-deretan-aksi-bom-bunuh-diri-di-indonesia?page=all

[2]          Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Juz 10), Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1990, hal. 578

[3]          Ibid., Juz 7, hal. 276

[4]          Ibn al-Atsir, al-Kâmil fî al-Târîkh (Juz 3), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. 1, 1987, hal. 216

[5]          Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Juz 7), Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1990, hal. 317

[6]          Ibid., hal. 276

[7]          Ibid., Juz 10, hal. 576

[8]          Abdus Sattar al-Syaikh, A’lâm al-Huffâzh wa al-Muhadzdzitsîn (Juz 2), Beirut: Dar al-Syamiyah, hal. 63

[9]          Ibid., Juz 1, hal. 274

[10]         Ibid.

[11]         Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Juz 7), Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1990, hal. 356

[12]         Ibid.

[13]         Ibid.

[14]         Dr. Athiyah al-Qushi, ‘Ashr al-Khulafâ` al-Râsyidîn, al-Hayâh al-Siyâsîyyah wa al-Hadhârîyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, Cet. 1, 2007, hal. 59

[15]         Ibid.

[16]         Ibid.

[17]         Ibid.

[18]         Ibid.

Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (3/8)

Sejarah mencatat perang pemikiran para ulama dan ahli fikih dengan kelompok-kelompok Khawarij untuk menjelaskan agama yang benar, memperbaiki pemahaman-pemahaman yang salah dari kelompok Takfiri itu, khususnya yang terkait dengan hâkimîyyah (kedaulatan hukum di tangan Allah atau penentu hukum adalah Allah), takfîr (pengkafiran), jihad, hijrah, pemberontakan senjata kepada penguasa, penghalalan darah dan harta umat Muslim, tindakan kekerasan atas nama agama, penegakan negara khilafah, kewarganegaraan, dan isu-isu ekstrimisme lainnya.

Di Indonesia, ketika belakangan isu radikalisme menghangat karena maraknya aksi-aksi teror di sejumlah tempat di Tanah Air, beberapa media nasional mulai melakukan wawancara eksklusif dengan narapidana teroris yang disiarkan secara langsung dan disaksikan oleh jutaan orang melalui televisi. Namun demikian, sejumlah pihak menganggap bahwa wawancara tersebut justru membuahkan hasil-hasil negatif yang dapat mempengaruhi masyarakat awam, di mana dalam wawancara itu narapidana teroris tampil bak seorang pahlawan yang seakan membela kepentingan umat Muslim dengan argumen-argumen teologis yang kokoh.

Banyak pakar media berpandangan bahwa media bisa menjadi ‘sahabat utama’ terorisme. Terorisme tidak berdiri sendiri, tetapi publikasi adalah segalanya, terutama jika ‘kepahlawanan palsu’ disematkan kepada para teroris dengan detail operasi terorisme dan disorot oleh kamera. Dengan begitu media seakan memberi mereka publisitas gratis, sehingga mendorong mereka untuk melanjutkan tindakan-tindakan kriminal mereka, dan memotivasi para pemuda untuk bergabung dengan mereka. Padahal media seharusnya bekerja untuk membangun opini publik dalam melawan terorisme dan kelompok-kelompok teroris, dengan menunjukkan kepalsuan klaim-klaim kelompok tersebut dan pelanggarannya terhadap hukum dan agama, serta mengekspos kekeliruan yang mereka promosikan untuk menyesatkan pikiran-pikiran kaum muda, terutama untuk memprovokasi dan memobilisasi mereka dan memanfaatkan antusiasme mereka untuk membela Islam. Dalam hal ini peran kaum agamawan sangat diperlukan untuk menanggapi klaim-klaim kelompok teroris dengan menunjukkan kepalsuan mereka dari sisi syariat.

 

Debat Ibn Abbas dengan Kelompok Khawarij

Debat terkenal antara Abdullah ibn Abbas dan kelompok Haruriyah, salah satu nama yang disematkan kepada kelompok Khawarij, bisa menjadi salah satu contoh bagaimana ahli agama berdialog dengan aliran-aliran Takfiri dan kelompok-kelompok ekstremis.

Orang-orang Khawarij telah memberontak kepada Ali ibn Abi Thalib dan mengkafirkannya, juga setiap orang yang berbeda pandangan dengan mereka setelah peristiwa tahkîm (arbitrase) selama perang Shiffin pada tahun 37 H. Mereka mengangkat slogan “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah” dengan sebuah keyakinan bahwa orang yang menerima hasil tahkîm—padahal mereka sendiri yang memaksa Ali untuk menerima permohonan tahkîm dari kubu Muawiyah—sesungguhnya telah melanggar prinsip bahwa “hukum hanya milik Allah”. Peristiwa ini merupakan awal munculnya kelompok-kelompok Takfiri yang kerap menggunakan kekerasan dan senjata untuk memerangi masyarakat dan memberontak kepada penguasa.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika Ibn Abbas mengetahui bahwa sekitar enam ribu orang Khawarij berkumpul di suatu tempat, ia meminta izin kepada Ali ibn Abi Thalib untuk menemui dan berdiskusi dengan mereka. Ia datang kepada mereka dengan memakai jubah terbaik dari Yaman. Ia sampai di tempat mereka pada tengah hari, saat itu mereka sedang makan. Ia berkata, “Sungguh aku mendapati diriku berada di tengah-tengah kaum yang belum pernah kujumpai suatu kaum yang bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi mereka penuh luka bekas sujud, tangan-tangan mereka menebal bak lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pucat pasi karena tidak tidur menghabiskan malam untuk beribadah.”[1]

Ketika melihat Ibn Abbas datang, orang-orang Khawarij menyambutnya sembari berkata, “Selamat datang, wahai Ibn Abbas. Kenapa kau berpakaian seperti itu?” Ibn Abbas berkata, “Kenapa kalian mencelaku karena aku berpakaian seperti ini? Aku pernah melihat Rasulullah memakai pakaian yang lebih bagus dari ini.” Kemudian Ibn Abbas membacakan sebuah ayat yang berbunyi, “Katakan [Muhammad], siapakah yang berani mengharamkan perhiasan dari Allah dan rizki yang baik yang Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya?” [QS. al-A’raf: 32].[2]

Mereka lalu bertanya, “Apa yang membuatmu datang ke sini?” Ibn Abbas berkata, “Aku datang mewakili Amirul Mukminin (Ali ibn Abi Thalib), juga para sahabat Nabi dari kaum Muhajirin dan Anshar. Aku tidak melihat seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi. Al-Qur`an diturunkan di tengah-tengah mereka, dan mereka lebih memahami makna al-Qur`an daripada kalian. Aku tidak melihat seorang pun dari kalian yang termasuk dari mereka. Aku akan menyampaikan pesan mereka kepada kalian dan menyampaikan perkataan kalian kepada mereka. Sampaikan kepadaku alasan kalian memerangi putra dari paman Nabi (Ali ibn Abi Thalib).”[3]

Mereka menjawab, “Karena tiga perkara. Pertama, ia telah menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman, ‘Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah,’ [QS. al-An’am: 57]. Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan hukum Allah. Kedua, ia memimpin perang [melawan Aisyah dan pasukannya] tetapi tidak menawan tawanan dan tidak mengambil ghanîmah (harta rampasan perang). Kalau mereka (Aisyah dan pasukannya) itu mukmin, tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh mereka, dan tidak halal pula tawanan-tawanannya. Ketiga, ia telah menghapus sebutan Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang mukmin) dari dirinya. Kalau ia bukan Amirul Mukminin (karena menghapus sebutan itu), berarti ia adalah Amirul Musyrikin (pemimpin orang-orang musyrik).”[4]

Ibn Abbas bertanya, “Adakah alasan kalian selain ini?” Mereka menjawab, “Itu sudah cukup.”[5]

Ibn Abbas berkata, “Bagaimana menurut kalian jika aku membacakan ayat al-Qur`an dan sunnah Nabi yang akan membantah pendapat kalian, apakah kalian akan kembali [kepada barisan umat Muslim]?” Mereka berkata, “Iya.” Ibn Abbas berkata, “Mengenai perkataan kalian bahwa Ali telah menjadikan manusia memutuskan perkara [untuk mendamaikan persengketaan di antara umat Muslim], aku mendengar Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan dalam keadaan berihram. Barangsiapa yang membunuhnya di antara kamu secara sengaja, maka dendanya adalah mengantinya dengan hewan yang seimbang dengannya, menurut putusan hukum dua orang yang adil di antara kamu,’ [QS. al-Maidah: 95]. Ini di antara hukum yang Allah serahkan putusannya kepada manusia. Jika Allah menghendaki, tentu Allah kuasa memutuskan hukumnya. Namun Allah membolehkan berhukum kepada manusia. Kalian juga tahu, dalam pertikaian antara istri dan suaminya, Allah berfirman, ‘Dan apabila kamu mengkhawatirkan perceraian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (penengah yang memberi putusan) dari keluarga laki-laki dan seorang penengah dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu,’ [QS. al-Nisa`: 35]. Allah menjamin hukum manusia. Apakah ini sudah menjawab alasan kalian?” Mereka menjawab, “Ya.”[6]

Ibn Abbas berkata, “Mengenai perkataan kalian bahwa Ali berperang [melawan Aisyah dan pasukannya] namun tidak menawan tawanan dan tidak mengambil ghanîmah, Allah berfirman bahwa Nabi lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istri beliau adalah ibu-ibu mereka. Jika kalian menganggap Aisyah bukan ibu kalian, maka kalian kafir. Jika kalian menganggap Aisyah sebagai ibu kalian, maka tidak boleh menawannya. Apakah ini sudah menjawab alasan kalian?” Mereka menjawab, “Ya.”[7]

Ibn Abbas berkata, “Adapun mengenai perkataan kalian bahwa Ali menghapus gelar Amirul Mukminin darinya (sebagai hasil dari arbitrase), aku akan memberikan penjelasan mengenai hal itu. Kalian tentu mengetahui bahwa Nabi pada peristiwa Hudaibiyah membuat perjanjian dengan Suhail ibn Amru wakil dari kaum Musyrik. Beliau berkata kepada Ali ibn Abi Thalib, ‘Tulislah wahai Ali, ‘Ini adalah perjanjian damai yang dinyatakan oleh Muhammad Rasulullah (utusan Allah).’ Namun kaum Musyrik berkata, ‘Tidak! Andai kami percaya bahwa engkau adalah Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu. Tulislah namamu dan nama ayahmu.’ Maka Nabi berkata, “Ya Allah, sungguh Engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasul-Mu. Kalau begitu, wahai Ali, hilangkan tulisan ‘Rasulullah’. Dan tulislah, ‘Ini adalah perjanjian damai yang dinyatakan oleh Muhammad ibn Abdillah.’ Nabi lebih utama daripada Ali, tetapi beliau sendiri pernah menghapus gelar ‘Rasulullah’ dari namanya. Dan itu tidak berarti menghapus kenabian beliau. Apakah ini sudah menjawab alasan kalian?” Mereka berkata, “Ya.”[8]

Sepertiga dari mereka kembali ke barisan Ali ibn Abi Thalib, sementara sisanya tetap memberontak dan terbunuh di dalam perang.[9]

________________________

[1]          Abu Abdillah al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn (Juz 2), Kairo: Dar al-Haramain, Cet. 1, 1997, hal. 179

[2]          Ibid.

[3]          Ibid.

[4]          Ibid.

[5]          Ibid.

[6]          Ibid., hal. 180

[7]          Ibid.

[8]          Ibid.

[9]          Ibid.

Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (2/8)

Menguatnya Pengkafiran dan Ekstremisme di Masa Kekhilafahan Ali ibn Abi Thalib

Beberapa cendekiawan dan sejarawan percaya bahwa kemunculan kelompok Khawarij dimulai dengan pemberontakan terhadap Utsman ibn Affan dalam rangkaian peristiwa yang disebut dengan al-Fitnah al-Ula (Kekacauan Pertama) yang berujung pada pembunuhannya. Ibn Katsir menyebut orang-orang yang memberontak terhadap Utsman ibn Affan sebagai golongan Khawarij. Ia berkata, “Orang-orang Khawarij datang dan merampok Baitul Mal yang di dalamnya terdapat banyak harta.”[1]

Sementara, mayoritas ahli fikih sepakat bahwa kemunculan kelompok Khawarij dimulai dengan pemberontakan terhadap Ali ibn Abi Thalib setelah terjadi persoalan tahkîm atau arbitrase antara dirinya dan Muawiyah ibn Abi Sufyan semasa Perang Shiffin pada tahun 37 H. Saat itu posisi ideologis dan pandangan keagamaan kelompok Khawarij mulai menguat, dan semakin menguat dengan munculnya kelompok Muhakkimah dan kemudian gerakan Azariqah, sehingga sejarawan Mesir Ahmad Amin mensinyalir bahwa penyematan nama Khawarij kepada mereka dikarenakan mereka memberontak kepada Ali ibn Abi Thalib.

Para ahli fikih juga menggambarkan bahwa kelompok Khawarij dari kalangan Qurra’ (penghafal al-Qur`an) menuntut Ali ibn Abi Thalib untuk menerima arbitrase dengan al-Qur`an, setelah para pendukung Muawiyah mengangkat al-Qur`an di ujung tombak saat mereka kalah perang. Dalam tuntutannya para Qurra` itu berkata, “Hai Ali, kabulkan [permintaan] kaum itu [dengan berpijak] kepada Kitabullah (al-Qur`an) bila kau diminta. Kalau tidak, kami akan membunuhmu sebagaimana kami telah membunuh [Utsman] Ibn Affan. Demi Allah, kami benar-benar akan melakukannya bila engkau tidak mengabulkannya.”[2]

Para Qurra` itu meyakini bahwa agama merintahkan arbitrase dengan dalih Q.S. Ali Imran: 3, “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian dari al-Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka; kemudian sebagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi [kebenaran].” Ali ibn Abi Thalib pun mengabulkan tuntutan mereka, dan karenanya mereka tidak seharusnya memberontak kepada Ali. Di sini terbukti kebenaran ucapan Nabi bahwa kelompok Khawarij membaca al-Qur`an tetapi tidak melebihi tenggorokan mereka, padahal mereka dikenal sebagai sebagai orang-orang yang taat beribadah.

Orang-orang Khawarij memaksa Ali untuk menerima arbitrase. Mereka lalu memintanya memilih Abu Musa al-Asy’ari untuk mewakilinya, padahal Ali sendiri lebih menghendaki Abdullah ibn Abbas. Mereka bilang, “Ia (Ibn Abbas) adalah bagian darimu (keluargamu).” Mereka juga menolak Ali memilih al-Asytar. Mereka menuntut Ali untuk memilih sosok sahabat yang tidak memihak kepada Ali atau Muawiyah. Arbitrase itu menghasilkan kesepakatan yang mengandung kerelaan dari kedua belah pihak untuk kembali kepada al-Qur`an sebagai penengah, dan juga kepada sunnah Nabi, dan bahwa siapapun yang melanggar kesepakan tersebut akan dikenakan sanksi, dan bahwa selanjutnya akan dilakukan perundingan dan keputusan dari perundingan itu akan dibacakan pada bulan Ramadhan.[3]

Kesepakatan tersebut menjadi titik awal munculnya pemberontakan terhadap Ali ibn Abi Thalib. Ketika al-Asy’ats mengumumkannya, banyak orang yang menentangnya. Orang pertama yang memberontak adalah Urwah ibn Adiyah yang terkenal dengan ucapannya yang mengiringi rangkaian peristiwa ekstrimisme dan terorisme hingga saat ini, “Apakah kalian memberlakukan hukum manusia dalam perkara Allah? Tidak ada hukum selain Allah.”[4]

Setelah mereka memaksa Ali untuk menerima arbitrase dan menandatangani kesepakatan, mereka lalu memaksanya membatalkan kesepakatan tersebut dan memintanya untuk bertaubat, “Bertaubatlah atas kesalahanmu, tinggalkan kesepakatan itu, dan pergilah bersama kami untuk memerangi musuh-musuh kita sampai kita bertemu dengan Tuhan kita.” Ali berkata, “Aku ingin kalian tunduk pada kesepakatan itu, tetapi kalian malah menentangku. Kita telah membuat kesepakatan antara kita (Ali dan kelompoknya) dan mereka (Muawiyah dan kelompoknya) dengan syarat-syaratnya. Kita terikat perjanjian dengan mereka. Allah berfirman, ‘Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji,’ [Q.S. al-Nahl: 91].” Mereka memutuskan untuk untuk memberontak kepada Ali dan menuduhnya kafir. Mereka lalu pergi ke Kufah dan membaiat (sumpah setia) Abdullah ibn Wahb al-Rasibi sebagai pimpinan mereka. Di dalam pidatonya, setelah dibaiat, Abdullah ibn Wahb al-Rasibi menjelaskan mengenai dasar-dasar pemikiran ekstrimisme, pengkafiran ​​masyarakat yang tak sepaham, perlunya hijrah dan pembentukan masyarakat alternatif.[5]

Berbagai pidato yang disampaikan para pemimpin Khawarij seakan memberikan petunjuk jalan bagi pengkafiran dan perang terhadap masyarakat Muslim khususnya dan masyarakat secara keseluruhan. Harkus ibn Zuhair al-Sa’di berkata di dalam pidatonya, “Kesenangan dunia ini sangat sedikit, dan pemisahan dengannya sangat dekat. Jangan biarkan perhiasan atau kesenangannya menguasai kalian, jangan sampai membuat kalian berpaling dari penegakan kebenaran dan pengingkaran terhadap ketidakadilan, ‘Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan,’ [Q.S. al-Nahl: 128].” Zaid ibn Hashn al-Tha’i memerintahkan kaum Khawarij untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan jihad dengan landasan ayat-ayat al-Qur`an, “Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir,” [Q.S. al-Ma’idah: 44] dan “Dan barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik,” [Q.S. Al-Ma’idah: 47].[6]

Mereka menyerang para pendukung Ali karena dianggap mengikuti hawa hafsu dan mengabaikan hukum al-Qur`an. Menurut mereka, jihad yang mereka lakukan adalah hak bagi orang-orang mukmin. Mereka pun mengajak dan memprovokasi umat Muslim yang lain untuk memerangi Ali dan para pendukungnya. Abdullah ibn Sakhbarah, salah seorang pembesar dari mereka berkata dengan lantang, “Tikamlah wajah dan kening mereka dengan pedang sampai Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang ditaati. Jika kalian berhasil (menang), maka taatilah Allah sebagaimana yang kalian kehendaki, niscaya Dia akan memberikan kalian pahala orang-orang yang taat dan menjalankan perintah-Nya. Jika kalian gagal (kalah), maka tidak ada yang lebih utama daripada ridha Allah dan surga-Nya.”[7]

 

Pembunuhan Abdullah ibn Khabbab

Kisah pembunuhan Abdullah ibn Khabbab oleh orang-orang Khawarij menjadi contoh sangat jelas dari tindakan terorisme dan ekstremisme yang tidak diterima oleh agama. Abdullah ibn Khabbab, yang berjalan di suatu daerah di dekat Nahrawan bersama istrinya yang sedang hamil, beberapa perempuan dan beberapa budak, bertemu dengan sekelompok orang Khawarij yang saat itu menduduki wilayah Nahrawan. Saat itu Abdullah ibn Khabbab memegang al-Qur`an di atas dadanya. Mereka menghardiknya dan menangkapnya dalam sebuah adegan yang tidak jauh beda dengan apa yang dipraktikkan oleh ISIS dan kelompok-kelompok teroris lain saat ini. Di dalam kitab “al-Kâmil fî al-Târîkh” Ibn al-Atsir menceritakan insiden kriminal yang tidak manusiawi ini.

Ketika rombongan Khawarij datang dari Basrah hingga mendekati Nahrawan, sebagian dari mereka melihat seorang laki-laki menuntun keledai yang membawa seorang perempuan. Mereka menghentikan laki-laki itu dan bertanya, “Siapa engkau?” “Aku Abdullah ibn Khabbab sahabat Rasulullah,” jawab laki-laki itu. Mereka bertanya lagi, “Apa kami membuatmu takut?” Ia menjawab, “Ya.” Mereka berkata, “Tidak usah takut, ceritakan hadits dari ayahmu yang engkau dengar dari Rasulullah yang dapat bermanfaat bagi kami!” Abdullah berkata, “Ayahku menceritakan padaku, bahwa Rasulullah bersabda, ‘Akan terjadi suatu fitnah di mana hati seseorang sudah mati sebagaimana matinya tubuhnya. Sore hari ia seorang mukmin, pagi harinya menjadi kafir. Pagi hari ia kafir, lalu sorenya ia mukmin.”[8]

Rombongan Khawarij itu lalu bertanya, “Dengan hadits ini aku ingin bertanya kepadamu, apa pendapatmu tentang Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar ibn al-Khatthab?” Abdullah ibn Khabbab memuji keduanya. Mereka bertanya lagi, “Apa pendapatmu tentang masa kekhalifahan Utsman di masa awal dan akhirnya?” “Masa kekhalifahan Utsman adalah haqq (kebenaran) dari awal sampai akhir,” jawab Abdullah. “Bagaimana dengan masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib sebelum tahkîm (arbitrase) dan setelahnya?” Tanpa ragu Abdullah menjawab, “Ali lebih mengenal Allah daripada kalian, lebih menjaga agama-Nya, dan lebih tajam pandangannya.” Mendengar jawaban Abdullah ibn Khabbab, pemuka Khawarij sangat marah dan dengan sangat dingin berkata, “Engkau mengikuti hawa nafsumu. Mengikuti pemimpin hanya berdasarkan kebesaran namanya, bukan perbuatannya. Demi Allah kami akan membunuhmu dengan cara yang tidak pernah kami lakukan kepada siapapun!” Mereka lalu mengikat kedua tangannya, begitu juga istrinya yang sedang hamil tua.[9]

Seorang dari mereka menemukan satu biji kurma yang telah jatuh ke tanah dari pohonnya, ia kemudian memungut kurma itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Maka sebagian dari mereka berkata kepadanya, “Itu adalah kurma milik orang kafir mu’âhad (warga kafir yang mendapat jaminan keamanan dari umat Muslim), maka dengan apa kamu menghalalkannya untuk memakannya?” Maka orang tersebut segera memuntahkan kurma itu dari mulutnya. Kemudian seorang dari mereka melihat seekor babi lewat di hadapannya, ia pun menghalaunya dengan pedangnya, maka sebagian dari mereka berkata kepadanya, “Itu adalah babi milik kafir mu’âhad, dengan apa kamu menghalalkannya untuk membunuhnya?”[10]

Melihat perbuatan mereka itu, Abdullah ibn Khabbab berkata, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian suatu keharaman yang lebih besar dari apa yang kalian hindari itu?” Mereka menjawab, “Ya, tunjukkan apa itu.” Abdullah berkata, “Aku lebih haram untuk kalian ganggu dari semua itu.” Mendengar jawaban Abdullah ibn Khabbab, mereka langsung mendorongnya ke arah sungai dan menebas lehernya, mayatnya mereka lemparkan ke sungai dan dibawa arus sampai hilang. Mereka juga membunuh istrinya yang hamil tua, membelah perutnya, mengeluarkan janinnya dan mencincangnya. Setelah itu mereka membunuh beberapa perempuan dan budak yang menyertai Abdullah ibn Khabbab.[11]

Peristiwa ini terjadi pada tahun 37 Hijriah. Atas peristiwa tak manusiawi yang dilakukan kelompok Khawarij ini, Ali ibn Abi Thalib mengirimkan pasukan untuk memerangi mereka di Nahrawan. Mereka berhasil dihancurkan, dan tidak ada yang selamat kecuali sebagian kecil yang berhasil melarikan diri.

_____________________

[1]          Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Juz 7), Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1990, hal. 202

[2]          Al-Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr (Juz 42), Lebanon: Dar al-Ta’aruf li al-Mathbu’at, tt., hal. 176

[3]          Ibn Jarir al-Thabari, Târîkh al-Rusul wa al-Mulûk (Juz 2), Mesir: Dar al-Ma’arif, 1967, hal. 670

[4]          Abdul Wahab al-Najjar, al-Khulafâ` al-Râsyidûn, Beirut: Dar al-Qalam, Cet. 4, 1993, hal. 442

[5]          Ibn Atsir, al-Kâmil fî al-Târîkh (Juz 3), Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1987, hal. 188

[6]          Ibid., hal. 213

[7]          Ibid., hal. 188

[8]          Ibn al-Atsir, al-Kâmil fî al-Târîkh (Juz 3), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. 1, 1987, hal. 218

[9]          Ibid.

[10]         Ibid.

[11]         Ibid.

Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (1/8)

SELAMA berabad-abad, Islam dan umat Muslim harus membayar mahal akibat penyimpangan kelompok-kelompok Khawarij dari jalan agama yang benar, pengkafiran masyarakat, dan penghalalan darah serta harta umat Muslim.

Sejak Dzu al-Khuwaishirah al-Tamimi menyatakan pendapat pribadinya tentang harta rampasan perang yang dibagi-bagikan oleh Nabi Muhammad Saw. dan menuduh beliau tidak berlaku adil,[1] percikan bunga api perselisihan dan kekacauan tak terelakkan lagi di kalangan umat Muslim yang ditandai dengan munculnya seorang Khawarij pertama dalam Islam. Kala itu Nabi Saw. sudah memprediksi bahwa kelak dari orang tersebut akan lahir sekelompok orang (pengikut) yang membaca al-Qur`an tetapi tidak sampai kerongkongan. Mereka lepas (keluar) dari agama seperti lepasnya anak panah dari busurnya.[2]

Setelah itu berbagai peristiwa fitnah (kekacauan) dan teror bermunculan, dimulai dari pembunuhan dua khalifah, yaitu Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib, melalui puluhan kelompok Khawarij yang muncul di setiap masa, hingga ISIS dan kelompok-kelompok sejenis sampai saat ini.

Di dalam banyak hadits, Nabi menggambarkan mereka sebagai kelompok sesat, sangat keras dalam agama, masuk dan keluar Islam seperti lepasnya anak panah dari busurnya. Meskipun banyak beribadah dengan mengerjakan shalat, puasa, dan pembacaan al-Qur`an, tetapi iman mereka tidak melebihi kerongkongan. Mereka dinilai sebagai makhluk paling buruk, Allah menutup hati mereka dari kebenaran sehingga mereka tidak bisa mengikutinya. Kesombongan telah menjangkiti mereka, karenanya mereka selalu merasa paling benar dalam menjalankan ajaran agama.

Pidato salah seorang pemimpin mereka, Abdullah ibn Wahb al-Rasibi (w. 38 H/659 M),[3] setelah mereka bersumpah setia kepadanya, menjelaskan kaedah dan manhaj yang dikembangkan oleh kaum Khawarij pertama, yang kemudian dijadikan pijakan oleh seluruh kelompok teroris dan kelompok Takfiri sampai saat ini sebagai dasar pemikiran untuk ekstremisme, pengkafiran masyarakat, urgensi hijrah, dan pembentukan masyarakat alternatif, di mana ia mengajak umat Muslim untuk menentang dan memberontak kepada Ali ibn Abi Thalib, “Keluarkanlah saudara-saudara kita dari negeri berpenduduk zhalim ini ke balik pegunungan di puncak-puncaknya atau di beberapa negeri lainnya, demi mengingkari tahkîm (arbitrase) yang zhalim ini.” Abdullah ibn Wahb al-Rasibi dikenal sebagai orang yang saleh, wara’, dan ahli ibadah. Ia bahkan dijuluki Dzu al-Tsafinat (pemilik dahi yang keras) karena seringnya diletakkan di atas tanah ketika shalat di dalam sujud yang panjang.[4]

 

Dzu al-Khuwaishirah, Khawarij Pertama dalam Islam

Di dalam karyanya yang terkenal, “al-Milal wa al-Nihal,” al-Syahrastani (474-548 H/1076-1153 M) mendefinisikan Khawarij sebagai kelompok pembangkang atau pemberontak kapanpun dan di manapun terhadap pemimpin yang terpilih secara sah dan disepakati mayoritas. Ia berkata, “Setiap orang yang memberontak kepada imam (pemimpin) yang telah disepakati umat Muslim disebut Khawarij. Sama saja, apakah ia memberontak di masa sahabat kepada al-Khulafa` al-Rasyidin, atau setelah mereka di masa Tabi’in dan para imam di setiap zaman.”[5]

Ibn Hazm menambahkan bahwa Khawarij merupakan nama yang disematkan kepada setiap orang yang membangkang dan memberontak terhadap Imam Ali ibn Abi Thalib atau siapapun yang mempunyai pandangan yang sama dengan mereka di setiap zaman, baik yang terkait dengan pengkafiran pelaku dosa besar (al-kabâ`ir) dan pendapat bahwa pelaku dosa besar itu abadi di neraka.[6]

Namun, sebagian sejarawan berpandangan bahwa munculnya Khawarij dimulai pada masa Nabi Muhammad Saw., dan bahwa Khawarij pertama adalah Dzu al-Khuwaishirah al-Tamimi, yaitu orang pertama yang menentang Nabi dalam pembagian harta rampasan perang dengan menuduh beliau tidak adil. Said al-Khudri berkata, “Ali ibn Abi Thalib pernah mengirim emas kepada Rasulullah Saw. dari Yaman. Kemudian Rasulullah Saw. membagikannya kepada empat orang, yaitu: Uyainah ibn Hisn, al-Aqra ibn Habis, dan Zaid al-Khalil. Sedangkah yang keempat antara Alqamah ibn Ulatsah atau Amir ibn al-Thufail. Maka ada seorang sahabat yang mengatakan, ‘Kami lebih berhak atas pemberian ini daripada mereka.’ Hal ini sampai kepada Rasulullah Saw., maka beliau pun bersabda, ‘Mengapa kalian tidak mempercayaiku? Padahal aku adalah kepercayaan penghuni langit, dan aku selalu mendapat berita dari langit setiap saat.’ Abu Said berkata, ‘Lalu seorang laki-laki bermata cekung yang pipi bagian atasnya menonjol, jenggotnya lebat, rambutnya pendek dan pakaiannya disingsingkan berkata, ‘Ya Rasulullah, bertakwalah kepada Allah!’ Maka beliau menjawab, ‘Celaka kamu! Bukankah aku ini penduduk bumi yang paling bertakwa kepada Allah?’ Kemudian laki-laki tersebut berpaling, lalu Khalid ibn al-Walid berkata, ‘Ya Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal lehernya.’ Beliau bersabda, ‘Jangan, mungkin ia juga shalat.’ Khalid berkata, ‘Banyak orang shalat, hanya lisannya yang berucap tetapi hatinya tidak.’ Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk menyakiti hati manusia, tidak pula untuk membelah dada mereka.’ Abu Said berkata, ‘Kemudian beliau memandangi orang tersebut, dan ketika ia datang, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya dari kelompok orang ini akan muncul orang-orang yang mulutnya senantiasa membaca Kitabullah, tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama Allah sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya.”[7]

Ibn al-Jauzi (508 – 597 H) mengatakan bahwa orang Khawarij pertama adalah Dzu al-Khuwaishirah al-Tamimi. Ia adalah orang pertama yang memprotes keputusan Nabi, dan para pengikutnya di kemudian hari memerangi Ali ibn Abi Thalib karena dianggap kafir dan keluar dari Islam.[8]

Diriwayatkan bahwa Nabi bersabda, “Akan muncul di umat ini suatu kaum yang menganggap remeh shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka. Mereka membaca al-Qur`an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja. Mereka keluar dari agama (Islam), seperti anak panah yang melesat. Mereka adalah seburuk-buruknya makhluk.”[9] Dalam riwayat lain beliau mengatakan, “Mereka adalah seburuk-buruk makhluk—atau dari kalangan seburuk-buruk makhluk—yang akan membunuh mereka adalah salah satu dari dua kelompok yang paling dekat dengan kebenaran.”[10] Sebagaimana diriwayatkan juga bahwa beliau bersabda, “Akan muncul suatu kaum yang tersesat dari timur, rambut mereka dicukur/kepala mereka gundul.”[11] Menurut Imam al-Nawawi, mereka menjauh dari kebenaran atau menyimpang dari jalan kebenaran.

Menurut Ubaidillah ibn Abi Rafi’, budak Nabi, ketika kelompok Haruriyah[12] (salah satu kelompok Khawarij) memberontak kepada pemerintahan Ali ibn Abu Thalib, mereka berkata, “Tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah.” Ali berkata, “Itu adalah kalimat yang haqq (benar), namun dimaksudkan untuk kebatilan. Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah menggambarkan suatu kelompok manusia, dan aku benar-benar tahu bahwa gambaran itu terdapat pada diri mereka. Mereka mengucapkan kebenaran dengan lisan-lisan mereka, namun ucapan mereka itu tidak sampai melewati ini (ia sambil memberi isyarat pada kerongkongannya).”[13]

Hadits-hadits di atas menggambarkan orang-orang Khawarij sebagai kelompok yang telah menyimpang dari agama. Mereka sangat ekstrim dalam beragama, tetapi mereka menyimpang darinya dengan cepat tanpa mereka sadari. Hati mereka sejatinya tidak memahami al-Qur`an, mereka membawanya tanpa tujuan. Iman mereka hanya sebatas ucapan saja. Mereka jauh dari kebenaran, dan mereka pun tak bisa mengikutinya.

 

Pembunuhan Utsman ibn Affan

Orang-orang yang berdatangan dari Mesir, Kufah, dan Basrah dengan penuh kemarahan mengepung rumah Khalifah Utsman ibn Affan. Mereka menuntut supaya Utsman memecat para pembantunya dan menindak tegas kezhaliman mereka. Mereka mengancam akan menurunkannya secara paksa atau bahkan membunuhnya jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Utsman kemudian menasihati dan memberi mereka isyarat bahwa jika mereka membunuhnya maka itu akan membuka pintu kekerasan tanpa bisa ditutup kembali. Ia berkata, “Sesungguhnya tidak boleh membunuh kecuali dalam tiga hal: orang yang melakukan zina setelah menikah, orang yang kafir setelah beriman, dan orang yang membunuh jiwa manusia tanpa alasan yang benar. Maka jika kalian membunuhku, berarti kalian telah meletakkan pedang di atas tengkuk kalian sendiri. Sesudah itu Allah tidak akan memulihkan pertikaian di antara kalian untuk selamanya.”[14]

Tanggapan mereka terhadap pernyataan Utsman ibn Affan kemudian menjadi pembenaran bagi setiap tindakan pembunuhan dan terorisme di dalam sejarah Islam, “Kami menemukan di dalam Kitabullah (al-Qur`an) bahwa boleh membunuh selain tiga orang yang kau sebutkan: membunuh orang yang berupaya membuat kerusakan di muka bumi, membunuh orang yang lalim (melampaui batas) dan ia berjuang berdasar kelalimannya, dan membunuh orang yang mencegah dan menghalangi kebenaran dan ia berjuang tanpa kebenaran. Kau telah memegang kekuasaan atas kami. Jika kau mengklaim bahwa kau tidak melalimi kami, maka orang-orang yang melindungimu dari kami sesungguhnya mereka berjuang agar kau tetap memegang kekuasaan itu. Jika kau melepaskan kekuasaanmu itu, niscaya mereka akan pergi meninggalkanmu.”[15]

Pengepungan berlangsung selama empat puluh hari. Pada malam kedelapan belas, pengepungan semakin ketat, bahkan Utsman ibn Affan kesulitan mendapatkan air. Ia kemudian mengutus seorang utusan secara diam-diam kepada Ali ibn Abi Thalib, Thalhah, al-Zubair, dan para istri Nabi, “Mereka mencegahku untuk memperoleh air. Jika kalian dapat mengirimkan air untukku, lakukanlah.” Orang pertama yang memenuhi permintaan Utsman ibn Affan adalah Ali ibn Abi Thalib dan Ummu Habibah, istri Nabi.[16]

Utsman ibn Affan mengawasi orang-orang yang mengepung rumahnya. Ia khawatir terjadi pertumpahan darah karena dirinya. Ia pun memanggil Abdullah ibn Abbas dan memerintahkannya untuk menunaikan ibadah haji bersama orang-orang yang menjaga rumahnya untuk melindunginya, tetapi Abdullah ibn Abbas berkata, “Jihad mereka [untuk melindungimu] lebih aku sukai daripada haji.” Ia bersumpah untuk itu, lalu ia pergi dari sisi Utsman. Utsman kemudian memberikan nasihat kepada al-Zubair, setelah itu ia pun pergi.[17]

Pada 17 Dzulhijjah tahun 36 H, Utsman berkata kepada orang-orang yang ada di dekatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar, termasuk Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn al-Zubair, al-Hasan ibn Ali, al-Husain ibn Ali, Marwan, Abu Hurairah, dan para budaknya. Merekalah yang selalu melindunginya dari para pemberontak. “Aku bersumpah kepada siapapun yang mempunyai hak, kendalikan tangannya, pulang ke rumah, dan keluar dari sini tanpa perlawanan.” Mereka pun keluar. Kepada para budaknya, Utsman berkata, “Siapapun yang menyarungkan pedangnya maka ia bebas.” Gejolak di dalam rumah Utsman mereda, al-Hasan ibn Ali keluar dari rumah Utsman sembari berkata, “Agama mereka (para pemberontak) bukanlah agamaku, dan aku bukan bagian dari mereka.”[18]

Pada tanggal 18 Dzulhijjah, suasana semakin memanas. Para pengepung mulai mencoba memasuki rumah Utsman. Mereka kemudian berhasil mendobrak pintu rumah Utsman. Abu Hurairah sempat menegur mereka dengan keras, “Duhai, bagaimana kalian ini, aku mengajak kalian kepada keselamatan namun kalian malah mengajakku ke neraka.” Abu Hurairah dikenal sebagai sahabat yang sangat dekat dengan Nabi Saw., maka tegurannya pun seharusnya didengar oleh para pemberontak. Namun sayang, hati dan telinga mereka telah terkunci, mereka pun menjawab nasihat-nasihat Abu Hurairah dengan kata-kata, “Hari ini adalah hari dihalalkannya pertumpahan darah!”[19]

Seseorang yang diketahui bernama al-Ghafiqi berhasil masuk ke kamarnya dan memukul Utsman dengan potongan besi dan menendang al-Qur`an yang ada di tangannya. Darah mengalir dari kening Utsman membasahi al-Qur`an itu. Setelah itu giliran Saudan ibn Hamran yang menyerangnya. Saudan hendak menebas tubuh Utsman dengan pedangnya. Saat itulah Nailah al-Farafishah, istri Utsman, tiba-tiba datang dari ruangan sebelah dan mendorong Saudan. Saudan pun terjatuh. Kendati begitu, dorongan Nailah tak membuat Saudan surut. Saudan bereaksi dengan menebaskan pedangnya ke tangan Nailah. Jari-jari tangan Nailah pun terputus dan tangannya berlumuran darah. Lalu dengan sangat tidak sabar ia menebaskan pedangnya ke tubuh Utsman sampai terbunuh.[20]

Saat terbunuh Utsman sedang khusyuk membaca al-Qur`an di kamarnya. Darah yang mengalir dari tubuhnya tepat mengenai ayat 137 dari Surah al-Baqarah, “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan [dengan kamu]. Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dikatakan, Amru ibn al-Hamq menerjang dada Utsman dan menusuknya sembilan kali tusukan. Ia berkata, “Tiga tusukan untuk Allah, sedangkan enam tusukan atas kehendakku sendiri.” Kemudian Umair ibn Dhabi’ datang dan mematahkan tulang rusuk Utsman, ia berkata, “Kau mengurung ayahku sampai ia mati di penjara.”[21]

Para pemberontak itu ingin memenggal kepala Utsman, tetapi istrinya menjerit dan mereka pun meninggalkannya. Kemudian mereka merampas harta yang ada di rumah Utsman dan berikutnya merampok harta Baitul Mal.[22]

___________________

[1]          Sepulang dari Fath Makkah, Rasulullah Saw. bersama pasukan Muslim mengepung Kabilah Hawazin dan terlibat perang di lembah Hunain. Beliau mendapatkan rampasan perang yang banyak: 4.000 ons perak, 24.000 ekor unta, dan 40.000 ekor kambing. Beliau singgah di lembah Ji’ranah dan membagikan sebagian harta yang disimpan Bilal. Tiba-tiba datang seorang laki-laki bernama Dzu al-Khuwaishirah al-Tamimi menegur beliau, “Hai Muhammad, berlakulah adil!” Rasulullah Saw. murka dan menjawab, “Celaka. Kalau aku saja tidak adil, lantas siapa yang adil! Seandainya aku tidak adil, niscaya kamu buntung dan rugi!” Menurut sejumlah riwayat, peristiwa ini terjadi pada tahun 8 H.

[2]          Imam Muslim, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwîy (Juz 7), Beirut: Dar al-Tsaqafiyah al-Arabiyah, 1929, hal. 157-160; Ibn Hisyam, al-Sîrah al-Nabawîyyah, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2001, hal. 90 – 91

[3]          Abdullah ibn Wahb al-Rasibi merupakan seorang pemimpin Khawarij yang dikenal sebagai Dzu al-Tsafinat (pemilik dahi yang keras) karena ia banyak bersujud. Ia terpilih sebagai pemimpin Khawarij pada tahun 37 H/658 M, setelah mereka terpisah dari Ali ibn Abi Thalib. Ia terbunuh dalam Pertempuran Nahrawan.

[4]          Ibn Hajar al-Asqalani, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah (Juz 5), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H, hal. 78

[5]          Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halab, 1967, hal. 114

[6]          Ibn Hazm, al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ` wa al-Nihal (Juz 2), Beirut: Dar al-Jail, 1985, hal. 113

[7]          Imam al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârîy (Juz 2), hal. 232

[8]          Ibn al-Jauzi, Kasyf al-Musykil min Hadîts al-Shahîhayn (Juz I), Riyadh: Darul Wathan, 1418 H, hal. 306

[9]          Imam al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârîy: Kitâb Istitâba al-Murtaddîn wa al-Mu’ânidîn wa Qitâlihim, hadits ke 6532; Imam Muslim, Shahîh Muslim: Kitâb al-Zakât, hadits ke 1064

[10]         Imam Muslim, Shahîh Muslim: Kitâb al-Zakât, hadits ke 1766

[11]         Imam Muslim, Shahîh Muslim (Juz 2), hal. 750

[12]         Disebut Haruriyah, karena ketika mereka memberontak Ali ibn Abi Thalib ra., mereka berkumpul di suatu tempat (daerah) bernama Harura’, yang berada di Irak. Haruriyah juga merupakan julukan bagi kelompok khawarij generasi awal.

[13]         Imam Muslim, Shahîh Muslim: Kitâb al-Zakât, hadits ke 1774

[14]         Ibn Jarir al-Thabari, Târîkh al-Rusul wa al-Mulûk (Juz 2), Mesir: Darul Ma’arif, 1967, hal. 670

[15]         Ibn Jarir al-Thabari, Târîkh al-Rusul wa al-Mulûk (Juz 3), Mesir: Darul Ma’arif, 1967, hal. 184

[16]         Ibn Atsir, al-Kâmil fî al-Târîkh (Juz 3), Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1987, hal. 30

[17]         Ibid., hal. 98

[18]         Ali Sa’ad Ali Hijazi, ‘Ibar al-Asyjân: Sîrah Amîr al-Mu`minîn Utsmân ibn Affân, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011, hal. 180

[19]         Ibn Atsir, al-Kâmil fî al-Târîkh (Juz 3), Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1987, hal. 68

[20]         Ibid.

[21]         Ibid., hal. 101

[22]         Ibid.

Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Perempuan Berdaulat atas Tubuh dan Dirinya Sendiri

SEJAK kecil mungkin banyak pertanyaan yang bergulir di benak perempuan saat ia menyaksikan cara keluarganya memperlakukan tubuhnya dibandingkan dengan tubuh laki-laki yang sebaya dengannya di dalam keluarganya. Perasaan panik dan takut muncul di hati para anggota keluarganya begitu ia menginjak usia dewasa (baligh) seiring dengan tampaknya tanda-tanda keperempuanan di tubuhnya. Ia mulai dilarang bermain di jalan bersama teman-temannya, dan ia mulai dituntun untuk mengubah caranya dalam bergaul, berpakaian, berbicara, berjalan, dan duduk di tengah-tengah orang banyak.

Tetapi lihatlah, perlakukan keluarganya terhadap laki-laki di keluarganya sama sekali tidak berubah. Laki-laki di dalam keluarganya terus tumbuh dan berkembang seperti dirinya dengan kebebasan yang semakin bertambah dan luas. Sementara ruang kebebasan untuk perempuan di dalam keluarganya semakin diperkecil dan dipersempit.

Ia mungkin tidak akan meminta penjelasan mengenai hal itu kepada siapapun, sebab penjelasan itu sudah tersedia di dalam dirinya seperti nafas yang ia hembuskan setiap saat. Ia tumbuh menjadi perempuan dewasa dengan membawa tubuh yang dilingkupi berbagai larangan, bahkan dilarang untuk para anggota keluarganya. Ia tidak mungkin duduk dengan santai, kedua betisnya harus dirapatkan satu sama lain, bahkan saat ia tidur.

Ia tidak boleh terlalu lama berdiri di balkon atau teras rumah, tidak boleh lebih dari waktu menjemur cucian, atau menyiram tanaman di taman, atau membersihkan dirinya sendiri di kamar mandi. Keluar rumah harus dengan pengawasan, sehingga ia tidak mungkin keluar rumah setiap hari untuk bertemu dan bermain bersama teman-temannya. Ia harus segera kembali ke rumahnya, tidak boleh lebih dari pukul delapan malam. Segala sesuatu untuknya diawasi dan diatur sedemikian ketat: menit, detik, senti meter, dan bahkan mili meter.

Kenapa begitu banyak pagar yang membatasi tubuh perempuan? Kenapa keluarga begitu takut dan peduli terhadap tubuh perempuan dibandingkan kepada diri perempuan itu sendiri? Apakah tubuh perempuan itu milik dirinya sendiri atau milik ayahnya, ibunya, dan seluruh anggota keluarganya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu bisa saja muncul di benak perempuan. Ia takut melihat tubuhnya sendiri bahkan saat ia mandi. Ia begitu takut kehilangan sesuatu yang ada di antara kedua pangkal pahanya yang disebut “selaput darah keperawanan”. Ibu dan ayahnya sangat takut ia kehilangan sesuatu itu dibandingkan jika ia kehilangan kedua matanya, akalnya, atau bahkan nyawanya sendiri.

Siapakah pemilik tubuh perempuan? Apakah tubuh perempuan itu milik dirinya sendiri atau milik keluarganya? Apakah milik negara? Kenapa para pemuka agama tidak berbicara selain soal tubuh perempuan dan menganggapnya sebagai kehormatan dan kemuliaan  (syaraf)? Kenapa hanya tubuh perempuan yang dibelenggu dengan banyak pagar?

Kenapa semua orang kemudian mengabaikannya setelah perempuan menikah kecuali suaminya yang menganggap dirinya sebagai pengampu atau pelaksana wasiat yang telah mendapatkan ‘surat wasiat’ dalam selembar kertas yang ditulis seorang tokoh agama untuk memiliki tubuh istrinya?

Kalau kita mendaku sebagai umat Muslim, mengikuti firman Allah di dalam al-Qur`an, dan mendaku bahwa adat dan tradisi kita diambil dari Islam, sesungguhnya Allah tidak membeda-bedakan di dalam syariat-Nya antara tubuh perempuan dan tubuh laki-laki, sebagaimana juga tidak memberikan wasiat kepada siapapun untuk memiliki tubuh orang lain, dan sebagaimana kita melihat tubuh perempuan sama dengan tubuh laki-laki yang mengalami fase-fase pertumbuhan secara alamiah: bayi, anak kecil, pemuda/i, kemudian tua.

 

Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan [kamu] sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan [kamu] sesudah kuat itu lemah [kembali] dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Mahakuasa,” [Q.S. al-Rum: 54].

 

Bahkan dari al-Qur`an kita mengetahui bahwa derajat tubuh perempuan setingkat lebih tinggi dibandingkan tubuh laki-laki, karena ia adalah ‘tangan’ Allah di muka bumi yang bertugas menyempurnakan ciptaan-Nya. Makanya Allah memerintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tua, dan ibu menjadi fokus utama dalam keberbaktian itu.

 

Dan Kami perintahkan kepada manusia [berbuat baik] kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun,” [Q.S. Luqman: 14].

 

Dan kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah [pula]. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,” [Q.S. al-Ahqaf: 15].

 

Bolehkah kita berpikir lebih jauh dan mengatakan bahwa tradisi yang mengharuskan laki-laki menguasai tubuh perempuan lebih dikarenakan rasa iri laki-laki yang begitu mendalam terhadap perempuan, karena derajat tubuh perempuan setingkat lebih tinggi daripada tubuh laki-laki dan Allah menjadikannya sebagai sarana ketuhanan untuk mewujudkan keberlanjutan kehidupan manusia?

Masyarakat kita yang sangat patriarkis, yang terpenjara di dalam hukum-hukum patriarkal, mengklaim perlindungan terhadap tubuh perempuan sehingga meniadakan kemungkinan perempuan untuk diperkosa oleh laki-laki haus seks yang terus-menerus berusaha memburunya seperti hewan buruan yang lemah! Karenanya tubuh perempuan harus selalu dijaga, dilindungi, dan diatur dengan sangat ketat.

Tetapi Allah Swt. di dalam kitab-Nya justru menegaskan bahwa tidak ada wasiat dan penugasan bagi manusia manapun untuk menguasai manusia lainnya di hadapan-Nya, dan bahwa setiap manusia—baik perempuan maupun laki-laki—bertanggungjawab atas dirinya sendiri di hari perhitungan kelak di akhirat, sebagaimana tergambar di dalam ayat-ayat berikut:

 

Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, ‘Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu di dalam surga Firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim,” [Q.S. al-Tahrim: 11].

 

Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya [masing-masing]. Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari [siksa] Allah; dan dikatakan [kepada keduanya], ‘Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk [jahannam],” [Q.S. al-Tahrim: 10].

 

Di dalam ayat-ayat tersebut Allah menjadikan perempuan—baik yang kafir maupun yang beriman—sebagai perumpamaan, bahwa mereka akan dihisab di hari perhitungan atas dasar perbuatan mereka sendiri, bukan atas dasar perbuatan suami-suami mereka. Ini menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk berakal dan punya kemampuan yang bisa mengurus dan mengatur urusan-urusannya sendiri. Allah memberikan kebebasan kepadanya untuk memilih menjadi kafir atau beriman, di mana masing-masing akan mendapatkan balasannya kelak di akhirat.

Dalam konteks ‘mendekati zina’, misalnya, kita lihat dalam melarangnya Allah tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki. Allah memerintahkan larangan ‘mendekati zina’ kepada manusia secara umum.

 

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk,” [Q.S. al-Isra`: 32].

 

Ketika Allah menetapkan hukuman (hadd) bagi zina, kita lihat hukumannya hanya satu yang dijatuhkan secara adil kepada laki-laki dan perempuan, tidak membeda-bedakan, dan tidak melipatgandakannya bagi suatu jenis di atas jenis yang lain.

 

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk [menjalankan] agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah [pelaksanaan] hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman,” [Q.S. al-Nur: 2].

 

Tampak di dalam ayat tersebut Allah memperlakukan manusia yang berzina secara seimbang dan setara antara jenis laki-laki dan perempuan. Sebagaimana ketika memerintahkan untuk menjaga kemaluan (farj), Allah menjanjikan surga bagi orang yang menjaganya, baik laki-laki maupun perempuan. Karena kemaluan tidak hanya identik dengan perempuan, tetapi laki-laki dan perempuan. Menjaganya bukan hanya kewajiban perempuan, tetapi kewajiban laki-laki dan perempuan. Allah juga tidak menugaskan laki-laki untuk menjaga kemaluan perempuan.

 

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat,” [Q.S. al-Nur: 30].

 

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut [nama] Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar,” [Q.S. al-Ahzab: 35].

 

Dari sekian banyak ayat al-Qur`an yang menjadi pedoman bagi umat manusia di muka bumi, kita memahami bahwa perempuan bertanggungjawab sepenuhnya terhadap seluruh tindakan yang dilakukannya, termasuk tindakan-tindakan spesifik yang terkait dengan tubuhnya. Sehingga tidak akan ada seorang ayah yang akan dihisab karena putrinya berzina, selama ia mendidik atau menjalankan perannya sebagai ayah terhadap putrinya itu.

Tidak akan ada saudara laki-laki atau siapapun laki-laki di dalam keluarga yang dihisab atas dasar dosa yang dilakukan perempuan di dalam keluarga tersebut: perempuan akan berdiri di hadapan Tuhannya di hari perhitungan dengan dirinya sendiri membawa dosa-dosa yang dilakukannya, dan ia punya hak untuk diampuni maupun disanksi oleh Tuhannya.

Jadi, dari mana datangnya pandangan-pandangan yang terkristalisasi di dalam bingkai konsep ‘kehormatan keluarga’ yang seluruhnya mengurung tubuh perempuan? Kenapa bukan laki-laki saja yang menjadi ‘kehormatan’ bagi keluarga? Apakah karena laki-laki tidak mempunyai ‘selaput darah keperawanan’ maka ia boleh melakukan tindakan apapun terhadap tubuhnya semaunya sendiri?

Sebaliknya, apakah karena perempuan mempunyai ‘selaput darah keperawanan’ lalu menjadikannya terbelenggu dengan ikatan-ikatan kehormatan? Lantas bagaimana dengan 30% perempuan yang lahir tanpa ‘selaput darah keperawanan’? Bagaimana dengan hilangnya ‘selaput darah keperawanan’ akibat hubungan-hubungan rahasia atau akibat kecelakaan yang tak ada kaitannya dengan hubungan seksual?

Dan bagaimana pula dengan perempuan yang sesudah menikah lalu kehilangan ‘selaput darah keperawanannya’, apakah ini menunjukkan bahwa ia bebas melakukan aktivitas seksual tanpa ikatan pasca ia menikah?

Jadi, apakah sesungguhnya yang disebut kehormatan?!!

Di dalam al-Qur`an, di bagian manapun, tidak ada kata “menjaga kehormatan dengan mengatur tubuh perempuan”. Lalu, dari manakah datangnya wasiat yang mengharuskan laki-laki berkuasa mengatur tubuh perempuan? Atas dasar hak apakah mereka boleh mengatur tubuh perempuan dengan dalih menjaga kehormatannya yang merupakan kehormatan keluarga? Apakah seluruh problem kehormatan di masyarakat bisa diselesaikan dengan mengatur tubuh perempuan?

Masyarakat patriarkis tidak benar-benar terdorong menjaga kehormatan profesi, atau kehormatan negara, atau kehormatan tanah airnya dibandingkan dengan keterdorongan mereka untuk menjaga kehormatan mereka sendiri dengan mengatur dan membatasi tubuh perempuan.

Islam merupakan agama yang memulai ajarannya dengan membebaskan perempuan dan hamba sahaya, serta mewujudkan kesetaraan paripurna di antara manusia. Tetapi karena kepentingan sekelompok orang yang tidak mau kehilangan kekuasaannya sehingga mereka kemudian menggunakan dalil-dalil agama untuk melindungi kepentingan mereka sendiri yang menuntut adanya penghambaan (perbudakan) dari perempuan agar menjaga urusan-urusan di dalam rumah tangga tanpa imbalan apapun.

Dalam hal ini mereka lalu membagi perempuan menjadi dua kelompok: pertama, kelompok istri/ibu yang terpenjara di dalam rumah untuk mendidik anak dan melayani suami. Kedua, kelompok pelacur yang menjadi pemuas nafsu seks kaum laki-laki secara bebas.

Kita lihat bahwa keberpegangan masyarakat patriarkis terhadap aturan-aturan patriarkal tidak akan membuat mereka terhormat, karena semua itu tidak bisa membantu kepentingan mereka di mata masyarakat dunia. Sementara memperlakukan perempuan sebagai makhluk yang setara justru akan membantu mereka menuju masa depan yang bebas dan terhormat, serta membersihkan mereka dari keyakinan-keyakinan sesat berupa penjajahan dan kebodohan yang mengungkung mereka selama berabad-abad.

Sudikah masyarakat kita saat ini bergerak mencapai kehormatan mereka yang hakiki dengan memberikan kebebasan kepada perempuan untuk menentukan sikapnya atas tubuhnya, dengan keyakinan bahwa ada Tuhan yang akan menghisab setiap amal perbuatan kita kelak di hari akhir?[]

Perjalanan Pemikiran Ibn Rusyd: Progresivitas Pemikiran (4/4)

Progresivitas pemikiran Ibn Rusyd terlihat dari rasionalitas dan kritisismenya dalam menyikapi setiap permasalahan. Ibn Rusyd adalah seorang filsuf yang memiliki kritisisme luar biasa, komprehensif dan mendetail. Tidak ada satu bentuk pemikiran yang berkembang di masanya yang berhasil lolos dari kritik dan analisanya; sebuah kritisisme yang dibangun di atas rasionalitas yang mapan. Munculnya pemikiran Ibn Rusyd tak ubahnya seperti “goncangan” terhadap status quo. Ia, di samping menyuarakan terbukanya pintu ijtihad dalam segala bidang, juga berupaya melakukan rasionalisasi terhadap segala bentuk keilmuan di masanya.

Rasionalitas Ibn Rusyd terlihat dari beberapa argumentasinya dalam memahami permasalahan akidah Islam. Ibn Rusyd mangakui adanya kebebasan aksi dalam diri manusia. Ibn Rusyd telah berhasil melakukan rasionalisasi terhadap permaslahan qadhâ` dan qadr yang selama berabad-abad menjadi sentral persengketaan antaraliran dalam Islam. Keimanan terhadap qadhâ` dan qadr Tuhan tidak akan menafikan tanggungjawab manusia, juga tidak akan memberangus otoritas Tuhan atas makhluk-Nya.

Setiap perbuatan manusia, selain merupakan kehendak dirinya sendiri—bukan paksaan dari Tuhan—, juga merupakan perbuatan yang sangat bergantung pada ikatan yang ada di luarnya. Perbuatannya sangat dibatasi oleh ikatan tertentu yang ada di luar kehendaknya sendiri. Ikatan tersebut adalah ciptaan Tuhan yang lepas dari intervensi manusia. Perbuatan manusia adalah kehendaknya sendiri dengan aturan pelaksanaan yang telah ditentukan oleh Tuhan.

Rasionalitas Ibn Rusyd dalam masalah akidah terlihat pula dalam menyelesaikan permasalahan kausalitas dalam Islam. Ketika para ahli kalam menjustifikasi kemukjizatan seorang rasul, maka mereka, secara tidak sadar, telah tergiring pada sebuah pengingkaran terhadap kausalitas di dalam alam semesta. Tidak ada ketetapan hukum di alam semesta, semuanya hanya berupa kebiasaan. Semua kejadian di alam semesta merupakan ciptaan dan kehendak Tuhan yang mampu melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Dalam hal ini Ibn Rusyd mampu memberikan argumentasi baru yang berbeda sama sekali dengan argumentasi para ahli kalam.

Argumentasi tersebut tidak membuatnya mengingkari keberadaan mukjizat dalam Islam, apalagi sampai memaksanya untuk menyatakan sesuatu yang tidak rasional; seperti pengingkaran terhadap kausalitas alam semesta. Kebenaran seorang nabi tidak hanya didasarkan pada mukjizat yang dibawa, melainkan pada muatan risalah yang diemban. Mukjizat hanya sebuah pengukuh terhadap kebenaran sebuah risalah.

Dari itu, pengakuan terhadap mukjizat tidak mengharuskan kita menolak sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang di depan mata. Mengingkari karakteristik di dalam alam semesta sama saja dengan mengingkari sunnatullah. Mengingkari hal tersebut tak ada bedanya dengan mengingkari hikmah ciptaan Tuhan, lebih-lebih jika pengingkaran tersebut membawa pengaruh negatif bagi kemajuan peradaban manusia. Manusia cenderung tidak agresif dalam menemukan rahasia alam semesta. Peran akal menjadi tidak optimal dalam menyikapi setiap permasalahan. Semuanya akan dikembalikan pada kekuasaan dan kehendak Tuhan. Tuhan Maha Berkehendak atas segala hal di muka bumi ini.

Nilai progresivitas pemikiran Ibn Rusyd terlihat pula dari upayanya menyelesaikan problematika pertentangan antara agama dan filsafat melalui metode takwil. Penggunaan takwil berarti memberikan porsi seluas-luasnya kepada akal manusia untuk menyikapi semua permasalahan yang ada.

Ibn Rusyd tidak risau bila metode takwil harus diambil dari umat di luar Islam. Ia bahkan mengingatkan keberadaan komplikasi dalam setiap keilmuan; di mana yang datang belakangan mengambil manfaat dari temuan para pendahulunya. Lebih dari itu, ia sangat menghargai adanya perbedaan pendapat. Perbedaan agama tidak menghalangi dirinya mengkaji filsafat Yunani. Ia juga menganjurkan dilakukannya interaksi keilmuan antara Islam dengan agama-agama lain. Kebenaran adalah sesuatu yang harus dicari, namun tidak untuk dimonopoli.[]

 

Perjalanan Pemikiran Ibn Rusyd: Pembelaan dan Purifikasi Filsafat (3/4)

Ibn Rusyd dengan purifikasi pemikiran dalam segala bidang berusaha mengkorelasikan antara agama dan filsafat tanpa meleburkan keduanya. Mengkorelasikan keduanya tidak berarti peleburan antara dua pemikiran yang berbeda. Hal pertama yang dilakukan dalam proses pengkorelasian itu adalah memisahkan antara agama dengan filsafat dengan tujuan menyelamatkan agama dan filsafat itu sendiri. Keduanya bisa dibilang saudara sesusuan dari seorang ibu yang bernama kebenaran. Keduanya mempunyai kesamaan tujuan dengan perantara yang berbeda.

Adalah sesuatu yang tidak mungkin kebenaran yang ditemukan melalui pemikiran filsafat akan berseberangan dengan kebenaran wahyu Tuhan. Pertentangan tersebut hanya akan muncul ketika agama dan filsafat tidak mampu dipahami dengan baik, yaitu ketika retorika penyampaian kebenaran dalam agama tidak mampu dipahami secara tepat dengan melakukan takwil, juga ketika premis dalam filsafat tidak dapat dimengerti dengan benar; keduanya mempunyai kebenarannya masing-masing. Kebenaran yang ditemukan oleh filsafat dan agama hanya bisa diketahui melalui piranti-piranti yang dibangun oleh masing-masing agama dan filsafat itu sendiri.

Dalam membela filsafat, Ibn Rusyd tidak menempuh jalur filsafat seperti Ibn Sina, al-Kindi dan al-Farabi. Ibn Rusyd lebih cenderung menempuh jalur fikih dalam menjustifikasi signifikansi pemikiran filsafat dalam kehidupan beragama. Ibn Rusyd berusaha membuktikan bahwa filsafat bukan hanya boleh dipelajari, tetapi sudah menjadi bagian dari perintah agama.

Berpikir secara filosofis tidak lebih dari sekedar memikirkan alam semesta. Bahkan demi mencapai kesempurnaan iman, secara tegas Tuhan memerintahkan kepada hamba-Nya untuk memikirkan alam semesta. Selain itu, dalam al-Qur`an, tidak sedikit Tuhan menyebut orang-orang kafir dengan sebutan-sebutan tidak berakal atau tidak mampu mempertimbangkan ciptaan-Nya.

Apabila memikirkan alam semesta dengan segala isinya merupakan perintah Tuhan, sedang metode paling utama dalam memikirkan semua itu adalah argumentasi demonstratif, maka argumentasi demonstratif adalah bagian dari perintah Tuhan. Meski demikian, argumentasi demonstratif tidak mungkin digunakan secara langsung oleh manusia dengan sempurna. Ia memerlukan pembelajaran serius terhadap pernik-pernik di dalamnya, yang semuanya terangkum dalam ilmu logika.

Keilmuan manusia tidak mungkin terbentuk dari kehampaan. Salah satu karakteristik keilmuan adalah selalu mengalami komplikasi, di mana yang datang terakhir mengambil manfaat dari yang sebelumnya. Ketika ilmu logika tidak dikenal pada masa-masa pertama Islam, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mempelajari ilmu tersebut melalui para pendahulu kita, seagama maupun tidak.

Ilmu logika adalah sekumpulan sistem yang berfungsi sebagai perantara dalam memahami sesuatu. Perantara dapat diambil dari mana saja dan dari siapa saja. Tidak dikenalnya ilmu logika pada masa awal Islam bukanlah alasan yang tepat untuk melarangnya. Sama seperti ilmu usul fikih yang juga tidak dikenal pada masa itu.

Jadi, ketika ilmu usul fikih tidak dianggap sebagai bid’ah, ilmu logika juga tidak bisa dianggap bid’ah. Sehingga, hukum mempelajari ilmu logika yang identik dengan filsafat adalah wajib dalam Islam, apabila, tentu saja, tujuannya sesuai dengan anjuran syariat.

Tetapi, kewajiban mempelajari filsafat tidak ditujukan kepada semua orang (fardhu ‘ayn), hanya orang-orang tertentu yang boleh mempelajari ilmu tersebut (fardhu kifayah), yaitu mereka yang memiliki kecerdasan akal, berpegang kuat terhadap syariat (‘adalah syar’iyyah)—dengan kata lain, bersikap adil dalam menjalankan syariat—serta harus mempunyai kredibilitas intelektual yang mapan. Kecerdasan akal merupakan keharusan dalam mempelajari filsafat. Artinya ia mempunyai kesiapan akal dalam menerima pengetahuan filsafat.

Ketiga syarat tersebut merupakan mengejawantahan dari persyaratan melakukan persaksian dalam fikih. Orang yang mempelajari filsafat adalah orang yang sedang melakukan persaksian terhadap karya tulis para pendahulunya. Ia harus berlaku adil dalam persaksiannya sendiri; tidak menolak atau menerima sebuah pemikiran karena pengaruh hawa nafsu semata.

Dari itu, kredibilitas intelektual merupakan syarat paling menentukan. Dan orang yang mempelajari filsafat, di samping harus mengambil pemikiran filsafat yang dianggap benar tanpa melakukan distorsi, juga harus menempatkannya pada posisi yang semestinya. Menggunakan filsafat bukan pada tempatnya, seperti membohongi orang lain, berbangga diri dengan apa yang dimilikinya, atau dengan tujuan menopang aliran dan politik tertentu, menurut Ibnu Rushd adalah perbuatan tercela.

Dapat dilihat, Ibn Rusyd sebenarnya ingin membuktikan bahwa para penentang filsafat tidak mempunyai persyaratan tersebut. Mereka yang mampu memahami filsafat dengan benar serta menempatkannya pada posisi yang semestinya tidak akan mengharamkan filsafat. Al-Ghazali, yang dalam hal ini dipandang telah mengkafirkan filsafat, adalah figur yang dianggap tidak memenuhi persyaratan itu.

Sebetulnya, dalam hal serangan terhadap filsafat, al-Ghazali bukanlah orang pertama. Sebelumnya, tokoh-tokoh ahli kalam seperti al-Asy’ari dan al-Baqillani telah memulainya dengan memerangi gerakan atheisme dan filsafat secara bersamaan. Bahkan tidak hanya para ahli kalam, seorang sufi seperti Haris al-Muhasibi juga melakukannya. Dalam memerangi filsafat, ia memerankan dirinya sebagai seorang ahli kalam sekaligus sufi. Model semacam inilah yang nampaknya dikembangkan oleh al-Ghazali.

Perlawanan terhadap filsafat ternyata juga terjadi dalam pemikiran Kristen dan Yahudi. Yahya al-Nahwi adalah akademisi Kristen yang telah melakukan perlawanan terhadap filsafat jauh sebelum kelahiran al-Ghazali. Pemikiranya sedikit banyak berhasil mempengaruhi paradigma berpikir al-Ghazâlî dalam memerangi filsafat.

Meski demikian, serangan al-Ghazali tidak bisa disamakan dengan sebelumnya. Sampai saat ini belum ditemukan satupun akademisi yang mampu menyamai atau bahkan melebihinya. Salah satu karyanya, “Tahâfut al-Falâsifah”, dinobatkan sebagai karya terbesar yang nyaris tidak terbantahkan. Dalam artian, belum ada yang mampu mengikis pengaruhnya dalam peradaban Islam. “Tahâfut al-Falâsifah” merupakan sebuah kitab yang dipandang berisikan “fatwa pengharaman” seorang agamawan terhadap filsafat.

Hanya saja perlu digarisbawahi, bahwa faktor pengkafiran al-Ghazali terhadap filsafat tidak kembali pada esensi filsafat itu sendiri. Pengkafiran tersebut lebih terkait dengan tujuan ideologi tertentu, yaitu ideologi negara Saljuk yang berada di bawah naungan aliran Asy’ariyah; ini jika dilihat dari kritik al-Ghazali yang hanya ditumpahkan kepada pemikiran Ibn Sina, padahal banyak filsuf lain yang mempunyai pemikiran lebih berbahaya dari Ibnu Sina, sebut saja misalnya Ibn Ruwandi, yang luput dari serangan al-Ghazali.

Pengkafiran tersebut lebih diakibatkan oleh adanya bahaya ideologis filsafat Ibn Sina yang pada waktu itu dianggap akan merobohkan aliran Asy’ariyah. Pemikiran Ibn Sina yang diusung oleh aliran Syi’ah Ismailiyah atau Imamiyah dianggap sebagai “badai” yang akan menggoyahkan ideologi Abbasiyah, tempat al-Ghazali bernaung. Maka, pengkafiran terhadap filsafat secara menyeluruh tidak bisa dibenarkan dalam etika intelektual.

Pengkafiran terhadap filsafat, dengan mengacu pada teks-teks Ibn Sina, menuntut Ibn Rusyd melakukan purifikasi terhadap filsafat dari distorsi penerjemahan yang tidak akurat. Upaya tersebut dimaksudkan untuk membuktikan bahwa pegangan al-Ghazali dalam mengkafirkan filsafat bukanlah representasi dari pemikiran filsafat itu sendiri, melainkan hanya filsafat Ibn Sina atau Aristoteles yang telah mengalami distorsi. Purifikasi tersebut juga dimaksudkan untuk membuktikan adanya kebenaran yang sama antara agama dan filsafat.

Purifikasi yang dimaksud Ibn Rusyd adalah purifikasi filsafat Aristoteles yang dianggap sebagai representasi kematangan pemikiran Yunani. Aristoteles dianggap mampu meluruskan dan mengembangkan filsafat para pendahulunya. Filsafatnya merupakan penjelmaan dari komplikasi filsafat terdahulu. Keluar dari filsafat Aristoteles, dengan menjadikan filsafat pendahulunya sebagai acuan, tidak akan mampu mendesain filsafat lebih bagus dari pada filsafat Aristoteles, seperti aliran Neo-Platonisme yang ditengarai jauh dari nilai ilmiyah dengan menjadikan Plato sebagai acuan dalam berfilsafat.

Dalam mempurifikasi filsafat Aristoteles, Ibn Rusyd melakukan peringkasan, komentar, harmonisasi dan sekaligus melakukan penafsiran. Itu semua dilakukannya demi membersihkan filsafat Aristoteles dari pelbagai distorsi. Ibn Rusyd berusaha membersihkan filsafat Aristoteles dari kerancuan yang ditimbulkan oleh pemikiran lain yang tidak termasuk dalam bingkai filsafat Aristoteles. Kemampuannya mengomentari filsafat Aristoteles telah menghantarkan dirinya meraih gelar sebagai komentator terbaik terhadap filsafat Aristoteles, bahkan pemikirannya menjadi pintu gerbang proses pencerahan di Eropa.[]